Kesempurnaan dan Kesalahan
Dua Bata Jelek
Setelah kami membeli tanah untuk vihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangungan diatas tanah itu, pun tidak sebuah gubuk. Pada minggu-minggu pertama kami tidur diatas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjalkan dengan batu bata pada setiap sudutnya untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras--tentu saja, kami kan bhikkhu hutan).
Bhikkhu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar ditengahnya, di mana dulunya tempat pegangan pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi lantas jadinya ada lubang persis ditengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tidak perlu bangkit dari ranjang jika ingin pergi ke toilet !. Kenyataannya, bagaimanapun juga, angin masuk melalui lubang itu. Saya jadi tak bisa tidur nyenyak selama malam-malam itu.
Kami hanyalah bhikkhu-bhikkhu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang--bahan-bahan bangunannya saja sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang : bagaimana mempersiapkan pondasi, menyemen dan memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa-pipa--pokoknya semua. Saya adalah seorang fisikawan teoritis dan guru SMU sebelum menjadi Bhikkhu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya sebagai BBC (Buddhist Building Company). Akan Tetapi, pada saat memulainya, hal itu sangatlah sulit.
Kelihatannya gampang membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, sisi lainnya jadi naik. Lalu saya ratakan sisi itu, batu batanya jadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!
Sebagai seorang Bhikkhu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak peduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya memperhatikannya --- oh, tidak! -- saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua bata tersebut tampat miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.
Saat itu, semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala vihara apakah saya boleh membongkar tembokk itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menjadi gundah gulana. Kepala vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.
Ketika saya membawa para tamu pertama berkunjung keliling vihara setengah jadi kami, saya selalu menghindari membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.
"itu sebuah tembok yang indah", ia berkomentar dengan santainya.
"Pak," saya menjawab dengan terkejut, "apakah kacamata Anda tertinggal di mobil ? Apakah penglihatan Anda sedang terganggu ? Tidakkah Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu ?"
Ucapan dia selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkaitan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, "Ya, Saya dapat melihat dua bata jelek itu, tetapi saya juga dapat melihat 998 batu bata yang bagus."
Saya tertegun. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua bata jelek itu. Di atas, di bawah, sebelah kiri, dan sebelah kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang bagus, batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, jauh lebih banyak daripada dua batu bata jelek itu. Sebelumnya mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat, saya terbutakan akan hal-hal lainnya. itulah sebabnya saya tak tahan melihat tembok itu, atau tak rela membiarkan orang lain melihatnya juga, itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang saya dapat melihat batu bata-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tak terlalu buruk lagi. itu menjadi, seperti yang dikatakan pengunjung itu, "Sebuah tembok yang indah." Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarang, setelah dua puluh tahun, tetapi saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tak dapat melihat kesalahan itu lagi.
Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah "dua bata jelek"? Berapa banyak diantara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah "dua bata jelek"? Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus--di atas, di bawah, ke kiri, ke kanan dari yang jelek--tetapi pada saat itu kita tak dapat melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita perbuat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira hanya ada kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya, kita benar-benar menghancurkan sebuah "tembok yang indah".
Kita semua memiliku "dua bata jelek", tetapi bata yang baik dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tak begitu buruk lagi. Bukan hanya kita dapat berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, tetapi kita juga dapat menikmati hidup bersama rekan kita. Ini kabar buruk bagi pengacara urusan perceraian, tetapi kabar baik bagi Anda.
Saya telah beberapa kali menceritakan anekdot ini. Pada suatu pertemuan, seorang tukang bangunan mendatangi dan memberitahukan saya tentang rahasia profesinya.
"Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan," katanya, "tetapi kami bilang ke pelanggan kami bahwa itu adalah "ciri unik" yang tiada duanya di rumah-rumah tetangga. Lalu kami menagih biaya tambahan ribuan dollar!"
Jadi, "ciri unik" di rumah Anda bisa jadi awalnya adalah suatu kesalahan. Dengan cara yang sama, Apa yang Anda kira sebagai kesalahan pada diri Anda, Rekan Anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah "ciri unik", yang memperkaya hidup Anda di dunia ini, begitu Anda tidak terfokus padanya.
Taman Kuil
Kuil-kuil Buddhis di Jepang terkenal akan taman-tamannya.Beberapa tahun yang lampau, terdapatlah sebuah kuil yang membanggakan tamannya sebagai taman tercantik, diantara semuanya.Para pelancong berdatangan dari pelbagai penjuru negeri hanya untuk mengagumi penataannya yang elok,yang begitu indah dalam kesederhanaannya.
Suatu ketika, seorang biksu tua datang berkunjung.Dia tiba pagi-pagi sekali, persis setelah fajar.Dia ingin menyelidiki mengapa taman itu dianggap sebagai yang paling mengilhami; jadi dia menyembunyikan dirinya di balik semak yang besar,dengan sudut pandang yang bagus ke arah taman.
Dia melihat seorang biksu muda muncul dari kuil dengan membawa dua keranjang anyaman untuk berkebun.
Selama tiga jam, dia memerhatikan biksu muda itu,yang dengan hati-hati memungut setiap daun dan ranting yang berjatuhan dan pohon persik yang tersebar di tengah-tengah taman.
Setiap kali memungut daun dan ranting,si biksu muda menaruhnya di atas tangannya yang lembut, memeriksanya dan mempertimbangkan,dan jika dia menyukai daun dan ranting itu,dia akan meletakkannya ke dalam salah satu keranjang.Jika dia merasa daun atau ranting itu tidak berguna baginya,dia akan membuangnya ke dalam keranjang kedua, keranjang sampah.
Setelah mengumpulkan dan mencermati setiap daun dan ranting,dia mengosongkan keranjang sampah diatas gundukan di belakang kuil,dia berhenti sejenak untuk minum teh dan menata pikiran untuk tahap penting berikutnya.
Si biksu muda melewatkan waktu tiga jam lagi,dengan penuh perhatian, dengan hati-hati, dengan penuh keterampilan,menaruh setiap daun dan ranting pada tempat yang semestinya di taman itu.
Jika dia merasa tidak puas dengan posisi sebuah ranting,dia akan menggeser atau memindahkannya sedikit,
dan sembari tersenyum puas,dia akan berpindah ke daun berikutnya,memilih bentuk dan warna yang tepat untuk ditaruh di taman.
Perhatiannya terhadap hal-hal rinci sungguh tak tertandingi.
Penguasaannya atas seni menyusun bentuk dan warna sangat luar biasa.
Pemahamannya akan keindahan alaam begitu tinggi.
Saat dia menyelesaikan pekerjaannya, taman itu terlihat apik sekali.
Kemudian sang biksu tua melangkah masuk ke dalam taman.Dari balik senyum gigi ompongnya, dia memberi ucapan selamat kepada si biksu muda.
“Pekerjaan bagus! Pekerjaan sangat bagus, Yang Mulia! Saya telah mengintip Anda sepanjang pagi. Ketekunan Anda layak dipuji setinggi langit.Dan taman Anda…Yah! Taman Anda nyaris sempurna…”
Wajah biksu muda itu berubah pucat.Tubuhnya jadi kaku serasa disengat kalajengking.Senyum kepuasannya tergelincir dari wajahnya dan jatuh terguling ke jurang besar kehampaan.Di Jepang, Anda tak akan pernah bisa yakin dengan seringai seorang biksu tua.
“Ma…mak…maksud Anda apa?” dia tergagap ketakutan. “Ap… apa yang Anda maksud ‘nyaris sempurna’? dan dia menjatuhkan diri di kaki si biksu tua.
“Oh,Tuan! Oh,Guru! Kasihanilah saya.Anda pasti telah dikirim oleh Buddha untuk menunjukkan kepada saya bagaimana membuat taman saya benar-benar sempurna. Ajarkan saya, oh, Sang Bijak! Tunjukkanlah jalannya!”
“Anda benar-benar ingin saya menunjukkannya?” tanya sang biksu tua dengan mimik purbanya yang mengerut usil.
“Oh,ya. Mohon. Tolong, Guru!”
Lalu sang biksu tua melangkah ke tengah-tengah taman.Dia merangkulkan lengan-lengannya yang tua namun masih kuat itu ke batang pohon persik yang rimbun.
Lantas, diiringi dengan gelak membahana seorang suci,dia mengguncang-guncangkan pohon yang malang itu!
Dedaunan, ranting dan kulit pohon berserakan dimana-mana,dan masih saja biksu tua itu mengguncang-guncangkan pohon itu.Ketika tak ada lagi dedaunan yang jatuh, barulah dia berhenti.
Si biksu muda terperanjat.Taman menjadi kacau balau. Kerja kerasnya sepagian jadi sia-sia belaka.Rasanya dia ingin membunuh biksu tua itu,namun sang biksu tua hanya melihat sekeliling untuk mengagumi hasil karyanya.
Lalu, dengan sebuah senyum yang meluruhkan amarah,dia berkata lembut kepada si biksu muda,“Sekarang taman Anda barulah benar-benar sempurna.”
Yang Sudah Selesai, Ya Sudah Selesai
Musim hujan di Thailand berlangsung dari bulan Juli – Oktober. Selama periode tersebut, para Bhiksu berhenti bepergian, menghentikan semua pekerjaan proyek, dan mencurahkan diri sepenuhnya untuk belajar dan bermeditasi. Periode tersebut disebut “wassa” atau penyunyian musim hujan”.
Beberapa tahun yang lalu di Thailand selatan, seorang kepala wihara terkenal membangun sebuah aula baru di wihara hutannya. Saat wassa tiba, dia menghentikan seluruh pekerjaan proyek dan memulangkan tukang-tukangnya. Ini adalah saat untuk hening di wiharanya.
Beberapa hari berikutnya seorang pengunjung datang, menyaksikan bangunan setengah jadi, dia bertanya kepada kelapa wihara, kapan aulanya akan selesai. Tanpa ragu-ragu, sang Bhiksu berkata, “Aulanya sudah jadi.”
“Apa maksud Anda dengan ‘aulanya sudah jadi’?” tanya balik si pengunjung. “itu belum ada atapnya, tak ada pintu atau jendela, banyak potongan kayu dan kantong semen berserakan. Apakah Anda akan membiarkannya begitu saja? Apa yang Anda maksud ‘aulanya sudah jadi’?”
Kepala wihara tersenyum dan menjawab lirih, “yang sudah selesai ya sudah selesai,” dan diapun beranjak pergi untuk bermeditasi.
Itulah satu-satunya cara untuk melaksanakan penyunyian atau rehat. Jika tidak demikian, pekerjaan kita tak akan pernah selesai.
Petunjuk Kedamaian Pikiran untuk Si Bodoh
Saya menceritakan kisah sebelumnya kepada sekelompok besar pendengar, pada suatu Jumat petang di Perth. Pada hari Minggu-nya, seorang ayah datang dengan marah-marah untuk berbicara kepada saya. Dia mengikuti ceramah tesebut dengan anak remajanya. Masalahnya, ketika hari Sabtu siang si anak ingin pergi bersama teman-temanya, si ayah bertanya kepada anaknya, "Kamu sudah bikin PR belum?" Anaknya menjawab,"Seperti yang diajarkan Ajahn Brahm semalam di wihara, Papa, Daa...daaaa.....!"
Pada hari minggu berikutnya saya menceritakan kisah yang lain.
Kebanyakan orang di Australia memiliki taman di rumahnya, tetapi hanya segelintir orang yang tahu bagaimana menemukan kedamaian di taman mereka. Bagiorang lainnya, taman hanyalah tempat bekerja yang lain, Jadi saya menganjurkan mereka yang punya taman untuk memelihara keindahan taman dengan berkebun sejenak, dan memelihara hati mereka dengan sejenak duduk dalam damai di tamannya, menikmatai berkah alam.
Orang Bodoh pertama akan berpikir, ini gagasan bagus yang mengasyikkan. Jadi pertama-tama mereka memutuskan untuk membereskan segala pekerjaan remeh-temeh, sesudah itu mereka baru melarutkan diri dalam kedamaian di taman. Jadi hamparan rumput harus dipotong, bunga perlu disirami, dedaunan perlu dipangkas, semak-semak harus dibabat, jalan setapak harus disapu.... Tentu saja itu semua menghabiskan seluruh waktu luang mereka, dan pekerjaan yang beres pun baru sebagian kecil. Pekerjaan mereka jadinya tak pernah selesai, dan mereka tak akan pernah memiliki sejenak waktu untuk diam dalam damai. Pernahkah Anda perhatikan bahwa di dalam budaya kita, orang-orang yang "istirahat dalam damai" hanya dapat ditemukan di pekuburan?
Orang bodoh kedua berpikir bahwa mereka lebih pintar dari orang bodoh pertama. Mereka menyingkirkan semua garu dan penyiram, lantas duduk di taman sambil membaca majalah, bisa jadi, yang berisi gambar pemandangan alam nan aduhai. Tetapi, itu berarti menikmati majalah, bukannya menemukan kedamaian di taman,
Orang Bodoh ketiga menyingkirakan semua peralatan berkebun, semua majalah, koran dan radio, dan duduk diam dalam damai di tamannya... selama kira-kira 2 detik! Lalu mereka mulai berpikir, "Rumput itu perlu dipotong dan semak-semak disana harus dibabat segera. Jika saya tidak menyiram bunga-bunga itu, mereka akan layu. Dan tanaman kaca-piring yang indah akan tampak bagus di sudut sana. Ya! Dengan sedikit hiasan tempat mandi burung di depan situ. Saya bisa membelinya di tempat pembibitan...." Itu sih namanya menikmati berpikir dan berencana. Tak ada kedamaian pikiran di situ.
Pekebun yang bijak akan mempertimbangkan, "Saya telah bekerja cukup lama, sekarang waktunya untuk menikmati buah dari pekerjaan saya untuk mendengarkan kedamaian. Jadi biarpun rumput perlu dipotong dan dedaunan harus dipangkas dan bla, bla, bla! TIDAK SEKARANG." Dengan cara inilah, kita temukan kebijaksanaan untuk menikmati taman, sekalipun tidak sempurna.
Siapa tahu ada seorang biksu tua Jepang bersembunyi di balik salah satu semak dan siap untuk melompat keluar dan membeitahu kita betapa sempurnanya taman tua kita yangberantakan. Sungguh, jika kita memusatkan perhatian kepada pekerjaan yang telah kita selesaikan, mungkin kita akan mengerti bahwa yang sudah selesai, ya sudah selesai. Namun jika kita memusatkan perhatian hanya untuk melihat kesalahan pada sesuatu yang harus diperbaiki, seperti dalam kasus tembok bata di wihara saya, kita tidak akan pernah tahu apa itu kedamaian.
Pekebun yang bijak akan menikmati lima belas menit kedamaian di tengah kesempurnaan dari tidak sempurnanya alam, tidak berpikir, tidak berencana, dan tidak merasa bersalah. Kita semua berhak untuk pergi dan mendapatkan kedamaian; tetapi orang lain pantas kehilangan kedamaian dengan cara mereka sendiri! Lalu setelah memperoleh bagian penting dan vital dari lima belas menit dalam damai, kita bisa meneruskan tugas berkebun kita.
Saat memahami bagaimana menemukan kedamaian di taman, kita akan tahu bagaimana menemukannya kapan saja, di mana saja. Khususnya kita akan tahu bagaimana menemukan kedamaian di dalam taman hati kita, sekalipun pada saat kita berpikir bahwa ada begitu banyak ketidakberesan, begitu banyak yang harus diselesaikan.
Saya menceritakan kisah sebelumnya kepada sekelompok besar pendengar, pada suatu Jumat petang di Perth. Pada hari Minggu-nya, seorang ayah datang dengan marah-marah untuk berbicara kepada saya. Dia mengikuti ceramah tesebut dengan anak remajanya. Masalahnya, ketika hari Sabtu siang si anak ingin pergi bersama teman-temanya, si ayah bertanya kepada anaknya, "Kamu sudah bikin PR belum?" Anaknya menjawab,"Seperti yang diajarkan Ajahn Brahm semalam di wihara, Papa, Daa...daaaa.....!"
Pada hari minggu berikutnya saya menceritakan kisah yang lain.
Kebanyakan orang di Australia memiliki taman di rumahnya, tetapi hanya segelintir orang yang tahu bagaimana menemukan kedamaian di taman mereka. Bagiorang lainnya, taman hanyalah tempat bekerja yang lain, Jadi saya menganjurkan mereka yang punya taman untuk memelihara keindahan taman dengan berkebun sejenak, dan memelihara hati mereka dengan sejenak duduk dalam damai di tamannya, menikmatai berkah alam.
Orang Bodoh pertama akan berpikir, ini gagasan bagus yang mengasyikkan. Jadi pertama-tama mereka memutuskan untuk membereskan segala pekerjaan remeh-temeh, sesudah itu mereka baru melarutkan diri dalam kedamaian di taman. Jadi hamparan rumput harus dipotong, bunga perlu disirami, dedaunan perlu dipangkas, semak-semak harus dibabat, jalan setapak harus disapu.... Tentu saja itu semua menghabiskan seluruh waktu luang mereka, dan pekerjaan yang beres pun baru sebagian kecil. Pekerjaan mereka jadinya tak pernah selesai, dan mereka tak akan pernah memiliki sejenak waktu untuk diam dalam damai. Pernahkah Anda perhatikan bahwa di dalam budaya kita, orang-orang yang "istirahat dalam damai" hanya dapat ditemukan di pekuburan?
Orang bodoh kedua berpikir bahwa mereka lebih pintar dari orang bodoh pertama. Mereka menyingkirkan semua garu dan penyiram, lantas duduk di taman sambil membaca majalah, bisa jadi, yang berisi gambar pemandangan alam nan aduhai. Tetapi, itu berarti menikmati majalah, bukannya menemukan kedamaian di taman,
Orang Bodoh ketiga menyingkirakan semua peralatan berkebun, semua majalah, koran dan radio, dan duduk diam dalam damai di tamannya... selama kira-kira 2 detik! Lalu mereka mulai berpikir, "Rumput itu perlu dipotong dan semak-semak disana harus dibabat segera. Jika saya tidak menyiram bunga-bunga itu, mereka akan layu. Dan tanaman kaca-piring yang indah akan tampak bagus di sudut sana. Ya! Dengan sedikit hiasan tempat mandi burung di depan situ. Saya bisa membelinya di tempat pembibitan...." Itu sih namanya menikmati berpikir dan berencana. Tak ada kedamaian pikiran di situ.
Pekebun yang bijak akan mempertimbangkan, "Saya telah bekerja cukup lama, sekarang waktunya untuk menikmati buah dari pekerjaan saya untuk mendengarkan kedamaian. Jadi biarpun rumput perlu dipotong dan dedaunan harus dipangkas dan bla, bla, bla! TIDAK SEKARANG." Dengan cara inilah, kita temukan kebijaksanaan untuk menikmati taman, sekalipun tidak sempurna.
Siapa tahu ada seorang biksu tua Jepang bersembunyi di balik salah satu semak dan siap untuk melompat keluar dan membeitahu kita betapa sempurnanya taman tua kita yangberantakan. Sungguh, jika kita memusatkan perhatian kepada pekerjaan yang telah kita selesaikan, mungkin kita akan mengerti bahwa yang sudah selesai, ya sudah selesai. Namun jika kita memusatkan perhatian hanya untuk melihat kesalahan pada sesuatu yang harus diperbaiki, seperti dalam kasus tembok bata di wihara saya, kita tidak akan pernah tahu apa itu kedamaian.
Pekebun yang bijak akan menikmati lima belas menit kedamaian di tengah kesempurnaan dari tidak sempurnanya alam, tidak berpikir, tidak berencana, dan tidak merasa bersalah. Kita semua berhak untuk pergi dan mendapatkan kedamaian; tetapi orang lain pantas kehilangan kedamaian dengan cara mereka sendiri! Lalu setelah memperoleh bagian penting dan vital dari lima belas menit dalam damai, kita bisa meneruskan tugas berkebun kita.
Saat memahami bagaimana menemukan kedamaian di taman, kita akan tahu bagaimana menemukannya kapan saja, di mana saja. Khususnya kita akan tahu bagaimana menemukan kedamaian di dalam taman hati kita, sekalipun pada saat kita berpikir bahwa ada begitu banyak ketidakberesan, begitu banyak yang harus diselesaikan.
Rasa Bersalah dan Pengampunan
Beberapa tahun yang lampau, seorang wanita muda Australia datang menemui saya di wihara saya di Perth. Para bhikkhu memang sering dimintai nasihat untuk masalah-masalah umat, barangkali karena kami tidak pernah minta bayaran. Wanita ini datang dengan rasa bersalahnya. Enam bulan sebelumnya, dia mengajak sahabat dan pacar sahabatnya untuk berpergian naik mobil ke padang rumput. Sahabatnya tidak ingin pergi, begitupun pacarnya, tetapi tak asyik rasanya kalau main sendirian saja. Jadi dia membujuk dan merengek sampai akhirnya mereka menyerah dan bersedia pergi bersama-sama.
Lalu terjadilah kecelakaan: mobil mereka tergelincir di jalan batu yang longsor. Sahabatnya tewas, pacar sahabatnya lumpuh. Itu adalah gagasannya, tetapi dia sendiri selamat. Dia bercerita kepada saya dengan duka di matanya : “Kalau saja saya tidak memaksa mereka untuk pergi, sahabat saya pasti masih hidup dan pacarnya tidak akan kehilangan kaki. Seharusnya saya tidak membuat mereka pergi dengan saya. Saya merasa sangat bersalah.”
Pikiran pertama yang melintas di benak saya adalah untuk menenangkannya bahwa itu semua bukan salahnya. Dia tidak merencanakan untuk mengalami kecelakaan itu. Dia tidak berniat menyakiti sahabatnya. Semuanya sudah terjadi. Jangan merasa bersalah. Namun, pikiran berikutnya yang melintas adalah, “Berani taruhan dia pasti sudah mendengar nasehat semacam itu, ratusan kali dan tampaknya tidak mempan.”
Jadi saya diam sejenak, merenungkan situasinya lebih dalam, lalu saya katakan kepadanya bahwa bagus juga kalau dia merasa begitu bersalah. Wajahnya berubah dari sedih menjadi terkejut, dan dari terkejut menjadi lega. Dia belum pernah mendengar perkataan seperti itu sebelumnya : bahwa dia semestinya merasa bersalah. Dugaan saya benar. Dia merasa bersalah akan perasaan bersalahnya. Dia merasa bersalah dan setiap orang bilang bahwa dia tidak boleh merasa bersalah. Karena itu, dia merasa “dua kali bersalah”, merasa bersalah karena kecelakaan itu dan merasa bersalah atas perasaan bersalahnya. Begitulah cara kerja pikiran kita yang ruwet ini.
Hanya ketika kita telah mengatasi lapisan pertama perasaan bersalahnya dan menegaskan bahwa tidak apa-apa kalau dia merasa bersalah, barulah kita bisa melanjutkan ke tahap berikut pemecahan masalahnya : “Lalu Sekarang bagaimana?”
Ada pepatah Buddhis yang sangat membantu : “Daripada mengeluhkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.” Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Didalam kebudayaan kita, “bersalah” adalah keputusan yang diketok-palukan oleh hakim pengadilan. Dan jika tak ada seorang pun yang menghukum kita, kita akan menghukum diri sendiri, dengan satu dan lain cara. Perasaan bersalah berarti hukuman di dalam batin kita.
Jadi, wanita muda ini memerlukan suatu kiat pengampunan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Sekadar memberitahukannya untuk melupakan apa yang terjadi tampaknya tak berkhasiat. Saya menyarankannya untuk menjadi relawan disebuah unit rehabilitasi korban kecelakaan lalu lintas di rumah sakit setempat. Karena di sini, saya piker, dia akan menanggalkan rasa bersalahnya dengan bekerja keras dan juga seperti yang biasanya terjadi pada kerja sukarela, dia akan sangat terbantu oleh orang-orang yang dibantunya.
Beberapa tahun yang lampau, seorang wanita muda Australia datang menemui saya di wihara saya di Perth. Para bhikkhu memang sering dimintai nasihat untuk masalah-masalah umat, barangkali karena kami tidak pernah minta bayaran. Wanita ini datang dengan rasa bersalahnya. Enam bulan sebelumnya, dia mengajak sahabat dan pacar sahabatnya untuk berpergian naik mobil ke padang rumput. Sahabatnya tidak ingin pergi, begitupun pacarnya, tetapi tak asyik rasanya kalau main sendirian saja. Jadi dia membujuk dan merengek sampai akhirnya mereka menyerah dan bersedia pergi bersama-sama.
Lalu terjadilah kecelakaan: mobil mereka tergelincir di jalan batu yang longsor. Sahabatnya tewas, pacar sahabatnya lumpuh. Itu adalah gagasannya, tetapi dia sendiri selamat. Dia bercerita kepada saya dengan duka di matanya : “Kalau saja saya tidak memaksa mereka untuk pergi, sahabat saya pasti masih hidup dan pacarnya tidak akan kehilangan kaki. Seharusnya saya tidak membuat mereka pergi dengan saya. Saya merasa sangat bersalah.”
Pikiran pertama yang melintas di benak saya adalah untuk menenangkannya bahwa itu semua bukan salahnya. Dia tidak merencanakan untuk mengalami kecelakaan itu. Dia tidak berniat menyakiti sahabatnya. Semuanya sudah terjadi. Jangan merasa bersalah. Namun, pikiran berikutnya yang melintas adalah, “Berani taruhan dia pasti sudah mendengar nasehat semacam itu, ratusan kali dan tampaknya tidak mempan.”
Jadi saya diam sejenak, merenungkan situasinya lebih dalam, lalu saya katakan kepadanya bahwa bagus juga kalau dia merasa begitu bersalah. Wajahnya berubah dari sedih menjadi terkejut, dan dari terkejut menjadi lega. Dia belum pernah mendengar perkataan seperti itu sebelumnya : bahwa dia semestinya merasa bersalah. Dugaan saya benar. Dia merasa bersalah akan perasaan bersalahnya. Dia merasa bersalah dan setiap orang bilang bahwa dia tidak boleh merasa bersalah. Karena itu, dia merasa “dua kali bersalah”, merasa bersalah karena kecelakaan itu dan merasa bersalah atas perasaan bersalahnya. Begitulah cara kerja pikiran kita yang ruwet ini.
Hanya ketika kita telah mengatasi lapisan pertama perasaan bersalahnya dan menegaskan bahwa tidak apa-apa kalau dia merasa bersalah, barulah kita bisa melanjutkan ke tahap berikut pemecahan masalahnya : “Lalu Sekarang bagaimana?”
Ada pepatah Buddhis yang sangat membantu : “Daripada mengeluhkan kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.” Perasaan bersalah pada hakikatnya berbeda dengan penyesalan. Didalam kebudayaan kita, “bersalah” adalah keputusan yang diketok-palukan oleh hakim pengadilan. Dan jika tak ada seorang pun yang menghukum kita, kita akan menghukum diri sendiri, dengan satu dan lain cara. Perasaan bersalah berarti hukuman di dalam batin kita.
Jadi, wanita muda ini memerlukan suatu kiat pengampunan untuk membebaskannya dari perasaan bersalah. Sekadar memberitahukannya untuk melupakan apa yang terjadi tampaknya tak berkhasiat. Saya menyarankannya untuk menjadi relawan disebuah unit rehabilitasi korban kecelakaan lalu lintas di rumah sakit setempat. Karena di sini, saya piker, dia akan menanggalkan rasa bersalahnya dengan bekerja keras dan juga seperti yang biasanya terjadi pada kerja sukarela, dia akan sangat terbantu oleh orang-orang yang dibantunya.
Rasa Bersalah Para Penjahat
Sebelum saya tertimpa tugas terhormat yang membebani sebagai kepala vihara, dulunya saya sering mengunjungi penjara-penjara di Perth. Saya menyimpan baik-baik catatan mengenai tugas pelayaran di penjara ini karena bisa saya pakai sebagai kredit prestasi seandainya saya sendiri sampai harus dipenjara.
Pada kunjungan perdana saya ke sebuah penjara besar di Perth, saya terkejut dan terkesan akan banyaknya narapidana yang menghadiri ceramah mengenai meditasi yang saya bawakan. Ruangan pertemuan penuh sesak. Sekitar sembilan puluh lima persen dari populasi penjara hadir untuk belajar meditasi. Makin lama saya berbicara, rupanya semakin gelisahlah para pendengar saya. Baru sepuluh menit berlalu, seorang narapidana, salah satu penjahat paling kondang di penjara, mengangkat tangannya untuk bertanya. Saya mempersilahkannya.
"Apa betul," tanyanya, "Dengan meditasi kita bisa terbang?"
Sekarang saya tahu mengapa ada begitu banyak narapidana yang datang ke ceramah saya. Rupanya mereka semua berencana belajar bermeditasi supaya bisa terbang melewati tembok penjara!
Saya bilang kepada mereka bahwa hal itu tidaklah mustahil, namun itu hanya untuk meditator yang berbakat istimewa saja, dan itu pun setelah bertahun-tahun latihan. Pada kesempatan berikutnya saya datang untuk mengajar di penjara itu lagi, hanya ada empat orang narapidana yang masih setia mengikuti ceramah saya.
Setelah beberapa tahun mengajar di penjara, saya jadi mengenal beberapa penjahat dengan akrab. Salah satu hal yang saya temukan adalah bahwa setiap penjahat merasa bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan. Mereka merasakannya siang dan malam, dalam lubuk hati yang terdalam. Mereka hanya memberitahukan hal ini kepada teman dekat saja. Di depan publik, mereka menampilkan wajah sangar khas penjahat. Tetapi bila mereka bisa mempercayai Anda, ketika mereka menganggap Anda sebagai pembimbing spiritual mereka, meskipun untuk sejenak saja, mereka akan membuka diri dan mengungkapkan rasa bersalah yang memedihkan. Saya sering membantu mereka melalui cerita mengenai "Anak-Anak Kelas B".
Sebelum saya tertimpa tugas terhormat yang membebani sebagai kepala vihara, dulunya saya sering mengunjungi penjara-penjara di Perth. Saya menyimpan baik-baik catatan mengenai tugas pelayaran di penjara ini karena bisa saya pakai sebagai kredit prestasi seandainya saya sendiri sampai harus dipenjara.
Pada kunjungan perdana saya ke sebuah penjara besar di Perth, saya terkejut dan terkesan akan banyaknya narapidana yang menghadiri ceramah mengenai meditasi yang saya bawakan. Ruangan pertemuan penuh sesak. Sekitar sembilan puluh lima persen dari populasi penjara hadir untuk belajar meditasi. Makin lama saya berbicara, rupanya semakin gelisahlah para pendengar saya. Baru sepuluh menit berlalu, seorang narapidana, salah satu penjahat paling kondang di penjara, mengangkat tangannya untuk bertanya. Saya mempersilahkannya.
"Apa betul," tanyanya, "Dengan meditasi kita bisa terbang?"
Sekarang saya tahu mengapa ada begitu banyak narapidana yang datang ke ceramah saya. Rupanya mereka semua berencana belajar bermeditasi supaya bisa terbang melewati tembok penjara!
Saya bilang kepada mereka bahwa hal itu tidaklah mustahil, namun itu hanya untuk meditator yang berbakat istimewa saja, dan itu pun setelah bertahun-tahun latihan. Pada kesempatan berikutnya saya datang untuk mengajar di penjara itu lagi, hanya ada empat orang narapidana yang masih setia mengikuti ceramah saya.
Setelah beberapa tahun mengajar di penjara, saya jadi mengenal beberapa penjahat dengan akrab. Salah satu hal yang saya temukan adalah bahwa setiap penjahat merasa bersalah terhadap apa yang telah mereka lakukan. Mereka merasakannya siang dan malam, dalam lubuk hati yang terdalam. Mereka hanya memberitahukan hal ini kepada teman dekat saja. Di depan publik, mereka menampilkan wajah sangar khas penjahat. Tetapi bila mereka bisa mempercayai Anda, ketika mereka menganggap Anda sebagai pembimbing spiritual mereka, meskipun untuk sejenak saja, mereka akan membuka diri dan mengungkapkan rasa bersalah yang memedihkan. Saya sering membantu mereka melalui cerita mengenai "Anak-Anak Kelas B".
Anak-Anak Kelas B
Beberapa tahun yang lalu, sebuah percobaan di bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak yang berusia sepantar. Pada akhir tahun ajaran diadakan sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak untuk kelas pada tahun berikutnya. Bagaimanapun, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat pertama ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya. Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang medapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasarkan kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas pun diberikan fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat setara mungkin, kecuali untuk satu hal: satu disebut "kelas A" dan yang lain disebut "kelas B".
Pada kenyataannya, setiap kelas memiliki anak-anak yang setara kemampuannya. Tetapi di benak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggap tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas B denga sikap berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus dipertahankan. Lalu tibalah ujian akhir tahun berikutnya.
Hasilnya membuat merinding, tetapi tidak mengejutkan. Anak-anak kelas A menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Pada kenyataannya hasilnya juga akan seperti itu jika dulunya mereka terpilih sebagai setengah dari yang teratas pada ujian tahun lalu. Mereka benar-benar menjadi anak-anak kelas A (nomor 1). Dan kelompok lain, walaupun setara dengan tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.
Beberapa tahun yang lalu, sebuah percobaan di bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak yang berusia sepantar. Pada akhir tahun ajaran diadakan sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak untuk kelas pada tahun berikutnya. Bagaimanapun, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat pertama ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya. Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang medapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasarkan kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas pun diberikan fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat setara mungkin, kecuali untuk satu hal: satu disebut "kelas A" dan yang lain disebut "kelas B".
Pada kenyataannya, setiap kelas memiliki anak-anak yang setara kemampuannya. Tetapi di benak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggap tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas B denga sikap berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus dipertahankan. Lalu tibalah ujian akhir tahun berikutnya.
Hasilnya membuat merinding, tetapi tidak mengejutkan. Anak-anak kelas A menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Pada kenyataannya hasilnya juga akan seperti itu jika dulunya mereka terpilih sebagai setengah dari yang teratas pada ujian tahun lalu. Mereka benar-benar menjadi anak-anak kelas A (nomor 1). Dan kelompok lain, walaupun setara dengan tahun lalu, mereka menjadi anak-anak kelas B (nomor 2) sungguhan. Seperti apa mereka diajar sepanjang tahun, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka.
Bocah di Pasar Swalayan
Saya bilang kepada "konco-konco penjara" saya agar jangan pernah berfikir bahwa diri mereka adalah penjahat, melainkan berfikirlah sebagai seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan. Sebab jika mereka bilang mereka adalah penjahat, jika mereke diperlakukan sebagai penjahat dan jika mereka percaya bahwa diri mereka adalah penjahat, mereka akan menjadi penjahat betulan. Begitulah cara kerjanya.
Seorang bocah menjatuhkan sekotak susu di bagian kasir sebuah pasar swalayan, kotaknya terbuka dan susunya tumpah menggenangi lantai. "Anak bodoh",kata ibunya.
Dilorong sebelahnya, seorang bocah yang lain menjatuhkan sekotak madu, kotak itu juga pecah dan madunya menjalar kelantai."Itu perbuatan bodoh,Nak", kata ibunya.
Bocah pertama dicap sebagai anak bodoh ; sedangkan bocah yang satunya cuma ditegur karena suatu kesalahan. Bocah yang pertama mungkin akan benar-benar menjadi bodoh; sedang bocah yang satunya akan belajar untuk tidak lagi mengulangi perbuatan bodohnya.
Saya bertanya pada konco-konco penjara, apa saja yang telah mereka perbuat pada hari mereka berbuat kejahatan? Apa saja yang mereka perbuat pada hari-hari lainnya pada tahun itu? apa saja yang telah mereka perbuat pada tahun-tahun kehidupan mereka? kemudian saya ceritakan kembali kisah tembok bata saya. Ada dua batu bata lain di tembok yang mewakili kehidupan kita, terlepas dari kejahatan yang pernah kita perbuat. Pada kenyataanya, selalu ada banyak batu bata yang bagus, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Nah apakah anda sebuah tembok jelek yang pantas dihancurkan? atau sebuah tembok yang bagus dengan sepasang batu bata jelek seperti kebanyakan kita?
Beberapa bulan setelah saya menjadi kepala wihara dan tidak lagi mengunjungi penjara, saya menerima sebuah telepon pribadi dari salah seorang petugas penjara.Dia meminta saya untuk kembali mengunjungi penjara. Dia memberikan ucapan selamat yang akan selalu say hargai. Dia bilang bahwa konco-konco penjara saya, murid saya, setelah mereka menyelesaikan masa hukumannya, tak pernah balik lagi ke penjara.
Saya bilang kepada "konco-konco penjara" saya agar jangan pernah berfikir bahwa diri mereka adalah penjahat, melainkan berfikirlah sebagai seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan. Sebab jika mereka bilang mereka adalah penjahat, jika mereke diperlakukan sebagai penjahat dan jika mereka percaya bahwa diri mereka adalah penjahat, mereka akan menjadi penjahat betulan. Begitulah cara kerjanya.
Seorang bocah menjatuhkan sekotak susu di bagian kasir sebuah pasar swalayan, kotaknya terbuka dan susunya tumpah menggenangi lantai. "Anak bodoh",kata ibunya.
Dilorong sebelahnya, seorang bocah yang lain menjatuhkan sekotak madu, kotak itu juga pecah dan madunya menjalar kelantai."Itu perbuatan bodoh,Nak", kata ibunya.
Bocah pertama dicap sebagai anak bodoh ; sedangkan bocah yang satunya cuma ditegur karena suatu kesalahan. Bocah yang pertama mungkin akan benar-benar menjadi bodoh; sedang bocah yang satunya akan belajar untuk tidak lagi mengulangi perbuatan bodohnya.
Saya bertanya pada konco-konco penjara, apa saja yang telah mereka perbuat pada hari mereka berbuat kejahatan? Apa saja yang mereka perbuat pada hari-hari lainnya pada tahun itu? apa saja yang telah mereka perbuat pada tahun-tahun kehidupan mereka? kemudian saya ceritakan kembali kisah tembok bata saya. Ada dua batu bata lain di tembok yang mewakili kehidupan kita, terlepas dari kejahatan yang pernah kita perbuat. Pada kenyataanya, selalu ada banyak batu bata yang bagus, jauh lebih banyak daripada yang jelek. Nah apakah anda sebuah tembok jelek yang pantas dihancurkan? atau sebuah tembok yang bagus dengan sepasang batu bata jelek seperti kebanyakan kita?
Beberapa bulan setelah saya menjadi kepala wihara dan tidak lagi mengunjungi penjara, saya menerima sebuah telepon pribadi dari salah seorang petugas penjara.Dia meminta saya untuk kembali mengunjungi penjara. Dia memberikan ucapan selamat yang akan selalu say hargai. Dia bilang bahwa konco-konco penjara saya, murid saya, setelah mereka menyelesaikan masa hukumannya, tak pernah balik lagi ke penjara.
Kita Semua Penjahat
Pada kisah sebelum ini saya bercerita mengenai orang-orang yang "bekerja" bersama saya di penjara, tetapi pesannya berlaku juga bagi siapa pun "yang mendekam" dalam penjara rasa bersalah. "Kejahatan" yang menyebabkan kita merasa bersalah - apa lagi yang telah kita lakukan pada hari itu, pada tahun itu, dalam hidup ini? Dapatkah kita melihat batu bata lain di tembok? Dapatkah kita memandang melampaui perbuatan bodoh kita yang menyebabkan perasaan bersalah kita? Jika kita terlalu lama terfokus pada perbuatan-perbuatan "Kelas B" kita mungkin akan menjadi seorang manusia "Kelas B". Itulah sebabnya mengapa kita tetap mengulang kesalahan-kesalahan kita dan menimbun perasaan bersalah kita. Tetapi bila kita melihat bagian lain dari kehidupan kita, bata lain di tembok kita, ketika kita meraih sudut pandang yang realistik, maka pandangan cerah yang menakjubkan akan merekah bagai sekuntum bunga di hati - kita layak dimaafkan.
Pada kisah sebelum ini saya bercerita mengenai orang-orang yang "bekerja" bersama saya di penjara, tetapi pesannya berlaku juga bagi siapa pun "yang mendekam" dalam penjara rasa bersalah. "Kejahatan" yang menyebabkan kita merasa bersalah - apa lagi yang telah kita lakukan pada hari itu, pada tahun itu, dalam hidup ini? Dapatkah kita melihat batu bata lain di tembok? Dapatkah kita memandang melampaui perbuatan bodoh kita yang menyebabkan perasaan bersalah kita? Jika kita terlalu lama terfokus pada perbuatan-perbuatan "Kelas B" kita mungkin akan menjadi seorang manusia "Kelas B". Itulah sebabnya mengapa kita tetap mengulang kesalahan-kesalahan kita dan menimbun perasaan bersalah kita. Tetapi bila kita melihat bagian lain dari kehidupan kita, bata lain di tembok kita, ketika kita meraih sudut pandang yang realistik, maka pandangan cerah yang menakjubkan akan merekah bagai sekuntum bunga di hati - kita layak dimaafkan.
Biarkan Rasa Bersalah Berlalu, Selamanya
Tahapan tersulit dari perjalanan untuk bebas dari rasa bersalah adalah meyakinkan diri kita bahwa kita layak untuk dimaafkan. Kisah - kisah yang telah diceritakan sejauh ini bertujuan untuk membantu kita, tetapi langkah terakhir untuk keluar dari penjara, harus dilakukan sendiri.
Saat masih bocah, seorang teman saya bermain dengan sahabat karibnya di sebuah dermaga. Bermaksud untuk bergurau, dia mendorong sahabatnya ke dalam air dan sahabatnya tenggelam.
Selama beberapa tahun bocah itu hidup bersama dengan perasaan bersalah yang melumpuhkan. Orang tua sahabatnya yang mati tenggelam tinggal di sebelah rumahnya. Si bocah tumbuh dengan mengetahui bahwa ia telah memisahkan mereka dari putranya. Lalu pada suatu pagi, seperti yang diceritakannya kepada saya, dia menyadari bahwa dia tidak perlu terpenjara lagi oleh rasa bersalahnya. Dia melangkah keluar dari penjaranya sendiri menyongsong udara hangat kebebasan.
Tahapan tersulit dari perjalanan untuk bebas dari rasa bersalah adalah meyakinkan diri kita bahwa kita layak untuk dimaafkan. Kisah - kisah yang telah diceritakan sejauh ini bertujuan untuk membantu kita, tetapi langkah terakhir untuk keluar dari penjara, harus dilakukan sendiri.
Saat masih bocah, seorang teman saya bermain dengan sahabat karibnya di sebuah dermaga. Bermaksud untuk bergurau, dia mendorong sahabatnya ke dalam air dan sahabatnya tenggelam.
Selama beberapa tahun bocah itu hidup bersama dengan perasaan bersalah yang melumpuhkan. Orang tua sahabatnya yang mati tenggelam tinggal di sebelah rumahnya. Si bocah tumbuh dengan mengetahui bahwa ia telah memisahkan mereka dari putranya. Lalu pada suatu pagi, seperti yang diceritakannya kepada saya, dia menyadari bahwa dia tidak perlu terpenjara lagi oleh rasa bersalahnya. Dia melangkah keluar dari penjaranya sendiri menyongsong udara hangat kebebasan.
Cinta dan komitmen
Cinta Tanpa Syarat
Sewaktu saya masih berumur 13 thn, ayah saya memanggil dan mengatakan sesuatu yang mengubah hidup saya. Kami berdua berada di dalam mobilnya yang tua dan usang, dipinggir jalan London, Dia memutar badannya kearah saya dan berkata : "Nak, apapun yang kamu lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu"
Saya hanyalah remaja belia pada saat itu. Saya tidak benar mengerti apa yang dimaksudkan ayah, tapi saya tahu itu adalah sesuatu yang penting, maka saya selalu mengigatnya. Ayah meninggal dunia tiga tahun kemudian.
Ketika saya menjadi bhikkhu di Thailand, saya kembali memikirkan kata ayah. Rumah kami saat itu hanyalah sebuah flat kecil miskin di London, bukan sebuah rumah yang bagus untuk dibukakan pintunya. Tetapi saya menyadari bahwa bukan itu maksud ayah sebenarnya. Apa yang terkandung di dalam kata-kata ayah, seperti sebuah permata yang terbungkus kain, adalah sebuah ungkapan cinta paling jernih yang pernah saya dengar.
"Nak, apapun yang kamu lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu"
Ayah saya menawarkan cinta tanpa syaratnya. Tidak ada maksud tersembunyi. Saya adalah putranya, cukup itu saja. Begitu indah, Begitu Nyata, Dan ...... Dia bersungguh-sungguh.
Diperlukan keberanian dan kebikjasanaan untuk mengatakan hal tersebut kepada orang lain, untuk membuka pintu hati Anda kepada seseorang, tanpa embel-embel "jika". Mungkin kita berpikir mereka akan mengambil keuntungan dari kita, tapi bukan begitu, tidak demikian menurut pengalaman saya. Sewaktu anda menerima cinta semacam itu dari orang lain, itu bagaikan menerima hadiah paling berharga. Anda menghargainya, menyimpan dengan baik dan menjaganya supaya jangan pernah sampai hilang. Jika Anda bersungguh-sungguh dan itu datang dari dalam hati anda, orang itu akan menyambut kedepan, bukan mundur, untuk mengapai cinta Anda.
Sewaktu saya masih berumur 13 thn, ayah saya memanggil dan mengatakan sesuatu yang mengubah hidup saya. Kami berdua berada di dalam mobilnya yang tua dan usang, dipinggir jalan London, Dia memutar badannya kearah saya dan berkata : "Nak, apapun yang kamu lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu"
Saya hanyalah remaja belia pada saat itu. Saya tidak benar mengerti apa yang dimaksudkan ayah, tapi saya tahu itu adalah sesuatu yang penting, maka saya selalu mengigatnya. Ayah meninggal dunia tiga tahun kemudian.
Ketika saya menjadi bhikkhu di Thailand, saya kembali memikirkan kata ayah. Rumah kami saat itu hanyalah sebuah flat kecil miskin di London, bukan sebuah rumah yang bagus untuk dibukakan pintunya. Tetapi saya menyadari bahwa bukan itu maksud ayah sebenarnya. Apa yang terkandung di dalam kata-kata ayah, seperti sebuah permata yang terbungkus kain, adalah sebuah ungkapan cinta paling jernih yang pernah saya dengar.
"Nak, apapun yang kamu lakukan dalam hidupmu, ketahuilah, pintu rumahku akan selalu terbuka untukmu"
Ayah saya menawarkan cinta tanpa syaratnya. Tidak ada maksud tersembunyi. Saya adalah putranya, cukup itu saja. Begitu indah, Begitu Nyata, Dan ...... Dia bersungguh-sungguh.
Diperlukan keberanian dan kebikjasanaan untuk mengatakan hal tersebut kepada orang lain, untuk membuka pintu hati Anda kepada seseorang, tanpa embel-embel "jika". Mungkin kita berpikir mereka akan mengambil keuntungan dari kita, tapi bukan begitu, tidak demikian menurut pengalaman saya. Sewaktu anda menerima cinta semacam itu dari orang lain, itu bagaikan menerima hadiah paling berharga. Anda menghargainya, menyimpan dengan baik dan menjaganya supaya jangan pernah sampai hilang. Jika Anda bersungguh-sungguh dan itu datang dari dalam hati anda, orang itu akan menyambut kedepan, bukan mundur, untuk mengapai cinta Anda.
Membuka Pintu Hati
Beberapa abad yang silam, tujuh orang biksu tinggal di sebuah gua dalam hutan rimba di suatu tempat di Asia, mereka melakukan meditasi cinta kasih tanpa syarat yang saya ceritakan dalam cerita sebelumnya. Ada seorang biksu kepala, adiknya dan sahabat karibnya. Yang keempat adalah musuh biksu kepala: mereka tidak pernah akur. Biksu kepala kelima adalah biksu yang sangat tua, begitu rentanya sampai-sampai sewaktu-waktu ia bisa saja meninggal dunia. Yang keenam, biksu yang sakit berat--bisa saja meninggal kapan saja. Yang terakhir, ketujuh, adalah biksu yang tak berguna. Dia mendengkur setiap saat dia seharusnya bermeditasi, tak bisa mengingat paritta (ayat suci), dan kalau pun kebetulan ingat, ia mendarasnya dengan nada sumbang. Ia juga tidak bisa menggunakan jubah dengan pantas. Namun biksu yang lain membiarkannya begitu saja dan berterima kasih kepadanya karena telah mengajarkan mereka untuk bersabar.
Suatu hari, segerombolan bandit menemukan gua tersebut. Gua itu sangat terpencil, sangat tersembunyi, sehingga mereka ingin mengambil alih gua itu untuk dijadikan markas. Jidi mereka berniat untuk membunuh semua biksu tersebut. Akan tetapi, untunglah, biksu kepala sangat lihai berbicara membujuk orang. Dia berhasil--jangan tanya saya caranya--membujuk gerombolan bandit untuk membiarkan biksu-biksu itu pergi, kecuali satu orang sandera, yang akan dibunuh sebagai peringatan kepada biksu-biksu yang lain untuk tidak mengatakan lokasi gua itu kepada siapa pun. Itulah hasil terbaik yang bisa dinegosiasikan oleh biksu kepala.
Tatkala saya menceritakan kisah ini di depan publik, saya berhenti sebentar untuk bertanya pada hadirin, "Baiklah, menurut Anda, siapakah yang akan dipilih oleh biksu kepala?" Pertanyaan ini biasanya bisa menyegarkan hadirin yang terkantuk-kantuk dalam ceramah saya dan membangunkan mereka yang sudah tertidur. Saya mengingatkan mereka bahwa da biksu kepala, adiknya, sahabatnya, musuhnya, biksu tua dan bisu yang sakit (dua-duanya sudah mau mati), serta biksu yang tidak berguna. Menurut Anda, siapa yang akan dipilihnya?
Sebagian menyarankan si musuh saja, "Bukan," kata saya. "Saudaranya?" "Salah."
Biksu yang tak berguna selalu saja disebutkan--tega nian kita! Setewlah cukup menikmati jawaban-jawaban itu, saya beberkan jawabannya: biksu kepala tak mampu memilih.
Cinta kasihnya kepada adiknya sama persis besarnya, tidak lebih atau tidak kurang, dengan cinta kasihnya kepada sahabatnya, juga persis dengan cinta kasihnya kepada musuhnya, kepada biksu tua, biksu yang sakit, bahkan kepada biksu yang tak berguna itu. Dia telah menyempurnakan arti kata-kata itu: pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan, siapa pun kamu.
Pintu hati biksu kepala terbuka lebar untuk semua, tanpa syarat, tanpa pandang bulu, cinta kasih yang mengalir bebas. Dan yang paling penting, cinta kasihnya kepada orang lain sama besarnya dengan cinta kasihnya pada dirinya sendiri. Pintu hatinya juga terbuka untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa dia tak mampu memilih antara dirinya sediri dan yang lain-lain.
Saya mengingatkan orang Yahudi-Kristiani di antara hadirin saya bahwa kitab mereka mengajarkan untuk "cintailah tetanggamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri." Tidak lebih dari dirimu sendiri dan tidak kuarang dari dirimu sendiri, namun setara dengan dirimu sendiri. Itu berarti memperlakukan orang lain seperti halnya kita memperlakukan diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri seperti halnya kita memperlakukan orang lain.
Mengapa kebanyakan hadirin berpikir bahwa biksu kepala akan mengorbankan dirinya sendiri untuk dibunuh? Mengapa, dalam budaya kita, kita selalu mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan menganggap hal itu sebagai kebaikan? Mengapa kita lebih menuntut, lebih kritis, dan menghukum diri sendiri lebih dari siapa pun? Alasannya cuma satu: kita belum belajar bagaimana mencintai diri sendiri. Jika Anda merasa sulit untuk berkata kepada orang lain "pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," akan jauh lebih sulit untuk mengatakannya kepada diri sendiri, "Aku. Orang yang begitu dekat, kalau nggak salah ingat. Diriku. Pintu hatiku juga akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Aku ini, tak peduli apa pun yang telah kulakukan. Ayo masuk!"
Itulah yang saya maksud dengan mencintai diri kita sendiri: ini dinamakan pemaafan. Melangkah keluar dari penjara rasa bersalah; berdamai dengan diri sendiri. Dan jika Anda punya nyali untuk mengatakan kata-kata itu kepada diri Anda sendiri, dengan sejujurnya, dari relung hati yang terdalam, maka Anda akan menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur. Suatu hari, kita semua harus mengatakan kata-kata itu, atau yang semacamnya, kepada diri kita sendiri, dengan sejujurnya, bukan hanya main-main. Saat kita melakukannya, itu seakan-akan seperti memanggil pulang bagian diri kita yang telah lama terusir, hidup membeku di luar sana. Kita merasa tersatukan, utuh, dan lepas untuk bahagia. Hanya ketika kita bisa mencintai diri sendiri dengan cara begitu, barulah kita benar-benar mengerti bagaimana mencintai orang lain, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan harap diingat, Anda tidak perlu menjadi sempurna terlebih dahulu, tanpa kesalahan, untuk memberikan cinta Anda kepada diri sendiri. Jika Anda harus menunggu kesempurnaan, itu tidak akan tiba. Kita harus membuka pintu hati kita kepada diri kita sendiri, apa pun yang telah kita lakukan. Begitu kita berada di dalamnya, sempurnalah kita.
Orang sering bertanya kepada saya, apa yang terjadi dengan ketujuh biksu tersebut sewaktu biksu kepala mengatakan kepada para bandit bahwa dia tidak mampu memilih.
Kisah ini, seperti yang saya dengar beberapa tahun silam, tidak mengisahkan kelanjutannya: ceritanya berhenti sampai di situ! Namun saya tahu apa yang terjadi kemudian; saya mereka-reka apa yang semestinya terjadi. Ketika biksu kepala menjelaskan kepada para bandit kenapa dia tidak mampu memilih antara dirinya sendiri dan yang lain, dan menjelaskan arti cinta kasih dan arti pemaafan seperti saya jelaskan kepada Anda tadi, maka semua bandit menjadi sangat terkesan dan terinspirasi, sehingga tidak hanya mereka melepaskan semua biksu itu, namun mereka juga bertaobat dan menjadi biksu.
Beberapa abad yang silam, tujuh orang biksu tinggal di sebuah gua dalam hutan rimba di suatu tempat di Asia, mereka melakukan meditasi cinta kasih tanpa syarat yang saya ceritakan dalam cerita sebelumnya. Ada seorang biksu kepala, adiknya dan sahabat karibnya. Yang keempat adalah musuh biksu kepala: mereka tidak pernah akur. Biksu kepala kelima adalah biksu yang sangat tua, begitu rentanya sampai-sampai sewaktu-waktu ia bisa saja meninggal dunia. Yang keenam, biksu yang sakit berat--bisa saja meninggal kapan saja. Yang terakhir, ketujuh, adalah biksu yang tak berguna. Dia mendengkur setiap saat dia seharusnya bermeditasi, tak bisa mengingat paritta (ayat suci), dan kalau pun kebetulan ingat, ia mendarasnya dengan nada sumbang. Ia juga tidak bisa menggunakan jubah dengan pantas. Namun biksu yang lain membiarkannya begitu saja dan berterima kasih kepadanya karena telah mengajarkan mereka untuk bersabar.
Suatu hari, segerombolan bandit menemukan gua tersebut. Gua itu sangat terpencil, sangat tersembunyi, sehingga mereka ingin mengambil alih gua itu untuk dijadikan markas. Jidi mereka berniat untuk membunuh semua biksu tersebut. Akan tetapi, untunglah, biksu kepala sangat lihai berbicara membujuk orang. Dia berhasil--jangan tanya saya caranya--membujuk gerombolan bandit untuk membiarkan biksu-biksu itu pergi, kecuali satu orang sandera, yang akan dibunuh sebagai peringatan kepada biksu-biksu yang lain untuk tidak mengatakan lokasi gua itu kepada siapa pun. Itulah hasil terbaik yang bisa dinegosiasikan oleh biksu kepala.
Tatkala saya menceritakan kisah ini di depan publik, saya berhenti sebentar untuk bertanya pada hadirin, "Baiklah, menurut Anda, siapakah yang akan dipilih oleh biksu kepala?" Pertanyaan ini biasanya bisa menyegarkan hadirin yang terkantuk-kantuk dalam ceramah saya dan membangunkan mereka yang sudah tertidur. Saya mengingatkan mereka bahwa da biksu kepala, adiknya, sahabatnya, musuhnya, biksu tua dan bisu yang sakit (dua-duanya sudah mau mati), serta biksu yang tidak berguna. Menurut Anda, siapa yang akan dipilihnya?
Sebagian menyarankan si musuh saja, "Bukan," kata saya. "Saudaranya?" "Salah."
Biksu yang tak berguna selalu saja disebutkan--tega nian kita! Setewlah cukup menikmati jawaban-jawaban itu, saya beberkan jawabannya: biksu kepala tak mampu memilih.
Cinta kasihnya kepada adiknya sama persis besarnya, tidak lebih atau tidak kurang, dengan cinta kasihnya kepada sahabatnya, juga persis dengan cinta kasihnya kepada musuhnya, kepada biksu tua, biksu yang sakit, bahkan kepada biksu yang tak berguna itu. Dia telah menyempurnakan arti kata-kata itu: pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan, siapa pun kamu.
Pintu hati biksu kepala terbuka lebar untuk semua, tanpa syarat, tanpa pandang bulu, cinta kasih yang mengalir bebas. Dan yang paling penting, cinta kasihnya kepada orang lain sama besarnya dengan cinta kasihnya pada dirinya sendiri. Pintu hatinya juga terbuka untuk dirinya sendiri. Itulah mengapa dia tak mampu memilih antara dirinya sediri dan yang lain-lain.
Saya mengingatkan orang Yahudi-Kristiani di antara hadirin saya bahwa kitab mereka mengajarkan untuk "cintailah tetanggamu seperti engkau mencintai dirimu sendiri." Tidak lebih dari dirimu sendiri dan tidak kuarang dari dirimu sendiri, namun setara dengan dirimu sendiri. Itu berarti memperlakukan orang lain seperti halnya kita memperlakukan diri sendiri dan memperlakukan diri sendiri seperti halnya kita memperlakukan orang lain.
Mengapa kebanyakan hadirin berpikir bahwa biksu kepala akan mengorbankan dirinya sendiri untuk dibunuh? Mengapa, dalam budaya kita, kita selalu mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan menganggap hal itu sebagai kebaikan? Mengapa kita lebih menuntut, lebih kritis, dan menghukum diri sendiri lebih dari siapa pun? Alasannya cuma satu: kita belum belajar bagaimana mencintai diri sendiri. Jika Anda merasa sulit untuk berkata kepada orang lain "pintu hatiku terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," akan jauh lebih sulit untuk mengatakannya kepada diri sendiri, "Aku. Orang yang begitu dekat, kalau nggak salah ingat. Diriku. Pintu hatiku juga akan selalu terbuka untuk diriku sendiri. Aku ini, tak peduli apa pun yang telah kulakukan. Ayo masuk!"
Itulah yang saya maksud dengan mencintai diri kita sendiri: ini dinamakan pemaafan. Melangkah keluar dari penjara rasa bersalah; berdamai dengan diri sendiri. Dan jika Anda punya nyali untuk mengatakan kata-kata itu kepada diri Anda sendiri, dengan sejujurnya, dari relung hati yang terdalam, maka Anda akan menyongsong ke depan, bukannya mundur, untuk menemukan cinta kasih yang luhur. Suatu hari, kita semua harus mengatakan kata-kata itu, atau yang semacamnya, kepada diri kita sendiri, dengan sejujurnya, bukan hanya main-main. Saat kita melakukannya, itu seakan-akan seperti memanggil pulang bagian diri kita yang telah lama terusir, hidup membeku di luar sana. Kita merasa tersatukan, utuh, dan lepas untuk bahagia. Hanya ketika kita bisa mencintai diri sendiri dengan cara begitu, barulah kita benar-benar mengerti bagaimana mencintai orang lain, tidak lebih dan tidak kurang.
Dan harap diingat, Anda tidak perlu menjadi sempurna terlebih dahulu, tanpa kesalahan, untuk memberikan cinta Anda kepada diri sendiri. Jika Anda harus menunggu kesempurnaan, itu tidak akan tiba. Kita harus membuka pintu hati kita kepada diri kita sendiri, apa pun yang telah kita lakukan. Begitu kita berada di dalamnya, sempurnalah kita.
Orang sering bertanya kepada saya, apa yang terjadi dengan ketujuh biksu tersebut sewaktu biksu kepala mengatakan kepada para bandit bahwa dia tidak mampu memilih.
Kisah ini, seperti yang saya dengar beberapa tahun silam, tidak mengisahkan kelanjutannya: ceritanya berhenti sampai di situ! Namun saya tahu apa yang terjadi kemudian; saya mereka-reka apa yang semestinya terjadi. Ketika biksu kepala menjelaskan kepada para bandit kenapa dia tidak mampu memilih antara dirinya sendiri dan yang lain, dan menjelaskan arti cinta kasih dan arti pemaafan seperti saya jelaskan kepada Anda tadi, maka semua bandit menjadi sangat terkesan dan terinspirasi, sehingga tidak hanya mereka melepaskan semua biksu itu, namun mereka juga bertaobat dan menjadi biksu.
Pernikahan
Sejak saya menjadi seorang biksu selibat, saya telah menikahkan banyak pasangan. Sebagian dari tugas sebagai biksu adalah menyelenggarakan bagian keagamaan dari upacara pernikahan umat Buddha. Menurut tradisi Buddhis yang saya anut, seorang umat Buddha awam adalah petugas penyelenggara upacara pernikahan yang sah, tetapi banyak pasangan menganggap sayalah yang menikahkan mereka. Jadi, saya telah menikahkan banyak perempuan dan pria.
Konon, ada tiga cincin dalam suatu pernikahan : cincin pertunangan (engagement ring), Cincin pernikahan (wedding ring), dan cincin derita ( Suffer ring).
Jadi, adanya masalah sudah bukan kejutan. Ketika ada masalah, orang-orang yang saya nikahkan sering datang untuk berkonsultasi kepada saya. Sebagai biksu yang menyukai kehidupan sederhana, saya menyertakan tiga kisah berikut ini dalam pelayanan pernikahan yang saya lakukan, dnegan harapan kami bertiga jauh dari masalah selama mungkin.
Sejak saya menjadi seorang biksu selibat, saya telah menikahkan banyak pasangan. Sebagian dari tugas sebagai biksu adalah menyelenggarakan bagian keagamaan dari upacara pernikahan umat Buddha. Menurut tradisi Buddhis yang saya anut, seorang umat Buddha awam adalah petugas penyelenggara upacara pernikahan yang sah, tetapi banyak pasangan menganggap sayalah yang menikahkan mereka. Jadi, saya telah menikahkan banyak perempuan dan pria.
Konon, ada tiga cincin dalam suatu pernikahan : cincin pertunangan (engagement ring), Cincin pernikahan (wedding ring), dan cincin derita ( Suffer ring).
Jadi, adanya masalah sudah bukan kejutan. Ketika ada masalah, orang-orang yang saya nikahkan sering datang untuk berkonsultasi kepada saya. Sebagai biksu yang menyukai kehidupan sederhana, saya menyertakan tiga kisah berikut ini dalam pelayanan pernikahan yang saya lakukan, dnegan harapan kami bertiga jauh dari masalah selama mungkin.
Komitmen
Pandangan saya mengenai hubungan dan pernikahan adalah sebagai berikut:
ketika suatu pasangan berpacaran, mereka sekadar terlibat,
saat mereka bertunangan, mereka tetap saja hanya terlibat
mungkin lebih mendalam; ketika mereka menyatakan sumpah pernikahan, itulah yang di sebut komitmen
makna dari upacara pernikahan adalah komitmen
selama upacara pernikahan, untuk menekankan makna pernikahan dengan cara yang akan di ingat seumur hidup
saya menjelaskan tentang perbedaan antara keterlibatan dan komitmen
sama dengan perbedaan antara telur dengan bacon (daging babi asap)
Pada saat inilah
para ipar dan teman - teaman mempelai mulai memberikan perhatiaannya.
mereka mulai bertanya - tanya "lho apa hubungan telor dan bacon dengan pernikahan?"
Saya melanjutkan,"Dengan telur, si ayam cuma terlibat saja;
sedangkan dengan bacon, si babi berkomitmen penuh.
semoga pernikahan ini menjadi sebuah pernikahan babi."
Ayam dan Bebek
Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan: “Kuek ! Kuek !”
“Dengar, itu pasti suara ayam”, kata si istri.
“Bukan, bukan. Itu suara bebek, “kata si suami.
“Nggak, aku yakin itu ayam,” si istri bersikeras.
“Mustahil. Suara yam itu ‘kukuruyuuuuk !’, bebek itu ‘kuek ! kuek !. Itu bebek, sayang “, kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
“Kuek ! kuek !” terdengar lagi.
“Nah, tuh ! Itu suara bebek, “ kata si suami.
“Bukan, sayang. Itu ayam. Aku yakin betul,” tanda si istri sembari menghentakkan kaki.
“Dengar ya ! Itu a…da…lah…. Be…bek. B-E-B-E-K. Bebek ! Mengerti ?” si suami berkata dengan gusar.
“Tapi itu ayam”, masih saja si istri bersikeras.
“Itu jelas-jelas bue..bebek, kamu…kamu….” (terdengar lagi suara “Kuek ! Kuek !” sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya.)
Si istri sudah hampir menangis, “Tapi itu ayam…. “
Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”
“Terima kasih, sayang, “ kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
“Kuek ! Kuek !”, terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.
Maksud dari cerita di atas bahwa si suami akhirnya sadar adalah siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam indah itu. Berapa banyak hubungan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”?
Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin , amat sangat mantap, mutlak bahwa kita itu benar, namun belakangan ternyata kita salah. Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!
Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan: “Kuek ! Kuek !”
“Dengar, itu pasti suara ayam”, kata si istri.
“Bukan, bukan. Itu suara bebek, “kata si suami.
“Nggak, aku yakin itu ayam,” si istri bersikeras.
“Mustahil. Suara yam itu ‘kukuruyuuuuk !’, bebek itu ‘kuek ! kuek !. Itu bebek, sayang “, kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.
“Kuek ! kuek !” terdengar lagi.
“Nah, tuh ! Itu suara bebek, “ kata si suami.
“Bukan, sayang. Itu ayam. Aku yakin betul,” tanda si istri sembari menghentakkan kaki.
“Dengar ya ! Itu a…da…lah…. Be…bek. B-E-B-E-K. Bebek ! Mengerti ?” si suami berkata dengan gusar.
“Tapi itu ayam”, masih saja si istri bersikeras.
“Itu jelas-jelas bue..bebek, kamu…kamu….” (terdengar lagi suara “Kuek ! Kuek !” sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tak dikatakannya.)
Si istri sudah hampir menangis, “Tapi itu ayam…. “
Si suami melihat air mata yang mengambang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya ingat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, “Maafkan aku, sayang. Kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok.”
“Terima kasih, sayang, “ kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.
“Kuek ! Kuek !”, terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cinta.
Maksud dari cerita di atas bahwa si suami akhirnya sadar adalah siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam indah itu. Berapa banyak hubungan yang hancur hanya gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal “ayam atau bebek”?
Ketika kita memahami cerita tersebut, kita akan ingat apa yang menjadi prioritas kita. Pernikahan jauh lebih penting ketimbang mencari siapa yang benar tentang apakah itu ayam atau bebek. Lagi pula, betapa sering kita merasa yakin , amat sangat mantap, mutlak bahwa kita itu benar, namun belakangan ternyata kita salah. Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetik sehingga bersuara seperti bebek!
Mensyukuri Kekurangan
Seusai sebuah upacara pernikahan di Singapura, beberapa tahun yang lalu, sang ayah mertua memanggil menantu barunya kepojok untuk memberinya nasihat tentang bagaimana agar pernikahannya awet dan bahagia.
''Kamu mungkin sangat mencintai anak saya'' katanya kepada si pemuda.
''Ya, iyaaa doong......'' desah si pemuda.
''Dan kamu mingkin berpikir dialah perempuan paling hebat di dunia,'' sambung si mertua.
''Dan begitu sempurna dalam segala hal,'' si menantu mengiyakan dengan nada kurang sabar.
''Itulah yang kamu rasakan sewaktu baru menikah,'' kata si mertua.
''Namun setelah beberapa tahun, kamu akan mulai melihat kekurangan-kekurangan anak saya.
Saat kamu mulai menyadarinya, saya ingin kamu ingat ini ; Jika dia tidak mempunyai kekurangan itu, Menantuku, dia mungkin sudah menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik dari kamu''.
Jadi kita harus selalu bersyukur atas kekurangan -kekurangan pasangan kita, karena jika sedari awal mereka tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu, mereka sudah akan menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Seusai sebuah upacara pernikahan di Singapura, beberapa tahun yang lalu, sang ayah mertua memanggil menantu barunya kepojok untuk memberinya nasihat tentang bagaimana agar pernikahannya awet dan bahagia.
''Kamu mungkin sangat mencintai anak saya'' katanya kepada si pemuda.
''Ya, iyaaa doong......'' desah si pemuda.
''Dan kamu mingkin berpikir dialah perempuan paling hebat di dunia,'' sambung si mertua.
''Dan begitu sempurna dalam segala hal,'' si menantu mengiyakan dengan nada kurang sabar.
''Itulah yang kamu rasakan sewaktu baru menikah,'' kata si mertua.
''Namun setelah beberapa tahun, kamu akan mulai melihat kekurangan-kekurangan anak saya.
Saat kamu mulai menyadarinya, saya ingin kamu ingat ini ; Jika dia tidak mempunyai kekurangan itu, Menantuku, dia mungkin sudah menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik dari kamu''.
Jadi kita harus selalu bersyukur atas kekurangan -kekurangan pasangan kita, karena jika sedari awal mereka tidak memiliki kekurangan-kekurangan itu, mereka sudah akan menikah dengan orang lain yang jauh lebih baik daripada kita.
Kasmaran
Saat kita sedang mabuk cinta, kita hanya melihat “bata bagus” di tembok pasangan kita. Itulah yang ingin kita lihat, jadi itulah yang kita lihat. Kita ini suka menyangkal. Pada kemudian hari, ketika kita menghadap pengacara untuk mengurus perceraian, kita hanya melihat “bata jelek” di tembok pasangan kita. Kita terbutakan oleh sifat-sifat yang tidak kita sukai. Kita tidak ingin melihat itu, jadi kita tidak melihatnya. Lagi-lagi kita menyangkal.
Apa sebabnya kasmaran dapat terjadi di keremangan cahaya klab malam, atau di keintiman makan malam dengan cahaya lilin, atau pada suatu malam di bawah sinar rembulan? Itu karena, pada situasi-situasi tersebut, Anda tak dapat melihat jelas jerawatnya, atau gigi palsunya. Dan di bawah remang cahaya, khayalan kita terbang bebas mengkhayalkan wanita di hadapan Anda sebagai supermodel, atau pria itu kelihatannya seperti bintang film. Kita ini menyukai fantasi, dan kita berfantasi dalam bercinta. Setidaknya kita jadi tahu apa yang kita lakukan.
Para bhikkhu tidak ada dalam percintaan bercahaya lilin, tetapi mereka menyalakan cahaya realita. Jika Anda ingin bermimpi, jangan mengunjungi vihara. Pada tahun pertama saya sebagai bhikkhu di Thailand timur laut, saya bepergian dengan mobil, duduk di belakang bersama seorang samanera (bakal bhikkhu) dan seorang bhikkhu Barat, beserta Ajahn Chah, guru saya, yang duduk di samping sopir. Ajahn Chah tiba-tiba menoleh ke belakang, memandang ke samanera Amerika yang duduk di sebelah saya, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Thai. Si bhikkhu ketiga yang fasih berbahasa Thai lantas menerjemahkan perkataan Ajahn Chah, “Ajahn Chah bilang bahwa kamu sedang memikirkan pacarmu di L.A. sana.”
Rahang si samanera muda seolah copot ke lantai mobil saking kagetnya. Ajahn Chah telah membaca pikirannya dengan akurat. Ajahn Chah tersenyum, dan kata-kata berikutnya diterjemahkan sebagai, “Jangan khawatir. Kita bisa mengatasi itu. Lain kali kalau kamu menulis surat kepada si dia, mintalah dia mengirimkan sesuatu yang pribadi buatmu, sesuatu yang paling erat berkaitan dengannya, yang bisa kamu bawa-bawa ketika kamu rindu kepadanya, untuk mengingatkan kamu akan dirinya.”
“Apa itu boleh bagi seorang bhikkhu?” tanya sang samanera dengan terkejut.
“Tentu saja,” kata Ajahn Chah.
Barangkali para bhikkhu memahami soal percintaan setelah ini.
Apa yang dikatakan oleh Ajahn Chah berikutnya memerlukan waktu yang lama untuk diterjemahkan, sebab si penerjemah harus menghentikan tawa dan menenangkan dirinya dulu.
“Ajahn Chah bilang…” si penerjemah berjuang menahan tawa untuk mengeluarkan kata-kata berikut, sembari menghapus air mata geli dari matanya. “Ajahn Chah bilang kamu harus minta si dia untuk mengirimkan sebotol tahinya. Lalu kapan pun kamu merasa kangen dengannya, kamu bisa mengambil dan membuka botol itu!”
Ya, itu kan sesuatu yang pribadi. Dan saat kita mengungkapkan cinta kepada pasangan kita, bukankah kita sering mengatakan bahwa kita mencintai segala sesuatu dari dirinya? Nasihat yang sama juga berlaku bagi seorang biarawati yang kangen pada cowoknya.
Sudah saya katakan, jika Anda menginginkan fantasi asmara, minggat saja dari vihara kami.
Saat kita sedang mabuk cinta, kita hanya melihat “bata bagus” di tembok pasangan kita. Itulah yang ingin kita lihat, jadi itulah yang kita lihat. Kita ini suka menyangkal. Pada kemudian hari, ketika kita menghadap pengacara untuk mengurus perceraian, kita hanya melihat “bata jelek” di tembok pasangan kita. Kita terbutakan oleh sifat-sifat yang tidak kita sukai. Kita tidak ingin melihat itu, jadi kita tidak melihatnya. Lagi-lagi kita menyangkal.
Apa sebabnya kasmaran dapat terjadi di keremangan cahaya klab malam, atau di keintiman makan malam dengan cahaya lilin, atau pada suatu malam di bawah sinar rembulan? Itu karena, pada situasi-situasi tersebut, Anda tak dapat melihat jelas jerawatnya, atau gigi palsunya. Dan di bawah remang cahaya, khayalan kita terbang bebas mengkhayalkan wanita di hadapan Anda sebagai supermodel, atau pria itu kelihatannya seperti bintang film. Kita ini menyukai fantasi, dan kita berfantasi dalam bercinta. Setidaknya kita jadi tahu apa yang kita lakukan.
Para bhikkhu tidak ada dalam percintaan bercahaya lilin, tetapi mereka menyalakan cahaya realita. Jika Anda ingin bermimpi, jangan mengunjungi vihara. Pada tahun pertama saya sebagai bhikkhu di Thailand timur laut, saya bepergian dengan mobil, duduk di belakang bersama seorang samanera (bakal bhikkhu) dan seorang bhikkhu Barat, beserta Ajahn Chah, guru saya, yang duduk di samping sopir. Ajahn Chah tiba-tiba menoleh ke belakang, memandang ke samanera Amerika yang duduk di sebelah saya, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Thai. Si bhikkhu ketiga yang fasih berbahasa Thai lantas menerjemahkan perkataan Ajahn Chah, “Ajahn Chah bilang bahwa kamu sedang memikirkan pacarmu di L.A. sana.”
Rahang si samanera muda seolah copot ke lantai mobil saking kagetnya. Ajahn Chah telah membaca pikirannya dengan akurat. Ajahn Chah tersenyum, dan kata-kata berikutnya diterjemahkan sebagai, “Jangan khawatir. Kita bisa mengatasi itu. Lain kali kalau kamu menulis surat kepada si dia, mintalah dia mengirimkan sesuatu yang pribadi buatmu, sesuatu yang paling erat berkaitan dengannya, yang bisa kamu bawa-bawa ketika kamu rindu kepadanya, untuk mengingatkan kamu akan dirinya.”
“Apa itu boleh bagi seorang bhikkhu?” tanya sang samanera dengan terkejut.
“Tentu saja,” kata Ajahn Chah.
Barangkali para bhikkhu memahami soal percintaan setelah ini.
Apa yang dikatakan oleh Ajahn Chah berikutnya memerlukan waktu yang lama untuk diterjemahkan, sebab si penerjemah harus menghentikan tawa dan menenangkan dirinya dulu.
“Ajahn Chah bilang…” si penerjemah berjuang menahan tawa untuk mengeluarkan kata-kata berikut, sembari menghapus air mata geli dari matanya. “Ajahn Chah bilang kamu harus minta si dia untuk mengirimkan sebotol tahinya. Lalu kapan pun kamu merasa kangen dengannya, kamu bisa mengambil dan membuka botol itu!”
Ya, itu kan sesuatu yang pribadi. Dan saat kita mengungkapkan cinta kepada pasangan kita, bukankah kita sering mengatakan bahwa kita mencintai segala sesuatu dari dirinya? Nasihat yang sama juga berlaku bagi seorang biarawati yang kangen pada cowoknya.
Sudah saya katakan, jika Anda menginginkan fantasi asmara, minggat saja dari vihara kami.
CINTA SEJATI
Masalah dalam percintaan dimulai saat buyarnya fantasi, kekecewaan bisa sangat menyakiti kita. Pada cinta asmara, kita tidak benar-benar mencintai pasangan kita, kita hanya mencintai cara mereka yang membuat kita tersentuh.Yang kita cintai adalah "sengatan" yang kita rasakan dalam kehadiran mereka. Itulah sebabnya, ketika mereka tak ada, kita merindukannya dan meminta dikirimi sebotol... (lihat cerita sebelumnya). Seperti "sengatan" lainnya, tak berapa lama ini pun akan berlalu.
Cinta sejati adalah cinta yang tak mementingkan diri sendiri. Kita hanya peduli kepada orang lain. Kita berkata kepada mereka, "Pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," dan kita bersungguh-sungguh dengan perkataan itu. Kita hanya ingin mereka bahagia. Cinta sejati itu langka.
Banyak dari kita suka berpikir bahwa hubungan istimewa kita adalah cinta sejati, bukan cinta asmara. Berikut ini adalah sebuah tes untuk menilai cinta Anda termasukjenis yang mana.
Pikirkanlah pasangan Anda. Bayangkan wajahnya di benak Anda. Kenanglah hari Anda bertemu dengannya dan saat-saat indah bersamanya. Sekarang bayangkan Anda menerima sepucuk surat dari pasangan Anda. Surat itu memberitahukan Anda bahwa si dia telah jatuh hati kepada sahabat Anda, dan mereka telah pergi untuk hidup bersama. Bagaimana perasaan Anda?
Jika cinta Anda adalah cinta sejati, Anda akan begitu tergetar bahwa pasangan Anda telah menernukan orang yang lebih baik dari diri Anda, dan dia bahkan sekarang lebih berbahagia. Anda akan merasa gembira karena pasangan dan sahabat Anda dapat berbagi hidup bersama-sama. Anda akan sangat gembira karena mereka saling mencintai. Bukankah kebahagiaan pasangan Anda adalah hal yang terpenting dalam cinta sejati Anda?
Cinta sejati itu langka.
Seorang ratu tengah melihat keluar dari jendela istananya ke arah Buddha yang sedang berjalan untuk menerima dana makanan di kota. Raja melihatnya dan menjadi cemburu terhadap kesetiaan sang ratu kepada Sang Petapa Agung. Dia memarahi sang ratu dan menuntut untuk tahu siapa yang lebih dicintai sang ratu, Buddha atau suaminya. Sang ratu adalah pengikut Buddha yang setia, tetapi pada saat itu Anda harus sangat hati-hati jika suami Anda adalah seorang raja. Hilang kepala berarti hilang kepala betulan. Sang ratu ingin menjaga kepalanya tetap utuh, maka dia menjawab dengan kejujuran yang tak terbantahkan, "Saya mencintai diri saya lebih dari Anda semua!"
Masalah dalam percintaan dimulai saat buyarnya fantasi, kekecewaan bisa sangat menyakiti kita. Pada cinta asmara, kita tidak benar-benar mencintai pasangan kita, kita hanya mencintai cara mereka yang membuat kita tersentuh.Yang kita cintai adalah "sengatan" yang kita rasakan dalam kehadiran mereka. Itulah sebabnya, ketika mereka tak ada, kita merindukannya dan meminta dikirimi sebotol... (lihat cerita sebelumnya). Seperti "sengatan" lainnya, tak berapa lama ini pun akan berlalu.
Cinta sejati adalah cinta yang tak mementingkan diri sendiri. Kita hanya peduli kepada orang lain. Kita berkata kepada mereka, "Pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan," dan kita bersungguh-sungguh dengan perkataan itu. Kita hanya ingin mereka bahagia. Cinta sejati itu langka.
Banyak dari kita suka berpikir bahwa hubungan istimewa kita adalah cinta sejati, bukan cinta asmara. Berikut ini adalah sebuah tes untuk menilai cinta Anda termasukjenis yang mana.
Pikirkanlah pasangan Anda. Bayangkan wajahnya di benak Anda. Kenanglah hari Anda bertemu dengannya dan saat-saat indah bersamanya. Sekarang bayangkan Anda menerima sepucuk surat dari pasangan Anda. Surat itu memberitahukan Anda bahwa si dia telah jatuh hati kepada sahabat Anda, dan mereka telah pergi untuk hidup bersama. Bagaimana perasaan Anda?
Jika cinta Anda adalah cinta sejati, Anda akan begitu tergetar bahwa pasangan Anda telah menernukan orang yang lebih baik dari diri Anda, dan dia bahkan sekarang lebih berbahagia. Anda akan merasa gembira karena pasangan dan sahabat Anda dapat berbagi hidup bersama-sama. Anda akan sangat gembira karena mereka saling mencintai. Bukankah kebahagiaan pasangan Anda adalah hal yang terpenting dalam cinta sejati Anda?
Cinta sejati itu langka.
Seorang ratu tengah melihat keluar dari jendela istananya ke arah Buddha yang sedang berjalan untuk menerima dana makanan di kota. Raja melihatnya dan menjadi cemburu terhadap kesetiaan sang ratu kepada Sang Petapa Agung. Dia memarahi sang ratu dan menuntut untuk tahu siapa yang lebih dicintai sang ratu, Buddha atau suaminya. Sang ratu adalah pengikut Buddha yang setia, tetapi pada saat itu Anda harus sangat hati-hati jika suami Anda adalah seorang raja. Hilang kepala berarti hilang kepala betulan. Sang ratu ingin menjaga kepalanya tetap utuh, maka dia menjawab dengan kejujuran yang tak terbantahkan, "Saya mencintai diri saya lebih dari Anda semua!"
Rasa Takut dan Rasa Sakit
Bebas dari rasa takut
Jika rasa bersalah itu seperti memandang tembok bata masa lalu kita dan hanya melihat dua bata jelek saja, maka ketakutan adalah menerawang tembok bata masa depan kita dan hanya melihat apa yang bisa salah. Saat kita dibutakan oleh rasa takut, kita tak dapat melihat adanya kemungkinan bahwa bagian tembok lainnya bisa saja merupakan tembok yg sempurna. Rasa takut, karena itu, diatasi dengan melihat keseturuhan tembok, seperti pada kisah berikut yang terjadi di Singapura baru-baru ini.
Rangkaian empat ceramah saya telah diatur sejak beberapa bulan sebelumnya, sebuah auditorium besar dan mahal berkapasitas 2.500 tempat duduk yang terletak di pusat kota Singapura telah dipesan jauh-jauh hari, dan poster-poster telah dipajang di halte bis. Lalu datanglah wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Ketika saya tiba di Singapura, semua sekolah telah ditutup, apartemen dikarantina, dan pemerintah menganjurkan seluruh warga untuk menghindari pertemuan-pertemuan umum. Rasa takut melanda luas pada waktu itu. Saya ditanya, "Apa kita batal saja?"
Pada pagi itu juga, halaman depan surat kabar memberi peringatan dengan angka yang tercetak besar dan tebal bahwa ada 99 orang Singapura yang telah terjangkit SARS. Saya bertanya berapa jumlah penduduk Singapura pada saat itu.
Ternyata mendekati 4 juta jiwa. "Jadi," saya menyimpulkan, "itu berarti ada 3.999.901 orang Singapura yang tak terjangkit SARS. Ayo kita jalan terus."
"Tetapi bagaimana jika seseorang lalu terjangkit SARS?" si rasa takut berbisik.
"Tetapi bagaimana jika ternyata tidak?" kata si bijak. Dan si bijak didampingi oleh si kemungkinan.
Jadi acara ceramah itu jalan terus. Seribu lima ratus orang datang pada malam pertama dan jumlahnya terus meningkat hingga penuh sesak pada malam terakhir. Seluruhnya ada sekitar 8.000 orang yang datang ke rangkaian ceramah itu. Mereka belajar untuk melawan ketakutan yang tak masuk akal, dan itu akan memperkuat nyali mereka pada masa yang akan datang. Mereka menikmati ceramah itu dan pulang dengan bahagia, itu berarti sistem kekebalan tubuh mereka telah ditingkatkan. Dan seperti yang saya tekankan pada akhir setiap ceramah, karena mereka tertawa gara-gara cerita-cerita lucu saya, mereka telah melatih paru-paru mereka dan hal itu memperkuat sistem pernapasan mereka! Tentu saja, tak seorang pun dari para hadirin yang terjangkit SARS.
Masa depan penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas. Ketika kita terfokus pada kemungkinan yang tak menguntungkan, itulah yang disebut ketakutan. Bila kita berfokus pada kemungkinan sebaliknya, yang biasanya lebih disukai, itulah yang disebut bebas dari rasa takut.
Jika rasa bersalah itu seperti memandang tembok bata masa lalu kita dan hanya melihat dua bata jelek saja, maka ketakutan adalah menerawang tembok bata masa depan kita dan hanya melihat apa yang bisa salah. Saat kita dibutakan oleh rasa takut, kita tak dapat melihat adanya kemungkinan bahwa bagian tembok lainnya bisa saja merupakan tembok yg sempurna. Rasa takut, karena itu, diatasi dengan melihat keseturuhan tembok, seperti pada kisah berikut yang terjadi di Singapura baru-baru ini.
Rangkaian empat ceramah saya telah diatur sejak beberapa bulan sebelumnya, sebuah auditorium besar dan mahal berkapasitas 2.500 tempat duduk yang terletak di pusat kota Singapura telah dipesan jauh-jauh hari, dan poster-poster telah dipajang di halte bis. Lalu datanglah wabah SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Ketika saya tiba di Singapura, semua sekolah telah ditutup, apartemen dikarantina, dan pemerintah menganjurkan seluruh warga untuk menghindari pertemuan-pertemuan umum. Rasa takut melanda luas pada waktu itu. Saya ditanya, "Apa kita batal saja?"
Pada pagi itu juga, halaman depan surat kabar memberi peringatan dengan angka yang tercetak besar dan tebal bahwa ada 99 orang Singapura yang telah terjangkit SARS. Saya bertanya berapa jumlah penduduk Singapura pada saat itu.
Ternyata mendekati 4 juta jiwa. "Jadi," saya menyimpulkan, "itu berarti ada 3.999.901 orang Singapura yang tak terjangkit SARS. Ayo kita jalan terus."
"Tetapi bagaimana jika seseorang lalu terjangkit SARS?" si rasa takut berbisik.
"Tetapi bagaimana jika ternyata tidak?" kata si bijak. Dan si bijak didampingi oleh si kemungkinan.
Jadi acara ceramah itu jalan terus. Seribu lima ratus orang datang pada malam pertama dan jumlahnya terus meningkat hingga penuh sesak pada malam terakhir. Seluruhnya ada sekitar 8.000 orang yang datang ke rangkaian ceramah itu. Mereka belajar untuk melawan ketakutan yang tak masuk akal, dan itu akan memperkuat nyali mereka pada masa yang akan datang. Mereka menikmati ceramah itu dan pulang dengan bahagia, itu berarti sistem kekebalan tubuh mereka telah ditingkatkan. Dan seperti yang saya tekankan pada akhir setiap ceramah, karena mereka tertawa gara-gara cerita-cerita lucu saya, mereka telah melatih paru-paru mereka dan hal itu memperkuat sistem pernapasan mereka! Tentu saja, tak seorang pun dari para hadirin yang terjangkit SARS.
Masa depan penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas. Ketika kita terfokus pada kemungkinan yang tak menguntungkan, itulah yang disebut ketakutan. Bila kita berfokus pada kemungkinan sebaliknya, yang biasanya lebih disukai, itulah yang disebut bebas dari rasa takut.
MERAMAL MASA DEPAN
Banyak orang yang ingin mengetahui masa depan. Sebagian orang begitu tak sabarnya menanti apa yang akan terjadi, karena itu mereka mulai mencari jasa dukun dan peramal. Saya punya peringatan bagi Anda mengenai para peramal: jangan percaya pada peramal yang miskin!
Para bhikkhu yang berlatih meditasi dianggap sebagai peramal yang hebat, tetapi biasanya mereka tidak gampang diajak bekerja sama.
Suatu hari, seorang umat yang telah lama menjadi murid Ajahn Chah meminta sang guru besar untuk meramal masa depannya. Ajahn Chah menolak: bhikkhu yang baik tidak ramal- meramal. Tetapi si murid bersikukuh. Dia mengingatkan Ajahn Chah berapa kali dia sudah berdana makanan, berapa banyak dana yang telah dia sumbangkan untuk viharanya, dan bagaimana dia menyopiri Ajahn Chah dengan mobil dan biaya darinya, mengabaikan keluarga dan pekerjaannya sendiri. Ajahn Chah melihat bahwa orang itu terus bersikeras meminta untuk diramal, jadi dia berkata untuk sekali ini saja dia akan membuat perkecualian terhadap peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh meramal. "Mana tanganmu. Sini kulihat telapak tanganmu."
Si murid sangat senang. Ajahn Chah belum pernah membaca telapak tangan murid lainnya. Ini spesial. Lagi pula, Ajahn Chah dianggap sebagai orang suci yang punya kemampuan batin yang hebat. Apa pun yang dikatakan oleh Ajahn Chah akan terjadi, pasti akan terjadi.
Ajahn Chah menelusuri garis-garis telapak tangan si murid dengan jarinya. Setiap beberapa saat, dia bicara sendiri, "Ooh, ini menarik" atau "Ya, ya, ya" atau "Luar biasa". Si murid yang malang itu risau dalam penantian.
Ketika Ajahn Chah selesai, dia melepaskan tangan si murid dan berkata kepadanya, "Murid, berikut ini adalah keadaan masa depanmu."
"Ya, ya," kata si murid dengan cepat.
"Dan saya tak pernah salah," tambah Ajahn Chah.
"Saya tahu, saya tahu. Jadi, bagaimana nasib masa depan saya?" tanya si murid dengan penasaran memuncak.
"Masa depanmu akan tak pasti," kata Ajahn Chah. Dan dia tidak salah!
Banyak orang yang ingin mengetahui masa depan. Sebagian orang begitu tak sabarnya menanti apa yang akan terjadi, karena itu mereka mulai mencari jasa dukun dan peramal. Saya punya peringatan bagi Anda mengenai para peramal: jangan percaya pada peramal yang miskin!
Para bhikkhu yang berlatih meditasi dianggap sebagai peramal yang hebat, tetapi biasanya mereka tidak gampang diajak bekerja sama.
Suatu hari, seorang umat yang telah lama menjadi murid Ajahn Chah meminta sang guru besar untuk meramal masa depannya. Ajahn Chah menolak: bhikkhu yang baik tidak ramal- meramal. Tetapi si murid bersikukuh. Dia mengingatkan Ajahn Chah berapa kali dia sudah berdana makanan, berapa banyak dana yang telah dia sumbangkan untuk viharanya, dan bagaimana dia menyopiri Ajahn Chah dengan mobil dan biaya darinya, mengabaikan keluarga dan pekerjaannya sendiri. Ajahn Chah melihat bahwa orang itu terus bersikeras meminta untuk diramal, jadi dia berkata untuk sekali ini saja dia akan membuat perkecualian terhadap peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh meramal. "Mana tanganmu. Sini kulihat telapak tanganmu."
Si murid sangat senang. Ajahn Chah belum pernah membaca telapak tangan murid lainnya. Ini spesial. Lagi pula, Ajahn Chah dianggap sebagai orang suci yang punya kemampuan batin yang hebat. Apa pun yang dikatakan oleh Ajahn Chah akan terjadi, pasti akan terjadi.
Ajahn Chah menelusuri garis-garis telapak tangan si murid dengan jarinya. Setiap beberapa saat, dia bicara sendiri, "Ooh, ini menarik" atau "Ya, ya, ya" atau "Luar biasa". Si murid yang malang itu risau dalam penantian.
Ketika Ajahn Chah selesai, dia melepaskan tangan si murid dan berkata kepadanya, "Murid, berikut ini adalah keadaan masa depanmu."
"Ya, ya," kata si murid dengan cepat.
"Dan saya tak pernah salah," tambah Ajahn Chah.
"Saya tahu, saya tahu. Jadi, bagaimana nasib masa depan saya?" tanya si murid dengan penasaran memuncak.
"Masa depanmu akan tak pasti," kata Ajahn Chah. Dan dia tidak salah!
BERJUDI
Mengumpulkan uang itu sulit, tetapi menghabiskannya mudah dan cara termudah untuk kehilangan uang adalah dengan berjudi. Semua penjudi pada akhirnya adalah pecundang. Meskipun demikian, masih saja orang senang meramal masa depan dan berharap mendapatkan banyak uang dari berjudi. Saya menceritakan dua kisah berikut ini untuk menunjukkan betapa berbahayanya meramal masa depan itu, sekalipun kita mendapat pertanda.
Pada suatu pagi, seorang teman terbangun dari sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Dia bermimpi tentang lima malaikat yang memberinya lima buah kendi emas yang besar sebagai lambang keberuntungan. Ketika dia membuka matanya, para malaikat itu tak ada di kamar tidurnya, dan sialnya guci-guci emasnya juga tidak ada. Bagaimanapun, itu adalah mimpi yang sangat aneh.
Ketika dia pergi ke dapur, dia melihat istrinya telah membuatkan lima butir telur rebus dengan lima potong roti panggang untuk sarapannya. Di halaman depan koran pagi, dia mengamati tanggal hari itu, 5 Mei (bulan kelima). Hal-hal aneh terus berlanjut. Dia membalikkan lembaran koran ke halaman pacuan kuda. Dia tertegun melihat bahwa di Ascot (lima huruf), di balapan kelima, kuda nomor lima bernama... Lima Malaikat! Mimpi itu ternyata sebuah pertanda.
Dia mengambil cuti setengah hari. Dia menarik 5.000 dollar dari tabungannya di bank. Dia pergi ke arena pacuan kuda, ke bandar kelima, dan memasang taruhannya: 5.000 dollar untuk kuda nomor 5, balapan nomor 5, Lima Malaikat, untuk menang. Mimpi itu tak akan salah. Angka hoki 5 pasti tepat. Mimpinya ternyata memang tidak salah. Si kuda menyelesaikan balapan di urutan ke-5.
Kisah kedua terjadi di Singapura beberapa tahun yang lalu. Seorang pria Australia menikahi seorang gadis Cina cantik dari Singapura. Suatu ketika, saat mereka sedang mengunjungi keluarga di Singapura, datanglah ipar-iparnya mengajak pergi ke pacuan kuda. Dia setuju pergi bersama mereka.Tapi sebelum sampai di arena pacuan kuda, mereka singgah dulu di sebuah biara Buddhis terkenal untuk menyulut dupa dan bersembahyang agar beruntung. Saat mereka tiba, biara kecil itu dalam keadaan berantakan. Lantas mereka mengambil beberapa sapu, alat pengepel, dan air dan mulai membersihkan seluruh biara. Setelah itu barulah mereka menyulut dupa dan bersembahyang untulk memohon keberuntungan, lalu meluncur ke arena pacuan kuda. Akhirnya, mereka semua kalah besar.
Malam harinya, si Australia bermimpi pacuan kuda. Saat terbangun, dia dapat mengingat dengan sangat jelas nama kuda yang menjadi pemenang dalam mimpinya. Ketka dia membaca koran The Straits Times, ternyata kuda dengan nama itu memang ada, dan akan berlomba pada sore harinya. Dia lalu menelepon para iparnya untuk mengabarkan berita bagus itu. Namun para ipar tidak percaya bahwa dewa-dewa penjaga biara orang Singapura bersedia memberitahukan nama kuda pemenang kepada seorang bule, jadi mereka tak mempedulikan mimpi si bule. Si Australia lalu pergi ke arena pacuan kuda. Dia bertaruh besar pada kuda itu. Dan si kuda menang betulan.
Dewa-dewa biara Cina itu pasti menyukai orang Australia. lpar-iparnya hanya bisa ngomel-ngomel.
Mengumpulkan uang itu sulit, tetapi menghabiskannya mudah dan cara termudah untuk kehilangan uang adalah dengan berjudi. Semua penjudi pada akhirnya adalah pecundang. Meskipun demikian, masih saja orang senang meramal masa depan dan berharap mendapatkan banyak uang dari berjudi. Saya menceritakan dua kisah berikut ini untuk menunjukkan betapa berbahayanya meramal masa depan itu, sekalipun kita mendapat pertanda.
Pada suatu pagi, seorang teman terbangun dari sebuah mimpi yang terasa sangat nyata. Dia bermimpi tentang lima malaikat yang memberinya lima buah kendi emas yang besar sebagai lambang keberuntungan. Ketika dia membuka matanya, para malaikat itu tak ada di kamar tidurnya, dan sialnya guci-guci emasnya juga tidak ada. Bagaimanapun, itu adalah mimpi yang sangat aneh.
Ketika dia pergi ke dapur, dia melihat istrinya telah membuatkan lima butir telur rebus dengan lima potong roti panggang untuk sarapannya. Di halaman depan koran pagi, dia mengamati tanggal hari itu, 5 Mei (bulan kelima). Hal-hal aneh terus berlanjut. Dia membalikkan lembaran koran ke halaman pacuan kuda. Dia tertegun melihat bahwa di Ascot (lima huruf), di balapan kelima, kuda nomor lima bernama... Lima Malaikat! Mimpi itu ternyata sebuah pertanda.
Dia mengambil cuti setengah hari. Dia menarik 5.000 dollar dari tabungannya di bank. Dia pergi ke arena pacuan kuda, ke bandar kelima, dan memasang taruhannya: 5.000 dollar untuk kuda nomor 5, balapan nomor 5, Lima Malaikat, untuk menang. Mimpi itu tak akan salah. Angka hoki 5 pasti tepat. Mimpinya ternyata memang tidak salah. Si kuda menyelesaikan balapan di urutan ke-5.
Kisah kedua terjadi di Singapura beberapa tahun yang lalu. Seorang pria Australia menikahi seorang gadis Cina cantik dari Singapura. Suatu ketika, saat mereka sedang mengunjungi keluarga di Singapura, datanglah ipar-iparnya mengajak pergi ke pacuan kuda. Dia setuju pergi bersama mereka.Tapi sebelum sampai di arena pacuan kuda, mereka singgah dulu di sebuah biara Buddhis terkenal untuk menyulut dupa dan bersembahyang agar beruntung. Saat mereka tiba, biara kecil itu dalam keadaan berantakan. Lantas mereka mengambil beberapa sapu, alat pengepel, dan air dan mulai membersihkan seluruh biara. Setelah itu barulah mereka menyulut dupa dan bersembahyang untulk memohon keberuntungan, lalu meluncur ke arena pacuan kuda. Akhirnya, mereka semua kalah besar.
Malam harinya, si Australia bermimpi pacuan kuda. Saat terbangun, dia dapat mengingat dengan sangat jelas nama kuda yang menjadi pemenang dalam mimpinya. Ketka dia membaca koran The Straits Times, ternyata kuda dengan nama itu memang ada, dan akan berlomba pada sore harinya. Dia lalu menelepon para iparnya untuk mengabarkan berita bagus itu. Namun para ipar tidak percaya bahwa dewa-dewa penjaga biara orang Singapura bersedia memberitahukan nama kuda pemenang kepada seorang bule, jadi mereka tak mempedulikan mimpi si bule. Si Australia lalu pergi ke arena pacuan kuda. Dia bertaruh besar pada kuda itu. Dan si kuda menang betulan.
Dewa-dewa biara Cina itu pasti menyukai orang Australia. lpar-iparnya hanya bisa ngomel-ngomel.
APAKAH RASA TAKUT ITU?
Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja kita selalu ingat bahwa masa depan itu tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.
Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus pergi ke dokter gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu dengan dokter gigi, tetap saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir sendiri dengan tololnya. Saat tiba di tempat praktik dokter gigi, saya diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan. Saya belajar betapa sia-sianya rasa takut itu.
Rasa takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita tidak memakai kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa takut. Ada seorang samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut, namanya Si Belalang Kecil, seorang tokoh dari film seri kuno di televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu gemar sekali menonton film seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah, sebelum saya menjadi bhikkhu.
Suatu hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke ruangan di belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu terdapat kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru memperingati Si Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir kolam, karena kolam itu bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam yang sangat pekat.
"Tujuh hari lagi," Si Belalang diberi tahu, "kamu akan diuji. Kamu harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga keseimbangan di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati-hati! Kamu lihat kan tulang-belulang di dasar kolam itu?"
Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.
"Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu."
Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di sana, beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran hampir sama dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di atas tanah dengan disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh hari berikutnya Si Belalang Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk berlatih keseimbangan di atas papan itu.
Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun, menyeberangi papan di halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.
Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolarn asam itu. Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari dasar kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah gurunya. "Jalan!" perintah sang guru.
Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia mulai bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin terhuyung-huyung. Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam. Tiba-tiba film itu terpotong oleh iklan.
Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.
Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si Belalang mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah dengan gemetar, lalu oleng..., dia jatuh!
Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara Si Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air. Tulang-belulang tua itu telah ditaruh di dalam kolam sebagai "tipuan khusus". Mereka telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga jadi korban akal-akalan.
"Apa yang membuatmu jatuh?" tanya sang guru dengan serius. "Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa takut."
Rasa takut adalah mencari-cari kesalahan dengan masa depan. Jika saja kita selalu ingat bahwa masa depan itu tak pasti, kita tak akan pernah mencoba meramalkan apa yang bisa salah. Rasa takut berakhir saat ini juga.
Suatu hari, ketika saya masih kecil, saya begitu takut kalau harus pergi ke dokter gigi. Meskipun saya sudah bikin janji untuk bertemu dengan dokter gigi, tetap saja saya tak ingin pergi. Saya khawatir sendiri dengan tololnya. Saat tiba di tempat praktik dokter gigi, saya diberi tahu bahwa dokter giginya berhalangan. Saya belajar betapa sia-sianya rasa takut itu.
Rasa takut terlarut dalam ketidakpastian masa depan. Namun jika kita tidak memakai kebijaksanaan kita, kitalah yang akan dilarutkan oleh rasa takut. Ada seorang samanera cilik yang hampir terlarut oleh rasa takut, namanya Si Belalang Kecil, seorang tokoh dari film seri kuno di televisi yang berjudul Kung Fu. Saya dulu gemar sekali menonton film seri ini pada tahun terakhir sebagai guru sekolah, sebelum saya menjadi bhikkhu.
Suatu hari, gurunya yang buta mengajak Si Belalang Kecil ke ruangan di belakang biara, yang biasanya terkunci. Di dalam ruangan itu terdapat kolam selebar enam meter, dengan sebuah papan sempit sebagai jembatan yang menghubungkan sisi satu dengan sisi seberangnya. Sang guru memperingati Si Belalang Kecil untuk tidak dekat-dekat dengan pinggir kolam, karena kolam itu bukan berisi air, melainkan berisi larutan asam yang sangat pekat.
"Tujuh hari lagi," Si Belalang diberi tahu, "kamu akan diuji. Kamu harus berjalan menyeberangi kolam asam ini dengan menjaga keseimbangan di atas papan kayu yang sempit itu. Tapi hati-hati! Kamu lihat kan tulang-belulang di dasar kolam itu?"
Si Belalang melongok was-was melalui pinggir kolam, dan melihat banyak tulang-belulang di dasar kolam itu.
"Itu dulunya tulang samanera muda seperti kamu."
Sang guru lantas mengajak Si Belalang keluar dari ruangan yang mengerikan itu, menuju halaman biara yang diterangi sinar mentari. Di sana, beberapa bhikkhu senior telah memasang papan kayu dengan ukuran hampir sama dengan yang ada di kolam asam, hanya yang ini ditaruh di atas tanah dengan disangga oleh tumpukan dua batu bata. Selama tujuh hari berikutnya Si Belalang Kecil dibebaskan dari tugas-tugasnya untuk berlatih keseimbangan di atas papan itu.
Itu mudah. Dalam beberapa hari saja dia dapat berjalan dengan keseimbangan sempurna, dengan mata tertutup sekalipun, menyeberangi papan di halaman biara. Dan tibalah harinya ujian.
Si Belalang dibawa gurunya menuju ruangan dengan kolarn asam itu. Tulang-belulang para samanera yang jatuh tampak putih berkilauan dari dasar kolam. Si Belalang naik ke ujung papan dan menoleh ke arah gurunya. "Jalan!" perintah sang guru.
Papan di atas kolam asam itu ternyata lebih sempit dari papan di halaman kuil. Si Belalang mulai melangkah, tetapi langkahnya goyah; dia mulai bergoyang-goyang. Bahkan belum setengah jalan, dia semakin terhuyung-huyung. Kelihatannya dia akan segera tercebur ke larutan asam. Tiba-tiba film itu terpotong oleh iklan.
Saya harus bersabar dari iklan sialan itu, rasanya lama sekali mengkhawatirkan nasib Si Belalang Kecil yang malang itu.
Nah, pariwara selesai, kita kembali ke kolam asam, tampak Si Belalang mulai kehilangan rasa percaya dirinya. Saya melihat dia melangkah dengan gemetar, lalu oleng..., dia jatuh!
Guru tua yang buta tertawa terbahak-bahak ketika mendengar suara Si Belalang tercebur ke kolam. Itu bukan asam, itu cuma air. Tulang-belulang tua itu telah ditaruh di dalam kolam sebagai "tipuan khusus". Mereka telah mengakali Si Belalang Kecil, termasuk saya juga jadi korban akal-akalan.
"Apa yang membuatmu jatuh?" tanya sang guru dengan serius. "Rasa takutlah yang menjatuhkanmu, Belalang Kecil, hanya rasa takut."
TAKUT BERBICARA DI DEPAN UMUM
Saya diberi tahu bahwa salah satu rasa takut paling besar yang dirasakan orang adalah berbicara di depan umum. Saya harus sering berbicara di depan umum, di vihara-vihara, di konferensi, di upacara pernikahan dan pemakaman, di radio, dan bahkan di siaran langsung televisi. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan saya.
Saya ingat pada suatu peristiwa, lima menit menjelang saya memberikan ceramah, ketika rasa takut membanjiri saya. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk ceramah itu. Saya tak punya ide apa yang akan saya katakan. Sekitar tiga ratus orang sudah duduk di aula, berharap untuk dapat ilham. Mereka telah merelakan waktu malamnya untuk mendengarkan saya bicara. Saya mulai berpikir, “Bagaimana kalau saya tidak punya apa-apa untuk diomongkan? Bagaimana kalau saya salah omong? Bagaimana kalau saya tampak bego?”
Seluruh rasa takut dimulai dengan pikiran “bagaimana kalau” dan berlanjut dengan sesuatu yang membawa bencana. Saya telah menduga-duga apa yang akan terjadi, dan dengan cara yang negatif. Saya telah berlaku bodoh. Saya tahu saya telah berlaku bodoh; saya tahu semua teori, tetapi itu tidak jalan. Rasa takut terus bergulir. Saya berada dalam masalah.
Pada saat itulah saya mengerahkan sebuah trik, yang dalam istilah para bhikkhu disebut “cara-cara lihai”, yang dapat mengatasi rasa takut saya, dan terbukti ampuh sampai sekarang. Saya memutuskan masa bodoh pendengar saya menikmati ceramah saya atau tidak, asalkan saya sendiri menikmatinya. Saya memutuskan untuk bersenang-senang saja.
Sekarang, kapan saja saya memberikan ceramah, saya bersenang-senang saja. Saya bergembira-ria. Saya membawakan cerita-cerita lucu, sering saya sendiri jadi korban, dan tertawa bersama hadirin. Pada suatu siaran langsung radio di Singapura, saya bercerita tentang ramalan Ajahn Chah mengenai mata uang masa depan (warga Singapura tertarik dengan hal-hal yang berbau ekonomi).
Ajahn Chah meramalkan kelak ketika dunia kehabisan kertas dan logam untuk membuat uang, orang-orang harus mencari sesuatu yang lain untuk transaksi sehari-hari. la meramalkan bahwa mereka akan memakai butiran-butiran yang terbuat dari tahi ayam. Orang akan bepergian ke mana-mana dengan kantong penuh tahi ayam. Bank-bank akan penuh dengan benda itu dan para perampok akan mencoba mencurinya. Orang-orang kaya akan merasa begitu bangga dengan banyaknya tahi ayam yang mereka miliki dan orang-orang miskin akan bermimpi memenangkan lotere berhadiah segunduk tahi ayam.
Ketika jumlah tahi ayam yang beredar cukup besar, pemerintah akan mencermati betul-betul situasi tahi ayam di negaranya, isu-isu lingkungan dan sosial akan dikesampingkan dahulu.
Apakah perbedaan hakiki antara kertas, logam, dan tahi ayam? Tidak ada!
Saya menikmati menuturkan cerita, itu. Cerita itu mengandung pernyataan memprihatinkan mengenai budaya kita saat ini. Dan itu menggelikan.Warga Singapura senang mendengarkannya.
Saya jadi mengerti bahwa jika Anda memutuskan untuk bersenang-senang ketika harus berbicara di depan umum, Anda akan merasa santai. Secara psikologis, mustahil ada rasa takut dan kegembiraan pada saat yang sama. Saat saya santai, gagasan-gagasan mengalir dengan bebas dalam benak saya selama berceramah, lalu dengan fasihnya meluncur melalui mulut saya. Lagi pula, hadirin jadi tidak bosan kalau ceramahnya lucu.
Seorang bhikshu Tibet suatu ketika menjelaskan pentingnya membuat hadirin tertawa pada saat ceramah.
“Begitu mereka membuka mulut,” katanya, “Anda dapat melemparkan pil kebijaksanaan ke dalamnya.”
Saya tak pernah mempersiapkan ceramah saya. Alih-alih, saya mempersiapkan hati dan pikiran saya. Para bhikkhu di Thailand terlatih untuk tidak mempersiapkan ceramahnya, tetapi untuk selalu siap berceramah kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Saat itu adalah Magha Puja, hari raya Buddhis terpenting kedua di Thailand timur laut. Saya sedang berada di vihara Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, dengan sekitar dua ratus bhikkhu dan ribuan umat awam. Ajan Chah memang sangat terkenal; saat itu adalah tahun kelima saya sebagai bhikkhu.
Setelah kebaktian malam, tiba saatnya untuk ceramah utama. Dalam acara-acara besar, biasanya Ajahn Chah yang berceramah, tetapi tidak selatu.Terkadang ia akan menoleh ke barisan para bhikkhu dan, jika matanya berhenti pada Anda, berarti Anda dalam masalah. la akan meminta Anda memberikan ceramah. Sekalipun saya termasuk yang termuda di antara para bhikkhu, itu bukan jaminan bahwa saya tak akan dipilihnya, tak ada yang bisa menebak Ajahn Chah.
Ajahn Chah memandangi barisan para bhikkhu. Matanya tiba pada saya, tetapi lewat lagi. Diam-diam saya menghembuskan napas lega. Lalu sapuan matanya menelusur balik barisan para bhikkhu. Tebak, di mana ia berhenti?
“Brahm,” Ajahn Chah memerintahkan, “ayo berikan ceramah utama.”
Tak ada jalan keluar. Saya harus memberikan ceramah dadakan dalam bahasa Thai selama satu jam, di depan guru saya, rekan-rekan bhikkhu, dan ribuan umat awam. Tidak masalah apakah itu akan menjadi ceramah yang bagus atau tidak. Masalahnya, sayalah yang harus melakukannya.
Ajahn Chah tak pernah mengatakan apakah ceramah Anda bagus atau tidak. Bukan itu intinya. Suatu ketika ia meminta seorang bhikkhu Barat yang sangat mahir untuk memberikan ceramah kepada umat awam yang berkumpul di viharanya untuk kebaktian mingguan. Setelah satu jam, sang bhikkhu bermaksud untuk mengakhiri ceramahnya, tetapi Ajahn Chah mencegahnya dan menyuruh dia melanjutkan selama satu jam lagi. Itu berat. Sang bhikkhu masih mampu berceramah, dan setelah berjuang untuk jam keduanya dalam bahasa Thai, sang bhikkhu bermaksud menutup ceramahnya, tetapi seketika itu pula Ajahn Chah menyuruh dia untuk terus berceramah. Itu hal yang mustahil. Bhikkhu Barat biasanya tidak banyak tahu bahasa Thai. Anda hanya bisa mengulang-ulang. Para pendengar akan bosan. Tetapi tak ada pilihan lain. Pada akhir jam ketiga, sebagian besar hadirin sudah beranjak pergi, dan yang masih bertahan pun sibuk mengobrol dengan sesamanya. Bahkan para nyamuk dan cecak pun sudah pergi tidur. Pada akhir jam ketiga, Ajahn Chah menyuruhnya untuk berceramah sejam lagi! Sang bhikkhu Barat tetap patuh. Dia bercerita setelah pengalaman itu (ceramah itu berakhir juga setelah jam keempat), ketika Anda telah menyelami dalam-dalam respon hadirin, Anda tidak akan takut lagi berbicara di depan umum.
Begitulah kami dilatih oleh Ajahn Chah yang agung.
Saya diberi tahu bahwa salah satu rasa takut paling besar yang dirasakan orang adalah berbicara di depan umum. Saya harus sering berbicara di depan umum, di vihara-vihara, di konferensi, di upacara pernikahan dan pemakaman, di radio, dan bahkan di siaran langsung televisi. Semua itu adalah bagian dari pekerjaan saya.
Saya ingat pada suatu peristiwa, lima menit menjelang saya memberikan ceramah, ketika rasa takut membanjiri saya. Saya belum mempersiapkan apa pun untuk ceramah itu. Saya tak punya ide apa yang akan saya katakan. Sekitar tiga ratus orang sudah duduk di aula, berharap untuk dapat ilham. Mereka telah merelakan waktu malamnya untuk mendengarkan saya bicara. Saya mulai berpikir, “Bagaimana kalau saya tidak punya apa-apa untuk diomongkan? Bagaimana kalau saya salah omong? Bagaimana kalau saya tampak bego?”
Seluruh rasa takut dimulai dengan pikiran “bagaimana kalau” dan berlanjut dengan sesuatu yang membawa bencana. Saya telah menduga-duga apa yang akan terjadi, dan dengan cara yang negatif. Saya telah berlaku bodoh. Saya tahu saya telah berlaku bodoh; saya tahu semua teori, tetapi itu tidak jalan. Rasa takut terus bergulir. Saya berada dalam masalah.
Pada saat itulah saya mengerahkan sebuah trik, yang dalam istilah para bhikkhu disebut “cara-cara lihai”, yang dapat mengatasi rasa takut saya, dan terbukti ampuh sampai sekarang. Saya memutuskan masa bodoh pendengar saya menikmati ceramah saya atau tidak, asalkan saya sendiri menikmatinya. Saya memutuskan untuk bersenang-senang saja.
Sekarang, kapan saja saya memberikan ceramah, saya bersenang-senang saja. Saya bergembira-ria. Saya membawakan cerita-cerita lucu, sering saya sendiri jadi korban, dan tertawa bersama hadirin. Pada suatu siaran langsung radio di Singapura, saya bercerita tentang ramalan Ajahn Chah mengenai mata uang masa depan (warga Singapura tertarik dengan hal-hal yang berbau ekonomi).
Ajahn Chah meramalkan kelak ketika dunia kehabisan kertas dan logam untuk membuat uang, orang-orang harus mencari sesuatu yang lain untuk transaksi sehari-hari. la meramalkan bahwa mereka akan memakai butiran-butiran yang terbuat dari tahi ayam. Orang akan bepergian ke mana-mana dengan kantong penuh tahi ayam. Bank-bank akan penuh dengan benda itu dan para perampok akan mencoba mencurinya. Orang-orang kaya akan merasa begitu bangga dengan banyaknya tahi ayam yang mereka miliki dan orang-orang miskin akan bermimpi memenangkan lotere berhadiah segunduk tahi ayam.
Ketika jumlah tahi ayam yang beredar cukup besar, pemerintah akan mencermati betul-betul situasi tahi ayam di negaranya, isu-isu lingkungan dan sosial akan dikesampingkan dahulu.
Apakah perbedaan hakiki antara kertas, logam, dan tahi ayam? Tidak ada!
Saya menikmati menuturkan cerita, itu. Cerita itu mengandung pernyataan memprihatinkan mengenai budaya kita saat ini. Dan itu menggelikan.Warga Singapura senang mendengarkannya.
Saya jadi mengerti bahwa jika Anda memutuskan untuk bersenang-senang ketika harus berbicara di depan umum, Anda akan merasa santai. Secara psikologis, mustahil ada rasa takut dan kegembiraan pada saat yang sama. Saat saya santai, gagasan-gagasan mengalir dengan bebas dalam benak saya selama berceramah, lalu dengan fasihnya meluncur melalui mulut saya. Lagi pula, hadirin jadi tidak bosan kalau ceramahnya lucu.
Seorang bhikshu Tibet suatu ketika menjelaskan pentingnya membuat hadirin tertawa pada saat ceramah.
“Begitu mereka membuka mulut,” katanya, “Anda dapat melemparkan pil kebijaksanaan ke dalamnya.”
Saya tak pernah mempersiapkan ceramah saya. Alih-alih, saya mempersiapkan hati dan pikiran saya. Para bhikkhu di Thailand terlatih untuk tidak mempersiapkan ceramahnya, tetapi untuk selalu siap berceramah kapan saja, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Saat itu adalah Magha Puja, hari raya Buddhis terpenting kedua di Thailand timur laut. Saya sedang berada di vihara Ajahn Chah, Wat Nong Pah Pong, dengan sekitar dua ratus bhikkhu dan ribuan umat awam. Ajan Chah memang sangat terkenal; saat itu adalah tahun kelima saya sebagai bhikkhu.
Setelah kebaktian malam, tiba saatnya untuk ceramah utama. Dalam acara-acara besar, biasanya Ajahn Chah yang berceramah, tetapi tidak selatu.Terkadang ia akan menoleh ke barisan para bhikkhu dan, jika matanya berhenti pada Anda, berarti Anda dalam masalah. la akan meminta Anda memberikan ceramah. Sekalipun saya termasuk yang termuda di antara para bhikkhu, itu bukan jaminan bahwa saya tak akan dipilihnya, tak ada yang bisa menebak Ajahn Chah.
Ajahn Chah memandangi barisan para bhikkhu. Matanya tiba pada saya, tetapi lewat lagi. Diam-diam saya menghembuskan napas lega. Lalu sapuan matanya menelusur balik barisan para bhikkhu. Tebak, di mana ia berhenti?
“Brahm,” Ajahn Chah memerintahkan, “ayo berikan ceramah utama.”
Tak ada jalan keluar. Saya harus memberikan ceramah dadakan dalam bahasa Thai selama satu jam, di depan guru saya, rekan-rekan bhikkhu, dan ribuan umat awam. Tidak masalah apakah itu akan menjadi ceramah yang bagus atau tidak. Masalahnya, sayalah yang harus melakukannya.
Ajahn Chah tak pernah mengatakan apakah ceramah Anda bagus atau tidak. Bukan itu intinya. Suatu ketika ia meminta seorang bhikkhu Barat yang sangat mahir untuk memberikan ceramah kepada umat awam yang berkumpul di viharanya untuk kebaktian mingguan. Setelah satu jam, sang bhikkhu bermaksud untuk mengakhiri ceramahnya, tetapi Ajahn Chah mencegahnya dan menyuruh dia melanjutkan selama satu jam lagi. Itu berat. Sang bhikkhu masih mampu berceramah, dan setelah berjuang untuk jam keduanya dalam bahasa Thai, sang bhikkhu bermaksud menutup ceramahnya, tetapi seketika itu pula Ajahn Chah menyuruh dia untuk terus berceramah. Itu hal yang mustahil. Bhikkhu Barat biasanya tidak banyak tahu bahasa Thai. Anda hanya bisa mengulang-ulang. Para pendengar akan bosan. Tetapi tak ada pilihan lain. Pada akhir jam ketiga, sebagian besar hadirin sudah beranjak pergi, dan yang masih bertahan pun sibuk mengobrol dengan sesamanya. Bahkan para nyamuk dan cecak pun sudah pergi tidur. Pada akhir jam ketiga, Ajahn Chah menyuruhnya untuk berceramah sejam lagi! Sang bhikkhu Barat tetap patuh. Dia bercerita setelah pengalaman itu (ceramah itu berakhir juga setelah jam keempat), ketika Anda telah menyelami dalam-dalam respon hadirin, Anda tidak akan takut lagi berbicara di depan umum.
Begitulah kami dilatih oleh Ajahn Chah yang agung.
TAKUT SAKIT
Rasa takut adalah unsur utama rasa sakit. Rasa takut membuat rasa sakit tambah menyakitkan. Enyahkan rasa takut, maka perasaan sajalah yang tertinggal. Pada pertengahan tahun 70- an, di sebuah vihara hutan kecil yang terpencil di bagian timur laut Thailand, saya mengalami sakit gigi yang parah. Tidak ada dokter gigi, tidak ada telepon, dan tidak ada listrik. Kami bahkan tidak punya aspirin atau parasetamol di kotak obat. Bhikkhu hutan memang diharapkan dapat bertahan dalam keadaan seperti itu.
Petang harinya, seperti penyakit pada umumnya, sakit gigi saya menjadi makin parah saja. Saya merasa diri saya adalah seorang bhikkhu yang lumayan kuat, tetapi sakit gigi itu sedang menguji kekuatan saya. Satu sisi dari mulut saya terasa penuh dengan rasa sakit. Itu adalah sakit gigi terhebat yang pernah saya alami, atau barangkali yang pernah ada. Saya mencoba lari dari rasa sakit dengan melakukan meditasi pernapasan. Saya pernah belajar memusatkan pikiran pada napas sewaktu digigit nyamuk; kadang-kadang dengan berhitung sampai empat puluh pada saat yang sama, dan saya bisa mengatasinya. Namun rasa sakit ini benar-benar keterlaluan. Saya mengisi pikiran saya dengan sentuhan napas selama dua atau tiga detik, lalu rasa sakit itu kembali mendobrak pintu pikiran yang telah saya tutup dan meledak dengan kekuatan yang dahsyat.
Saya berdiri, keluar dan mencoba meditasi jalan. Tak lama kemudian saya menyerah lagi. Bukannya meditasi "dengan berjalan", tetapi saya meditasi "dengan berlari". Saya tidak dapat berjalan perlahan. Rasa sakit menguasai saya; membuat saya berlarian. Tapi mau kabur ke mana? Serasa dalam siksaan. Saya jadi gila.
Saya masuk kembali ke pondok, duduk, dan mulai menguncarkan paritta yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Paritta bisa membawa keberuntungan, menjauhkan binatang buas, dan menyembuhkan penyakit dan rasa sakitbegitulah kata orang. Saya tidak percaya. Saya adalah mantan ilmuwan. Paritta sakti adalah semacam bim-salabim, hanya untuk orang-orang yang lugu. Tapi sekarang saya mencoba membaca paritta, siapa tahu itu akan berhasil. Saya putus asa. Tak lama kemudian, saya berhenti membaca. Saya meneriakkan kata-kata parittanya karena saking sakitnya! Malam telah larut dan saya takut bhikkhu-bhikkhu yang lain terbangun. Teriakan saya bisa jadi telah membangunkan seluruh penduduk desa yang berkilo-kilo meter jauhnya! Kekuatan rasa sakit membuat saya tidak bisa menguncarkan paritta dengan normal.
Sendirian, ribuan mil dari negara asal saya, di hutan terpencil tanpa fasilitas apa pun, dalam rasa sakit yang tak tertahankan dan tiada henti. Saya sudah mencoba semua yang saya ketahui, semuanya. Tak tahu harus bagaimana lagi. Seperti itulah.
Sebuah momen keputusasaan kadang bisa membuka pintu kebijaksanaan, pintu yang tak terlihat dalam keadaan biasa. Pintu itu terbuka dan saya masuki. Sejujurnya, saya memang tidak punya pilihan.
Saya teringat dua kata singkat ini: "let go" (lepaskan). Saya sudah mendengar kata-kata ini berkali-kaii. Saya sudah menjelaskan maknanya kepada teman-teman saya. Saya pikir saya tahu apa artinya itu, ya begitulah gelap batin itu. Saya bersedia mencoba apa saja, jadi saya mencoba melepas, seratus persen lepas. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar melepas.
Apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Rasa sakit yang luar biasa tadi dengan cepat lenyap, digantikan oleh perasaaan yang sangat menyenangkan. Gelombang demi gelombang kenikmatan menggetarkan seluruh tubuh. Pikiran saya berdiam pada satu kedamaian yang dalam, begitu hening, begitu menyenangkan. Saya bermeditasi dengan mudah, tanpa kesulitan. Setelah bermeditasi, pada dini hari, saya berbaring untuk beristirahat. Saya tidur dengan nyenyak dan damai. Sewaktu terbangun, saya menyadari ada sakit gigi, tapi rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang semalam.
Rasa takut adalah unsur utama rasa sakit. Rasa takut membuat rasa sakit tambah menyakitkan. Enyahkan rasa takut, maka perasaan sajalah yang tertinggal. Pada pertengahan tahun 70- an, di sebuah vihara hutan kecil yang terpencil di bagian timur laut Thailand, saya mengalami sakit gigi yang parah. Tidak ada dokter gigi, tidak ada telepon, dan tidak ada listrik. Kami bahkan tidak punya aspirin atau parasetamol di kotak obat. Bhikkhu hutan memang diharapkan dapat bertahan dalam keadaan seperti itu.
Petang harinya, seperti penyakit pada umumnya, sakit gigi saya menjadi makin parah saja. Saya merasa diri saya adalah seorang bhikkhu yang lumayan kuat, tetapi sakit gigi itu sedang menguji kekuatan saya. Satu sisi dari mulut saya terasa penuh dengan rasa sakit. Itu adalah sakit gigi terhebat yang pernah saya alami, atau barangkali yang pernah ada. Saya mencoba lari dari rasa sakit dengan melakukan meditasi pernapasan. Saya pernah belajar memusatkan pikiran pada napas sewaktu digigit nyamuk; kadang-kadang dengan berhitung sampai empat puluh pada saat yang sama, dan saya bisa mengatasinya. Namun rasa sakit ini benar-benar keterlaluan. Saya mengisi pikiran saya dengan sentuhan napas selama dua atau tiga detik, lalu rasa sakit itu kembali mendobrak pintu pikiran yang telah saya tutup dan meledak dengan kekuatan yang dahsyat.
Saya berdiri, keluar dan mencoba meditasi jalan. Tak lama kemudian saya menyerah lagi. Bukannya meditasi "dengan berjalan", tetapi saya meditasi "dengan berlari". Saya tidak dapat berjalan perlahan. Rasa sakit menguasai saya; membuat saya berlarian. Tapi mau kabur ke mana? Serasa dalam siksaan. Saya jadi gila.
Saya masuk kembali ke pondok, duduk, dan mulai menguncarkan paritta yang dikatakan mempunyai kekuatan gaib. Paritta bisa membawa keberuntungan, menjauhkan binatang buas, dan menyembuhkan penyakit dan rasa sakitbegitulah kata orang. Saya tidak percaya. Saya adalah mantan ilmuwan. Paritta sakti adalah semacam bim-salabim, hanya untuk orang-orang yang lugu. Tapi sekarang saya mencoba membaca paritta, siapa tahu itu akan berhasil. Saya putus asa. Tak lama kemudian, saya berhenti membaca. Saya meneriakkan kata-kata parittanya karena saking sakitnya! Malam telah larut dan saya takut bhikkhu-bhikkhu yang lain terbangun. Teriakan saya bisa jadi telah membangunkan seluruh penduduk desa yang berkilo-kilo meter jauhnya! Kekuatan rasa sakit membuat saya tidak bisa menguncarkan paritta dengan normal.
Sendirian, ribuan mil dari negara asal saya, di hutan terpencil tanpa fasilitas apa pun, dalam rasa sakit yang tak tertahankan dan tiada henti. Saya sudah mencoba semua yang saya ketahui, semuanya. Tak tahu harus bagaimana lagi. Seperti itulah.
Sebuah momen keputusasaan kadang bisa membuka pintu kebijaksanaan, pintu yang tak terlihat dalam keadaan biasa. Pintu itu terbuka dan saya masuki. Sejujurnya, saya memang tidak punya pilihan.
Saya teringat dua kata singkat ini: "let go" (lepaskan). Saya sudah mendengar kata-kata ini berkali-kaii. Saya sudah menjelaskan maknanya kepada teman-teman saya. Saya pikir saya tahu apa artinya itu, ya begitulah gelap batin itu. Saya bersedia mencoba apa saja, jadi saya mencoba melepas, seratus persen lepas. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya benar-benar melepas.
Apa yang terjadi benar-benar mengejutkan. Rasa sakit yang luar biasa tadi dengan cepat lenyap, digantikan oleh perasaaan yang sangat menyenangkan. Gelombang demi gelombang kenikmatan menggetarkan seluruh tubuh. Pikiran saya berdiam pada satu kedamaian yang dalam, begitu hening, begitu menyenangkan. Saya bermeditasi dengan mudah, tanpa kesulitan. Setelah bermeditasi, pada dini hari, saya berbaring untuk beristirahat. Saya tidur dengan nyenyak dan damai. Sewaktu terbangun, saya menyadari ada sakit gigi, tapi rasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang semalam.
Biarlah rasa sakit berlalu
Dalam cerita sebelumnya, yang saya biarkan berlalu adalah rasa takut akan rasa sakit. Saya menyambut rasa sakit, mendekapnya, dan mengizinkannya. Karena itulah rasa sakit itu pergi.
Beberapa kawan saya yang menderita rasa sakit yang hebat telah mencoba metode ini dan tidak berhasil! Mereka mendatangi saya untuk mengadu, mengatakan bahwa sakit gigi yang saya derita tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang mereka derita. Itu tidak benar. Rasa sakit bersifat pribadi dan tidak dapat diukur. Saya menjelaskan kepada mereka mengapa metode "biarlah berlalu" tak berhasil pada kasus mereka dengan cerita tiga murid berikut ini.
Murid pertama, dalam rasa sakit yang hebat, mencoba untuk membiarkan berlalu.
"Berlalulah," bujuk mereka, dengan lembut, dan menanti. "Berlalulah!" ulang mereka ketika tak ada perubahan."Pergilah sana!" "Ayo, pergilah." "Aku bilang, pergilah!" "PERGILAH!"
Kita mungkin merasa itu lucu, tetapi itulah yang kita lakukan selama ini. Kita membiarkan pergi hal yang salah. Kita seharusnya membiarkan pergi orang yang berkata "berlalulah".
Kita semestinya membiarkan berlalu "si pengatur" yang ada dalam diri kita, dan kita semua tahu siapa itu. Membiarkan berlalu berarti "tak ada si pengatur".
Murid kedua, dalam rasa sakit yang mengerikan, ingat akan petuah di atas dan membiarkan berlalu pengendalinya. Lalu mereka duduk bersama rasa sakit, mengira mereka telah membiarkannya berlalu. Setelah sepuluh menit rasa sakit itu masih sama saja, jadi mereka mengeluhkan metode ini tidak jalan. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa metode membiarkan berlalu ini bukan metode untuk membebaskan diri dari rasa sakit, melainkan metode untuk bebas dari rasa sakit. Murid kedua telah mencoba untuk membuat kesepakatan dengan rasa sakit: "Aku akan membiarkan kamu selama sepuluh menit, dan setelah itu, hei kamu, rasa sakit, akan pergi. OK?"
Itu sih bukan membiarkan rasa sakit berlalu, tetapi mencoba untuk membebaskan diri dari rasa sakit.
Murid ketiga, dalam rasa sakit yang menakutkan, berkata kepada rasa sakit itu kata-kata seperti ini: "Sakit, pintu hatiku selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan. Masuklah "
Murid ketiga bersedia dengan sepenuh hati mengizinkan rasa sakit terus berlanjut selama yang diinginkannya, bahkan selama seumur hidup, bahkan membolehkan mereka bertambah parah. Mereka memberikan kebebasan bagi rasa sakit. Mereka berhenti mengendalikannya. Itulah yang disebut membiarkan berlalu. Apakah rasa sakit itu masih ada atau tidak, sama saja jadinya. Hanya dengan itulah, rasa sakit lenyap.
Dalam cerita sebelumnya, yang saya biarkan berlalu adalah rasa takut akan rasa sakit. Saya menyambut rasa sakit, mendekapnya, dan mengizinkannya. Karena itulah rasa sakit itu pergi.
Beberapa kawan saya yang menderita rasa sakit yang hebat telah mencoba metode ini dan tidak berhasil! Mereka mendatangi saya untuk mengadu, mengatakan bahwa sakit gigi yang saya derita tak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang mereka derita. Itu tidak benar. Rasa sakit bersifat pribadi dan tidak dapat diukur. Saya menjelaskan kepada mereka mengapa metode "biarlah berlalu" tak berhasil pada kasus mereka dengan cerita tiga murid berikut ini.
Murid pertama, dalam rasa sakit yang hebat, mencoba untuk membiarkan berlalu.
"Berlalulah," bujuk mereka, dengan lembut, dan menanti. "Berlalulah!" ulang mereka ketika tak ada perubahan."Pergilah sana!" "Ayo, pergilah." "Aku bilang, pergilah!" "PERGILAH!"
Kita mungkin merasa itu lucu, tetapi itulah yang kita lakukan selama ini. Kita membiarkan pergi hal yang salah. Kita seharusnya membiarkan pergi orang yang berkata "berlalulah".
Kita semestinya membiarkan berlalu "si pengatur" yang ada dalam diri kita, dan kita semua tahu siapa itu. Membiarkan berlalu berarti "tak ada si pengatur".
Murid kedua, dalam rasa sakit yang mengerikan, ingat akan petuah di atas dan membiarkan berlalu pengendalinya. Lalu mereka duduk bersama rasa sakit, mengira mereka telah membiarkannya berlalu. Setelah sepuluh menit rasa sakit itu masih sama saja, jadi mereka mengeluhkan metode ini tidak jalan. Saya menjelaskan kepada mereka bahwa metode membiarkan berlalu ini bukan metode untuk membebaskan diri dari rasa sakit, melainkan metode untuk bebas dari rasa sakit. Murid kedua telah mencoba untuk membuat kesepakatan dengan rasa sakit: "Aku akan membiarkan kamu selama sepuluh menit, dan setelah itu, hei kamu, rasa sakit, akan pergi. OK?"
Itu sih bukan membiarkan rasa sakit berlalu, tetapi mencoba untuk membebaskan diri dari rasa sakit.
Murid ketiga, dalam rasa sakit yang menakutkan, berkata kepada rasa sakit itu kata-kata seperti ini: "Sakit, pintu hatiku selalu terbuka untukmu, apa pun yang kamu lakukan. Masuklah "
Murid ketiga bersedia dengan sepenuh hati mengizinkan rasa sakit terus berlanjut selama yang diinginkannya, bahkan selama seumur hidup, bahkan membolehkan mereka bertambah parah. Mereka memberikan kebebasan bagi rasa sakit. Mereka berhenti mengendalikannya. Itulah yang disebut membiarkan berlalu. Apakah rasa sakit itu masih ada atau tidak, sama saja jadinya. Hanya dengan itulah, rasa sakit lenyap.
Cabut Gigi Sendiri
Seorang anggota komunitas kami mempunyai gigi yang sangat buruk. Dia perlu mencabut beberapa giginya, tetapi dia lebih suka melakukannya tanpa dibius. Akhirnya, dia menemukan seorang ahli bedah gigi yang bersedia mencabut giginya tanpa pembiusan. Dia telah ke sana beberapa kali, dan tak ada masalah.
Membiarkan gigi dicabut tanpa pembiusan oleh dokter gigi mungkin lumayan mengesankan, tetapi tokoh kita ini ternyata lebih mengesankan lagi. Dia berani mencabut sendiri giginya tanpa pembiusan.
Kami melihatnya, di luar bengkel vihara, dengan sebuah tang biasa, dia memegang gigi segar yang baru dicabutnya dan masih berlumur darah. Tak masalah: dia membersihkan darah dari tang itu sebelum mengembalikannya ke bengkel.
Saya bertanya kepadanya bagaimana dia melakukan hal itu. Apa yang dia katakan memberikan satu contoh lagi tentang rasa sakit sebagai faktor utama dari rasa takut.
Ketika saya memutuskan untuk mencabut sendiri gigi saya kok repot-repot ke dokter gigi segala itu tidak menyakitkan. Ketika saya berjalan menuju bengkel, itu tidak menyakitkan. Saat saya mengambil tang, itu tidak menyakitkan. Ketika saya menjepit gigi dengan tang, itu masih tidak menyakitkan. Ketika saya menggeliatkan tang dan mencabut giginya, itu baru menyakitkan, tetapi cuma beberapa detik saja. Saat gigi sudah tercabut, tak ada lagi rasa sakitnya. Rasa sakitnya hanya lima detik saja. Itu saja kok.
Seorang anggota komunitas kami mempunyai gigi yang sangat buruk. Dia perlu mencabut beberapa giginya, tetapi dia lebih suka melakukannya tanpa dibius. Akhirnya, dia menemukan seorang ahli bedah gigi yang bersedia mencabut giginya tanpa pembiusan. Dia telah ke sana beberapa kali, dan tak ada masalah.
Membiarkan gigi dicabut tanpa pembiusan oleh dokter gigi mungkin lumayan mengesankan, tetapi tokoh kita ini ternyata lebih mengesankan lagi. Dia berani mencabut sendiri giginya tanpa pembiusan.
Kami melihatnya, di luar bengkel vihara, dengan sebuah tang biasa, dia memegang gigi segar yang baru dicabutnya dan masih berlumur darah. Tak masalah: dia membersihkan darah dari tang itu sebelum mengembalikannya ke bengkel.
Saya bertanya kepadanya bagaimana dia melakukan hal itu. Apa yang dia katakan memberikan satu contoh lagi tentang rasa sakit sebagai faktor utama dari rasa takut.
Ketika saya memutuskan untuk mencabut sendiri gigi saya kok repot-repot ke dokter gigi segala itu tidak menyakitkan. Ketika saya berjalan menuju bengkel, itu tidak menyakitkan. Saat saya mengambil tang, itu tidak menyakitkan. Ketika saya menjepit gigi dengan tang, itu masih tidak menyakitkan. Ketika saya menggeliatkan tang dan mencabut giginya, itu baru menyakitkan, tetapi cuma beberapa detik saja. Saat gigi sudah tercabut, tak ada lagi rasa sakitnya. Rasa sakitnya hanya lima detik saja. Itu saja kok.
Anda, para pembaca, mungkin akan meringis ketika membaca kisah nyata ini. Karena takut, barangkali Anda akan merasa lebih kesakitan ketimbang dia! Jika Anda mencoba cara yang sama, itu mungkin akan sangat menyakitkan, bahkan sebelum Anda mengambil tang dari bengkel. Antisipasi rasa takut adalah faktor utama dari rasa sakit.
TIDAK KHAWATIR
Membiarkan berlalu "si pengatur", lebih menyadari saat ini dan terbuka terhadap ketidakpastian masa depan, membebaskan kita dari penjara rasa takut. Hal ini membuat kita dapat menjawab tantangan kehidupan dengan kebijaksanaan kita sendiri yang unik, dan menyelamatkan diri kita dari situasi-situasi yang tak menyenangkan.
Saya tengah berdiri di salah satu dari enam antrean di sebuah loket imigrasi di bandara Perth, barusan pulang dari perjalanan indah ke Sri Lanka via Singapura. Antrean bergerak lambat; para petugas memeriksa setiap orang dengan cermat. Seorang petugas imigrasi muncul dari pintu samping lobby sambil menuntun anjing pelacak yang terlatih untuk melacak narkoba. Para pelancong yang baru tiba terlihat tegang saat si petugas menuntun anjing pelacaknya untuk memeriksa setiap antrean. Meskipun mereka tak membawa narkoba, Anda tetap dapat merasakan adanya pelepasan ketegangan setelah si anjing mengendus mereka dan berlalu menuju orang berikutnya.
Ketika anjing kecil yang lucu itu mendekati saya dan mengendus, dia berhenti. Dia membenamkan moncongnya ke jubah saya dan mengibas-ibaskan ekornya dengan cepat. Si petugas sampai harus menyentakkan tali pengikatnya untuk membawa si anjing pergi dari saya. Penumpang yang ada di depan saya, yang sebelumnya cukup ramah, sekarang maju selangkah menjauhi saya. Dan saya yakin pasangan yang ada di belakang saya, pun mengambil jarak dengan saya.
Setelah lima menit, saya, makin dekat ke loket, saat mereka membawa anjing pelacak untuk memeriksa lagi. Si anjing memeriksa setiap barisan dari ujung ke ujung, memberikan sedikit ciuman kepada setiap pelancong dan berpindah lagi. Saat si anjing tiba pada saya, dia berhenti lagi. Kepalanya masuk ke jubah saya dan ekornya berkibasan. Sekali lagi, si petugas harus menarik paksa si anjing untuk berlalu dari saya. Sekarang saya merasa semua mata menatapi saya. Biarpun sebagian orang mungkin merasa sedikit khawatir pada saat seperti itu, saya sendiri malah tenang-tenang saja. Jika pun saya harus masuk penjara, yah, saya punya banyak teman di sana, dan makanan di penjara lebih baik daripada di vihara!
Ketika saya, mencapai pemeriksaan imigrasi, mereka memeriksa saya dengan cermat. Saya tidak membawa narkoba, jangankan itu, bhikkhu bahkan tidak boleh minum minuman beralkohol. Mereka tidak menggeledah saya; saya rasa itu karena saya tak menunjukkan rasa gentar. Mereka cuma bertanya apa yang saya pikir mengenai anjing pelacak yang selalu berhenti pada saya. Saya bilang bahwa para bhikkhu punya belas kasih yang besar terhadap para binatang, dan mungkin itu sebabnya si anjing jadi mengendus-endus; atau mungkin juga si anjing dulunya adalah seorang bhikkhu pada salah satu kehidupan lampaunya. Setelah itu mereka membiarkan saya pergi.
Suatu kali saya pernah hampir dipukul oleh seorang pria Austratia berbadan besar yang sedang marah dan setengah mabuk. Ketidakgentaran telah menyelamatkan hari itu, serta hidung saya.
Kami baru saja pindah ke vihara kota kami yang baru, sedikit ke utara dari Perth. Kami mengadakan upacara peresmian, dan alangkah terkejut dan gembiranya kami, Gubernur Australia Barat, Sir Gordon Reid, dan istrinya, berkenaan hadir pada upacara tersebut. Saya ditugaskan untuk mengurusi tenda-tenda kebun dan kursi-kursi untuk para undangan dan tamu VIP. Saya diminta oleh bendahara kami untuk mencari penyewaan yang terbaik; kami ingin mengadakan pertunjukan yang sangat bagus.
Setelah mencari-cari, saya menemukan perusahaan penyewaan yang sangat mahal. Perusahaan itu berlokasi di salah satu kawasan elit di pinggir Perth dan biasa menyewakan tenda-tenda kebun untuk para jutawan. Saya menjelaskan apa saja yang saya perlukan dan mengapa itu semua harus yang terbaik. Si wanita yang bicara dengan saya bilang bahwa dia paham, jadi dengan itu pesanan telah disepakati.
Saat tenda-tenda dan kursi-kursi tiba pada Jumat sore, saya sedang berkeliling untuk membantu seseorang. Ketika saya datang untuk memeriksa barang-barang yang diantarkan, truk dan sopir pengangkutnya telah pergi. Saya tidak percaya saat melihat keadaaan tenda yang diantarkan. Tenda-tenda itu berdebu tebal. Saya merasa kecewa, tetapi persoalan itu bisa diatasi. Kami mulai menyemprot tenda-tenda itu dengan air untuk membersihkan debunya. Lalu saya memeriksa kursi-kursi untuk para undangan, dan kursi-kursi itu sama saja kotornya. Lap-lap dikeluarkan dan para, relawan kami yang berjasa mulai membersihkan kursi-kursi itu. Akhirnya, saya memeriksa kursi-kursi untuk para tamu VIP. Kursi-kursi itu memang istimewa: tak satu pun kaki-kakinya yang sama panjangnya! Semua bergoyang-goyang, kerasa betul.
Ini tak dapat dipercaya. Ini sudah keterlaluan. Saya, bergegas pergi ke pesawat telopon, menelepon perusahaan penyewaan itu dan memergoki si wanita yang nyaris saja pergi untuk berakhir pekan. Saya menjelaskan situasinya, menandaskan bahwa kami tak ingin Gubernur Australia Barat bergoyang-goyang di atas kursi goyangnya selama upacara berlangsung. Bagaimana kalau beliau sampai terjatuh? Wanita itu mengerti, memohon maaf, dan menjamin bahwa kami akan mendapat gantinya dalam waktu sejam.
Kali ini saya menunggu kedatangan truk pengantarnya. Saya melihatnya berbelok ke jalan menuju tempat kami. Setengah jalan dari jalur masuk, kira-kira enam puluh meter dari vihara, tatkala truk itu masih melaju cukup cepat, seseorang melompat keluar dari truk tersebut dan berlari ke arah saya dengan matanya yang liar dan tangannya yang terkepal.
"Mana orang yang berwenang?" teriaknya. "Aku mau bertemu dengan orang yang berwenang di sini."
Belakangan saya mengetahui bahwa pesanan kami yang pertama kali diantarkan tadi adalah tugas terakhir mereka untuk pekan ini. Setelah tadi mengantar ke tempat kami, orang-orang itu lantas berkemas dan mengaso di bar untuk berakhir pekan. Mereka pasti sedang asyik berakhir pekan sambil minum-minum ketika managernya datang dan menyuruh mereka kembali bekerja. Orang-orang Buddha itu ingin kursi-kursinya diganti.
Saya mendatangi orang itu dan berkata lembut, "Saya yang berwenang di sini, ada yang bisa saya bantu?"
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah saya, dengan tinju kanannya teracung hampir mengenai hidung saya. Matanya menyala-nyala oleh amarah. Saya mencium bau bir dari mulutnya yang hanya beberapa inci dari wajah saya. Saya tak merasa takut atau angkuh, saya hanya tenang.
Yang katanya teman-teman saya berhenti membersihkan kursi-kursi untuk menonton kami.Tak ada satu pun dari mereka yang datang menolong saya. Terima kasih banyak, kawan-kawan!
Tatap muka itu berlangsung beberapa menit. Saya jadi kagum pada apa yang terjadi kemudian. Si pekerja yang marah itu diam mematung saja terhadap sikap saya. Pengkondisian dalam dirinya hanya dipakai untuk menghadapi rasa takut atau serangan balik. Tapi otaknya tak tahu bagaimana menyikapi seseorang yang tetap tenang ketika salah satu tinjunya berada dekat dengan cuping hidung mereka. Saya tahu dia tak akan memukul saya, bergerak pun tidak. Ketidakgentaran telah membuatnya bingung.
Beberapa saat kemudian truk itu parkir dan bosnya mendatangi kami. Dia meletakkan tangannya di bahu si pekerja yang sedang membeku itu, lalu berkata, "Ayo, turunkan kursi-kursinya." Kebekuan pun pecah, menunjukkan jalan keluar baginya.
Saya berkata, "Ya, saya akan bantu Anda." Dan kami pun bersama-sama menurunkan kursi-kursi itu.
Membiarkan berlalu "si pengatur", lebih menyadari saat ini dan terbuka terhadap ketidakpastian masa depan, membebaskan kita dari penjara rasa takut. Hal ini membuat kita dapat menjawab tantangan kehidupan dengan kebijaksanaan kita sendiri yang unik, dan menyelamatkan diri kita dari situasi-situasi yang tak menyenangkan.
Saya tengah berdiri di salah satu dari enam antrean di sebuah loket imigrasi di bandara Perth, barusan pulang dari perjalanan indah ke Sri Lanka via Singapura. Antrean bergerak lambat; para petugas memeriksa setiap orang dengan cermat. Seorang petugas imigrasi muncul dari pintu samping lobby sambil menuntun anjing pelacak yang terlatih untuk melacak narkoba. Para pelancong yang baru tiba terlihat tegang saat si petugas menuntun anjing pelacaknya untuk memeriksa setiap antrean. Meskipun mereka tak membawa narkoba, Anda tetap dapat merasakan adanya pelepasan ketegangan setelah si anjing mengendus mereka dan berlalu menuju orang berikutnya.
Ketika anjing kecil yang lucu itu mendekati saya dan mengendus, dia berhenti. Dia membenamkan moncongnya ke jubah saya dan mengibas-ibaskan ekornya dengan cepat. Si petugas sampai harus menyentakkan tali pengikatnya untuk membawa si anjing pergi dari saya. Penumpang yang ada di depan saya, yang sebelumnya cukup ramah, sekarang maju selangkah menjauhi saya. Dan saya yakin pasangan yang ada di belakang saya, pun mengambil jarak dengan saya.
Setelah lima menit, saya, makin dekat ke loket, saat mereka membawa anjing pelacak untuk memeriksa lagi. Si anjing memeriksa setiap barisan dari ujung ke ujung, memberikan sedikit ciuman kepada setiap pelancong dan berpindah lagi. Saat si anjing tiba pada saya, dia berhenti lagi. Kepalanya masuk ke jubah saya dan ekornya berkibasan. Sekali lagi, si petugas harus menarik paksa si anjing untuk berlalu dari saya. Sekarang saya merasa semua mata menatapi saya. Biarpun sebagian orang mungkin merasa sedikit khawatir pada saat seperti itu, saya sendiri malah tenang-tenang saja. Jika pun saya harus masuk penjara, yah, saya punya banyak teman di sana, dan makanan di penjara lebih baik daripada di vihara!
Ketika saya, mencapai pemeriksaan imigrasi, mereka memeriksa saya dengan cermat. Saya tidak membawa narkoba, jangankan itu, bhikkhu bahkan tidak boleh minum minuman beralkohol. Mereka tidak menggeledah saya; saya rasa itu karena saya tak menunjukkan rasa gentar. Mereka cuma bertanya apa yang saya pikir mengenai anjing pelacak yang selalu berhenti pada saya. Saya bilang bahwa para bhikkhu punya belas kasih yang besar terhadap para binatang, dan mungkin itu sebabnya si anjing jadi mengendus-endus; atau mungkin juga si anjing dulunya adalah seorang bhikkhu pada salah satu kehidupan lampaunya. Setelah itu mereka membiarkan saya pergi.
Suatu kali saya pernah hampir dipukul oleh seorang pria Austratia berbadan besar yang sedang marah dan setengah mabuk. Ketidakgentaran telah menyelamatkan hari itu, serta hidung saya.
Kami baru saja pindah ke vihara kota kami yang baru, sedikit ke utara dari Perth. Kami mengadakan upacara peresmian, dan alangkah terkejut dan gembiranya kami, Gubernur Australia Barat, Sir Gordon Reid, dan istrinya, berkenaan hadir pada upacara tersebut. Saya ditugaskan untuk mengurusi tenda-tenda kebun dan kursi-kursi untuk para undangan dan tamu VIP. Saya diminta oleh bendahara kami untuk mencari penyewaan yang terbaik; kami ingin mengadakan pertunjukan yang sangat bagus.
Setelah mencari-cari, saya menemukan perusahaan penyewaan yang sangat mahal. Perusahaan itu berlokasi di salah satu kawasan elit di pinggir Perth dan biasa menyewakan tenda-tenda kebun untuk para jutawan. Saya menjelaskan apa saja yang saya perlukan dan mengapa itu semua harus yang terbaik. Si wanita yang bicara dengan saya bilang bahwa dia paham, jadi dengan itu pesanan telah disepakati.
Saat tenda-tenda dan kursi-kursi tiba pada Jumat sore, saya sedang berkeliling untuk membantu seseorang. Ketika saya datang untuk memeriksa barang-barang yang diantarkan, truk dan sopir pengangkutnya telah pergi. Saya tidak percaya saat melihat keadaaan tenda yang diantarkan. Tenda-tenda itu berdebu tebal. Saya merasa kecewa, tetapi persoalan itu bisa diatasi. Kami mulai menyemprot tenda-tenda itu dengan air untuk membersihkan debunya. Lalu saya memeriksa kursi-kursi untuk para undangan, dan kursi-kursi itu sama saja kotornya. Lap-lap dikeluarkan dan para, relawan kami yang berjasa mulai membersihkan kursi-kursi itu. Akhirnya, saya memeriksa kursi-kursi untuk para tamu VIP. Kursi-kursi itu memang istimewa: tak satu pun kaki-kakinya yang sama panjangnya! Semua bergoyang-goyang, kerasa betul.
Ini tak dapat dipercaya. Ini sudah keterlaluan. Saya, bergegas pergi ke pesawat telopon, menelepon perusahaan penyewaan itu dan memergoki si wanita yang nyaris saja pergi untuk berakhir pekan. Saya menjelaskan situasinya, menandaskan bahwa kami tak ingin Gubernur Australia Barat bergoyang-goyang di atas kursi goyangnya selama upacara berlangsung. Bagaimana kalau beliau sampai terjatuh? Wanita itu mengerti, memohon maaf, dan menjamin bahwa kami akan mendapat gantinya dalam waktu sejam.
Kali ini saya menunggu kedatangan truk pengantarnya. Saya melihatnya berbelok ke jalan menuju tempat kami. Setengah jalan dari jalur masuk, kira-kira enam puluh meter dari vihara, tatkala truk itu masih melaju cukup cepat, seseorang melompat keluar dari truk tersebut dan berlari ke arah saya dengan matanya yang liar dan tangannya yang terkepal.
"Mana orang yang berwenang?" teriaknya. "Aku mau bertemu dengan orang yang berwenang di sini."
Belakangan saya mengetahui bahwa pesanan kami yang pertama kali diantarkan tadi adalah tugas terakhir mereka untuk pekan ini. Setelah tadi mengantar ke tempat kami, orang-orang itu lantas berkemas dan mengaso di bar untuk berakhir pekan. Mereka pasti sedang asyik berakhir pekan sambil minum-minum ketika managernya datang dan menyuruh mereka kembali bekerja. Orang-orang Buddha itu ingin kursi-kursinya diganti.
Saya mendatangi orang itu dan berkata lembut, "Saya yang berwenang di sini, ada yang bisa saya bantu?"
Dia mendekatkan wajahnya ke wajah saya, dengan tinju kanannya teracung hampir mengenai hidung saya. Matanya menyala-nyala oleh amarah. Saya mencium bau bir dari mulutnya yang hanya beberapa inci dari wajah saya. Saya tak merasa takut atau angkuh, saya hanya tenang.
Yang katanya teman-teman saya berhenti membersihkan kursi-kursi untuk menonton kami.Tak ada satu pun dari mereka yang datang menolong saya. Terima kasih banyak, kawan-kawan!
Tatap muka itu berlangsung beberapa menit. Saya jadi kagum pada apa yang terjadi kemudian. Si pekerja yang marah itu diam mematung saja terhadap sikap saya. Pengkondisian dalam dirinya hanya dipakai untuk menghadapi rasa takut atau serangan balik. Tapi otaknya tak tahu bagaimana menyikapi seseorang yang tetap tenang ketika salah satu tinjunya berada dekat dengan cuping hidung mereka. Saya tahu dia tak akan memukul saya, bergerak pun tidak. Ketidakgentaran telah membuatnya bingung.
Beberapa saat kemudian truk itu parkir dan bosnya mendatangi kami. Dia meletakkan tangannya di bahu si pekerja yang sedang membeku itu, lalu berkata, "Ayo, turunkan kursi-kursinya." Kebekuan pun pecah, menunjukkan jalan keluar baginya.
Saya berkata, "Ya, saya akan bantu Anda." Dan kami pun bersama-sama menurunkan kursi-kursi itu.
Kemarahan dan Pemaafan
KEMARAHAN
Marah bukanlah respon yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang yang bahagia tak akan marah. Marah, terutamanya, adalah tak masuk akal.
Suatu hari, mobil vihara kami berhenti di lampu merah di samping sebuah mobil lainnya. Saya memperhatikan pengemudi mobil itu memaki-maki lampu merah: "Kamu lampu brengsek! Kamu tahu aku ada janji penting! Kamu tahu aku sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depanku lewat. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali...."
Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu merah memang sengaja menyakitinya: "Aha! Ini dia datang. Aku tahu dia terlambat. Aku akan membiarkan mobil lain lewat dulu, lalu... merah! Berhenti! Kena dia!" Si lampu merah mungkin tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari sebuah lampu merah?
Saya membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, "Kamu suami brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tahu tidak boleh terlambat dan kamu malah mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali..."
Si istri menyalahkan suaminya, seolah-olah si suami punya banyak pilihan. Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya: "Aha! Aku ada janji penting dengan istriku. Aku akan terlambat. Aku akan bertemu dulu dengan orang lain. Terlambat! Kena dia!" Para suami mungkin tampak jahat, tapi mereka hanyalah para suami, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari para suami?
Tokoh-tokoh dalam cerita ini boleh diubah-ubah untuk menyesuaikan kasus-kasus kemarahan yang sering terjadi.
Marah bukanlah respon yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang yang bahagia tak akan marah. Marah, terutamanya, adalah tak masuk akal.
Suatu hari, mobil vihara kami berhenti di lampu merah di samping sebuah mobil lainnya. Saya memperhatikan pengemudi mobil itu memaki-maki lampu merah: "Kamu lampu brengsek! Kamu tahu aku ada janji penting! Kamu tahu aku sudah terlambat dan kamu membiarkan mobil di depanku lewat. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali...."
Dia menyalahkan lampu merah, seolah-olah si lampu merah punya banyak pilihan. Dia pikir si lampu merah memang sengaja menyakitinya: "Aha! Ini dia datang. Aku tahu dia terlambat. Aku akan membiarkan mobil lain lewat dulu, lalu... merah! Berhenti! Kena dia!" Si lampu merah mungkin tampak jahat, tetapi mereka hanyalah lampu merah, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari sebuah lampu merah?
Saya membayangkan orang itu terlambat pulang dan istrinya memakinya, "Kamu suami brengsek! Kamu tahu kita ada janji penting. Kamu tahu tidak boleh terlambat dan kamu malah mendahulukan urusanmu ketimbang aku. Dasar babi! Ini juga bukan yang pertama kali..."
Si istri menyalahkan suaminya, seolah-olah si suami punya banyak pilihan. Dia pikir suaminya memang sengaja menyakitinya: "Aha! Aku ada janji penting dengan istriku. Aku akan terlambat. Aku akan bertemu dulu dengan orang lain. Terlambat! Kena dia!" Para suami mungkin tampak jahat, tapi mereka hanyalah para suami, itu saja. Apa sih yang Anda harapkan dari para suami?
Tokoh-tokoh dalam cerita ini boleh diubah-ubah untuk menyesuaikan kasus-kasus kemarahan yang sering terjadi.
Pengadilan
Marah bukanlah respon yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang bahagia tidak pernah marah. Marah, terutamanya adalah tidak masuk akal.
Dalam rangka mengungkapkan kemarahan Anda, pertama-tama anda harus mencari pembenaran bagi diri Anda sendiri. Anda harus meyakinkan diri bahwa marah itu pantas, tepat, benar. Di dalam proses batin yang marah, seolah-olah sedang terjadi sebuah pengadilan dalam pikiran Anda.
Terdakwa berdiri diatas panggung pengadilan dalam pikiran Anda, Anda adalah jaksa penuntutnya. Anda tahu mereka bersalah, tetapi supaya adil, Anda harus menbuktikannya kepada hakim, kepada hati nurani Anda terlebih dahulu. Anda lalu meluncur kedalam rekontruksi "kejahatan" yang melawan anda.
Anda menuduhkan segala jenis kedengkian, sifat bermuka dua, dan niat buruk di balik semua perbuatan terdakwa. Anda mengungkit kembali semua kejahatan mereka pada masa silam untuk meyakinkan hati nurani anda bahwa mereka tak pantas untuk dikasihani.
Dalam pengadilan nyata, terdakwa juga punya pengacara yang diizinkan untuk bersuara. Tetapi dalam pengadilan bathin, Anda dalam sedang proses menbenarkan kemarahan Anda. Jadi tidak ada pengacara untuk membela terdakwa. Dalam argumentasi yang berat sebelah, Anda sudah menbangun kasus yang meyakinkan Dan itu sudah lumayan bagus, Dan sudah pastinya Anda sebagai si Jaksa penuntut lah yang menang. Dan HAKIM yang diwakili oleh Hati anda akan mengetok palu dan memutuskan si terdakwa B E R S A L A H. Dan sekarang barulah kita merasa tidak masalah atau boleh saja kita marah kepada mereka.
Beberapa tahun yang lampau inilah proses yang saya alami terjadi dalam pikiran saya bilamana saya marah. Dan sekarang saya sadar itu tidaklah adil. JADI lain kali ketika saya ingin marah kepada seseorang, saya diam sejenak untuk menbiarkan "pengacara" pembela terdakwa menyatakan pembelaannya. Saya merenungkan alasan-alasan dan penjelasan masuk akal tentang perilaku terdakwa. Saya mementingkan indahnya pemberian maaf. Sungguh malangnya orang yang masih diliputi oleh kebodohan tersebut. Saya menemukan bahwa suara hati tidak lagi menbolehkan adanya putusan bersalah. jadilah tidak mungkin untuk menghakimi perilaku orang lain. Kemarahan, karena tak dicari pembenarannya, akhirnya kelaparan dan mati.
Marah bukanlah respon yang cerdas. Orang bijak selalu bahagia, dan orang bahagia tidak pernah marah. Marah, terutamanya adalah tidak masuk akal.
Dalam rangka mengungkapkan kemarahan Anda, pertama-tama anda harus mencari pembenaran bagi diri Anda sendiri. Anda harus meyakinkan diri bahwa marah itu pantas, tepat, benar. Di dalam proses batin yang marah, seolah-olah sedang terjadi sebuah pengadilan dalam pikiran Anda.
Terdakwa berdiri diatas panggung pengadilan dalam pikiran Anda, Anda adalah jaksa penuntutnya. Anda tahu mereka bersalah, tetapi supaya adil, Anda harus menbuktikannya kepada hakim, kepada hati nurani Anda terlebih dahulu. Anda lalu meluncur kedalam rekontruksi "kejahatan" yang melawan anda.
Anda menuduhkan segala jenis kedengkian, sifat bermuka dua, dan niat buruk di balik semua perbuatan terdakwa. Anda mengungkit kembali semua kejahatan mereka pada masa silam untuk meyakinkan hati nurani anda bahwa mereka tak pantas untuk dikasihani.
Dalam pengadilan nyata, terdakwa juga punya pengacara yang diizinkan untuk bersuara. Tetapi dalam pengadilan bathin, Anda dalam sedang proses menbenarkan kemarahan Anda. Jadi tidak ada pengacara untuk membela terdakwa. Dalam argumentasi yang berat sebelah, Anda sudah menbangun kasus yang meyakinkan Dan itu sudah lumayan bagus, Dan sudah pastinya Anda sebagai si Jaksa penuntut lah yang menang. Dan HAKIM yang diwakili oleh Hati anda akan mengetok palu dan memutuskan si terdakwa B E R S A L A H. Dan sekarang barulah kita merasa tidak masalah atau boleh saja kita marah kepada mereka.
Beberapa tahun yang lampau inilah proses yang saya alami terjadi dalam pikiran saya bilamana saya marah. Dan sekarang saya sadar itu tidaklah adil. JADI lain kali ketika saya ingin marah kepada seseorang, saya diam sejenak untuk menbiarkan "pengacara" pembela terdakwa menyatakan pembelaannya. Saya merenungkan alasan-alasan dan penjelasan masuk akal tentang perilaku terdakwa. Saya mementingkan indahnya pemberian maaf. Sungguh malangnya orang yang masih diliputi oleh kebodohan tersebut. Saya menemukan bahwa suara hati tidak lagi menbolehkan adanya putusan bersalah. jadilah tidak mungkin untuk menghakimi perilaku orang lain. Kemarahan, karena tak dicari pembenarannya, akhirnya kelaparan dan mati.
PENYUNYIAN
Pemicu dari kemarahan kita kebanyakan adalah pengharapan yang tak sampai. Kadang kita begitu menginvestasikan diri ke dalam sebuah proyek yang ketika tak menghasilkan sesuatu sebagaimana seharusnya, kita jadi marah. Semua "seharusnya" merujuk pada pengharapan, suatu prediksi masa depan. Sekarang kita mungkin menyadari bahwa masa depan itu tak pasti, tak dapat diramalkan. Terlalu mengandalkan suatu pengharapan masa depan, suatu "seharusnya", itu namanya cari-cari masalah.
Seorang umat Buddha dari Barat yang saya kenal beberapa tahun lalu menjadi bhikkhu di Timur Jauh. Dia bergabung dengan sebuah kelompok meditasi yang sangat ketat, di sebuah vihara terpencil di pegunungan. Setiap tahun mereka mengadakan penyunyian (retret) meditasi selama 60 hari. Latihannya keras, kaku, dan bukan untuk pikiran yang lemah.
Mereka bangun pada pukul 3.00 dini hari, dan pada pukul 3.10 mereka bermeditasi dengan duduk bersila. Sepanjang hari diatur ketat dalam rutinitas 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, dan seterusnya. Mereka makan di dalam aula tempat bermeditasi, duduk bersila di tempat untuk bermeditasi; tak diperbolehkan bercakap-cakap. Pada pukul 10 malam mereka boleh tidur, tetapi hanya di aula di tempat yang sama ketika mereka duduk bermeditasi. Bangun pada pukul 3 dini hari itu tidak wajib: Anda boleh saja bangun lebih awal jika mau, tapi tidak boleh terlambat. Istirahat hanya pada saat wawancara harian dengan guru yang sangar, dan tentu saja sedikit waktu untuk ke toilet.
Setelah tiga hari, kaki dan punggung si bhikkhu Barat terasa sangat nyeri. Dia tak terbiasa duduk lama dalam posisi yang terasa sangat tidak nyaman bagi orang Barat. Lebih-lebih, dia masih harus melewati delapan minggu lagi. Dia mulai sungguh-sungguh sangsi apakah dia mampu bertahan selama itu.
Pada akhir minggu pertama, segala sesuatunya tak menjadi lebih baik. Dia sering merasa tersiksa sekali, berjam-jam duduk seperti itu. Mereka yang pernah mengikuti retret meditasi 10 hari pasti tahu bagaimana sakitnya. Dan dia masih harus menghadapinya tujuh setengah minggu lagi.
Namun orang ini sangat keras hati. Dia menghimpun segenap tekadnya dan terus bertahan, detik demi detik. Pada akhir dari dua minggu pertama, dia benar-benar sudah tak tahan: rasa sakitnya sudah kelewatan. Tubuh Barat-nya tak cocok untuk perlakuan seperti ini. Ini sih bukan ajaran Buddha, bukan Jalan Tengah. Lalu dia memandang sekeliling, melihat bhikkhu-bhikkhu Asia, mereka juga tengah menggeretakkan gigi; rasa gengsi mendorongnya untuk melewatkan dua minggu berikutnya. Selama periode ini, tubuhnya terasa seperti terbakar rasa sakit. Satu-satunya kelegaan adalah saat gong pukul 10 malam, saat dia dapat merentangkan tubuhnya yang tersiksa untuk sedikit santai. Tapi rasanya begitu dia terlelap, gong pukul 3 dini hari berbunyi lagi, membangunkannya untuk hari penuh siksaan berikutnya.
Pada akhir hari ke-30, harapan terlihat berkedip-kedip suram di kejauhan. Sekarang dia telah melewati tanda setengah jalan. Dia sedang dalam perjalanan mudik, "Hampir sampai," dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Hari-hari terasa bertambah panjang dan rasa sakit pada lutut dan punggungnya terasa makin menusuk. Pada saat-saat itu dia rasanya akan menangis. Tetapi tetap saja, dia maju terus. Dua minggu lagi. Satu minggu lagi. Pada minggu terakhir, waktu terasa seperti diseret semut. Sekalipun sekarang dia sudah terbiasa menahan rasa sakit, masih saja itu tidak lebih mudah. Kalau menyerah sekarang, pikirnya, itu namanya tidak setia pada segala sesuatu yang telah ditahannya sejauh ini. Dia tetap ingin merampungkannya, sekalipun dia bisa terbunuh; dan pada saat itu dia pikir itu bisa saja terjadi.
Dia terbangun oleh gong pukul 3 dini hari pada hari ke-60. Dia sudah hampir rampung. Rasa nyerinya pada hari terakhir itu sudah tak terperikan lagi. Seolah-olah rasa nyeri ingin mengolok-oloknya untuk maju terus, tetapi sekarang sudah tak ada lagi pukulan-pukulan yang menderanya. Bahkan meskipun hanya tersisa beberapa jam saja, dia masih sangsi apakah dia mampu bertahan. Lalu tibalah 50 menit terakhir. Dia memulai sesi itu dengan membayangkan semua hal yang akan dia lakukan, mulai dari satu jam begitu retret usai: berendam air hangat, makan yang enak-enak, ngobrol, bermalas-malasan—tiba-tiba rasa nyeri menginterupsi rencananya, menuntut seluruh perhatiannya. Dia membuka sedikit matanya, dengan diam-diam, beberapa kali selama sesi akhir untuk mengintip jam. Dia tidak percaya sang waktu bergerak begitu lambatnya. Mungkin baterai jam itu perlu diganti? Mungkin jam itu akan berhenti selamanya tepat lima menit sebelum retret berakhir? Lima puluh menit terakhir terasa seperti lima puluh kalpa, tetapi bahkan yang paling abadi pun harus berakhir juga suatu hari.Termasuk yang ini. Gong pun berbunyi, begitu manisnya, untuk mengakhiri retret.
Gelombang kegembiraan mengaliri tubuhnya, menenggelamkan rasa sakit ke balik tabir. Dia berhasil. Sekarang dia bisa bersenang-senang. Ayo berendam!
Sang guru menabuh gong lagi untuk meminta perhatian semua orang. Dia punya pengumuman. Dia berkata, "Ini adalah sebuah retret yang luar biasa. Banyak bhikkhu yang mencapai kemajuan besar, dan beberapa menyarankan kepada saya, saat wawancara pribadi, untuk sebaiknya melanjutkan retret ini selama dua minggu lagi. Saya rasa ini usulan yang hebat. Retret ini dilanjutkan. Ayo duduk lagi."
Semua bhikkhu melipat kaki lagi dan duduk diam bermeditasi, untuk memulai retret selama 2 minggu lagi. Si bhikkhu Barat bercerita bahwa dia tak merasa sakit lagi di tubuhnya. Dia hanya mencoba menduga-duga siapa gerangan bhikkhu sialan yang telah menyarankan sang guru untuk melanjutkan retret ini, dan berpikir apa yang akan dia lakukan kalau nanti dia tahu siapa bhikkhu itu. Dia punya rencana tak berperi-kebhikkhu-an buat si bhikkhu yang tak berperasaan itu. Kemarahannya mengeringkan semua rasa sakitnya. Dia, menjadi sangat marah. Dia menjadi garang. Dia belum pernah merasa semarah itu sebelumnya. Tiba-tiba gong berbunyi lagi. Itu adalah 15 menit tercepat dalam hidupnya.
"Retret selesai," kata sang guru. "Ada makanan dan minuman untuk kalian semua di ruang makan. Silakan bersantai. Kalian boleh bercakap-cakap sekarang."
Si bhikkhu Barat jadi kebingungan. "Saya pikir kita akan bermeditasi selama dua minggu lagi. Ada apa?" Seorang bhikkhu senior yang bisa berbahasa Inggris melihat kebingungannya dan datang menghampiri. Sembari tersenyum dia berkata, "Jangan khawatir! Sang guru berbuat begitu setiap tahun!"
Pemicu dari kemarahan kita kebanyakan adalah pengharapan yang tak sampai. Kadang kita begitu menginvestasikan diri ke dalam sebuah proyek yang ketika tak menghasilkan sesuatu sebagaimana seharusnya, kita jadi marah. Semua "seharusnya" merujuk pada pengharapan, suatu prediksi masa depan. Sekarang kita mungkin menyadari bahwa masa depan itu tak pasti, tak dapat diramalkan. Terlalu mengandalkan suatu pengharapan masa depan, suatu "seharusnya", itu namanya cari-cari masalah.
Seorang umat Buddha dari Barat yang saya kenal beberapa tahun lalu menjadi bhikkhu di Timur Jauh. Dia bergabung dengan sebuah kelompok meditasi yang sangat ketat, di sebuah vihara terpencil di pegunungan. Setiap tahun mereka mengadakan penyunyian (retret) meditasi selama 60 hari. Latihannya keras, kaku, dan bukan untuk pikiran yang lemah.
Mereka bangun pada pukul 3.00 dini hari, dan pada pukul 3.10 mereka bermeditasi dengan duduk bersila. Sepanjang hari diatur ketat dalam rutinitas 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, 50 menit meditasi duduk, 10 menit meditasi jalan, dan seterusnya. Mereka makan di dalam aula tempat bermeditasi, duduk bersila di tempat untuk bermeditasi; tak diperbolehkan bercakap-cakap. Pada pukul 10 malam mereka boleh tidur, tetapi hanya di aula di tempat yang sama ketika mereka duduk bermeditasi. Bangun pada pukul 3 dini hari itu tidak wajib: Anda boleh saja bangun lebih awal jika mau, tapi tidak boleh terlambat. Istirahat hanya pada saat wawancara harian dengan guru yang sangar, dan tentu saja sedikit waktu untuk ke toilet.
Setelah tiga hari, kaki dan punggung si bhikkhu Barat terasa sangat nyeri. Dia tak terbiasa duduk lama dalam posisi yang terasa sangat tidak nyaman bagi orang Barat. Lebih-lebih, dia masih harus melewati delapan minggu lagi. Dia mulai sungguh-sungguh sangsi apakah dia mampu bertahan selama itu.
Pada akhir minggu pertama, segala sesuatunya tak menjadi lebih baik. Dia sering merasa tersiksa sekali, berjam-jam duduk seperti itu. Mereka yang pernah mengikuti retret meditasi 10 hari pasti tahu bagaimana sakitnya. Dan dia masih harus menghadapinya tujuh setengah minggu lagi.
Namun orang ini sangat keras hati. Dia menghimpun segenap tekadnya dan terus bertahan, detik demi detik. Pada akhir dari dua minggu pertama, dia benar-benar sudah tak tahan: rasa sakitnya sudah kelewatan. Tubuh Barat-nya tak cocok untuk perlakuan seperti ini. Ini sih bukan ajaran Buddha, bukan Jalan Tengah. Lalu dia memandang sekeliling, melihat bhikkhu-bhikkhu Asia, mereka juga tengah menggeretakkan gigi; rasa gengsi mendorongnya untuk melewatkan dua minggu berikutnya. Selama periode ini, tubuhnya terasa seperti terbakar rasa sakit. Satu-satunya kelegaan adalah saat gong pukul 10 malam, saat dia dapat merentangkan tubuhnya yang tersiksa untuk sedikit santai. Tapi rasanya begitu dia terlelap, gong pukul 3 dini hari berbunyi lagi, membangunkannya untuk hari penuh siksaan berikutnya.
Pada akhir hari ke-30, harapan terlihat berkedip-kedip suram di kejauhan. Sekarang dia telah melewati tanda setengah jalan. Dia sedang dalam perjalanan mudik, "Hampir sampai," dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Hari-hari terasa bertambah panjang dan rasa sakit pada lutut dan punggungnya terasa makin menusuk. Pada saat-saat itu dia rasanya akan menangis. Tetapi tetap saja, dia maju terus. Dua minggu lagi. Satu minggu lagi. Pada minggu terakhir, waktu terasa seperti diseret semut. Sekalipun sekarang dia sudah terbiasa menahan rasa sakit, masih saja itu tidak lebih mudah. Kalau menyerah sekarang, pikirnya, itu namanya tidak setia pada segala sesuatu yang telah ditahannya sejauh ini. Dia tetap ingin merampungkannya, sekalipun dia bisa terbunuh; dan pada saat itu dia pikir itu bisa saja terjadi.
Dia terbangun oleh gong pukul 3 dini hari pada hari ke-60. Dia sudah hampir rampung. Rasa nyerinya pada hari terakhir itu sudah tak terperikan lagi. Seolah-olah rasa nyeri ingin mengolok-oloknya untuk maju terus, tetapi sekarang sudah tak ada lagi pukulan-pukulan yang menderanya. Bahkan meskipun hanya tersisa beberapa jam saja, dia masih sangsi apakah dia mampu bertahan. Lalu tibalah 50 menit terakhir. Dia memulai sesi itu dengan membayangkan semua hal yang akan dia lakukan, mulai dari satu jam begitu retret usai: berendam air hangat, makan yang enak-enak, ngobrol, bermalas-malasan—tiba-tiba rasa nyeri menginterupsi rencananya, menuntut seluruh perhatiannya. Dia membuka sedikit matanya, dengan diam-diam, beberapa kali selama sesi akhir untuk mengintip jam. Dia tidak percaya sang waktu bergerak begitu lambatnya. Mungkin baterai jam itu perlu diganti? Mungkin jam itu akan berhenti selamanya tepat lima menit sebelum retret berakhir? Lima puluh menit terakhir terasa seperti lima puluh kalpa, tetapi bahkan yang paling abadi pun harus berakhir juga suatu hari.Termasuk yang ini. Gong pun berbunyi, begitu manisnya, untuk mengakhiri retret.
Gelombang kegembiraan mengaliri tubuhnya, menenggelamkan rasa sakit ke balik tabir. Dia berhasil. Sekarang dia bisa bersenang-senang. Ayo berendam!
Sang guru menabuh gong lagi untuk meminta perhatian semua orang. Dia punya pengumuman. Dia berkata, "Ini adalah sebuah retret yang luar biasa. Banyak bhikkhu yang mencapai kemajuan besar, dan beberapa menyarankan kepada saya, saat wawancara pribadi, untuk sebaiknya melanjutkan retret ini selama dua minggu lagi. Saya rasa ini usulan yang hebat. Retret ini dilanjutkan. Ayo duduk lagi."
Semua bhikkhu melipat kaki lagi dan duduk diam bermeditasi, untuk memulai retret selama 2 minggu lagi. Si bhikkhu Barat bercerita bahwa dia tak merasa sakit lagi di tubuhnya. Dia hanya mencoba menduga-duga siapa gerangan bhikkhu sialan yang telah menyarankan sang guru untuk melanjutkan retret ini, dan berpikir apa yang akan dia lakukan kalau nanti dia tahu siapa bhikkhu itu. Dia punya rencana tak berperi-kebhikkhu-an buat si bhikkhu yang tak berperasaan itu. Kemarahannya mengeringkan semua rasa sakitnya. Dia, menjadi sangat marah. Dia menjadi garang. Dia belum pernah merasa semarah itu sebelumnya. Tiba-tiba gong berbunyi lagi. Itu adalah 15 menit tercepat dalam hidupnya.
"Retret selesai," kata sang guru. "Ada makanan dan minuman untuk kalian semua di ruang makan. Silakan bersantai. Kalian boleh bercakap-cakap sekarang."
Si bhikkhu Barat jadi kebingungan. "Saya pikir kita akan bermeditasi selama dua minggu lagi. Ada apa?" Seorang bhikkhu senior yang bisa berbahasa Inggris melihat kebingungannya dan datang menghampiri. Sembari tersenyum dia berkata, "Jangan khawatir! Sang guru berbuat begitu setiap tahun!"
Siluman Pemangsa Amarah
Yang jadi masalah dengan kemarahan adalah bahwasanya kita menikmati marah. Ada sejenis kecanduan dan kenikmatan besar sehubungan dengan pelampiasan kemarahan. Dan kita tak ingin membiarkan sesuatu yang kita nikmati berlalu begitu saja. Bagaimanapun juga, ada juga bahaya dalam kemarahan, suatu konsekuensi yang lebih berat daripada kesenangannya. Jika saja kita menyadari buah dari kemarahan, dan selalu ingat hubungannya dengan kemarahan, kita akan rela membiarkan kemarahan berlalu.
Di sebuah alam pada zaman dahulu kala, sesosok siluman masuk ke istana ketika raja sedang pergi. Siluman itu sangat buruk rupa, baunya sangat tak sedap, dan apa pun yang dia katakan begitu menjijikkannya sampai-sampai para pengawal dan pekerja istana terpaku dalam kengerian. Karena itu si siluman enak saja melenggang ke ruangan dalam, menuju aula pertemuan kerajaan, dan mendudukkan dirinya di singgasana raja. Melihat siluman itu dengan kurang ajarnya duduk di singgasana raja, para pengawal dan pekerja lainnya menjadi tersadar dari keterpakuan mereka.
"Keluar dari sini!" bentak mereka. "Kamu tidak boleh di sini! Jika kamu tidak angkat pantatmu sekarang juga, kami akan tebas kamu dengan pedang!"
Karena mendapatkan sedikit kata-kata amarah ini, siluman itu membesar beberapa inci, tampangnya bertambah jelek, tambah bau, dan omongannya makin jorok saja.
Pedang-pedang dihunus, golok dikeluarkan dari sarungnya, ancaman telah dinyatakan. Di setiap perkataan atau perbuatan yang dipenuhi oleh amarah, bahkan di setiap pikiran marah pun, siluman itu menjadi tambah besar, tambah buruk, tambah bau, dan tambah kotor makiannya.
Pertempuran sudah berlangsung beberapa saat ketika sang raja tiba. Dia melihat ada siluman raksasa yang sedang duduk di atas singgasananya. Dia belum pernah melihat sesuatu yang jeleknya minta ampun seperti itu, bahkan di bioskop pun tidak. Bau busuk yang tertebar dari tubuh siluman itu bahkan akan membuat belatung pun jatuh sakit. Dan sumpah-serapahnya pun lebih parah daripada yang pernah Anda dengar di bar-bar terkumuh pada malam minggu yang berjubel pemabuk.
Sang raja adalah seorang yang bijaksana. Makanya dia jadi raja: dia tahu apa yang harus dilakukan.
"Selamat datang," sapa sang raja dengan hangat. "Selamat datang di istiana saya. Sudahkah seseorang menyuguhkan minuman untuk Anda? Atau mungkin makanan?"
Karena sedikit ungkapan yang lembut itu, tubuh siluman itu mengecil beberapa inci, keburukannya berkurang, baunya berkurang, dan kekasarannya berkurang.
Para armada istana cepat tanggap dengan maksud sang raja. Seseorang lalu bertanya kepada siluman itu apakah dia mau secangkir teh. "Kami punya Darjeeling English Breakfast atau Earl Gray. Atau barangkali Anda lebih suka peppermint? Itu bagus untuk kesehatan Anda, lho." Sedangkan yang lainnya menelpon untuk memesan pizza, family size untuk siluman sebesar itu, sementara yang lainnya membuatkan sandwich dengan "ham setan", tentu saja. Seorang prajurit memijat kaki si siluman, dan yang lainhya memijati lehernya.
"Mmmm.enak sekali," pikir si setan.
Karena setiap perkataan, perbuatan dan pikiran yang baik itu, tubuh si setan terus mengecil, berkurang buruknya, berkurang bau dan kekasarannya. Sebelum si pengantar pizza datang dengan antarannya, si siluman sudah susut ke ukuran semula ketika pertama kali datang dan duduk di singgasana raja. Tetapi para penghuni istana tak berhenti berbuat baik. Segera saja siluman itu menjadi begitu kecilnya sampai sulit dilihat lagi. Lalu setelah satu lagi perbuatan baik dilakukan, dia benar-benar lenyap tak berbekas.
Kita menyebut monster seperti itu sebagai "siluman pemangsa amarah".*
Suatu kali pasangan Anda dapat menjadi "siluman pemangsa amarah". Marahlah kepada mereka, dan mereka akan bertambah parah-tambah jelek, tambah bau, tambah galak kata-katanya. Masalah yang ada menjadi bertambah besar setiap kali Anda marah kepada mereka, meskipun cuma di dalam pikiran saja. Barangkali sekarang Anda bisa menyadari kesalahan Anda dan tahu harus berbuat apa.
Rasa sakit adalah "siluman pemangsa amarah" lainnya. Ketika kita berpikir dengan marah, "Hei, sakit! Enyah dari sini! Kau tak diizinkan!" Rasa sakit akan tumbuh seinci lebih besar dan lebih parah dengan cara yang berbeda. Memang sulit untuk bersikap baik kepada sesuatu yang begitu buruk dan garang seperti rasa sakit, tetapi ada masa-masa dalam hidup kita ketika kita tak mempunyai pilihan lain. Seperti dalam carita ketika saya sakit gigi, kalau kita menyambut rasa sakit, dengan sungguh-sungguh, dengan tulus, rasa sakit akan menjadi lebih kecil, berkuranglah masalahnya, dan suatu ketika akan lenyap sama sekali.
Beberapa jenis kanker adalah "siluman pemangsa amarah", monster yang buruk dan menyedihkan yang duduk di dalam tubuh kita; singgasana kita. Lumrah kalau kita berkata, "Enyah dari sini! Kau tak diizinkan!" Ketika satu dan lain cara gagal, atau bahkan lebih awal dari itu, semoga kita dapat berkata, "Selamat datang." Beberapa jenis kanker diperparah dengan stress-itulah sebabnya mereka menjadi "siluman pemangsa amarah". Kanker semacam itu tahu diri ketika "raja istana" dengan berani berkata, "Kanker, pintu hatiku terbuka penuh untukmu, apa pun yang kamu lakukan. Masuklah."
*Kisah ini diambil dari Samyutta Nikaya, Sakka Samyutta Sutta No. 22)
Baik! Begitu ya! Aku Pergi!
Baik! Begitu ya! Aku Pergi!Sepasang suami isteri kebangsaan Kanada, telah menyelesaikan kontrak kerjanya di Perth. Saat sedang mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman mereka di Toronto, mereka mendapatkan ide hebat untuk berlayar pulang ke Kanada. Mereka berencana membeli sebuah kapal layar kecil, dan dengan bantuan dari pasangan muda lain, mereka akan berlayar mengarungi Samudera Pasifik menuju Vancouver. Sesampai di sana, mereka akan menjual kapal itu, memulihkan investasinya, dan menyimpannya untuk masa depan mereka. Ide ini tidak hanya masuk akal secara finansial, tetapi ini juga merupakan sebuah petualangan seumur hidup bagi kedua pasangan muda tersebut.
Ketika mereka tiba dengan selamat di Kanada, mereka mengirimkan sepucuk surat ke temannya untuk menceritakan perjalanan mereka yang menakjubkan. Khususnya, mereka menceritakan sebuah kejadian yang menunjukkan betapa bodohnya kalau kita marah, dan alasan mengapa kemarahan seharusnya dijauhi.
Si tengah perjalanan mereka, disuatu tempat di Samudera Pasifik, berkilo-kilo meter dari daratan terdekat, mesin kapal mereka mogok. Kedua orang prianya mengambil perkakas kerja, masuk ke dalam ruangan mesin, dan mencoba untuk memperbaikinya. Para perempuan duduk santai di geladak, menikmati hangatnya sinar mentari sembari membaca majalah.
Ruang mesin sangatlah panas dan menyesakkan. Bagi kedua pria itu, si mesin kelihatannya sengaja mogok dan ogah diperbaiki. Mur-mur besar dari baja tak mau berputar, sekrup kecil yang penting malah tergelincir dan jatuh ke tempat berminyak yang tak terjangkau, dan kebocoran tak mau berhenti juga.
Keputusasaan membiakkan kejengkelan, pertama-tama kepada si mesin yang bandel itu, berikutnya diantara mereka. Kejengkelan tumbuh dengan cepat menjadi kemarahan. Lalu kemarahan meledak menjadi kegusaran. Salah satu dari pria itu sudah tak tahan lagi. Dia membanting kunci inggrisnya dan berteriak, "Baik! Begitu ya! Aku pergi!"
Dalam kegilaan amuknya, dia pergi ke kabinnya, membersihkan diri, mengganti baju, dan mengepak koper-kopernya. Lalu dia muncul di geladak, sambil tetap menggerutu, memakai jas terbaiknya, dengan koper di kedua tangannya.
Para perempuan yang sedang bersantai bercerita bahwa mereka hampir saja jatuh dari kapal karena tertawa terpingkal-pingkal melihat pemandangan itu. Si pria malang itu melihat bahwa di sekelilingnya hanya ada lautan, sejauh mata memandang, hanyalah cakrawala. Tidak ada tempat untuk pergi.
Pria itu merasa sangat tolol; wajahnya memerah karena malu. Dia berbalik, kembali ke kabinnya, membongkar koper-kopernya, berganti baju, dan turun kembali ke ruang mesin untuk membantu temannya. Mau tak mau. Habis, mau kemana lagi?
Baik! Begitu ya! Aku Pergi!Sepasang suami isteri kebangsaan Kanada, telah menyelesaikan kontrak kerjanya di Perth. Saat sedang mempersiapkan kepulangan ke kampung halaman mereka di Toronto, mereka mendapatkan ide hebat untuk berlayar pulang ke Kanada. Mereka berencana membeli sebuah kapal layar kecil, dan dengan bantuan dari pasangan muda lain, mereka akan berlayar mengarungi Samudera Pasifik menuju Vancouver. Sesampai di sana, mereka akan menjual kapal itu, memulihkan investasinya, dan menyimpannya untuk masa depan mereka. Ide ini tidak hanya masuk akal secara finansial, tetapi ini juga merupakan sebuah petualangan seumur hidup bagi kedua pasangan muda tersebut.
Ketika mereka tiba dengan selamat di Kanada, mereka mengirimkan sepucuk surat ke temannya untuk menceritakan perjalanan mereka yang menakjubkan. Khususnya, mereka menceritakan sebuah kejadian yang menunjukkan betapa bodohnya kalau kita marah, dan alasan mengapa kemarahan seharusnya dijauhi.
Si tengah perjalanan mereka, disuatu tempat di Samudera Pasifik, berkilo-kilo meter dari daratan terdekat, mesin kapal mereka mogok. Kedua orang prianya mengambil perkakas kerja, masuk ke dalam ruangan mesin, dan mencoba untuk memperbaikinya. Para perempuan duduk santai di geladak, menikmati hangatnya sinar mentari sembari membaca majalah.
Ruang mesin sangatlah panas dan menyesakkan. Bagi kedua pria itu, si mesin kelihatannya sengaja mogok dan ogah diperbaiki. Mur-mur besar dari baja tak mau berputar, sekrup kecil yang penting malah tergelincir dan jatuh ke tempat berminyak yang tak terjangkau, dan kebocoran tak mau berhenti juga.
Keputusasaan membiakkan kejengkelan, pertama-tama kepada si mesin yang bandel itu, berikutnya diantara mereka. Kejengkelan tumbuh dengan cepat menjadi kemarahan. Lalu kemarahan meledak menjadi kegusaran. Salah satu dari pria itu sudah tak tahan lagi. Dia membanting kunci inggrisnya dan berteriak, "Baik! Begitu ya! Aku pergi!"
Dalam kegilaan amuknya, dia pergi ke kabinnya, membersihkan diri, mengganti baju, dan mengepak koper-kopernya. Lalu dia muncul di geladak, sambil tetap menggerutu, memakai jas terbaiknya, dengan koper di kedua tangannya.
Para perempuan yang sedang bersantai bercerita bahwa mereka hampir saja jatuh dari kapal karena tertawa terpingkal-pingkal melihat pemandangan itu. Si pria malang itu melihat bahwa di sekelilingnya hanya ada lautan, sejauh mata memandang, hanyalah cakrawala. Tidak ada tempat untuk pergi.
Pria itu merasa sangat tolol; wajahnya memerah karena malu. Dia berbalik, kembali ke kabinnya, membongkar koper-kopernya, berganti baju, dan turun kembali ke ruang mesin untuk membantu temannya. Mau tak mau. Habis, mau kemana lagi?
Cara Memadamkan Pemberontakan
Ketika kita menyadari bahwa tak ada tempat untuk kabur, kita akan hadapi masalah, alih-alih melarikan diri. Kebanyakan masalah mempunyai solusi yang tak dapat kita lihat ketika lari dari permasalahan.
Pada pertengahan hingga akhir tahun 1970-an, saya mengalami pengalaman pribadi berkenaan dengan bagaimana suatu pemerintahan nasional menemukan suatu solusi bagi sebuah krisis besar, krisis yang sangat mengancam kelangsungan sistem demokrasi mereka.
Vietnam Selatan, Laod, dan Kamboja jatuh ke tangan kaum komunis hanya dalam hitungan hari pada tahun 1975. “Teori Domino” yang dipercaya oleh kekuatan-kekuatan Barat pada saat itu meramalkan bahwa Thailand pun akan segera jatuh ke tangan komunis. Selama periode itu, saya adalah seorang biksu muda di Thailand timur laut. Wihara tempat saya menetap paling lama berjarak dua kali lebih dekat ke Hanoi ketimbang ke Bangkok. Kami diberitahu untuk mencatatkan diri ke kedutaan besar kami dan rencana evakuasi pun telah disiapkan. Kebanyakan negara barat terkejut ketika mengetahui bahwa Thailand ternyata tidak jatuh ke tangan komunis.
Saat iu Ajahn Chah cukup terkenal dan banyak jenderal penting dan pejabat senior Thailand datang ke wiharanya untuk meminta nasihat dan inspirasi. Saat itu saya telah fasih berbahasa Thai, dan sedikit bahasa Laos, jadi bisa cukup memahami keseriusan keadaan saat itu. Tentara dan pemerintah sebenarnya tidak mengkhawatirkan kaum gerilyawan Merah (komunis) yang berada di luar perbatasan, tetapi mereka mengkhawatirkan para aktivis dan simpatisan komunis yang berada di dalam negeri mereka sendiri.
Banyak mahasiswa Thai yang cemerlang telah beranjak ke hutan belantara di Thailand timur laut untuk memberi dukungan kepada tentara gerilyawan komunis internal – Thai. Persenjataan dan pelatihan mereka diberikan oleh kekuatan dari luar perbatasan. Tetapi desa-desa di bagian “merah muda” dari wilayah itu dengan senangnya menyokong makanan dan kebutuhan lainnya untuk mereka. Mereka mendapat dukungan dari penduduk lokal. Mereka menjadi ancaman yang gawat.
Pemerintah dan tentara Thai menemukan solusinya dalam tiga strategi berikut:
Menahan Diri
Tentara tidak menyerang markas komunis, sekalipun setiap prajurit tahu di mana lokasi markas mereka. Ketika saya hidup sebagai biksu pengelana pada tahun 1979-80, saat tengah mencari gunung dan hutan belantara untuk bermeditasi dalam kesunyian, saya akan menghampiri tentara yang sedang berpatroli dan mereka akan memberikan saran kepada saya. Mereka akan menunjukkan sebuah gunung dan memberitahu saya supaya tidak pergi kesana – sebab disanalah kaum komunis tinggal. Lalu mereka akan menunjukkan gunung yang lain dan berkata bahwa gunung itu tempat yang bagus untuk bermeditasi, tak ada orang komunis disana. Saya mengikuti nasihat mereka. Pada saat itu kaum komunis telah menangkap beberapa biksu pengelana yang sedang bermeditasi di hutan, dan membunuh mereka – setelah disiksa terlebih dahulu, begitu kata mereka kepada saya.
Mengampuni
Selama periode maut ini, diadakan suatu pengampunan di tempat dan tanpa syarat. Di mana pun salah satu kaum pemberontak ingin diampuni kasusnya, dia boleh meletakkan senjata begitu saja dan kembali ke desa atau kampusnya. Dia mungkin saja berada dalam pengawasan, tetapi tidak ada hukuman yang dikenakan kepadanya. Saya tiba di sebuah desa di wilayah Kow Wong beberapa hari setelah kaum komunis menyergap sebuah jip besar yang penuh dengan tentara Thai dan membunuh mereka semua di luar desa itu. Anak-anak muda di desa itu sebagian besar bersimpati kepada kaum komunis, tetapi mereka tidak ikut bertempur. Mereka bercerita kepada saya bahwa mereka sempat diancam dan ditahan oleh tentara Thai, tetapi dibebaskan lagi.
Memecahkan Akar Masalah
Selama bertahun-tahun itu, saya melihat jalan-jalan baru dibangun di daerah itu, dan jalan yang lama diaspal kembali. Para penduduk desa sekarang dapat membawa hasil produksinya untuk dijual ke kota. Raja Thailand mengawasi sendiri dan membiayai pembangunan ratusan waduk-waduk kecil yang terkait dengan rancangan sistem irigasi, yang memungkinkan para petani miskin di Thailand timur laut menanam padi dua kali dalam setahun. Listrik masuk desa, menjangkau dusun-dusun terpencil; bersamaan dengan itu dibangun pula sekolah dan klinik. Wilayah termiskin di Thailand diberi perhatian penuh dari pemerintah di Bangkok, dan para penduduk desa pun menjadi relatif lebih makmur.
Suatu ketika, seorang tentara Thailand yang sedang berpatroli di hutan berkata kepada saya, “Kami tidak perlu menembak kaum komunis. Mereka semua saudara-saudara sebangsa kami. Apabila saya bertemu dengan mereka ketika mereka turun atau mengambil perbekalan di desa, kami mengenal siapa mereka, saya hanya akan memperlihatkan arloji baru saya, atau memperdengarkan lagu-lagu Thai dari radio baru saya – lalu mereka berhenti menjadi komunis.
Itulah pengalamannya, dan juga rekan-rekan tentaranya.
Kaum komunis Thai memulai pemberontakan dengan begitu marahnya kepada pemerintah, sampai mereka rela mengorbankan masa mudanya. Tetapi penahanan diri sebagai bagian dari strategi pemerintah telah membantu mencegah kemarahan itu menjadi lebih parah. Pengampunan melalui amnest, memberikan mereka jalan keluar yang aman dan terhormat. Memecahkan permasalahan, melalui pembangunan, membuat penduduk desa yang miskin menjadi makmur. Penduduk desa melihat tak ada perlunya lagi menyokong kaum komunis, karena mereka sudah merasa puas dengan pemerintahan yang telah mereka miliki. Dan kaum komunis sendiri mulai merasa sangsi dengan apa yang mereka perbuat, hidup dengan susah payah di pegunungan dan hutan belantara.
Satu demi satu mereka meletakkan senjatanya dan kembali ke tengah keluarganya, kampung, atau kampusnya. Pada awal tahun 1980-an , nyaris tak ada lagi pemberontak yang tersisa, jadi para jenderal tentara gerilyawan, para pemimpin komunis, juga menyerahkan diri mereka. Saya ingat pernah melihat sebuah artikel di Bangkok Post mengenai seorang pengusaha cerdik yang membawa para wisatawan Thai ke hutan, mengunjungi gua-gua bekas tempat kaum komunis yang sempat mengancam keutuhan bangsa.
Lalu apa yang terjadi pada para pemimpin pemberontakan tersebut? Apakah mereka juga ditawari pengampunan tanpa syarat seperti halnya anggota pemberontak? Tidak sama-sama amat. Mereka tidak dihukum, juga tidak diasingkan. Malahan, mereka ditawari jabatan penting dalam pelayanan pemerintahan Thai, sebagai pengakuan atas kualitas kepemimpinan mereka, kemampuan untuk bekerja keras, dan kepedulian kepada rakyat! Sungguh langkah yang cemerlang. Buat apa menyia-nyiakan sumber daya anak-anak muda yang pemberani dan berdedikasi seperti itu?
Ini adalah kisah nyata sebagaimana yang saya dengar dari para tentara dan penduduk Thailand di timur laut pada masa itu. Inilah yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Sayangnya kejadian seperti itu nyaris tidak pernah dilaporkan dimana-mana.
Pada saat buku ini ditulis, dua orang mantan pemimpin komunis itu telah mengabdikan diri mereka sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan nasional Thailand.
Menyejukkan hati dengan Pemberian Maaf
Ketika seseorang menyakiti kita, kita tidak harus menjadi penghukum bagi mereka.
Jika kita umat Kristen, Muslim, atau Yahudi, tentunya kita percaya
bahwa biarlah Tuhan yang akan menghukum mereka.
Jika kita umat Buddha, Hindu atau Sikh, kita tahu bahwa hukum karma akan
menyediakan ganjaran yang setimpal bagi penganiaya kita.
Dan jika Anda adalah pengikut agama modern psikoterapi,
Anda tahu bahwa para penganiaya Anda harus menjalani terapi yang mahal
selama bertahun-tahun karena dihantui oleh rasa bersalahnya!
Jadi mengapa kita harus menjadi orang yang "memberi pelajaran" kepada mereka?
Setelah mempertimbangkan dengan bijaksana,
kita akan menyadari bahwa kita tidak semestinya menjadi algojo.
Kita tetap dapat menunaikan tugas-tugas bagi masyarakat saat kita membiarkan
kemarahan berlalu dan menyejukkan hati dengan pemaafan.
Dua rekan biksu Barat saya terlibat dalam perbantahan.
Salah satu biksu adalah mantan marinir Amerika Serikat yang pernah
menjadi prajurit lini depan selama Perang Vietnam dan pernah terluka parah.
Yang satunya adalah mantan pebisnis sangat sukses
yang telah menghasilkan banyak uang dan pensiun pada usia pertengahan dua puluhan.
Keduanya, cerdas, kuat, dan berperangai keras.
Para biksu tidak semestinya terlibat perbantahan,tetapi mereka malah cekcok.
Para biksu tidak dibenarkan adu jotos, tetapi mereka malah nyaris.
Mereka berhadapan, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
saling menyemburkan amarah.
Di tengah kecamuk adu mulut itu, si mantan marinir tiba-tiba menekuk lututnya
dan bersujud dengan anggunnya kepada biksu mantan pebisnis
yang menjadi sangat kaget karenanya.
Sambil menengadah dia berkata,
"Maaf. Ampuni saya"
Itu adalah salah satu sikap langka yang langsung datang dari hati,
spontan dan lebih inspiratif daripada yang terencana.
Dengan segera mereka berbaikan kembali, dan mereka jadi benar-benar menarik perhatian.
Biksu mantan pebisnis itu sampai terisak.
Beberapa menit kemudian mereka terlihat berjalan bersama-sama sebagai sahabat.Nah, para biksu dibenarkan untuk itu.
Pemaafan Positif
Memaafkan mungkin hanya bisa diterapkan di wihara. Saya tahu Anda berpikir bahwa kalau kita memberikan maaf dalam kehidupan nyata, kita hanya akan dimanfaatkan oleh orang lain. Orang lain akan melangkahi kita, mereka akan berpikir bahwa kita lemah. Saya setuju. Pemberian maaf seperti itu jarang bisa berhasil. Seperti kata orang, "Dia yang memberikan pipi sebelahnya, harus pergi ke dokter gigi dua kali, bukannya sekali!"
Pemerintah Thai, memberikan lebih dari sekedar pemaafan melalui pengampunan tanpa syarat, namun juga mengobati akar permasalahannya, yaitu kemiskinan, dan menanganinya dengan piawai. Itulah sebabnya pemberian pengampunan berhasil.
Saya menyebut pemberian maaf seperti itu sebagai "pemaafan positif". "Positif" berarti memberikan dorongan positif pada hal-hal baik yang kita harapkan. "Pemaafan" berarti melepaskan hal-hal buruk yang menjadi bagian dari masalah--bukan memperdalam, melainkan membiarkannya berlalu. Contohnya, dalam sebuah kebun, hanya menyirami sama sekali adalah seperti sekedar mempraktikkan pemaafan; dan menyirami bunga tetapi tidak menyirami tanaman liar melambangkan "pemaafan positif".
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, pada akhir ceramah Jumat malam di Perth, seorang perempuan datang kepada saya. Seingat saya, dia secara rutin hadir pada setiap ceramah mingguan ini, tetapi ini pertama kalinya dia berbicara dengan saya. Dia mengatakan bahwa dia ingin mengucapkan terima kasih, bukan hanya kepada saya, tetapi juga kepada semua biksu yang mengajar di wihara kami. Lalu dia mulai menjelaskan apa sebabnya. Dia mulai datang ke wihara kami 7 tahun silam. Dia mengaku, pada saat itu dia tidak begitu tertarik pada ajaran Buddha ataupun meditasi. Alasan utamanya datang ke wihara adalah sekedar mencari-cari alasan untuk meninggalkan rumah.
Dia punya suami yang kasar. Dia adalah korban kekerasan rumah tangga yang menakutkan. Pada saat itu, dukungan dari lembaga-lembaga untuk menolong korban kekerasan seperti itu belumlah ada. Dalam sebuah luapan emosi, dia tidak bisa berpikir jernih untuk minggat selamanya dari rumah. Jadi dia datang ke wihara dengan gagasan bahwa 2 jam di wihara berarti 2 jam dia bebas dari kekerasan.
Apa yang didengarnya dari wihara kami mengubah hidupnya. Dia mendengar dari biksu-biksu mengenai pemberian maaf yang benar--pemaafan positif. Dia memutuskan untuk mencobanya ke suaminya. Dia bercerita bahwa setiap kali suaminya memukul, dia memaafkannya dan membiarkannya berlalu. Bagaimana dia bisa melakukannya, hanya dia yang tahu. Lalu setiap kali sang suami melakukan atau mengatakan sesuatu yang baik, betapa pun sepelenya, saat itu juga dia akan memeluknya atau mencium, ataupun memberikan tanda-tanda untuk mengisyaratkan kepada sang suami bahwa betapa berarti kebaikan tersebut baginya. Dia sungguh-sungguh bersyukur atas kebaikan itu.
Dia menghela napas dan berkata kepada saya bahwa dia melakukannya selama 7 tahun. Pada saat itu matanya jadi berkaca-kaca, dan demikian pula saya. "Selama 7 tahun," katanya, "dan sekarang Anda tidak akan dapat mengenali pria itu lagi. Dia telah berubah 180 derajat. Sekarang, kami punya hubungan kasih yang luar biasa beserta dua anak yang hebat." Wajahnya memancarkan cahaya laksana orang suci. Rasanya saya hendak berlutut di hadapannya. "Anda lihat tempat duduk itu?" katanya, menunjukkan kepada saya, "Minggu ini, sebagai kejutan dia membuatkan tempat duduk kayu untuk bermeditasi. Andai saja itu terjadi 7 tahun yang lalu, dia hanya akan menggunakannya untuk memukul saya!" Kerongkongan saya yang tersumbat menjadi lega bersamaan dengan gelak kami berdua.
Saya mengagumi perempuan itu. Dia meraih dan memenangkan kebahagiaannya sendiri, menurut saya, dari kecemerlangan kualitas dirinya sendiri. Dan dia telah mengubah seorang monster menjadi seorang pria yang penuh perhatian. Dia menolong diri sendiri sekaligus orang lain, dengan sungguh mengagumkan.
Itu adalah contoh ekstrem dari pemaafan positif, hanya direkomendasikan bagi mereka yang ingin jadi suci. Namun demikian, hal itu telah menunjukkan apa yang bisa dicapai saat pemberian maaf dipadukan dengan pemberian dukungan pada kebajikan yang telah dilakukan.
Sanjungan Membuat kita berhasil
Kita Semua tentunya senang dipuji kan?tetapi sayangnya hampir sepanjang waktu kita hanya mendengar tentang kejelekan kita.Saya kira itu adil,karena hampir sepanjang waktu kita pun hanya membicarakan kejelekan orang lain.kita ini jarang sekali mengucapkan pujian.Coba saja dengar sendiri apa yang anda bicarakan.
Tanpa Pujian,tanpa dorongan positif terhadap kualitas-kualitas yang baik,kualitas-kualitas tersebut akan layu dan mati,tetapi seulas pujian bisa menjadi sebuah tonggak pengobar semangat.kita semua ingin mendengar diri kita di puji,kita hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah kita lakukan sudah benar adanya.
Suatu ketika ,saya membaca artikel di sebuah majalah mengenai sebuah kelompok terapi yang menggunakan metode dorongan positif untuk membantu anak-anak yang mengalami suatu kelainan perilaku makan yang langka.kapan pun anak-anak itu menelan makanan padat,mereka akan langsung memuntahkannya.saat seorang anak berhasil untuk tidak memuntahkan secuil makanan selama semenit atau lebih,kelompok itu akan merayakannya.Para orang tua akan memakai topi kertas dan berdiri di kursi bersorak,dan bertepuk tangan,para perawat akan menari-nari dan melemparkan pita warna-warni;seseorang akan memainkan musik favorit anak-anak.Seketika akan ada perayaan besar,Di mana anak yang berhasil menahan makannya menjadi pusat perhatian.Anak-anak itu akan mulai berlatih menahan makanan lebih lama,dan lebih lama lagi.Sukacita mereka akan mengaktifkan kembali sistem saraf mereka.Seperti itulah,anak-anak mendambakan pujian.kita pun demikian.
jadi siapa yang bilang kalau"sanjungan akan membuat kita tak berhasil"?justru sanjungan Kawan akan membuat kita berhasil.
Cara Menjadi VIP
Pada tahun pertama vihara didirikan, dia menanamkan dalam dirinya bahwa dia harus belajar cara bangun-membangun. Struktur utamanya terdiri dari enam toilet dan enam blok pancuran untuk mencuci, jadi dia juga harus belajar segala sesuatu mengenai perpipaan. Dalam upaya belajar, dia membawa rancangannya ke toko pipa, merentangkannya di atas meja toko, dan berkata, “ Tolong!”.
Karena itu adalah pesanan yang lumayan besar, pria di toko, Fred, tak segan memberikan waktunya untuk menjelaskan komponen apa saja yang diperlukannya, mengapa diperlukan dan bagaimana cara memasangnya. Akhirnya dengan segala kesabaran, akal sehat dan masukan dari Fred, pipa system pembuangan limbah di vihara selesai juga. Petugas lembaga pengawas kesehatan setempat datang, memberi ujian berat dan system itu dinyatakan lulus. Pemuda ini senang sekali.
Beberapa hari kemudian, datanglah tagihan untuk semua komponen perpipaan itu. Pemuda itu kemudian meminta cek dari bendahara untuk pembangunan vihara tersebut dan mengirimkan cek itu beserta sepucuk surat ucapan terima kasih, terutama Fred yang telah berbaik hati membantu pembangunan vihara.
Saat itu pemuda ini tidak menyadari bahwa toko besar itu, dengan banyak cabang tersebar di seluruh kota Perth, memiliki departemen-departemen yang terpisah. Surat pemuda ini dibuka dan dibaca oleh seorang juru tulis pada salah satu departemen, yang menjadi tertegun ketika menerima sepucuk surat pujian, lalu segera menyampaikannya kepada manajer keuangan. Biasanya kalau bagian keuangan menerima selembar cek beserta sepucuk surat itu pastilah surat yang berisi pengaduan. Kepala bagian keuangan juga terkejut dan segera membawa surat pemuda itu kepada direktur pengelola perusahaan. Sang direktur membaca surat itu dan merasa senang. Kemudian dia mengangkat telepon di mejanya, menelepon Fred yang berada di bagian meja penjualan di salah satu cabang perusahaannya dan memberitahunya tentang surat pemuda ini yang tergeletak di atas meja kayu mahoni direkturnya.
“Inilah yang kita cari di perusahaan kita, Fred. Hubungan baik dengan pelanggan! Inilah yang membuat kita maju.”
“ Ya, Pak.”
“ Anda telah melakukan pekerjaan yang hebat, Fred.”
“ Ya, Pak.”
“ Saya berharap kita punya lebih banyak karyawan seperti Anda.”
“ Ya, Pak.”
“ Gaji Anda berapa ya? Barangkali kami dapat memberikan lebih banyak.”
“ YA, PAK.”
“ Kerja bagus, Fred.”
“ Terima kasih, Pak.”
Sejam atau dua jam setelah kejadian itu, pemuda ini pergi lagi ke toko tersebut untuk menukar sebuah komponen yang akan digunakan untuk keperluan lainnya. Ada dua orang tukang pipa yang berbadan besar, dengan bahu selebar tanki, sedang menunggu untuk dilayani di depan saya. Namun Fred melihat saya.
“BRAM!” panggilnya dengan senyum lebar. “ Mari ke sini!”
Saya diperlakukan seperti VIP. Saya dibawa ke bagian belakang toko, dimana seharusnya pelanggan dilarang masuk, untuk memilih komponen pengganti yang saya perlukan. Teman Fred di bagian penjualan memberi tahu Bram tentang telepon yang baru saja diterima Fred dari sang direktur.
Bram kemudian menemukan komponen yang dia perlukan, tetapi komponen itu lebih besar dan jauh lebih mahal daripada komponen yang mao dia tukarkan.
“Berapa saya harus membatar?” tanya Bram. “ Berapa selisihnya?”
Dengan senyum yang sangat lebar, Fred menjawab,” Bram, untuk Anda tak ada selisihnya!”
Jadi, pujian bagus juga untuk alasan financial.
Senyum Dua Jari
Pujian dapat menghemat uang kita, mempererat hubungan dan menciptakan kebahagiaan. Kita perlu lebih sering menaburnya ke sekitar kita.
Orang yang paling sulit untuk kita puji adalah diri kita sendiri. Saya dibesarkan utk percaya bahwa memuji diri sendiri akan membuat kita menjadi besar kepala.Sebenarnya bukan begitu. Yang benar adalah menjadi besar hati. Memuji kualitas baik dari diri kita sendiri berarti membesarkan hati dengan cara yang positif.
Saat saya masih seorang mahasiswa, guru meditasi pertama saya memberikan sebuah nasihat untuk dipraktekkan. Awalnya beliau menanyakan apa yang pertama-tama saya lakukan begitu bangun pagi.
"Pergi ke kamar mandi," kata saya.
"Apa ada sebuah cermin di kamar mandimu?" tanya beliau.
"Tentu."
"Bagus," katanya. "Nah setiap pagi, bahkan sebelum
kamu menggosok gigi, saya ingin kamu menatap cermin
dan tersenyum pada dirimu sendiri."
"Pak !" Saya mulai protes. "Saya ini mahasiswa.
Kadang-kadang saya tidur sangat larut dan bangun
pagi-pagi dengan perasaan kurang enak. Pada pagi-pagi
tertentu bahkan saya ngeri melihat wajah saya sendiri,
boro-boro tersenyum."
Beliau terkekeh, menatap mata saya dan berkata,"Jika kamu tidak bisa tersenyum secara alami, kamu dapat memakai dua jarimu, taruh di kedua sudut mulut, dan tekanlah ke atas. Seperti ini," Beliau menunjukkan caranya.
Beliau jadi terlihat menggelikan. Saya terkekeh-kekeh melihatnya. Beliau menyuruh saya untuk mencobanya,dan saya menurutinya.
Pada pagi berikutnya, saya menarik turun diri saya dari tempat tidur, melangkah terhuyung-huyung ke kamar mandi. Saya menatap diri saya di cermin."Urrrgh!" Itu bukan pemandangan yang manis.Sebuah senyum alami tidak bisa muncul. Jadi saya meletakkan dua jari telunjuk di sudut mulut dan menekannya ke atas. Lantas saya melihat seorang mahasiswa muda bodoh menampilkan wajah tololnya di cermin, dan saya tak tahan untuk tidak tersenyum. Begitu muncul sebuah senyum alami,saya melihat mahasiswa di cermin tersenyum kepada saya.Saya pun tersenyum lebih lebar lagi, dan orang yang di cermin pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar juga. Dalam beberapa detik, kami mengakhirinya dengan tertawa bersama.
Saya terus mempraktekkan nasihat itu setiap pagi selama 2 tahun. Setiap pagi, tak peduli bagaimana perasaan saya saat bangun, saya segera tertawa begitu melihat diri saya di cermin, biasanya sih dengan bantuan dua jari.Sekarang orang bilang saya banyak senyum.Barangkali itu karena otot-otot di sekitar mulut saya menetap dalam posisi seperti itu.
Kita dapat mencoba trik dua jari kapan saja,terutama bermanfaat ketika kita merasa sakit, bosan atau tertekan. Tertawa telah terbukti bisa melepaskan hormon endorphin ke dalam aliran darah kita, yang dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh kita dan membuat kita merasa bahagia.
Hal itu akan membantu kita melihat 998 bata bagus di tembok kita, bukan hanya dua bata jelek. Dan tertawa membuat kita terlihat rupawan. Itulah sebabnya kadang saya menyebut vihara kami di Perth sebagai "salon kecantikan Ajahn Brahm"
Pengajaran yang Tak Ternilai
Saya pernah diberi tahu bahwa depresi telah menelurkan industri bernilai miliaran dolar. Itu benar-benar membuat orang depresi! Menjadi kaya di atas penderitaan orang lain rasanya bukan hal yang patut dibenarkan. Di dalam tradisi kami yang keras, para biksu tak diizinkan memiliki uang, dan kami tak pernah menagih biaya apa pun untuk ceramah yang kami berikan, untuk konsultasi atau untuk pelayanan lainnya.
Seorang perempuan Amerika menelepon seorang rekan biksu, yang terkenal sebagai guru meditasi, untuk bertanya mengenai cara bermeditasi.
"Saya dengar Anda mengajarkan meditasi," tanyanya dari balik telepon.
"Ya, benar, Bu" jawab biksu itu dengan sopan.
"Berapa tarif anda?" si perempuan langsung bertanya ke inti masalahnya.
" Tidak ada tarif, Bu.''
"Kalau begitu, Anda pasti tidak bagus!" dia menukas dan langsung menutup teleponnya.
Beberapa tahun yang lalu, saya pun pernah menerima telepon seperti itu dari seorang perempuan keturunan Polandia-Australia.
" Benarkah ada ceramah di wihara Anda nanti malam? " tanyanya.
"Ya,Bu. Mulai pukul 8 malam," saya memberitahunya.
"Tak ada, Bu, gratis," jelas saya. Setelah itu ada jeda sesaat.
" Anda belum menangkap maksud saya," katanya dengan keras. " Berapa banyak uang yang harus saya berikan kepada Anda untuk mendengarkan ceramah itu?"
"Bu, Anda tak perlu memberikan uang, Ini gratis," kata saya selembut mungkin.
"Dengar!" dia berteriak dari seberang. " Dolar! Sen! Berapa banyak yang harus saya bayar untuk bisa masuk?"
"Bu, Anda tidak perlu membayar apa pun. Anda masuk saja, duduk, dan boleh pergi kapan pun Anda mau. Tak ada yang akan menanyakan nama dan alamat Anda, Anda Tak akan diberi selebaran apa pun, dan Anda tak akan dimintai sumbangan apa pun di pintu. Ini benar-benar gratis."
Sekarang ada jeda cukup lama.
Lalu dia bertanya, dengan sungguh-sungguh ingin tahu, " Baiklah, jika gratis, lalu apa yang kalian dapatkan dari situ?"
"Kebahagiaan, Bu," jawab saya," Kebahagiaan."
Dewasa ini, bila ada yang bertanya berapa harga pengajaran ini, saya tak pernah lagi bilang gratis. Saya menjawab pengajaran itu tak Ternilai.
Ini Pun Akan Berlalu
Salah satu pengajaran tak ternilai yang dapat membantu mengatasi depresi, adalah juga salah satu yang paling sederhana, mudah untuk disalahpahami. Hanya jika kita akhirnya sudah terbebas dari depresi, barulah kita boleh menyatakan diri sudah betul-betul memahami cerita berikut ini.
Seorang narapidana baru merasa ketakutan dan tertekan. Tembok-tembok batu di selnya seperti menyerap habis semua kehangatan; jeruji-jeruji besi bagai mencemooh segala belas kasih; suara gelegar baja yang beradu ketika gerbang ditutup, mengunci harapan jauh-jauh. Hatinya terpuruk sedalam hukumannya yang sedemikian lama. Di tembok, di atas kepala tempat tidur lipatnya, dia melihat sebuah kalimat yang tergores di sana: INI PUN AKAN BERLALU.
Kalimat itu melecut semangatnya, mungkin demikian juga dengan narapidana lain sebelum dia. Tak peduli betapa beratnya, dia akan menatap tulisan itu dan mengingatnya: ini pun akan berlalu. Pada hari dia dibebaskan, dia mengetahui kebenaran dari kata-kata itu. Waktunya telah terpenuhi; penjara pun telah berlalu.
Ketika dia menjalani kembali kehidupan normalnya, dia sering merenungi pesan itu, menulisnya di secarik kertas untuk ditaruh di samping tempat tidurnya, di mobil, dan di tempat kerja. Bahkan saat dia mengalami hal-hal yang buruk, dia tak akan menjadi depresi. Dengan mudah dia akan mengingat "ini pun akan berlalu", dan terus berjuang. Saat-saat yang buruk pun tidak memerlukan waktu lama untuk berlalu. Lalu ketika saat-saat yang menyenangkan tiba, dia menikmatinya, tetapi tanpa terlalu sembrono. Sekali lagi dia akan mengingat, "ini pun akan berlalu", dan terus lanjut bekerja, tanpa menggampangkan hal yang menyenangkan itu. Saat-saat yang indah biasanya juga tak akan bertahan lama-lama.
Bahkan ketika dia menderita kanker, "ini pun akan berlalu" telah memberinya pengharapan. Pengharapan memberinya kekuatan dan sikap positif yang mengalahkan penyakitnya. Suatu hari, dokter spesialis memastikan bahwa "kanker pun telah berlalu".
Pada hari-hari terakhirnya, di atas ranjang kematian, dia membisikkan kepada orang-orang yang dicintainya, "ini pun akan berlalu," dan dengan enteng dia meninggalkan dunia ini. Kata-katanya adalah pemberian cinta terakhir bagi keluarga dan teman-temannya. Mereka belajar darinya bahwa "kesedihan pun akan berlalu".
Depresi adalah sebuah penjara yang sering dialami oleh kita-kita ini. "ini pun akan berlalu" membantu melecut semangat kita; juga menghindarkan salah satu penyebab depresi hebat, yaitu tidak mensyukuri saat-saat bahagia.
Pengorbanan Gagah Berani
saat saya masih seorang guru sekolah, perhatian saya tertarik pada seorang siswa yang mendapat peringkat terbawah pada ujian akhir tahun dalam kelas saya yang terdiri dari 30 siswa. saya melihat dia tertekan karena nilainya yang tidak bagus, lalu saya menghampiri dan mengajaknya berbicara.
saya berkata padanya "harus ada orang yang berada di peringkat 30 dari 30 siswa di kelas ini. tahun ini orang itu adalah kamu, kamu yang telah melakukan pengorbanan gagah berani supaya tak ada seorangpun temanmu menderita malu karena mendapat peringkat terbawah di kelas ini. kamu sungguh baik, begitu penuh belas kasih. kamu pantas mendapatkan medali"
kita berdua tahu bahwa apa yang saya katakan itu konyol, tetapi dia menyeringai lebar. dia tak lagi menganggap peringkat terbawahnya sebagai sebuah kiamat.
dia mendapat peringkat yang jauh lebih baik pada tahun berikutnya, ketika tiba giliran orang lain melakukan pengorbanan gagah berani.
Gundukan Pupuk Kandang
Hal-hal yang tak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dan orang yang tertekan hanyalah pada cara mereka bereaksi terhadap kemalangan.
Bayangkan Anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika Anda kembali ke rumah, Anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu rumah Anda. Ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan gundukan pupuk kandang ini :
1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan Anda.
2. Anda merasa kehabisan akal. Tidak ada yang melihat siapa yang menimbunnya di situ, jadi Anda tidak dapat menelepon pelakunya untuk menyingkirkan pupuk kandang itu.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah Anda. Sungguh tak tertahankan.
Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah Anda melambangkan pengalaman-pengalaman traumatik yang menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dengan gundukan pupuk kandang itu, ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedi dalam kehidupan kita:
1. Kita tidak memesannya. Kita berkata, "Kenapa saya?"
2. Kita merasa kehabisan akal. Tak seorang pun, sekalipun teman terbaik kita, dapat menyingkirkannya (meski mereka telah mencoba).
3. Tragedi itu sangat menyakitkan, penghancuran kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.
Ada dua cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu kemana-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita, dan sebagian lagi di baju kita. Kita bahkan menaruhnya di celan panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu kemana-mana, kita kehilangan banyak teman! Bahkan teman-teman terbaik pun tampaknya jadi tak begitu sering lagi dekat-dekat dengan kita.
"Membawa kotoran ke mana-mana" adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal-hal negatif, atau amarah, itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumprah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumprah dan dapat dimaklumi pula jika teman-teman kita tak suka berada di samping kita yang selalu merasa dipresi. Lagi pula, dengan cara ini, gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tetapi baunya malah bertambah busuk karena makin matang.
Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah, dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang, kita hanya mampu mengatasi separuh gerobak saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari gundukan itu makin berkurang. Kadang diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba jugaketika gundukan kotoran di depan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi di belakang rumah kita. Bunga-bunga di kebun kita bermekaran dengan warna-warni memenuhi semua sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga dan bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah di sudut taman yang hampir rubuh karena tergelayuti oleh buah-buahnya. Dan buahnya sunguh manis; Anda tidak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, sehingga kita dapat membaginya dengan para tetangga, bahkan orang yang lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.
"Mengubur kotoran" adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tragedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri; tak ada yang dapat membantu kita. Namun dengan menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu akan makin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yag cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi rasa sakit di dalam hidup kita dan di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga-bunga kebajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harum cinta menyebar sampai jauh, para tetangga kita, teman kita, bahkan samapi juga ke orang-orang yang tak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi-bagikan buah-buah yang enak itu dengan gratis, bahkan kepada orang-orang yang tak kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.
Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkan taman kita, lalu kita dapat merangkulkan lengan kita ke dalam tragedi yang mendalam dan berkata, dengan lembut, "Aku tahu." Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuhkembangkan taman kita sendiri, semuai ini tak dapat kita lakukan.
Saya mengenal banyak biksu yang piawai dalm bermeditasi, yang penuh kedamaian, tenang dan tentram dalam menghadapi kemalangan, tetapi hanya sedikit di antaranya yang menjadi guru hebat. Saya sering heran, mengapa begitu.
Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa biksu-biksu yng relatif tidak tertimpa banyak kemalangan, yang memiliki sedikit kotoran untuk dikuburkan, adalah mereka yang tidak menjadi guru-guru hebat. Adalah biksu-biksu yang mengalami kesukaran yang besar, dengan diam menguburkannya, dan datang dengan taman yang subur, adalah mereka yang menjadi guru-guru hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan dan welas asih; tetapi hanya mereka yang memiliki kotoran lebih banyaklah yang dapat membaginya pada dunia. Guru saya, Ajahn Chan, yang bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk yang mengangkut pupuk kandang yang berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa-masa awal kehidupannya.
Barangkali pesan moral dari cerita ini adalah, jika Anda ingin melayani dunia, jika Anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika terjadi tragedi dalam hidup Anda. Anda dapat berkata, "Cihui! Aku dapat banyak pupuk untuk taman hatiku."
Terlalu Berlebihan Berharap
Terlalu berlebihan berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Adalah salah berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Karena rasa sakit adalah pertahanan tubuh kita.
Tak peduli seberapa tak sukanya kita,
Dan tak ada yang suka rasa sakit,
Rasa sakit itu penting,
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.
Bagaimana lagi kita bisa tahu,
Untuk menarik tangan kita dari api?
Jari kita dari belati?
Kaki kita dari duri?
Jadi rasa sakit itu penting
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.
Namun,
Ada sejenis rasa sakit yang tak ada gunanya,
Itulah rasa sakit kronis,
Itulah pasukan elite rasa sakit yang bukan untuk pertahanan,
Itu adalah kekuatan yang menyerang.
Penyerang dari dalam,
Penghancur kebahagiaan pribadi,
Penyerang ganas bagi kemampuan pribadi,
Penyerbu tak kenal lelah bagi kedamaian pribadi,
Dan, pelecehan berkelanjutan bagi hidup!
Rasa sakit kronis adalah aral rintang terberat bagi pikiran.
Kadang rasa sakit itu nyaris mustahil untuk dilampaui,
Namun, kita harus tetap mencoba,
Dan mencoba,
Dan mencoba,
Sebab jika tidak, ia akan menghancurkan kita.
Dan
Dari pertempuran itu akan muncul hal-hal yang baik,
Kepuasan penaklukan rasa sakit.
Pencapaian kebahagiaan dan kedamaian,
Pada kehidupan sekalipun darinya.
Itu sungguhlah suatu pencapaian,
Pencapaian yang sangat istimewa, sangat pribadi,
Rasa akan kekuatan,
Kekuatan batiniah,
Yang harus dialami untuk bisa dipahami.
Jadi, kita semua harus menerima rasa sakit,
Sekalipun rasas sakit yang merusak.
Karena itu bagian dari segala sesuatu,
Dan pikiran dapat mengatasinya,
Dan pikiran akan menjadi lebih kuat dalam mengalaminya.
~ Jonathan Wilson-Fuller~
Alasan untuk menyertakan puisi diatas, atas perkenan dari penulisnya, adalah karena puisi tersebut ditulis oleh Jonathan pada saat dia baru berumur 9 tahun!
Menjadi Tong Sampah
Bagian dari pekerjaan saya adalah mendengarkan masalah-masalah umat. Para Biksu selalu punya nilai lebih secara ekonomis, karena mereka tak pernah menagih biaya apa pun. Sering kali, ketika saya mendengarkan keluh kesah, kepelikan yang diderita orang, tenggang rasa yang timbul membuat saya ikut-ikutan depresi juga. Untuk menolong seseorang keluar dari sangkarnya, saya kadang-kadang harus masuk ke dalam sangkar juga agar dapat menjangkau tangan mereka- tetapi saya selalu ingat untuk membawa tangga. Setelah suatu sesi konsultsi saya selalu merasa cerah kembali. Konsultasi yang saya berikan tak akan meninggalkan gema apa pun, karena latihan yang saya jalani.
Ajahn Chah, Guru saya di Thailand, mengatakan bahwa para biksu harus menjadi tong sampah. Para Biksu, khususnya biksu-biksu senior, harus duduk di wiharanya, mendengarkan keluh-kesah orang-orang yang datang dan menampung semua sampah mereka. Mulai dari masalah pernikahan, kesulitan mengasuh anak remaja, kericuhan dengan relasi, masalah-masalah keuangan- seperti banyak yang kami dengar. Saya tidak tahu kenapa begini. Tahu apa seorang biksu yang hidup selibat tentang masalah perkawinan? Kami meninggalkan keduniawian untuk menyingkir dari sampah-sampah semacam itu, tetapi karena belas kasih, kami duduk mendengarkan, membagi kedamaian kami, dan menerima segala macam sampah.
Ada tambahan, yang merupakan bagian terpenting dari nasihat yang diberikan oleh Ajahn Chah. Beliau berkata kami harus menjadi tong sampah yang dasarnya bolong! Kami harus menerima semua sampah, tetapi tidak boleh menyimpannya.
Oleh karena itu, seorang teman atau penasihat yang ampuh, adalah seperti tong sampah yang tak punya dasar, dan karenanya tak akan pernah menjadi terlalu penuh untuk mendengarkan masalah-masalah lainnya.
MUNGKIN MEMANG ADIL
Sering kali saat kita mengalami depresi, kita berpikir " ini tidak adil! Mengapa aku?" Akan sedikit melegakan jika hidup ini lebih adil.
Seorang Narapidana paruh baya di kelas Meditasi yang saya ajarkan di penjara minta bertemu dengan saya setelah sesi selesai..
Dia telah mengikuti sesi2 saya selama beberapa bulan & saya telah cukup mengenalnya..
'BRAHM' Katanya..
'Saya ingin memberi tahu Anda bahwa saya tidak melakukan Kejahatan yang membuat saya terkunci di penjara ini..
Saya tidak bersalah..
Saya tahu beberapa penjahat mungkin akan mengatakan hal yang sama & berbohong,
Tetapi saya mengatakan yang sebenarnya kepada Anda..
Saya tidak akan berbohong kepada Anda, BRAHM,
Tidak kepada Anda'
Saya percaya kepadanya..
Keadaan & sikapnya membuat saya yakin bahwa dia tidak berbohong..
Saya mulai berpikir betapa tak adilnya ini &
Bertanya2 bagaimana saya bisa memperbaiki ketidakadilan yang mengerikan ini..
Namun dia menyela pikiran saya..
Dengan tersenyum nakal,
Dia berkata :
'Tetapi BRAHM,
Ada banyak kejahatan lain yang saya perbuat,
Tetapi saya tak tertangkap..
Jadi saya kira apa yang terjadi sekarang ini memang ADIL'
Saya tertawa terbahak2..
Rupanya si Tua Bangka ini memahami Hukum KARMA,
Bahkan lebih Baik daripada beberapa Biksu yang saya kenal..
Berapa seringkah kita melakukan 'Kejahatan' yang begitu melukai,
Tindakan yang penuh kedengkian,
Tetapi kita tidak dibuat menderita olehnya?
Apakah kita pernah berkata
'Ini tidak adil !
Mengapa aku tidak ditangkap?'
Ketika kita dibuat menderita oleh suatu alasan yang tidak jelas,
Belum2 kita sudah mengerang..
Bahkan terkadang mengalami Depresi & kita berpikir :
'Ini tidak adil !
Mengapa aku?'
Barangkali itu sebenarnya ADIL..
Seperti Napi yang saya ceritakan,
Barangkali ada banyak 'Kejahatan' lain yang kita perbuat, tetapi kita tak tertangkap..
Inilah yang menjadikan HIDUP ini sebenarnya ADIL..
Hukum Karma
Kebanyakan orang Barat salah mengerti tentang hukum karma. Mereka beranggapan bahwa hukum karma adalah faham fatalisme, dimana seseorang ditakdirkan menderita atas kejahatan yang tak diketahui pada kehidupan lampau yang telah terlupakan. Itu tidaklah benar, seperti yang akan ditunjukkan oleh cerita berikut ini.
Dua orang perempuan masing-masing sedang membuat kue.
Perempuan yang pertama memiliki bahan-bahan yang memprihatinkan. Terigu tua yang lumutan, sehingga gumpalan-gumpalan hijaunya harus ditampi terlebih dahulu. Mentega yang diperkaya kolesterol yang sudah agak masam. Dia harus menyisihkan bongkahan-bongkahan colat dari gula pasirnya (karena seseorang telah menyendok dengan sendok basah bekas mengaduk kopi), dan satu-satunya buah yang dipunyai adalah kismis purba, sekeras uranium. Dan dapurnya bergaya "Pra- Perang Dunia"--entah Dunia yang mana.
Perempuan kedua memiliki bahan-bahan terbaik. Tepung terigu murni hasil cocok tanam organik, dijamin bukan hasil rekayasa genetik. Dan punya mentega bebas kolesterol, gula pasir dan buah-buahan segar langsung dari kebun sendiri. Dan dapurnya adalah dapur mutakhir, dengan segala peralatan modern.
Perempuan mana yang membuat kue yang lebih enak?
Acapkali, bukan orang yang memiliki bahan-bahan terbaiklah yang dapat membuat kue terbaik—ada yang lebih dari sekedar bahan baku. Kadang-kadang orang dengan bahan-bahan yang mengenaskan mengerahkan segenap daya, perhatian dan cintanya untuk memanggang kuenya sehingga menghaslkan kue yang terlezat. Apa yang kita lakukan dengan bahan-bahanlah yang membuat kue jadi berbeda.
Saya punya beberapa teman yang memiliki bahan-bahan yang menyedihkan dalam hidupnya: mereka lahir dalam kemiskinan, korban kekerasan terhadap anak, tidak pintar di sekolah, mungkin cacat dan tidak mahir olahraga. Namun segelintir kualitas yang mereka miliki mereka racik dengan begitu baik, sehingga menghasilkan kue yang begitu mengagumkan. Saya betul-betul mengagumi mereka. Kenalkah Anda dengan orang-orang seperti ini?
Setengah dari karma adalah bahan-bahan yang kita miliki. Setengah sisanya, bagian yang paling menentukan, adalah apa yang kita lakukan dengan bahan-bahan tersebut, dalam hidup ini.
Minum Teh Ketika Tak Ada Jalan Keluar
Selalu saja ada sesuatu yang dapat kita perbuat dengan bahan-bahan dalam diri kita, bahkan jika sesuatu itu cuma duduk –duduk saja, menikmati cangkir terakhir teh kita. Kisah berikut ini akan menceritakan seseorang yang pernah bertugas sebagi tentara Inggris pada Perang Dunia II.
Saat itu dia sedang berpatroli di tengah hutan belantara Myanmar; masih muda, jauh dari rumah dan sangat ketakutan. Prajurit pengintai dari kestuannyatelah kembali dan melaporkan berita yang mengerikan kepada kapten. Patrol kci mereka telah terjegal oleh sekelompok besar tentara Jepang. Pasukan mereka kalah banyak dan terkepung rapat. Prajurit muda Inggris itu telah mempersiapkan diri untuk mati.
Dia berharap sang kapten memerintah orang-orangnya untuk bertempur supaya mereka dapat keluar dari kepungan musuh; itu adalah hal yang jantan untuk dilakukan. Mudaah-mudahan seseorang akan melakukannya. Jika tidak, yah, mereka akan mengajak mati beberapa musuh; itulah yang dilakukan oleh para prajurit.
Tetapi yang jadi kapten bukan prajurit itu. Sang kapten memerintahkan orang-orangnya untuk tetap diam, duduk dan membuat secangkir the. Ini tentara kerajaan Inggris, Bung!
Si prajurit berpikir bahwa kepala pasukannya sudah pasti sinting. Bagaimana seseorang bisa memikirkan secangkir teh saat terkepung musuh, tanpa jalan keluar dan terancam mati? Dalam ketentaraan, khususnya saat perang, setiap perintah harus dipatuhi. Jadi mereka semua membuat secangkir teh, yang mereka piker akan menjadi secangkir teh masing-masing. Sebelum mereka menghabiskan tehnya, prajurit pengintai kembali lagi dan berbisik kepada kapten. Sang kapten lalu meminta perhatian semua perajuritnya. “Musuh telah pergi!”dia mengumumkan. “Sekarang ada jalan keluar. Kemas semua barang dan perlengkapan kalian dengan cepat, dan jangan berisik—ayo pergi!!!.
Mereka semua pergi dengan selamat, maka dari itu si prajurit bisa bercerita. Dia memberi tahu bahwa dia berhutang budi pada kebijaksanaan kaptennya, bukan hanya ketika perang Myanmar, tetapi sepanjang hidupnya semenjak itu. Beberapa kali dalam hidupnya dia merasa terkepung oleh musuh yang jumlahnya luar biasa, tanpa jalan keluar dan hampir mati. Apa yang dia maksudkan “musuh” adalah penyakit parah, kesulitan yang luar biasa dan tragedy di tengah-tengah keadaan yang seolah tidak ada jalan keluar. Tanpa pengalaman yang dialaminya di Myanmar, dia pasti mencoba bertempur terus melawan masalahnya, dan tidak diragukan lagi, itu malah akan membuat masalahnya semakin buruk. Tetapi sebaliknya, saat kematian atau masalah maut mengepungnya dari segala penjuru, dengan tenang dia duduk dan membuat secangkir teh.
Dunia ini selalu berubah, kehidupan adalah aliran pelabuhan yang terus-menerus. Dia meminum tehnya, menghemat kekuatannya, dan menantikan saatnya, yang pasti datang, saat dia dapat melakukan sesuatu dengan efektif, misalnya melarikan diri.
Bagi mereka yang tak suka teh, ingat-ingat saja pepatah berikut ini, “Ketika tak ada yang perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain!!!” mungkin kedengarannya aneh, tapi hal itu juga bisa menyelamatkan hidup anda .
Mengalir Bersama Arus
Seorang biksu bijak, yang telah bertahun-tahun saya kenal, tengah bergerak jalan bersama seorang kawan lamanya di sebuah padang. Pada penghujung senja yang terik, mereka tiba di bentangan yang sangat indah dari sebuah pantai yang tersembunyi. Sekalipun ada peraturan bahwa biksu dilarang berenang untuk bersenang-senang, tetapi air biru menggodanya dan dia perlu mendinginkan tubuh selepas perjalanan panjang, jadi dia melepas jubahnya dan pergi berenang.
Saat dia masih muda sebagai umat awam, dia adalah perenang yang tangguh. Namun sekarang, setelah begitu lama menjadi biksu, sudah bertahun-tahun dia tidak pernah berenang lagi. Tak berapa lama setelah dia menceburkan diri kedalam ombak yang bergelora, dia terperangkap di tengah ombak pasang yang kuat yang mulai menyeretnya ke tengah laut. Nantinya dia baru diberitahu bahwa pantai itu sangat berbahaya karena arusnya yang ganas.
Mulanya, biksu tsb mencoba berenang melawan arus. Dia segera sadar bahwa arus itu terlalu kuat baginya. Latihan-latihan yang selama ini dia jalani sekarang datang sebagai penolongnya. Dia lalu bersikap santai, melepas, dan mengalir bersama arus.
Sebuah tindakan yang memerlukan keberanian besar untuk dapat bersikap santai dalam situasi seperti itu, tatkala dia melihat garis pantai terus menjauh. Dia berada ratusan meter dari daratan ketika kekuatan arus mulai berkurang. Barulah sesudah itu dia mulai berenang menjauhi ombang pasang menuju garis pantai.
Dia bercerita kepada saya bahwa berenang kembali ke pantai benar-benar menguras habis seluruh tenanganya. Dia mencapai dartan dalam keadaan amat kelelahan. Dia yakin bahwa jika dia terus mencoba melawan arus, arus itu pasti sudah mengalahkannya. Dia akan terseret ke tengah laut, sama halnya kalau dia mengikuti arus, tetapi dengan tenaga yang sudah terkuras habis sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berenang kembali ke pantai. Jika saja dia tidak membiarkan dan mengalir bersama arus, dia yakin dia pasti sudah tenggelam.
Cerita tsb menunjukkan bahwa pepatah, "Ketika tak ada yang perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain," bukanlah teori khayalan. Malahan, itu bisa menjadi kebijaksanaan penyelamat kehidupan. Ketika arus terlalu kuat bagi Anda, itulah saatnya untuk mengalir bersama arus. Ketika Anda mampu bertindak dengan efektif, itulah saatnya untuk mengerahkan upaya.
Terjebak di Antara Macan dan Ular
Ada sebuah cerita kuno Buddhis, yang seperti cerita sebelumnya, menggambarkan mengenai bagaimana kira-kira respon kita dalam menghadapi krisis antara hidup dan mati.
Seorang lelaki berlari tunggang langgang dikejar oleh seekor macan di hutan. Macan dapat berlari lebih cepat daripada manusia dan mereka juga makan manusia. Macan itu sedang lapar ; lelaki itu dalam kesulitan.
Ketika macan hampir saja berhasil menerkamnya, orang itu melihat sebuah sumur di pinggir jalan. Dalam keputusasaannya, tanpa pikir panjang dia melompat ke dalam sumur itu. Segera saja dia sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal. Sumur itu kering dan di dasarnya, dia melihat segulung besar ular hitam.
Secara naluriah dia menggapaikan lengannya untuk meraih tepi sumur, dan tangannya menemukan sebuah akar pohon yang mampu menahan laju kejatuhannya. Ketika dia telah merasa cukup tenang, dia melihat si ular hitam menjulurkan tubuhnya setinggi mungkin untuk mencoba menyerang kakinya, tetapi kakinya sejengkal lebih tinggi. Dia lalu mendongakkan kepala dan melihat si macan mencondongkan tubuhnya di bibir sumur untuk mencoba mencakarnya dari atas ; tetapi tangannya sejengkal lebih jauh dari si macan. Selama dia merenungkan keadaannya yang mengenaskan itu, dia melihat dua ekor tikus, yang satu hitam dan lainnya putih, muncul dari sebuah lubang kecil dan mulai mengerat akar pohon yang dipegangnya.
Selama si macan mencoba mencakarnya, kaki belakangnya berpijak pada sebuah pohon kecil di tepi sumur yang menyebabkan pohon itu bergoyang-goyang. Pada salah satu dahan pohon yang menjuntai dari atas sumur, terdapat sebuah sarang lebah, madu pun mulai menetes jatuh ke dalam sumur. Melihat tetesan madu, lelaki itu menjulurkan lidahnya untuk menangkap tetesan madu tersebut.
"Mmmm ! Sedap sekali," dia berkata kepada dirinya sendiri dan tersenyum.
Kisah itu, sebagaimana diceritakan secara tradisi, berakhir sampai di situ saja. Itulah sebabnya kisah itu menjadi kisah sejati bagi kehidupan. Karena kehidupan, sebagaimana sinetron televisi yang bertele-tele, tidak punya akhir yang rapi. Kehidupan ini selamanya dalam proses penuntasan.
Lebih lanjut, sering dalam kehidupan ini kita bagaikan terjebak di antara macan lapar dan ular hitam, di antara kematian dan sesuatu yang lebih buruk, dengan siang dan malam (kedua tikus) mengunyah-ngunyah seutas tali kehidupan tempat kita bergantung. Bahkan dalam situasi yang menakutkan seperti itu selalu ada saja madu yang menetes entah dari mana. Jika kita bijaksana, kita akan menjulurkan lidah untuk menikmati tetes-tetes madu itu. Mengapa tidak ? Ketika tak ada yg perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain, nikmati saja tetes-tetes madu kehidupan.
Seperti yang saya katakan, secara tradisional kisah itu berakhir di sini. Namun demikian, dalam rangka membuat sebuah kesimpulan, saya biasanya menceritakan akhir yang sebenarnya dari kisah itu kepada pemirsa saya. Inilah yang terjadi berikutnya.
Tatkala lelaki itu menikmati tetesan madu, tikus-tikus terus mengerat akar pohon sehingga menjadi makin tipis dan makin tipis saja. Si ular hitam pun terus menjulur-julurkan tubuhnya makin dekat dengan kaki si lelaki ; sementara si macan terus mencondongkan tubuhnya lebih dalam lagi hingga cakarnya nyaris menjangkau tangan si lelaki. Lalu si macan dengan penuh semangat mencondongkan kembali tubuhnya lebih dalam lagi, tiba-tiba dia terjatuh ke dalam sumur, meluncur melewati lelaki itu dan menimpa si ular sampai mati ; macan itu pun sekarat di dasar sumur.
Yah, itu bisa saja terjadi ! Dan sesuatu yang tak terduga biasanya terjadi. Begitulah kehidupan kita. Jadi mengapa menyia-nyiakan momen manisnya madu, bahkan bila kita berada dalam masalah yang benar-benar pelik sekalipun. Masa depan itu tak pasti, kita tak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.
Masa Depan itu tak pasti, Kita tak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.
Dan saat segala Masalah yang pelik telah sirna, hidup tidak selalu harus tidak berbuat apa-apa, Menikmati Madu!
Hidup juga harus diperjuangkan dengan segenap daya, agar Hidup dapat semakin Hidup.
KEHIDUPAN tak akan pernah luput dari Masalah, Percobaan dan Penderitaan.
Setiap orang punya kisah duka nestapa sendiri-sendiri, tergantung bagaimana cara kita menyikapi.
Kebanyakan kita melihat hanya dari segi Derita, Nestapa, Masalah, Cobaan tersebut. Sehingga dalam HIDUP tak ada SUKA CITA sedikit pun yang tersisa.
Hanya ada Kesedihan, Duka, Amarah, Kejengkelan dan Perasaan-perasaan Negatif lainnya.
Tidak heran, sering kita temui orang-orang yang mengalami Depresi, Penyakit Psikosomatis,
Bahkan sampai Bunuh Diri.
Alangkah INDAH Kehidupan di Dunia,
Jika kita senantiasa bisa mencari Sisi POSITIF dari segala yang kita alami dan Mampu menikmatinya.
Belajarlah untuk Senantiasa BERSYUKUR.
Niscaya akan selalu ada SUKA CITA di dada.
NASIHAT HIDUP
Dalam cerita sebelumnya,saat macan dan ularnya mati,itulah saat yang tepat bagi orang tersebut untuk melakukan sesuatu.Dia berhenti menikmati madu,dan dengan segenap daya untuk memanjat ke atas sumur,lalu berjalan keluar dari hutan menuju keselamatan.Hidup tidak selalu harus tidak berbuat apa-apa,menikmati madu.
Seorang pemuda dari Sydney bercerita kepada saya bahwa dia pernah bertemu dengan guru saya,Ajahn Chah,di Thailand,dan menerima nasihat terbaik dalam hidupnya.
Banyak pemuda barat yang tertarik dengan ajaran Buddha,mendengar tentang Ajahn Chah pada awal tahun 80’an.Pemuda ini memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Thailand,khusus untuk menemui sang bikkhu hebat dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Sebuah perjalanan panjang.Sesampainya ke Bangkok,delapan jam dari Sydney,dia naik kereta api malam,sepuluh jam menuju Ubon.Di sana dia tawar menawar harga dengan seorang supir taksi untuk membawanya ke Wat Nong Pah Pong,wihara Ajahn Chah.Dalam keadaan lelah namun penuh semangat,akhirnya sampai juga dia di pondok Ajahn Chah.
Sang guru begitu terkenal.Dia sedang duduk di pondoknya,seperti biasa,dikelilingi oleh kerumunan besar orang yang terdiri dari para Bhikkhu dan jenderal,petani miskin dan pedagang kaya,perempuan dusun sederhana dan perempuan penuh riasan dari Bangkok,semua duduk bersisian.Tidak ada diskriminasi di bawah atap pondok Ajahn Chah.
Si pemuda Australia duduk di pojok kerumunan besar itu.dua jam berlalu dan bahkan Ajahn Chah sama sekali tidak memerhatikan kehadirannya.Terlalu banyak orang lain di depannya.Merasa sia-sia,dia pun bangkit dan berjalan keluar.
Dijalan keluar menuju gerbang utama,dia melihat beberapa Bhikkhu sedang menyapu dedaunan di sekitar menara lonceng.Masih ada satu jam sebelum taksi datang menjemput si pemuda di depan gerbang,jadi dia mengambil sebuah sapu,bermaksud untuk berbuat karma baik.
Sekitar tiga puluh menit kemudian,sewaktu sibuk menyapu,dia merasakan ada tangan seseorang di bahunya.Dia menbalikan badan dan dia kaget bercampur gembira,karena itu adalah tangan Ajahn Chah,yang sedang berdiri sambil tersenyum
dihadapannya.Ajahn Chah telah melihat si pemuda barat ini,tetapi tidak berkesempatan untuk menyapanya.Waktu itu,Ajahn Chah dalam perjalanan keluar wihara menuju ke tempat lain,jadi dia hanya berhenti sebentar di depan pemuda dari Sydney ini untuk memberinya sebuah hadiah.Ajahn Chah mengucapkan sesuatu dengan cepat dalam bahasa Thai,lalu berjalan keluar.
Bhikkhu penerjemah berkata kepadanya,” Ajahn Chah bilang bahwa jika kamu mau menyapu,curahkan segala yang ada pada dirimu.” Lalu penerjemah ini pun pergi menyusul Ajahn Chah.
Si pemuda berpikir mengenai ajaran singkat tadi dalam perjalanan panjang kembali ke Australia.Dia menyadari,tentu saja,bahwa Ajahn Chah telah mengajarkannya lebih dari sekedar bagaimana menyapu dedaunan.Artinya menjadi jelas baginya.
“ Apapun yang engkau lakukan,curahkan segala yang ada pada dirimu.”
Dia menceritakannya kembali kepada saya beberapa tahun kemudian di Australia bahwa nasehat hidup ini bernilai seratus kali perjalanan jauh yang telah di tempuhnya.
Nasehat itu sekarang telah menjadi semboyannya dan telah membawa kebahagiaan dan kesuksesan.saat dia sedang bekerja,dia mencurahkan segalanya (pada apa yang dikerjakan).Saat dia sedang istirahat,dia mencurahkan seluruh dirinya (untuk beristirahat total).Saat dia sedang bergaul,dia mencurahkan seluruh dirinya.Itulah rumus untuk sukses.Oh,dan saat dia sedang tidak melakukan apa-apa,dia juga mencurahkan segalanya(dengan tidak melakukan apa-apa).
Apa Ada Masalah?
Filsuf dan matematikawan Prancis, Blaise Pascal (1623-1662) suatu kali berkata, “Segala masalah manusia disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang bagaimana untuk duduk tenang”.
Saya akan menambahkan dengan ini ".. dan tidak tahu kapan saatnya duduk tenang."
Pada tahun 1967, Israel sedang berperang melawan Mesir, Syiria, dan Yordania. Di tengah-tengah peristiwa yang belakangan dikenal sebagai Perang Enam Hari itu, seorang wartawan bertanya kepada mantan Perdana Menteri Inggris, Harold Macmillan, apa pendapatnya tentang masalah di Timur Tengah itu.
Tanpa keragu-raguan, sang negarawan sepuh itu menjawab, “Tak ada masalah di Timur Tengah.” Si wartawan tertegun mendengar jawaban itu
“Apa maksud Anda ‘tak ada masalah di Timur Tengah’?” si wartawan penasaran. “Tak tahukah Anda bahwa sekarang sedang berlangsung perang yang ganas? Tak sadarkah Anda bahwa selama kita sedang berbicara ini, bom-bom jatuh dari langit, tank-tank meledakkan segala sesuatu, dan para prajurit diberondong butiran peluru. Banyak yang tewas atau terluka. Apa yang Anda maksud ‘tak ada masalah di Timur Tengah’?”
Dengan sabar negarawan yang berpengalaman itu menjelaskan. “Pak, sebuah masalah adalah seuatu yang memiliki solusi. Nah, tak ada solusi untuk apa yang sedang terjadi di Timur Tengah, oleh karenanya hal itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah masalah.”
Berapa banyak waktu dalam hidup yang kita sia-siakan karena mengkhawatirkan sesuatu yang, pada saat itu, tak memiliki solusi, dan karena itu, bukanlah sebuah masalah.
Membuat Keputusan
Sebuah masalah dengan solusi memerlukan sebuah keputusan, namun bagaimanakah cara mengambil keputusan penting dalam hidup kita?
Biasanya kita mencoba mencari orang lain dan memintanya untuk membuat keputusan sulit bagi kita. Dengan begitu, jika kemudian terjadi sesuatu yang salah, kita punya seseorang sebagai kambing hitamnya. Beberapa teman saya pernah mencoba mengakali saya supaya membuat keputusan bagi mereka, tetapi saya menolak. Yang saya lakukan adalah menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka bisa membuat keputusan yang bijaksana oleh diiri mereka sendiri.
Saat kita tiba dipersimpangan jalan dan tak yakin arah mana yang harus diambil, kita sebaiknya menepi, rehat sejenak, dan menanti sebuah bis. Segera, biasanya pada saat kita tak berharap, sebuah bis tiba. Di bagian depan bis umum ada tulisan yang menandakan tujuan dari bis itu. Jika tujuan Anda sama naiklah ke bis itu. Jika tidak, tunggulah, akan selalu ada bis lain yang datang.
Dengan kata lain, saat kita harus mengambil suatu keputusan dan tak yakin apa yang akan terjadi, kita sebaiknya menepi, rehat sejenak, dan menunggu. Segera, biasanya saat kita tak berharap, sebuah solusi akan menghampiri. Setiap solusi mempunyai tujuannya sendiri. Jika tujuannya cocok dengan tujuan kita, ambillah solusi itu. Jika tidak, kita tunggu lagi, akan selalu ada solusi lain yang akan datang.
Begitulah cara saya membuat keputusan. Saya mengumpulkan semua informasi dan menunggu kedatangan solusi. Sesuatu yang bagus akan selalu datang, asalkan saya tetap sabar. Biasanya dia datang dengan tak disangka-sangka, ketika saya tidak memikirkannya.
Menyalahkan Orang Lain
Tatkala Anda tengah berusaha mengambil keputusan penting, anda bisa memilih untuk menggunakan strategi yang disarankan dalam cerita sebelum ini, namun anda tidak harus selalu mengikuti cara itu. Semuanya terserah anda. Jadi kalau ternyata gagal, jangan salahkan saya ya.
Suatu hari seorang mahasiswi datang menemui seorang biksu di wihara kami. Dia akan menempuh ujian penting dalam beberapa hari ke depan dan dia ingin biksu itu membacakan paritta untuknya, supaya dia bernasib baik. Sang biksu dengan baik hati memenuhinya, dengan pikiran hal itu akan memberikan mahasiswi itur rasa percaya diri. Semuanya gratis. Dia tidak memberi dana.
Kami tidak pernah melihat perempuan muda itu lagi, tetapi saya dengar dari teman-temannya, dia menyebarkan berita bahwa biksu-biksu di wihara kami payah, tidak bisa membaca paritta dengan benar. Ujiannya gagal.
Temannya juga menceritakan kepada saya bahwa dia gagal karena dia nyaris tidak belajar sama sekali. Dia adalah seorang cewek pesta. Dia berharap agar para biksu-lah yang mengurusi “hal-hal yang kurang penting”, bagian akademik dari kehidupan kampus.
Memang kelihatannya enak menyalahkan orang lain saat anda tertimpa hal-hal yang buruk, tetapi menyalahkan orang lain itu jarang menyelesaikan masalah.
Seseorang gatal-gatal di pantatnya
Dia menggaruk-garuk kepalanya
Gatalnya tidak akan hilang
Itulah cara Ajahn Chah menggambarkan orang yang menyalahkan orang lain, seperti halnya gatal-gatal di pantat dan menggaruk-garuk di kepala.
Tiga Pertanyaan Kaisar
Saya menerima undangan untuk menjadi pembicara utama pada sebuah seminar pendidikkan di Perth. Saya heran kenapa undangan itu ditujukan kepada saya. Ketika saya tiba di kantor penyelenggara seminar itu, seorang wanita dengan tanda pengenal yg menunjukkan bahwa dia adalah penyelenggara seminar itu, datang menghampiri dan mengucapkan selamat datang kepada saya, "Apakah Anda ingat saya? tanyannya.
Ini adalah salah satu jenis pertanyaan yg paling berbahaya.Saya memilih untuk terlihat bodoh dan menjawab , "Tidak".Dia tersenyum dan mengatakan bahwa tujuh tahun yg lalu saya pernah memberi ceramah pada sebuah sekolah di mana dia adalah kepala sekolahnya. Sebuah kisah yg saya ceritakan disekolahnya telah mengubah arahan kariernya. Dia mengundurkan diri sebagai kepala sekolah. Dia kemudian bekerja dengan dengan tak kenal lelah untuk merancang sebuah program bagi anak2 terlantar-anak2 jalanan, pelacur2 dibawah umur, pecandu2 narkoba-untuk memberikan harapan baru kepada mereka, sesuai dengan situasi mereka. Kisah yg saya tuturkan, katanya telah menjadi falsafah yg mendasari programnya.Kisah ini diadaptasi dari sebuah buku yg disusun oleh Leo Tolstoy, yg saya baca saat masih sebagai mahasisiwa.
Dahulu kala seorang kaisar sedang mencari sebuah falsafah hidup. Dia memerlukan kebijaksanaan sebagai pedoman dan untuk mengembangkan dirinya. Agama dan falsafah yg ada pada saat itu tidak memuaskannya. Jadi dia mencari falsafahnya sendiri melalui pengalaman hidup.
Akhirnya dia menyadari bahwa dia hanya memerlukan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar. Dengan tiga jawaban ini, dia akan mendapatkan semua pedoman kebijaksanaan yg diperlukannya. Tiga pertanyaan itu adalah :
1. Kapankah waktu yg paling penting?
2. Siapakah orang yg paling penting?
3. Apakah hal yg paling penting dilakukan?
Setelah melalui pencarian panjang, yg merupakan bagian terpanjang dalam cerita aslinya, akhirnya dia menemukan jawabannya saat mengunjungi seorang pertapa. Menurut anda, apa jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut? Tolong lihat lagi pertanyaaannya. Heninglah sejenak, sebelum anda melanjutkan membaca.
Kita semua tahu jawaban untuk pertanyaan pertama, tetapi kita terlalu sering melupakannya. Tentu saja , waktu yg paling penting adalah 'saat ini". Itulah satu2-anya waktu yg kita miliki. Jadi jika anda ingin memberitahukan ayah atau ibu anda bahwa betapa anda benar2 menyayangi mereka, betapa anda berterima kasih karena mereka adalah orang tua Anda, lakukanlah sekarang juga. Jangan tunda besok. Bukan lima menit lagi. Sekarang. Lima menit lagi seringkali sudah terlambat.
Jika anda perlu meminta maaf kepada pasangan anda, jangan banyak berpikir segala alasan. Lakukan saja sekarang juga. Kesempatan mungkin tak pernah datang kembali. Raihlah momennya.
Jawaban untuk peretanyaan kedua benar2 bermaknamendalam. Hanya sedikit orang yg mampu menjawab dengan benar. Ketika sebagai mahasiswa saya membacanya, makna yg terkandung di dalam jawaban itu telah memutar-mutarkan saya selam berhari2. Makna jawaban itu tak terbayangkan mendalamnya. Jawabanya, orang yg paling penting adalah orang yg sedang bersama anda.
Saya teringat ketika menanyakan pertanyaan-2 tsb kpd beberapa profesor dikampus dan tak sepenuhnya didengarkan. Tampak luarnya mereka seperti mendengarkan, tetapi dalam hati mungkin mereka ingin saya cepat2 pergi. Mereka memililki urusan yg lebih penting untuk dikerjakan. Itulah yg saya rasakan; kecut rasanya.
Saya juga teringat saat memberanikan diri mendekati seorang dosen terkenal dan mengajukan sebuah pertanyaan pribadi, dan saya menjadi terkejut dan begitu gembira saat dia memberi perhatian penuh kepada saya. Banyak profesor lain menunggu untuk berbicara dengannya, dan saat itu saya hanyalh seorang mahasisiwa gondrong, namun saya merasa dihargai. Sungguh beda.
Komunikasi, dan cinta, hanya dapat dibagi tatkala seseorang yg bersama anda, tak peduli siapapun mereka, adalah orang yg paling penting sedunia bagi anda, pada saat itu.
Mereka merasakannya. Mereka mengetahuinya. Mereka menanggapinya.
Pasangan suami isteri seringkali mengeluhkan bahwa pasangan mereka tak sungguh2 mendengarkan mereka . Apa yg mereka maksudkan adalah pasangan mereka tidak membuat diri mereka dihargai lagi. Para pengacara perceraian harus mencari pekerjaan lain jika setiap pasangan ingat akan jawaban dari pertanyaan kedua kaisar, dan mempraktekkannya. Jadi tak peduli seberapa lelah atau sibuknya kita, saat kita bersama pasangan kita, kita membuat mereka menjadi orang paling penting sedunia.
Dalam dunia bisnis, dimana seseorang yg bersama kita adalah pelanggan potensial, jika pada saat itu kita memperlakukannya sebagai orang yg paling penting sedunia bagi kita, penjualan kita akan meningkat, dan begitu pula penghasilan kita.
Dalam kisah aslinya, sang kaisar selamat dari usaha pembunuhan atas dirinya karena sungguh2 mendengarkan saran dari seorang anak kecil dalam perjalanan menemui sang petapa. Ketika seorang kaisar yg sangat berkuasa sedang bersama dengan seorang anak kecil, anak itu menjadi orang yg paling penting sedunia baginya, dan hal itu telah menyelamatkan hidupnya.
Setelah hari yg melelhkan, ketika seorang teman datang untuk mencurahkan masalhnya kepada saya, saya ingat akan jawaban untuk pertanyaan kedua kaisar, dan memberikan seluruh perhatian saya kepada mereka. Itu adalah tindakan tak mementingkan diri sendiri. Belas kasih memasok energi, dan itu bisa jalan.
Penyelenggara seminar pendidikkan itupun, dalam wawancara pertamanya dengan anak2 yg akan dientaskannya menerpakan prinsip "orang yg paling penting adalah org yg bersama anda" . bagi banyak dr anak2 tsb, itulah pertama kalinya mereka merasa dihargai, khususnya oleh orang dewasa. Lebih2, dengan menghargai mereka, dia benar2 mendengarkan, tak hanya menghakimi. Anak2 itu didengarkan. Program2- pun dirancang sesuai dgn kebutuhan dan situasi mereka. Anak2 itu merasa dihormati, dan programpun berhasil. Saya akhirnya tak lagi menjadi pembicara utama. Salah seorang dari anak2 itu berbicara setelah saya. Dia menuturkan cerita tetntang masalah2 keluarganya, narkoba, kejahatan, dan bagaimana program itu telah mengembalikan harapan kedalam hidupnya, dan bagaimana dia akan segera duduk dibangku kuliah. Mata saya tersa basah pada penghujung cerita. Itulah pembicara utamanya.
Saat terbanyak dalam hidup anda adalh saat Anda bersama diri sendiri. karenanya, orang yg paling penting, orang yg sedang bersama anda, adalah Anda. Ada banyak waktu untuk memebrikan penghargaan bagi diri Anda sendiri. Siapakah orang pertama yg Anda sadari saat bangun tidur pada pagi hari? Diri anda! Pernahkah Anda menyapa " Selamat pagi diriku. Hari yg cerah!'? Saya melakukannya. Siapakah orang yg terakhir yg anda sadari saat berangkat tidur? Diri Anda sendiri lagi! Saya mengucapkan selamat malam kepada diri saya. Saya memberikan penghargaan pada diri saya sendiri pada saat2 pribadi. Itu manjur lho.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga sang kaisar " apakah hal yg paling penting untuk dilakukan?" adalah peduli, " Peduli" berarti "berhati2" dan "mempedulikan". jawaban itu melukiskan bahwa hal yg terpenting adalah mengerti asal muasal diri kita. Sebelum menggambarkan apa yg dimaksud dengan peduli, melalui beberapa cerita, saya merangkum tiga pertanyaan kaisar berikut jawabannya:
1. Kapankah waktu yg paling penting? Saat ini
2. Siapakah orang yg paling penting? Orang yg sedang bersama kita
3. Apakah hal yg paling penting untuk dilakukan? Peduli
Sapi Yang Menangis
Saya tiba lebih awal untuk memimpin kelas meditasi di sebuah penjara dengan pengamanan minim. Seorang narapidana yang tak pernah saya jumpai sebelumnya, telah menunggu untuk berbicara dengan saya. Dia seorang manusia sebesar raksasa dengan rambut seperti semak belukar, berjanggut, dengan lengan-lengan penuh tato; bekas luka di wajahnya memberitahukan saya bahwa dia telah mengalami banyak perkelahian sadis. Dia terlihat begitu menakutkan sampai-sampai saya heran kenapa dia datang untuk belajar meditasi. Dia bukan jenis orang yang belajar meditasi. Tentu saja saya salah.
Dia berkata kepada saya bahwa belum lama ini terjadi sesuatu yang telah menghantui pikirannya. Saat dia mulai berbicara, saya menangkap kesan Ulster-nya yang kental. Untuk memberikan gambaran latar belakang, dia bercerita bahwa dia tumbuh besar di jalanan Belfast yang penuh kekerasan. Kasus penikamannya yang pertama terjadi pada saat dia baru berumur tujuh tahun. Seorang berandal di sekolah meminta uang bekal makan siangnya. Dia bilang tidak. Si anak yang lebih tua itu lalu menghunus sebilah pisau panjang dan untuk kedua kalinya meminta uang. Dia kira itu cuma gertak sambal saja. Sekali lagi dia bilang tidak. Si penggertak tak pernah meminta untuk ketiga kalinya, dia langsung menikamkan pisaunya ke lengan si anak tujuh tahun, mencabutnya dan langsung kabur.
Dia bercerita bahwa dalam keterkejutan dia berlari pulang dari halaman sekolah, dengan darah mengucur dari lengannya, menuju rumah ayahnya yang tak jauh dari situ. Ayahnya yang pengangguran melihat sekilas pada lukanya lalu membawanya ke dapur, tetapi bukan untuk membalut lukanya. Sang ayah membuka laci dapur, mengambil sebuah pisau dapur yang besar, memberikannya kepada putranya, dan menyuruhnya kembali ke sekolah untuk membalas menikam si penggertak. Begitulah dia dibesarkan. Jika dia tidak tumbuh demikian besar dan kuat, pastilah dia sudah lama tewas.
Penjara itu memiliki peternakan di dalamnya, di mana para napi dengan masa hukuman pendek atau napi yang tak lama akan dibebaskan, dapat bersiap menghadapi kehidupan bebas di antaranya dengan belajar mengenai perdagangan dalam industri peternakan. Lebih lanjut, penjara ini memasok produk-produk makanan murah ke seluruh penjara di Perth, sehingga dapat menekan biaya. Peternakan Australia mengembangbiakan sapi, domba, dan babi, tidak hanya gandum dan sayur mayur; begitu pula dengan penjara yang satu ini. Namun tidak seperti peternakan lainnya, penjara ini mempunyai rumah jagalnya sendiri; langsung di tempat.
Setiap napi wajib punya pekerjaan di penjara ini. Saya mendapat informasi dari beberapa penghuni penjara bahwa pekerjaan sampingan yang paling banyak dicari adalah pekerjaan di rumah jagal. Pekerjaan ini terutama populer di kalangan para pelanggar kekerasan. Dan pekerjaan yang paling disukai, bahkan Anda harus bertarung mendapatkannya, adalah pekerjaan sebagai penjagal itu sendiri. Si raksasa Irlandia yang menakutkan itu adalah seorang penjagal.
Dia menggambarkan keadaan rumah penjagalan itu kepada saya. Pintu berjeruji dari baja antikarat yang super-kuat, lebar pada pembukaannya, turun menyempit ke sebuah lorong tunggal di dalam gedung, yang lebarnya hanya pas untuk satu ekor hewan pada satu saat. Di ujung lorong sempit itu, di atas sebuah landasan, dia kanan berdiri sambil memegang sebuah senapan listrik. Sapi, babi, atau domba akan dipaksa masuk ke lorong antikarat tersebut dengan menggunakan anjing-anjing dan cambuk. Dia berkata bahwa hewan-hewan itu akan selalu menjerit-jerit, dengan caranya masing-masing, mencoba untuk melarikan diri. Hewan-hewan itu dapat mencium bau kematian, mendengar suara kematian, merasakan kehadiran maut. Saat seekor hewan telah berada di sepanjang landasan, dia akan menggeliat, meronta, dan mengeluh dengan suara keras. Meskipun senapan listriknya mampu mematikan seekor banteng besar dengan sekali sengatan tegangan tinggi, tetapi hewan-hewan itu tak pernah berdiam cukup lama sampai dia dapat membidik dengan baik. Jadi ada sekali tembakan untuk membuat hewan itu terdiam, dan tembakan berikutnya untuk mematikannya. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk mematikan. Hewan demi hewan. Hari demi hari. Orang Irlandia ini selalu merasa bergairah setiap kali mengalami kejadian itu, sampai beberapa hari belakangan ini, saat sesuatu yang sangat merisaukannya terjadi. Dia mulai menyumpah. Selanjutnya, dia terus mengulang, “Demi Tuhan, ini sungguhan!” Dia khawatir kalau saya tidak mempercayainya.
Pada hari itu mereka membutuhkan daging sapi untuk penjara-penjara di sekitar Perth. Mereka tengah menjagal sapi. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk membunuh. Dia menjalani hari-hari pembantaian seperti biasanya, sampai seekor sapi datang mendekat, dia belum pernah melihat ini sebelumnya. Sapi yang ini tenang. Bahkan tak terdengar suara lenguhan. Kepalanya menunduk ketika dia berjalan dengan penuh sengaja, dengan sukarela, perlahan-lahan menuju tempat di ujung landasan. Dia tak menggeliat, meronta, atau mencoba kabur. Begitu berada di posisinya, sapi itu mengangkat kepalanya dan memandang penjagalnya, dalam diam mencekam.
Belum pernah si Irlandia ini melihat hal-hal semacam ini sebelumnya. Pikirannya menjadi mati-rasa oleh kebingungan. Dia tak mampu mengangkat senapannya; pun tak mampu melepas tatapan matanya dari mata sapi itu. Sapi tersebut melihat tepat ke dalam dirinya. Dia tergelincir ke dalam ruang tanpa waktu. Dia tak dapat memberitahu saya berapa lama kejadian itu berlangsung, tetapi tatkala sapi itu membekukannya melalui kontak mata, dia memperhatikan sesuatu yang bahkan lebih menohoknya. Sapi memiliki mata yang sangat besar. Dia melihat pada mata kiri sapi itu, di atas kelopak bawahnya, air mulai merambang. Gumpalan air mata itu makin bertambah terus, sampai kelopak matanya tak dapat menampungnya lagi, air itu mulai menetes jatuh menyusuri pipinya, membentuk sungai air mata yang berkilauan tertimpa cahaya. Pintu relung hatinya mulai terbuka perlahan-lahan. Dalam ketidakpercayaan, dia melihat mata kanan sapi itu, di atas kelopak bawahnya, terkumpul lebih banyak air mata, yang terus berkumpul, melampaui daya tampung kelopaknya. Sebuah sungai air mata kedua menyusuri wajah sapi itu. Dan si besar Irlandia itu pun terkulai. Sapi itu menangis.
Dia bercerita kepada saya bahwa dia membuang senapannya, bersumpah bahwa petugas penjara boleh melakukan apa saja atas dirinya sejauh batas kemampuannya, ASALKAN SAPI ITU JANGAN DIBUNUH!
Dia mengakhiri kisahnya dengan memberi tahu saya bahwa dia sekarang menjadi seorang vegetarian (sayuranis).
Ini kisah nyata. Para penghuni lain di penjara itu mengkonfirmasikan kebenarannya kepada saya. Seekor sapi yang menangis telah mengajarkan seorang pria yang paling kejam arti kepedulian.
Gadis Cilik dan Kawannya
Saya menceritakan kisah tentang sapi yang menangis kepada sekelompok warga usia lanjut di sebuah kota kecil di barat daya Australia Barat. Salah satu dari para manula itu menuturkan kisah yang serupa kepada saya, yang terjadi pada masa mudanya, pada awal abad yang lalu.
Putri temannya berusia sekitar 4 atau 5 tahun. Suatu pagi, dia meminta sepiring susu kepada ibunya. Ibunya yang sibuk merasa senang karena putrinya mau minum susu, jadi dia tak banyak pikir lagi kenapa putrinya meminta susunya dituangkan di piring alih-alih ke dalam gelas.
Pada hari berikutnya, pada sekitar waktu yang sama, si gadis cilik meminta sepiring susu lagi. Si ibu dengan senang hati memenuhinya. Anak-anak memang suka bermain-main dengan makanannya, si ibu sudah senang karena putrinya mau meminum sesuatu yang menyehatkan.
Hal yang sama terjadi lagi, pada waktu yang sama, selama beberapa hari berikutnya. Sang ibu tidak pernah benar-benar melihat putrinya meminum sepiring susu yang dia minta, jadi sang ibu mulai heran apa yang sebenarnya yang dilakukan oleh putrinya. Dia memutuskan untuk diam-diam membuntuti si kecil.
Pada masa itu, hampir semua rumah didirkan di atas tunggul-tunggul penopang, seperti rumah panggung. Si gadis cilik pergi ke luar rumah, berlutut di samping rumah, meletakkan piring susu yang dibawanya, dan dengan lembut memanggil-manggil ke arah kolong rumah yang gelap. Dalam sekejap, muncullah seekor ular macan hitam yang besar. Si Ular mulai meminum susunya, sementara si gadis cilik tersenyum menyaksikan dari jarak hanya beberapa inci. Sang ibu tidak dapat berbuat apa-apa, jarak putrinya terlalu dekat dengan si ular. Dalam ketercekaman dia terus mengawasi hingga si ular menghabiskan susunya dan kembali masuk ke kolong rumah. Sore harinya. sang ibu menceritakan peristiwa itu pada suaminya yang baru pulang kerja. Suaminya menyuruh sang ibu untuk tetap memberikan sepiring susu kepada putrinya besok. Sang suami akan membereskan sesuatu.
Pada waktu yang smaa pada hari berikutnya, si gadis cilik meminta sepiring susu kepada ibunya. Dia lalu membawa susu itu keluar rumah seperti biasanya, meletakkannya di sisi rumah, dan memanggil kawannya. Segera setelah si ular besar muncul dari kegelapan, terdengar ledakan senjata api dari dekat situ. Kekuatan lontaran peluru dari senjata itu melempar si ular menubruk slaah satu tunggul rumah, membelah kepalanya di depan mata si gadis cilik. Sambil meletakkan senjatanya, sang ayah muncul dari salah satu semak-semak di dekat situ.
Sejak saat itu, si gadis cilik mogok makan. Dalam kata-kata manula yang bercerita kepada saya, "Dia mulai rewel." Tak ada yang bisa dilakukan oleh orang tuanya untuk membuat si gadis cilik mau makan. Dia lalu dibawa ke rumah sakit setempat, tetapi pihak rumah sakit pun tak dapat menolongnya. Si Gadis cilik akhirnya meninggal dunia.
Ketika sang ayah menembak mati kawan putrinya di depan matanya, dia mungkin sama saja dengan menembak mati putrinya sendiri.
Saya bertanya kepada manula itu, apakah menurutnya si ular macan itu akan pernah membahayakan nyawa si gadis cilik?
"Tidak benar-benar membahayakan" jawab si orang tua.
Saya setuju, tetapi tidak dengan kata-kata yang sama.
Ular, Walikota dan Biksu
Saya melewatkan lebih dari delapan tahun waktu saya sebagai seorang biksu di Thailand. Dalam sebagian besar kurun waktu itu, saya berada di wihara hutan, hidup diantara ular. Saat saya datang pada tahun 1974, Saya diberi tahu bahwa di Thaiand terdapat 100 Jenis ular : 99 diantaranya sangat beracun- patukannya dapat membunuh anda- dan 1 yang lainnya akan membelit anda hingga tewas!
Selama masa itu, hampir setiap hari saya melihat ular. Pernah sekali, saya menginjak seekor ular sepanjang 6 kaki di dalam pondok saya. Kami berdua melompat kaget, untunglah ke arah yang berlawanan. Pada suatu fajar saya bahkan pernah mengencingi seekor ular, mengiranya sebuah batang kayu. Tentu saja saya meminta maaf kepada ular itu ( Barangkali dia berpikir sedang diperciki air suci ). Dan Suatu kali saat saya sedang mendaraskan parrita pada sebuah upacara, seekor ular perlahan merayap di punggung salah seorang biksu. Baru ketika si ular sampai di bahunya, sang biksu sadar dan membalikan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi ; dan pada saat yang sama si ular pun berbalik untuk menatap sang biksu. Saya menghentikan pembacaan parrita dan selama detik-detik yang menggelikan itu sang biksu dan ular beradu pandang. Sang biksu dengan hati-hati mengibaskan jubahnya, si ular pun mulai pergi, dan kamipun melanjutkan pengucaran parrita.
Sebagai biksu hutan kami dilatih untuk mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk, khususnya ular. Kami peduli terhadap kesejahteraan mereka. Itulah sebabnya, pada waktu itu, tak seorang biksu pun pernah dipatuk ular.
Saya pernah melihat dua ekor ular besar saat masih di Thailand. Yang pertama adalah ular piton sepanjang tujuh meter dengan tubuh setebal paha saya. Saat Anda melihat sesuatu sebesar itu, Anda akan terpaku tak percaya; tetapi yang ini nyata. Saya bertemu lagi dengannya beberapa kemudian, dan banyak biksu lain di wihara juga melihatnya. Saya pernah dikabari bahwa ular itu sekarang sudah mati. Ular besar yang lainnya adalah ular Kobra Raja. Kejadian itu adalah salah satu dari tiga pengalaman hidup di hutan hujan Thailand di mana saya merasakan atmosfer yang mencekam, bulu kuduk saya berdiri, dan Indra saya tiba-tiba menjadi peka tanpa sebab yang jelas. Ketika saya membelok di sebuah sudut jalur hutan, saya melihat seekor ular hitam besar melintangi jalan 1,5 meter. Saya tidak dapat melihat kepala atau ekornya : Keduanya tersembunyi di balik semak. Dia bergerak. Dengan mengikuti gerakannya, saya menghitung panjang ular itu. Perlu tujuh kali lebar jalan hutan sampai saya melihat ekornya. Jadi panjang ular itu lebih dari 10 meter! Saya telah melihatnya. Saya memberi tahu penduduk setempat. Mereka bilang itu adalah Kobra-raja- yang sangat besar!
Seorang biksu Thai murid Ajahn Chah, sekarang telah menjadi guru terkenal di tempatnya, tengah bermeditasi di hutan Thailand bersama sejumlah biksu. Suara makhluk yang bergerak mendekat membuat mereka membuka mata. Mereka melihat seekor kobra-raja mendapat julukan sebagai "ular satu langkah", karena setelah dia menyerang Anda, segala yang masih Anda miliki hanya satu langkah saja, dan setelah itu: kematian! Si kobra-raja menghampiri sang biksu senior, menegakkan kepalanya hingga setinggi kepala sang biksu, mengembangkan tudungnya, dan mulai mendesis, "Hsss! Hsss!"
Apa yang akan Anda lakukan? Percuma saja lari. Ular besar itu bisa bergerak lebih cepat dari Anda.
Apa yang dilakukan oleh biksu Thai itu adalah tersenyum, perlahan-lahan mengangkat tangan kanannya, dan dengan lembut menepuk-nepuk bagian atas kepala si ular, seraya berkata dalam bahasa Thai,"Terima kasih telah mengunjungi saya."Semua biksu menyaksikan peristiwa itu.
Dia adalah seorang biksu luar biasa dengan kebajikan yang istimewa. Si kobra-raja berhenti mendesis, menutup tudungnya, merendahkan kepalanya ke tanah, dan pergi menghampiri salah seorang biksu lainnya. "Hsss! Hsss!"
Belakangan biksu itu bercerita bahwa pada saat itu tidak ada jalan baginya untuk mencoba menepuk kepala si kobra-raja! Dia terpaku. Dia sangat ketakutan. Diam-diam dia berharap supaya si kobra-raja segera pergi dan mengunjungi biksu lainnya.
Biksu Thai penepuk kepala kobra-raja itu suatu kali sempat tinggal beberapa bulan di wihara kami di Australia. Kami tengah membangun aula utama dan punya beberapa rencana proyek pembangunan lain yang masih menanti persetujuan dari kantor kotapraja setempat. Walikota dewan kotapraja setempat datang mengunjungi kami untuk melihat apa yang sedang kami kerjakan.
Sang walikota dapat dipastikan adalah orang yang paling berpengaruh di wilayah itu. Dia tumbuh besar di wilayah itu dan menjadi petani yang sukses. Dia juga tetangga kami. Dia datang mengenakan setelan yang bagus, yang sesuai dengan kedudukannya sebagai walikota. Kancing jasnya tak dipasang, memperlihatkan sebuah perut Australia yang sangat buncit, yang terlihat begitu sesak dibungkus oleh kemeja berkancing dan menonjol keluar dari atap celana panjang terbaiknya. Sang biksu Tha, yang tidak bisa berbahasa Inggris, melihat perut gendut sang walikota. Sebelum saya sempat mencegahnya, dia sudah menghampiri sang walikota dan mulai menepuk-nepuk perutnya. "Oh tidak," kata saya dalam hati."Anda tidak boleh menepuk-nepuk perut Pak Walikota seperti itu. Sekarang rencana pembangunan kita tidak akan pernah disetujui. Habislah kita! Tamatlah riwayat wihara kita."
Makin sang biksu Thai, dengan senyum lebar yang lemah lembut, menepuk-nepuk dan menggosok-gosok perut gendut sang walikota, makin tersenyum dan terkikiklah sang walikota. Sebentar saja, sang walikota berpangkat itu terkekeh-kekeh seperti bayi. Jelas-jelas dia menyukai saat-saat perutnya ditepuk dan digosok oleh biksu Thai yang luar biasa itu.
Semua rencana pembangunan kami disetujui. Dan sang walikota menjadi salah satu teman terbaik dan penolong kami.
Bagian paling hakiki dari kepedulian adalah dari mana kita memulainya. Biksu Thai itu memulai dari hati yang begitu murni yang dapat menepuk-nepuk kepala kobra-raja dan perut buncit walikota, dan mereka berdua menyukainya. Saya tidak akan menyarankan cara ini, kecuali sampai Anda mampu bersikap peduli seperti suciwan.
Sang Ular Jahat
Cerita terakhir mengenai ular dalam buku ini merupakan sebuah cerita Jataka Kuno. Cerita ini menunjukkan, untuk menjadi “baik” dan “peduli sesama”, tidak selalu berarti kita harus menjadi lembek, lemah dan pasif.
Seekor ulat jahat hidup disebuah hutan dipinggir sebuah desa. Dia kejam, licik dan jahat. Dia akan menggigit orang untuk senang-senang--demi kesenangannya belaka. Ketika si ular jahat sudah berusia lanjut (menurut perhitungan tahun ular tentunya), dia mulai merenungkan apa yang akan terjadi pada para ular ketika mereka mati. Selama hidupnya, dia telah sering melecehkan agama-agama, dan ular-ular yang menurutnya naif dan bodoh, percaya saja pada omong kosong seperti itu. Sekarang dia mulai tertarik pada agama.
Tidak jauh dari liangnya, dipuncak bukit, tinggal seekor ular suci. Semua orang suci bertempat tinggal dipuncak bukit atau gunung, demikian juga ular suci. Ini sudah tradisi. Tidak pernah kita dengar orang suci tinggal di rawa-rawa.
Suatu hari, si ular jahat memutuskan untuk mengunjungi sang ular suci. Ia memakai jas hujannya, kacamata hitam, dan topi supaya teman-teman tidak mengenalinya. Kemudian dia mulai merayap keatas bukitmenuju wihara sang ular suci. Ia tiba ketika ceramah sedang berlangsung. Sang ular suci duduk diatas sebuah batu dengan ratusan ular mendengarkan dengan penuh perhatian. Si ular jahat merayap dipinggir kerumunan, dekat dengan jalan keluar, dan mulai ikut mendengarkan ceramah.
Makin didengarkan, makin terasa masuk akal. Dia mulai merasa yakin, lalu terinspirasi, dan akhirnya terubahkan. Seusai ceramah, dia menghadap sang ular suci, dengan air mata bercucuran, dia mengakui kejahatannya selama ini, dan berjanji, mulai sekarang dia akan menjadi ular yang sama sekali berbeda. Dia bersumpah di depan sang ular suci untuk tidak lagi menggigit manusia. Dia akan menjadi baik. Dia akan mulai menunjukkan kepedulian. Dia akan mulai mengajarkan kepada ular-ular lain bagaimana menjadi baik. Dia bahkan memasukkan uang ke kotak dana di dekat jalan keluar (saat semua ular melihatnya, tentu dong).
Walaupun sesama ular dapat bercakap-cakap, itu terdengar seperti desis yang sama bagi telinga manusia. Si ular jahat, eh, mantan ular jahat, tidak bisa mengatakan kepada orang-orang bahwa dia sekarang pecinta damai. Orang-orang desa masih menghindarinya, walaupun mereka mulai bertanya-tanya atas lambang Cinta Damai Internasional yang dikenakannya dengan jelas di dadanya. Suatu hari seorang penghuni desa asyik mendengarkan walkmannya, dia berjingkrak-jingkrak tepat disebelah si ular, dan si ular sama sekali tidak menyerang, dia hanya tersenyum seperti halnya pemuka agama.
Semenjak itu, orang-orang desa menyadari bahwa si ular jahat tidak lagi berbahaya. Mereka berjalan melewati si ular sewaktu dia duduk bersila dalam meditasinya di luar liangnya. Lalu beberapa anak nakal dari desa mulai mengganggunya.
"Hei, tukang rayap!" mereka mengejeknya dari jarak yang aman.
"Tunjukkan taringmu, jika kamu memang punya, hai cacing kegedean. Dasar dodol, tempe, bikin malu spesiesmu saja!"
Dia tidak suka dipanggil rayap, walaupun ada benarnya juga, ataupun cacing kegedean, tetapi bagaimana dia bisa membela diri? Dia sudah bersumpah untuk tidak akan menggigit.
Menyaksikan si ular sekarang begitu pasif, anak-anak itu menjadi makin berani dan mulai melemparinya dengan batu dan gumpalan tanah. Mereka tertawa kalau ada yang kena. Si ular mengetahui bahwa dia bisa saja merayap cukup cepat untuk menggigit semua anak-anak itu, sebelum Anda usai mengucapkan "World Wildlife Fund". Namun sumpahnya mencegah dia melakukan hal itu. Lalu anak-anak itu makin mendekat dan mulai memukulinya dengan tongkat. Si ular menerima pukulan yang menyakitkan itu, tetapi sekarang dia sadar, dalam dunia nyata, kita harus tega menjadi jahat untuk melindungi diri. Ternyata agama hanyalah omong kosong. Jadi dia merayap dengan menahan rasa sakit keatas bukit untuk mengunjungi sang ular palsu dan akan melepaskan sumpahnya.
Sang ular suci melihatnya datang, dengan tampang lusuh dan lecet-lecet, dan bertanya,"Kenapa kamu?"
"Ini semua salahmu!" si ular jahat mengeluh dengan tampang masam.
"Apa maksudmu 'ini semua salahku'?" protes sang ular suci.
"Kamu mengajarkanku untuk tidak menggigit. Sekarang lihat apa yang terjadi pada diriku! Agama mungkin cocok di wihara, tetapi dalam kehidupan nyata...."
"Oh, kamu ular bodoh!" sang ular suci menyela. "Oh, ular dungu! Oh, ular bego! Memang benar aku menyuruhmu berhenti menggigit, tetapi aku tidak pernah menyuruhmu berhenti mendesis kan?"
Terkadang, dalam kehidupan, orang suci sekalipun harus "mendesis" untuk menjadi baik, tetapi tidak ada yang perlu menggigit.
Sayap-sayap Belas Kasih
Jika belas kasih dibayangkan sebagai seekor merpati yang anggun, kebijaksanaan adalah bagaikan sayap-sayapnya. Belas kasih tanpa kebijaksanaan tak akan dapat tinggal landas.
Suatu hari, seorang anggota pramuka ingin menunjukkan perbuatan baiknya pada hari itu dengan membantu menyeberangkan seorang nenek di jalanan yang ramai. Masalahnya, si nenek sebenarnya tak ingin menyeberang, tetapi dia merasa sungkan memberitahukan hal itu kepada si anak pramuka.
Cerita tersebut, sayangnya, menggambarkan ada terlalu banyak hal yang terjadi di dunia atas nama belas kasih. Kita kelewat sering mengira bahwa kita tahu apa yang dibutuhkan oleh orang lain.
Seorang pemuda, yang terlahir tuli, tengah mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Dengan bersemangat sang dokter memberitahu orang tua si pemuda mengenai suatu prosedur pengobatan terbaru yang baru-baru ini dibacanya dari sebuah jurnal kedokteran. Sepuluh persen dari orang-orang yang terlahir tuli dapat dipulihkan kembali pendengarannya melalui sebuah operasi sederhana dan tidak mahal. Sang dokter bertanya kepada orang tua si pemuda apakah mereka ingin mencobanya. Orang tua si pemuda dengan segera mengiyakan.
Pemuda itu adalah salah satu dari sepuluh persen orang-orang tuli yang dapat dipulihkan kembali pendengarannya, namun dia malah menjadi sangat marah dan jengkel kepada kedua orang tua dan dokternya. Dia tidak mengetahui apa yang mereka rembukkan saat pemeriksaan rutinnya. Tak seorang pun yang menanyakan kepadanya apakah dia ingin bisa mendengar. Sekarang dia mengeluh karena dia harus menahan siksaan suara-suara ribut yang terus menerus, yang mana hanya sedikit saja yang dia pahami. Sebenarnya dia memang tidak pernah ingin dipulihkan pendengarannya.
Kedua orang tuanya, dokter, dan saya sendiri, sebelum membaca cerita ini, beranggapan bahwa setiap orang pasti ingin dapat mendengar. Kita pikir kita selalu tahu apa yang terbaik. Belas kasih yang mengandung asumsi seperti itu sungguh tolol dan berbahaya. Itu menyebabkan begitu banyak penderitaan di dunia.
Perhatian untuk Seorang Anak
Masalah yang berkenaan dengan orang tua adalah mereka selalu mengira bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sering kali mereka salah. Kadang mereka benar juga, seperti yang ditulis oleh penyair Tiongkok Su Tung P'o (1036-1101 M), hampir seribu tahun yang lalu :
Pada Kelahiran Putraku
Para keluarga, ketika seorang anak lahir,
Inginkannya jadi cerdas.
Aku, melalui kecerdasanku,
Telah meruntuhkan seluruh hidupku,
Maka ia kan bermahkotakan hidup sentosa,
Dengan menjadi seorang menteri kabinet.
Apakah Kebijaksanaan Itu?
Ketika masih sebagai mahasiswa, saya akan menghabiskan sebagian besar waktu liburan musim panas dengan berjalan-jalan dan berkemah di daerah dataran tinggi Skotlandia. Saya menyukai keheningan, keindahan, dan kedamaian pegunungan di Skotlandia.
Pada suatu senja yang tak terlupakan, saya berjalan lenggang kangkung di tepi samudra melalui jalan setapak yang melintas sepanjang tanjung menuju teluk kecil jauh ke arah utara. Sinar mentari yang terang dan hangat laksana sebuah lampu sorot yang menerangi keindahan alam nan tiada taranya di sekitar saya. Di tanah lapang tak bertuan terhampar luas rerumputan yang bak beludru hijau dalam segarnya musim semi; jurang-jurang terpahat laksana katedral yang menjulang tinggi di atas lautan yang bergelora; samudra tampak sebiru langit senja, bagai ditaburi oleh cahaya peri yang berkelap-kelip tertimpa sinar mentari, dan pulau karang kecil berwarna cokelat kehijauan tampak di kejauhan di tengah ombak di sepanjang garis tipis kaki langit. Bahkan, saya yakin, para camar dan burun laut pun meluncur dan terbang berputar-putar dalam kesukariaan yang melimpah. Alam mempertontonkan miliknya yang paling indah, di salah satu bagian paling permai dari dunia kita, di suatu keagungan hari yang cerah.
Saya terus melompat-lompat sekalipun terbebani oleh ransel yang berat. Saya merasa gembira, tanpa memikirkan hal-hal lainnya, di puncak inspirasi alam. Di depan saya, saya melihat sebuah mobil kecil diparkir di pinggir jalan di dekat jurang. Tiba-tiba, saya membayangkan sopir mobil itu terliputi oleh keindahan alam di sini hingga dia memutuskan berhenti sejenak untuk mereguk santapan surgawinya. Ketika saya telah berada cukup dekat dengan mobil itu untuk melihat melalui jendela belakangnya, saya menjadi kaget dan kecewa. Penumpang tunggal kenderaan itu, seorang lelaki paruh baya, sedang membaca koran.
Koran itu begitu besar, hingga menghalangi seluruh pandangan ke sekitarnya. Bukannya melihat lautan dan tebing dan pulau dan padang rumput, semua yang dia lihat hanyalah perang dan politik dan skandal dan olahraga. Koran itu lebar, juga sangat tipis. Hanya beberapa milimeter di balik kertas koran yang hitam buram itu terbentang nyanyian pelangi yang mewarnai suka cita alam. Saya berpikir untuk mengambil sebuah gunting dari ransel saya dan membuat sebuah lubang kecil dari sisi luar artikel ekonomi yang sedang dibacanya. Akan tetapi lelaki itu adalah orang Skot bertubuh besar dan berbulu, sedangkan saya hanyalah mahasiswa kurus kering kurang makan. Saya membiarkannya membaca tentang dunia, sementara saya menari di dalamnya.
Pikiran kita banyak terisi oleh tetek-bengek yang memenuhi lembaran-lembaran koran: perang antarhubungan, politik dalam keluarga dan di tempat kerja, skandal-skandal pribadi yang begitu menyebalkan, dan gerak badan sebagai kesenangan jasmaniah kita. Jika kita tidak tahu bagaimana meletakkan "koran dalam pikiran kita" itu dari waktu ke waktu, jika kita terobsesi dengannya, jika hanya itulah yang kita ketahui-maka kita tak akan pernah mengalami sukacita sempurna dan kedamaian alam dalam bentuk terbaiknya. Kita tak kan pernah tau apa itu kearifan.
Makan Dengan Bijak
Beberapa teman saya senang menikmati makan malam di restoran. Pada malam-malam tertentu mereka pergi ke restoran yang sangat mahal, di mana mereka siap mengeluarkan banyak uang untuk menikmati makanan mewah. Akan tetapi, mereka akhirnya menyia-nyiakan pengalaman itu dengan mengabaikan cita rasa makanannya dan lebih berkonsentrasi pada percakapan dengan rekan mereka.
Siapa yang akan mengobrol selama berlangsungnya konser persembahan sebuah orkestra hebat? Mengobrol akan menghalangi Anda menikmati musik yang indah, dan memungkinkan Anda untuk ditendang keluar. Bahkan ketika sedang menonton film yang bagus pun, kita tidak suka diusik. Jadi, mengapa orang-orang malah ngobrol ketika mereka pergi makan malam?
Jika restoran biasa-biasa saja, bisa jadi ide yang bagus untuk memulai percakapan guna mengalihkan pikiran kita dari makanan yang hambar. Namun bila makanannya benar-benar sedap, dan sangat mahal, maka katakanlah kepada rekan Anda untuk diam supaya Anda memperoleh seluruh manfaat dari harga yang Anda bayarkan; itu adalah cara makan yang bijak.
Bahkan ketika kita makan dalam diam pun, kita sering gagal mengecap momennya. Malahan, sementara kita mengunyah sepotong makanan, perhatian kita teralihkan ketika kita melihat piring kita untuk memilih makanan berikut dengan garpu kita. Kadang bahkan ada dua atau tiga garpu penuh-sepotong ada di dalam mulut, sepotong menunggu giliran, dan yang lainnya sudah menunggu di tumpukan di atas piring, sementara pikiran kita membayangkan sepotong makanan sesudah itu semua.
Dalam rangka merangsang cita rasa terhadapa makanan Anda, dan untuk mengetahui hidup sepenuh-penuhnya, seyogianya kita sering-sering mengecap satu momen dalam satu waktu dalam keheningan. Dengan demikian barulah kita bisa memperoleh manfaat penuh dari uang yang telah kita bayarkan pada sebuah restoran bintang lima bernama kehidupan.
Memecahkan Masalah
Sebagai seorang biksu, saya sering diundang untuk berbicara dalam siaran langsung di radio. Semestinya saya harus lebih berhati-hati saat menerima undangan dari sebuah stasiun radio baru-baru ini. Hanya setelah memasuki studio, barulah saya diberitahukan bahwa acara pada malam itu adalah "tema orang dewasa", dan saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung, bersama dengan seorang pakar seksologi ternama.
Sesudah kami mengatasi masalah penyebutan nama saya di radio (kami sepakat untuk memanggil saya sebagai "Mister Monk"), saya melakukan pekerjaan itu dengan sangat baik. Sebagai biksu selibat, saya tidak banyak tahu tentang seluk-beluk hubungan intim, namun masalah-masalah mendasar yang ditanyakan oleh para penelepon bisa dengan mudah ditangkap. Segera saja semua telepon yang masuk diarahkan kepada saya, dan sayalah yang akhirnya melakukan hampir semua pekerjaan selama 2 jam acara itu. Namun si pakar seksologilah yang menerima cek tebal. Yang saya terima, sebagai biksu yang tak boleh menerima uang, hanyalah sebatang cokelat. Sekali lagi, kebijaksanaan Buddhis memecahkan masalah yang mendasar. Anda tidak dapat menyantap selembar cek, tetapi sebatang cokelat itu enak. Masalah selesai, mmm!
Dalam acara diskusi lain di radio, seorang penelepon mengajukan pertanyaan berikut kepada saya, " Saya sudah menikah, saya berselingkuh dengan perempuan lain, dan istri saya tidak tahu. Apakah ini tidak apa-apa?"
Bagaimana Anda akan menjawabnya?
"Jika itu tidak apa-apa,"jawab saya,"Anda tidak akan menelepon untuk menanyakan hal itu."
Banyak orang yang menanyakan pertanyaan semacam itu, sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, tetapi dengan harapan beberapa "pakar" akan menyakinkan mereka bahwa perbuatan itu dapat dibenarkan. Jauh dalam lubuk hati, kebanyakan orang tahu apa yang salah dan apa yang benar-hanya saja, sebagian orang tidak mendengarkannya dengan seksama.
Mendengarkan dengan Tidak Bijaksana
Pada suatu sore, telepon berdering di wihara kami.
“Ajahn Brahm ada?” tanya si penelepon dengan tidak sabaran.
“Maaf,” jawab si perempuan Asia yang santun, yang kebetulan menerima telepon itu. “Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Silakan telepon lagi setelah tiga puluh menit.”
“Hhhh! Dia akan mati dalam tiga puluh menit,” geram si penelepon lalu dia menutup teleponnya.
Dua puluh menit kemudian, ketika saya keluar dari kamar, si perempuan tua Asia ini duduk terpaku dengan wajah pucat pasi dan gemetaran. Yang lainnya berkerumun di sekitarnya, mencoba mencari tahu masalahnya, tetapi ia terlalu kaget untuk berbicara. Setelah saya membujuknya, dia bergumam, “Seseorang akan datang membunuh Anda!”
Saya tengah memberikan bimbingan kepada seorang pemuda Australia sejak dia dinyatakan positif mengidap HIV. Saya mengajarkan dia meditasi dan kiat-kiat bijaksana lainnya untuk menolongnya menghadapi penyakitnya. Sekarang dia sudah mendekati ajal. Kemarin saya baru saja mengunjunginya dan menunggu telepon dari pasangannya, kapan saja. Segera saja saya bisa mengira apa maksud telepon tersebut. Bukan saya yang akan mati dalam tiga puluh menit, melainkan si pemuda yang kena AIDS itu.
Saya bergegas ke rumahnya dan menemuinya sebelum dia meninggal. Untungnya, saya juga sempat menerangkan kesalahpahaman tersebut kepada si perempuan Asia sebelum dia ikut-ikutan meninggal, karena kaget!
Seberapa sering apa yang dimaksudkan dan apa yang kita dengar tidaklah sama?
APA YANG BUKAN KEBIJAKSANAAN
Beberapa tahun yang lalu sejumlah skandal yang melibatkan biksu-biksu Thai diberitakan oleh media internasional. Biksu terikat oleh peraturannya untuk hidup selibat secara ketat. Dalam tradisi saya, agar tidak dicurigai macam-macam dalam kaitannya dengan hidup selibat, para biksu tidak diperbolehkan melakukan segala kontak fisik dengan perempuan, begitu pula para biarawati tidak diperbolehkan melakukan kontak fisik dengan pria. Dalam skandal-skandal yang diberitakan itu, beberapa biksu tidak menaati peraturan tersebut. Mereka adalah biksu-biksu yang nakal. Media tahu bahwa pembacanya hanya tertarik pada berita tentang biksu-biksu yang nakal, bukan tentang biksu yang membosankan, yang taat pada peraturan.
Di sebuah acara, saya berpikir itulah saat yang tepat bagi saya untuk membuat pengakuan. Pada suatu Jumat petang di wihara kami di Perth, di hadapan sekitar tiga ratus hadirin, beberapa diantaranya adalah pendukung setia, saya mengumpulkan keberanian dan menceritakan sebuah kebenaran kepada mereka.
“Saya akan membuat sebuah pengakuan,” kata saya. “Ini tidak mudah. Beberapa tahun yang lalu…,” saya meragu.
“Beberapa tahun yang lalu,” saya berusaha meneruskan, “saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya….” Saya terhenti lagi.
“Saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya… di pelukan istri seorang pria lain.” Saya mengatakannya. Saya mengaku.
“Kami berpelukan. Kami bersentuhan. Kami berciuman.” Saya menyelesaikannya. Lalu saya menunduk dan menatap karpet.
Saya bisa mendengar seruan-seruan keterkejutan tiba-tiba terdengar di mana-mana. Tangan-tangan menutupi mulut yang ternganga. Saya mendengar beberapa orang berbisik, “Oh tidak! Ini bukan Ajahn Brahm!” Saya melihat banyak pendukung-pendukung lama berjalan menuju pintu, tak akan kembali lagi. Bahkan umat Buddha awam pun tidak berhubungan dengan istri pria lain; itu perbuatan asusila. Saya mengangkat kepala saya, menatap pengunjung dengan percaya diri, dan tersenyum.
“Perempuan itu,” jelas saya, sebelum ada yang sempat keluar dari pintu. “Perempuan itu adalah ibu saya. Sewaktu saya masih bayi.” Para hadirin meledak dalam tawa dan merasa lega.
“Memang benar kan?!” teriak saya melalui mikrofon di antara suara riuh mereka. “Dia adalah istri pria lain, ayah saya. Kami berpelukan, kami bersentuhan, dan kami berciuman. Itu adalah salah satu saat-saat terindah dalam hidup saya.”
Ketika para pengunjung telah menyapu air mata mereka dan berhenti tergelak, saya menunjukkan bahwa hampir semuanya telah menghakimi saya, dengan keliru. Walaupun mereka telah mendengar dari mulut saya sendiri, dan ARTINYA TAMPAK BEGITU JELAS, mereka bisa sampai pada kesimpulan yang keliru. Untungnya, atau lebih karena disengaja, saya bisa menunjukkan kekeliruan mereka. "Berapa kali,” saya bertanya kepada mereka, “kita tidak begitu beruntung, dan meloncat pada kesimpulan-kesimpulan, pada bukti-bukti yang tampak begitu nyata, namun ternyata keliru, sama sekali keliru?”
Menghakimi mutlak - ini benar, yang lain salah - sama sekali bukanlah kebijaksanaan.
Bahayanya Membuka Mulut
Para politikus kita terkenal akan keterbukaannya, khususnya mengenai wilayah antara hidung dan dagu mereka. Seperti telah menjadi tradisi berabad-abad, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pepatah dari cerita Jataka berikut ini
Dahulu kala, seorang raja telah dibuat jengkel oleh salah seorang menterinya . Kapanpun diadakan rapat untuk membahas sesuatu dalam sidang, menteri itu akan menyela dan mulai berpidato yang tampaknya akan berlangsung selamanya. Tak seorang pun, bahkan sang raja sendiri, berkesempatan untuk mengatakan sesuatu. Lebih-lebih, apa yang dikatakan oleh si menteri jauh tidak menarik ketimbang isi swebutir bola pingpong.
Setelah suatu rapat lain yang juga tidak menghasilkan keputusan apa pun, sang raja mencari kedamaian di tamannya, menjauhi kefrustrasian politik. Dibagian taman yang terbuka untuk umum, sang raja menyaksikan sekelompok anak-anak yang riang gembira mengerumuni seorang lelaki paruh baya, seorang lelaki cacat yang duduk di tanah. Anak-anak itu memberikan si lelaki beberapa keping uang logam, menunjuk ke sebuah pohon kecil dan meminta ayam kepadanya. Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah tas penuh kerikil dan sebuah tulupan (sumpitan), lalu mulai menembakkan kerikil ke arah pohon itu.
Dia menembak jatuh daun demi daun pohon kecil itu dengan tembakan beruntun dari tulupannya. Dengan ketepatan yang sempurna, dia memangkas pohon itu menjadi seperti bentuk seekor ayam jantan. Anak-anak itu lalu memberikan uang yang lebih banyak lagi, menunjuk ke arah sebuah semak besar dan meminta seekor gajah. Segera si penembak jitu yang cacat itu dengan tulupannya, memahat semak besar itu menjadi berbentuk seekor gajah. Ketika anak-anak itu bertepuk tangan dengan riuh, sang raja mendapatkan sebuah gagasan.
Lalu sang raja pergi menghampiri si lelaki cacat itu dan menawarkan kekayaan berlimpah ruah kepadanya, jika dia bersedia membantu sang raja membereskan sebuah masalah yang sepele tapi menjengkelkan. Sang raja membisikkan sesuatu ke telinga lelaki itu. Lelaki itu mengangguk-angguk setuju dan sang raja tersenyum untuk pertama kalinya dalam minggu itu.
Pagi berikutnya, sidang berlangsung sebagaimana biasanya. Tak seorang pun memerhatikan kehadiran sebuah tirai baru yang dipasang pada salah satu sisi tembok. Saat itu sidang akan membahas mengenai usulan kenaikan pajak. Tak berapa lama setelah raja mengumumkan agenda sidang, si menteri superbawel memulai celotehannya.
Ketika ia membuka mulutnya, dia merasakan ada sesuatu yang kecil dan lembut mengenai bagian dalam tenggorokannya dan meluncur turun ke dalam perutnya. Dia tetap melanjutkan ocehannya. Benerapa detik kemudian, sesuatu yang kecil dan lembut kembali masuk ke dalam mulutnya. Dia menelannya dan karena itu ocehannya menjadi agak tersendat, tetapi dia terus maju pantang mundur.
Lagi dan lagi dia harus menelan sesuatu itu selama dia berbicara, tetapi sesuatu itu masih saja tak membuatnya berhenti bicara. Setelah setengah jam berpidato dengan penuh semangat dan menelan sesuatu itu setiap beberapa detiknya, dia merasa amat sangat mual. Tetapi, sikap kepala batunya tidak membuat dia menghentikan pidatonya.
Setelah beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat bersemu kehijauan, perutnya terasa mual, dan akhirnya dia terpaksa menghentikan ocehannya. Dengan sebuah tangan memegangi perutnya yang sakit dan tangan yang lain menutupi mulutnya untuk mencegah sesuatu yang menjijikkan keluar dari sana, dengan panik ia bergegas mencari kamar mandi terdekat.
Dengan gembira raja menghampiri tirai dan menyibaknya untuk berterima kasih kepada pria cacat itu, yang sebelumnya memang bersembunyi di balik titai tersebut bersama dengan tulupan dan sekantong amunisinya. Sang raja tak dapat lagi menahan tawanya begitu melihat sekantong besar amunisi yang sudah hampir habis, peluru-peluru tahi ayam yang telah ditembakkan ke mulut si menteri dan berhasil menimbulkan kerusakan parah terhadap menteri malang itu.
Si menteri tidak dapat menghadiri sidang selama beberapa minggu. Sungguh mengesankan , betapa banyak urusan dapat diselesaikan selama ketidakhadirannya. Lalu ketika dia kembali menghadiri sidang, dia menjadi pendiam sekali. Dan jika dia terpaksa harus berbicara, dia akan selalu melindungi mulutnya dengan telapak tangannya.
Barangkali di parlemen kita dewasa ini, kehadiran penembak jitu seperti pria itu akan sangat berguna!
Kura-kura yang bawel
Rasanya kita semestinya belajar untuk berdiam diri pada usia yang lebih dini dalam kehidupan kita : karena hal itu mungkin dapat menolong kita menghindari banyak kesulitan pada kemudian hari. Saya menceritakan kisah berikut ini kepada anak-anak yang datang berkunjung mengenai betapa pentingnya untuk berdiam diri.
Zaman dahulu kala di sebuah danau di pegunungan, hiduplah kura-kura yang bawel. Siapapun yang ditemuinya akan diajak bicara banyak, panjang lebar, tanpa jeda, dan sering membuat pendengarnya bosan, terganggu, hingga akhirnya jengkel. Mereka sering merasa heran bagaimana si kura-kura bisa bicara terus-menerus tanpa menarik nafas. binatang-binatang lain mulai menghindari kura-kura karena tahu mereka akan mati kutu jika kura-kura mulai berbicara pada mereka.
Si kura-kura bawel jadi kesepian karenanya.
Setiap musim panas, sepasang angsa putih datang ke danau di pegunungan untuk berlibur. Mereka baik hati karena membiarkan si kura-kura berbicara sepanjang yang dia mau. mereka tidak pernah protes ataupun meninggalkan kura-kura. Si kura-kura jadi merasa senang pada sepasang angsa itu.
Ketika musim panasa mulai berakhir dan hari-hari menjadi dingin, sepasang angsa bersiap-siap pergi dari danau itu. Si kura-kura mulai menangis. Dia benci musim dingin dan kesepian. “Andai saja aku bisa ikut pergi bersama kalian,” desahnya. “Kadang, ketika salju menutupi lereng dan danau, aku membeku, aku merasa begitu kedinginan dan kesepian.”
Sepasang angsa itu merasa kasihan pada si kura-kura, karena itu mereka mengajukan sebuah penawaran untuknya, “Kura-kura sayang, jangan menangis. Kami dapat membawamu asalkan kamu bersedia memegang satu janji saja.”
“Ya! Ya! Saya janji!” kata si kura-kura bawel, bahkan sebelum sepasang angsa mengatakan janji apa yang harus dia penuhi. “Kura-kura selalu menepati janji. Pernah, aku berjanji pada kelinci untuk berdiam diri sebentar saja setelah aku memberi tahu tentang semua perbedaan cangkang kura-kura dan…”
Satu jam kemudian, ketika si kura-kura berhenti bicara, sepasang angsa melanjutkan kata-kata mereka, “Kura-kura, kamu harus berjanji untuk tetap menutup mulutmu.”
“Gampang!” kata si kura-kura bawel. “Sebenarnya bangsa kura-kura terkenal sanggup menutup mulut kami dengan baik. Kami sebenarnya jarang sekali berbicara. Saya pernah menjelaskan hal ini kepada seekor ikan belum lama ini…”
Satu jam kemudian ketika si kura-kura bawel diam sejenak, sepasang angsa itu menyuruh si kura-kura untuk menggigit bagian tengah sebuah tongkat kayu yang panjang dan menyuruhnya untuk tetap menutup mulut. Lalu salah satu angsa memegang salah satu ujung tongkat dan yang lain memegang ujung lainnya. Keduanya lalu mulai mengepakkan sayap dan terbang.
Inilah pertama kali dalam sejarah dunia kita: kura-kura terbang!
Lebih tinggi dan lebih tinggi lagi mereka terbang menjulang. Makin lama danau di pegunungan itu makin mengecil. Bahkan gunung yang besar pun terlihat kecil di kejauhan. Si kura-kura yang merasa takjub berusaha mengingat pemandangan itu baik-baik untuk diceritakan pada teman-temannya nanti ketika dia sudah pulang.
Mereka terus terbang dan semuanya berjalan lancar sampai mereka melewati sebuah sekolah yang anak-anaknya baru pulang sekolah. Beberapa anak melihat sepasang angsa dan kura-kura bawel. Lalu seorang anak berteriak, “Hei, lihat! Ada kura-kura bodoh terbang!”
Mendengar itu, kura-kura bawel tidak dapat menahan dirinya. “Siapa yang kau bilang… ups!.. booo...doo..hhh!!!”
BRAAAK! Terdengar suara keras ketika tubuh kura-kura menghempas tanah. Dan itu adalah suara terakhir yang dapat dia keluarkan.
Si kura-kura bawel tewas karena dia tidak dapat menutup mulutnya pada saat benar-benar diperlukan.
Jadi, jika anda tidak belajar bagaimana berdiam diri pada saat yang tepat, dan bilamana saat itu benar-benar penting, Anda tak akan mampu menutup mulut anda lagi. Bisa jadi anda akan berakhir sebagai hamburger, seperti kura-kura bawel itu.
Bicara Gratis
Saya heran mengetahui bahwa berbicara masih menjadi hal gratis di tengah sistem ekonomi kita yang dikendalikan oleh pasar. Pasti hanya tinggal tunggu waktu saja sampai ahli-ahli keuangan pemerintah menganggap kata-kata sebagai komoditi lain dan mengenakan pajak atas setiap pembicaraan.
Sebagai renungan, mungkin tidak jelek-jelek amat. Diam, lagi-lagi diam adalah emas. Saluran telepon tidak akan lagi disibukkan oleh para remaja. Antrean di bagian luar pasar swalayan akan mengalir lebih lancar. Pernikahan akan lebih langgeng karena pasangan muda tidak akan mampu membayar ongkos bantah-bantahan. Dan tentu melegakan bahwasannya basa-basi anda akan cukup berkontribusi menambah pajak untuk memasok alat bantu dengar gratis kepada mereka yang bertahun-tahun tuli. Hal ini juga akan menggeser beban pajak dari tukang kerja menjadi tukang oceh. Tentu saja, kontributor terbesar untuk skema pajak yang hebat ini adalah para politikus itu sendiri. Makin banyak mereka berdebat di parlemen, makin banyak tersedia dana untuk rumah sakit dan sekolahan. Betapa memuaskannya gagasan ini.
Terakhir, barang siapa mengatakan bahwa gagasan semacam ini mustahil untuk diterapkan, siapa yang mampu membayar ongkos untuk mati-matian memperdebatkan hal ini??
Sang Pengusir Setan
Berikut adalah kisah nyata mengenai dunia gaib di Thailand, tentang kebijaksanaan adikodrati Ajahn Chah yang menakjubkan.
Pemuka kampung dari desa terdekat, disertai seorang teman, berjalan dengan tergesa-gesa untuk menemui Ajahn Chah di gubuknya, tempat beliau menerima tamu. Seorang perempuan desa telah kerasukan roh jahat dan beringas pada malam sebelumnya. Mereka tidak mampu menolongnya, maka mereka membawanya ke biksu sepuh ini. Sewaktu mereka berbicara dengan Ajahn Chah, dalam jarak yang tak terlalu jauh, terdengar jeritan perempuan.
Segera Ajahn Chah memerintahkan dua samanera muda untuk menyalakan api dan memasak air; lalu beliau memerintahkan dua samanera lain untuk menggali lubang besar di luar gubuknya. Tak seorang pun dari samanera-samanera itu yang tahu, untuk apa.
Empat lelaki desa yang kuat, petani berotot dari timur laut Thailand, nyaris tidak sanggup menahan rontaan si perempuan. Sewaktu mereka menyeretnya melalui salah satu bagian paling keramat di wihara, dia meneriakkan kata-kata kotor.
Ajahn Chah melihatnya dan menyuruh para samanera itu, "Gali lebih cepat! Didihkan airnya! Kita perlu lubang yang besar dan banyak-banyak air panas!" Tak seorang pun biksu dan penduduk dapat menerka, apa yang akan beliau lakukan.
Saat mereka menarik perempuan yang berteriak-teriak itu ke gubuk Ajahn Chah, mulutnya sudah berbusa-busa. Matanya yang berwarna merah darah terbelalak lebar penuh kegilaan. Wajahnya menggambarkan ekspresi kegilaan ditambah lontaran kata-kata kotor dan ludah ke Ajahn Chah. Makin banyak orang membantu memegangi perempuan ini.
"Sudah belum lubangnya? Cepat! Air panasnya sudah? Ayo cepat!" Ajahn Chah berteriak di tengah riuh teriak si perempuan. "Kita harus melempar dia ke dalam lubang! Siramkan air panas ke tubuhnya! Lalu kubur dia! Itu satu-satunya cara untuk mengusir roh jahat ini! Gali lebih cepat! Tambah lagi air panasnya!"
Kami telah belajar dari pengalaman bahwa tak seorang pun dapat menebak pasti apa yang akan dilakukan Ajahn Chah. Dia adalah "ketidakpastian" dalam wujud seorang biksu. Penduduk desa sudah yakin bahwa beliau akan melempar perempuan kerasukan itu ke dalam lubang, menyiramnya dengan air panas, dan menguburnya. Dan mereka akan membiarkannya saja. Si perempuan tampaknya juga berpikiran sama, karena dia mulai sedikit reda. Sebelum lubangnya selesai digali, dan sebelum airnya mendidih, si perempuan sudah bersimpuh tenang dalam kelelahan di hadapan Ajahn Chah, dengan penuh hormat menerima pemberkahan, sebelum akhirnya mereka menuntunnya pulang. Luar biasa.
Ajahn Chah tahu, kerasukan atau sekadar gila, ada sesuatu yang sangat perkasa di dalam diri kita masing-masing, yang dinamakan pertahanan diri. Dengan piawai dan dramatis, Ajahn Chah menekan tombol pertahanan diri di dalam perempuan itu, dan membuat rasa takut sakit dan rasa takut matinya mengusir roh jahat yang merasukinya.
Itulah kebijaksanaan: muncul begitu saja, tak terencana, tak terulang.
Yang Terbesar di Dunia
Putri dari seorang teman lama saya dari masa kuliah tengah menjalani tahun pertamanya di bangku SD. Gurunya bertanya kepada kelas berisi anak-anak lima tahunan itu, “Apakah yang paling besar di dunia?”
“Ayah saya!” kata seorang gadis kecil.
“Gajah!” kata seorang bocah yang baru-baru ini mengunjungi kebun binatang.
“Gunung!” jawab yang lainnya.
Anak teman saya berkata, “Mata saya adalah hal yang paling besar di dunia!”
Seluruh kelas hening sesaat, mereka mencoba memahami jawaban si gadis kecil. “Apa maksudmu?” tanya sang guru, sama-sama dibuat bingung.
“Ya…,” si filsuf cilik mulai menerangkan, “mata saya bisa melihat ayahnya dan dapat melihat gajah. Mata saya pun dapat melihat gunung serta banyak hal lainnya. Karena semua itu dapat masuk ke dalam mata saya, mata saya pastilah sesuatu yang paling besar di dunia!”
Kebijaksanaan bukanlah pembelajaran, tetapi melihat dengan jernih apa yang tidak dapat diajarkan.
Dengan segala hormat kepada putri teman saya itu, saya akan sedikit menambahkan kebijaksanaan yang telah diketahuinya. Bukanlah mata Anda, tetapi PIKIRAN Andalah yang merupakan hal terbesar di dunia.
Pikiran Anda dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, dan juga dapat melihat melampaui apa yang tampak dengan imajinasi. Pikiran juga dapat mengetahui adanya suara, yang mana mata tidak dapat melhatnya, dan menyadari sentuhan, baik yang nyata maupun yang ciptaan impian. Pikiran Anda pun dapat mengetahui apa yang berada di luar jangkauan pancaindra Anda. Karena segala seusatu yang dapat diketahui dapat masuk ke dalam pikiran Anda, maka pikiran Anda pastilah merupakan hal terbesar di dunia. Pikiran memuat segalanya.
PENCARIAN PIKIRAN
Banyak ilmuwan dan para pendukungnya mengatakan bahwa pikiran hanya sekedar produk sampingan dari otak kita, jadi dalam sesi tanya jawab setelah ceramah, saya sering ditanya:"Apakah pikiran itu ada? Jika ya, dimana? Apakah di dalam tubuh? Atau kah di luar? Atau di mana-mana dan meliputi segalanya? Di manakah pikiran itu?"
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memandu sebuah demonstrasi sederhana.
Saya bertanya kepada para hadirin: " Jika saat ini Anda sedang bahagiam tolong angkat tangan kanan Anda. Jika Anda sedang sedih, meskipun cuma sedikit, tolong angkat tangan kiri Anda." Hampir semua hadirin mengangkat tangan kanannya, sebagian betulan, sisanya karena gengsi.
"Nah", lanjut saya, "mereka yang sedang bahagia, tolong tunjukkan kebahagiaan itu dengan jari tangan kanan Anda. Bagi yang sedang sedih, tolong tunjukkan kesedihan itu dengan jari tangan kiri Anda.Tunjukkan tempatnya kepada saya."
Para hadirin mulai menari-narikan jari jemarinya ke atas dan ke bawah. Lalu mereka menoleh sekilas ke sekitarnya dan menemukan kebingungan yang sama. Saat mereka menyadari apa pesan yang ingin disampaikan, mereka semua tertawa.
Kebahagiaan itu nyata. Kesedihan itu ada. Tak diragukan lagi bahwa kedua-duanya memang eksis. Namum, Anda tidak dapat menunjukkan lokasi dari realita itu di mana pun di dalam tubuh Anda, di luar tubuh, atau di manapun juga.
Ini karena kebahagiaan dan kesedihan adalah bagian dari teritori eksklusif pikiran. Mereka termasuk bagian dari pikiran, seperti bunga dan ilalang yang merupakan bagian dari sebuah taman. Fakta bahwa bunga dan ilalang itu eksis membuktikan bahwa taman pun eksis. Demikian pula, fakta bahwa kebahagiaan dan kesedihan itu eksis, membuktikan bahwa pikiran pun eksis.
Penyadaran bahwa Anda tidak dapat menunjukkan di mana lokasi kebahagiaan dan kesedihan menunjukkan bahwa Anda tidak dapat menempatkan pikiran di dalam ruangan tiga dimensi. Tentu saja, mengingat bahwa pikiran adalah hal terbesar di dunia, pikiran tidak bisa berada di dalam ruang tiga dimensi, tetapi ruang tiga dimensi lah yang berada di dalam pikiran. Pikiran merupakan hal terbesar di dunia, di dalamnya tergantung alam semesta.
Ilmu Pengetahuan
Sebelum menjadi biksu, saya adalah seorang ilmuwan. Saya menjelajahi dunia fisika teori yang serupa Zen di Universitas Cambridge di Inggris. Saya menemukan, ilmu pengetahuan dan agama, memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah dogma. Sebuah ungkapan mengasyikkan yang saya ingat semasa mahasiswa adalah, "Kebesaran seorang ilmuwan hebat diukur dari seberapa lama dia terhambat maju dalam bidangnya."
Pada sebuah acara debat antara ilmu pengetahuan dengan agama yang diadakan baru-baru ini di Australia, yang mana saya adalah pembicaranya, saya mengutip sebuat pertanyaan memprihatinkan dari seorang hadirin. "Ketika saya melihat indahnya bintang-bintang melalui sebuah teleskop," kata si perempuan Katolik, "saya selalu merasa bahwa agama saya terancam."
"Bu, saat seorang ilmuwan mengintip dari ujung lain teleskop itu, dari ujung yang besar ke ujung yang kecil," jawab saya, "dan menatapi orang yang sedang melihatnya, maka ilmu pengetahuan akan terancam!"
Ilmu Hening
Barangkali, lebih baik kalau kita menghentikan semua perdebatan. Sebuah pepatah terkenal dari Timur mengatakan :
Dia yang tahu, tidak berbicara;
Dia yang berbicara, tidak tahu.
Boleh jadi kedengarannya sangat mendalam, sampai Anda menyadari bahwa siapapun yang mengatakan itu, dia tidak tahu.
Imam buta
Ketika kita bertambah tua, penglihatan kita menjadi kabur, pendengaran mulai berkurang, rambut mulai rontok, gigi palsu mulai menancap, kaki-kami melemah dan tangan sering gemetaran. namun satu bagian dari anatomi kita yg bahkan makin kuat dari tahun ketahun adalah mulut kita yg bawel ini. itulah sebabnya mengapa warga kita yg paling suka bertele-tele mungkin memenuhi syarat sebagai politikus hanya pada usia senja mereka.
Dahulu kala terdapatlah seorang raja yg mengalami kerepotan dengan para menterinya. Mereka terlalu banyak berbantah sehingga nyaris tak satupun keputusan dapat diambil. Para menteri itu, mengikuti tradisi politik kuno, masing-masing menyatakan bahwa hanya dirinyalah yang paling bener dan lainnya salah. Meskipun demikian, ketika sang raja yang penuh kuasa menggelar perayaan festival umum, mereka semua bisa sepakat untuk cuti bersama.
Festival yang luar biasa itu digelar disebuah stadion besar. Ada nyanyian dan tarian, akrobat, badut, musik dan banyak lagi. Dan dipuncak acara, dikerumunan banyak orang, dengan para menteri yg tentunya menempati tempat duduk terbaik, sang raja menuntun sendiri gajah kerajaan ketengah arena. Dibelakangnya gajah itu berjalanlah tujuh orang buta, yang telah diketahui oleh umum sebagi orang-orang yg buta sejak lahir.
Sang raja meraih tangan orang buta pertama, menuntunnya untuk meraba belalai gajah itu dan memberitahukannya bahwa itu adalah gajah. Raja lalu membantu orang kedua untuk merabah gading sang gajah, orang buta ketiga meraba kupingnya, orang buta keempat meraba kepalanya, yang kelima meraba badannya, yang keenam meraba kaki dan yang ketujuh meraba ekornya, lalu menyatakan kepada masing-masing orang buta bahwa itulah yang dinamakan gajah. Lalu raja kembali kepada sibuta pertama dan memintanya untukmenyebutkannya dengan lantang seperti apakah gajah itu.
"Menurut pertimbangan dan pendapat saya yang ahli ini," kata sibuta pertama, yang meraba belalai gajah," saya nyatakan dengan keyakinan penuh bahwa "seekor gajah" adalah sejenis ular, marga Python asiaticus."
"Sungguh omong kosong." seru sibuta kedua, yang meraba gading gajah. "Seekor gajah" terlalu keras untuk dianggap sebagai ular. Fakta sebenarnya, dan saya tak pernah salah, gajah itu seperti bajak petani.
"Jangan melucu," cemooh sibuta ketiga, yang meraba kuping gajah. "Seekor gajah" adalah seperti daun kipas yang besar.
"kalian idiot tak berguna!" tawa sibuta keempat, yang meraba kepala gajah. "Seekor gajah" sudah pasti adalah gentong air yang besar.
"Mustahil! Benar-benar mustahil!," cibir sibuta kelima, yang meraba badan gajah. "Seekor gajah adalah sebuah batu karang besar."
"Parah!" teriak buta keenam, yang merabah kaki gajah. "Seekor gajah adalah sebatang pohon!"
"Dasar orang-orang picik!" seringai sibuta terakhir, yang meraba ekor gajah. "Aku akan memberitahu kalian apa sebenarnya "gajah" itu. Seekor gajah adalah semacam pecut pengusir lalat. Aku tahu, aku dapat merasakannya."
"Sampah! Gajah itu seekor ular." "Tidak bisa! itu adalah gentong air!" "Bukan! gajah itu...." Dan para buta itu mulai berbantah dengan sengitnya, semuanya berbicara berbarengan, menyebabkan kata2 melebur menjadi teriakan2 yang lantang dan panjang. Tatkala kata2 penghinaan mulai mengudara, lantas datanglah jotosan. Para buta itu tidak yakin betul siapa yang mereka jotos, tetapi tampaknya itu tidak terlalu penting dalam tawuran semacam itu. Mereka sedang berjuang demi prinsip, demi integritas, demi kebenaran. Kebenaran masing2 pada kenyataannya.
Saat para prajurit raja melerai tawuran membuta diantara orang2 buta itu, kerumunan hadirin distadion itu terpaku diam, dan wajah para menteri tampak malu. Setiap orang yg hadir menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh raja melalui pelajaran.
Masing-masing dari kita hanya mengetahui sebagian saja dari kebenaran. Bila kita memegang teguh pengetahuan kita yang terbatas itu sebagai kebenaran mutlak, kita tak ubahnya seperti salah satu orang buta yang meraba satu bagian dari seekor gajah dan menyimpulkan bahwa pengalaman parsial mereka itu sebagai sebuah kebenaran dan yang lainnya salah.
Alih-alih beriman buta, kita dapat berdialog. Bayangkanlah seperti apa jadinya ketujuh orang buta itu, alih-alih mempertentangkan data2 mereka, malah menggabungkan penggalaman. Mereka akan menarik suatu kesimpulan bahwa "seekor gajah' adalah sesuatu yang seperti batu karang besar, yang ditopang oleh empat batang pohon. Dibagian belakang batu karang itu ada seutas pecut pengusir lalat, dan didepannya ada gentong air besar. Disetiap sisi gentong itu terdapat dua daun kipas, dengan dua bajak yang mengapit seekor piton panjang! Bukan gambaran yang buruk-buruk amat akan seekor gajah, bagi orang yang tak akan pernah melihatnnya.
Suara yang Paling Indah
Seorang tua yang tak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya yang modern.
Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi itu, dan dia tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, di mana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.
“Ngiiik! Ngoook!” berasal dari nada sumbang biola tersebut.
Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan “biola”, dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.
Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunungnya, dia pun mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai ke sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah, di mana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah prose’s belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.
Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua itu berpikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu kita bertemu dengan seseorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah prose’s belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apapun kepercayaan mereka.
Namun, ini bukanlah akhir dari cerita.
Hari ketiga, di bagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan suara dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut Anda, suara apakah itu?
Melebihi indahnya suara aliran air pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya saura angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam musim slaju. Suara apakah gerangan yang telah menggerakan hati si orang tua melebihi apa pun itu?
Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.
Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat muskinya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.
“Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si orang tua. “Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!”
Itulah suara yang paling indah.
Apakah Arti Sebuah Nama?
Ketika seseorang menjadi biksu dlaam tradisi kami, orang itu akan menerima sebuah nama baru. Nama tahbis saya adalah " Brahmavamso" yang karena agak panjang, biasanya saya singkat sebagai "Brahm". Sekarang setiap orang memanggil saya dengan nama itu, kecuali Ibu saya yang tetap memangil saya Peter, dan saya bela haknya untuk melakukan itu.
Suatu ketika, dalam sebuah percakapan telepon yang mengundang saya untuk datang ke sebuah acara lintas agama, saya diminta untuk mengeja nama saya. Saya menjawab :
B - untuk Buddha
R - untuk Roman Catholic ( Katolik Roma)
A - untuk Anglican ( Sebuah aliran Kristen)
H - untuk Hindu
M - untuk Muslim
Saya menerima tanggapan yang begitu positif, sehingga saya terbiasa mengejanya dengan cara demikian, dan juga seperti itulah artinya.
Kekuatan Piramida
Pada musim panas tahun 1969, tak lama setelah ulang tahun saya yang ke-18, saya berkesempatan menimati pengalaman pertama di hutan tropis. Saya melakukan perjalanan ke Semenanjung Yucatan di Guatemala, menuju sebuah piramida yang baru ditemukan, peninggalan peradaban Maya yang telah punah.
Pada masa itu, sanga sulit untuk melakukan perjalanan. Perlu waktu tiga atau empat hari bagi saya untuk mencapai jarak beberapa ratus kilometer dari Kota Guatemala menuju kompleks reruntuhan kuil yang bernama Tical. Saya melakukan perjalan menelusuri sungai sempit di tengah hutan dengan menumpang perahu nelayan yang berlepotan minyak, truk bermuatan penuh, dan meniti jalan setapak hutan dengan gerobak usang yang berderak-derik Daerah itu terpencil, miskin, dan primitif.
Ketika saya akhirnya tiba di kompleks kuil dan piramida kuno yang ditinggalkan itu, saya tak punya pemandu atau buku panduan yang dapat menjelaskan makna dari monumen batu nan menjulang tinggi menunjuk langit di situ. Tak ada orang di sekitar sana. Jadi saya mulai memanjat salah satu piramida yang tinggi itu.
Di tengah perjalanan menuju puncak, makna dan maksud spiritual dari piramida itu sekonyong-konyong menjadi jelas bagi saya.
Selama tiga hari sebelumnya, saya telah melakukan perjalanan luar biasa menembus hutan. Jalan-jalan, titian-titian dan sungai-bagaikan terowongan menembus pekat kehijauan. Rimba belantara dengan cepat telah membuat langit-langit bagi setiap langkah saya. Selama beberapa hari saya tidak melihat cakrawala. Dan tentu saja, saya pun tak dapat melihat apa-apa yang di kejauhan. Saya di hutan belantara.
Di puncak piramida itu, saya berada di atas simpul belantara rimba. Tidak saja saya dapat melihat di mana posisi saya dalam panorama mirip peta yang terbentang di hadapan saya, tetapi sekarang saya pun dapat melihat ke seluruh penjuru, tanpa sesuatu pun di antara saya dan kemahaluasan.
Berdiri di sana, bagaikan berada di atap dunia, saya membayangkan hal yang sama mungkin dirasakan pula oleh seorang pemuda Indian Maya yang lahir di hutan, besar di hutan, dan tinggal sepanjang hayatnya di tengah hutan. Saya membayangkan mereka ada dalam sebuah upacara keagamaan yang merupakan bagian dari kitab suci mereka yang dibawa lembut oleh seorang tua nan bijaksana, menuju puncak piramida untuk pertama kalinya. Saat mereka telah berada dia atas garis pepohonan dan melihat dunia rimbanya terkuak dan terbentang di hadapan mereka, saat mereka memandang melampaui ambang tanah kelahirannya menuju kaki langit dan bentangannya, mereka akan melihat cakupan kekosongan agung diatas dan di sekeliling. Berdiri di puncak piramida, di jalan masuk antara surga dan bumi, tak akan ada seorang pun, sesuatun pun, sepatah kata pun di antara mereka dan kemahaluasan di segenap penjuru. Hati mereka akan tergetar oleh sengatan pelambangan wawasan itu. Kebenaran akan bermekaran dan menebarkan harum pengetahuan. Mereka akan memahami tempat mereka di rumah dunia, dan mereka akan melihat yang tak terbatas, kekosongan yang membebaskan, yang mencakup segalanya. Hidup mereka akan menemukan maknanya.
Kita semua perlu menghibahkan waktu dan kedamaian bagi diri kita untuk mendaki piramida spritual yang ada di dalam diri kita, untuk menuju puncak dan melampaui keruwetan belantara kehidupan kita, meskipun hanya untuk sekejap saja. Lalu, kita mungkin akan melihat sendiri tempat kita di tengah segala sesuatu, pengamatan menyeluruh atas perjalanan hidup kita, dan menatap dengan jelas ketakterbatasan dalam setiap penjuru.
Batu-Batu Berharga
Beberapa tahun lalu di sebuah sekolah bisnis terkemuka di Amerika Serikat, seorang profesor menyampaikan sebuah kuliah yang luar biasa tentang ekonomi sosial di depan kelas S2 nya. Tanpa menjelaskan apa yang sedang dilakukannya, dengan hati-hati sang profesor meletakkan sebuah toples kaca di atas mejanya. Lalu, dengan diikuti tatapan mata para mahasiswanya, dia mengeluarkan sekantung penuh batu dan memasukkannya satu per satu ke dalam toples, sampai tak ada lagi batu yang bisa di masukkan. Dia bertanya kepada para mahasiswanya “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Ya.” Jawab mereka.
Sang profesor tersenyum. Dari bawah mejanya, ia meraih tas kedua, yang satu ini penuh kerikil. Dia lalu menuangkan sambil menggoyang-goyangkan kerikil-kerikil itu untuk mengisi celah-celah di antara batu-batu yang lebih besar di dalam toples. Untuk kedua kalinya, dia bertanya kepada para mahasiswanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Belum,” jawab mereka. Sekarang mereka sudah mulai dapat menebaknya.
Tentu saja mereka benar, karena sang profesor mengambil lagi sekantong penuh pasir halus. Dia berusaha menuangkan pasir itu ke dalam toples, mengisi celah-celah di antara batu-batu besar dan kerikil-kerikil yang telah di masukkan sebelumnya. Lagi-lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Mungkin, tidak, Pak, yang tahu cuma Anda,” jawab mahasiswanya.
Tersenyum mendengarkan jawaban itu, sang profesor mengeluarkan seteko air, yang dituangkan ke dalam toples yang penuh dengan batu, kerikil, dan pasir halus itu, dia meletakkan teko itu dan memandang ke seluruh kelas.
“Lantas, apa pelajaran yang dapat kalian petik?” tanyanya kepada mahasiswa.
“Tak peduli seberapa padatnya jadwal Anda,” sambut salah seorang mahasiswa, “Anda akan selalu bisa menambahkan sesuatu ke dalamnya!” Jangan lupa, ini kan sekolah bisnis terkenal.
“Bukan!” gelegar sang profesor dengan penuh empati. “Apa yang ditunjukkan adalah jika kalian ingin memasukkan batu-batu yang besar, kalian harus memasukkannya pertama kali.”
Itu adalah pelajaran tentang Prioritas.
Jadi apakah “batu besar” yang ada di dalam “toples” Anda? Apakah hal yang paling penting yang harus dimasukkan ke dalam kehidupan Anda? Pastikanlah untuk pertama-tama menjadwalkan “batu-batu berharga” ke dalam hidup Anda, atau Anda tak akan pernah mendapatkannya, untuk mengisi hidup Anda.
Nanti, Saya Akan Bahagia
Barangkali batu paling berharga di dalam “toples” pada cerita terdahulu, adalah kebahagiaan kita. Saat kita tidak memiliki kebahagiaan di dalam diri kita, kita tidak memiliki kebahagiaan untuk diberikan kepada orang lain. Jadi mengapa begitu banyak orang tidak memberika prioritas kepada kebahagiaanm terus menundanya hingga saat-saat akhir? (Atau bahkan setelah saat-saat akhir, seperti yang ditunjukkan oleh kisah berikut ini).
Ketika saya masiih berumur empat belas tahun, saya belajar untuk menghadapi ujian O-level di sebuah sekolah tinggi di London. Orang tua dan guru-guru saya menasihati saya agar berhenti bermain sepak bola pada sore hari dan akhir pekan, mengerjakan PR saja di rumah. Mereka menerangkan betapa pentingnya ujuan O-level tersebut dan jika saya lulus, nanti, saya akan bahagia.
Saya mengikuti nasihat mereka dan lulus dengan baik sekali. Tetapi itu tidak membuat saya terlalu bahagia, karena keberhasilan saya berarti bahwa saya harus belajar lebih keras lagi, selama dua tahun berikutnya, untuk mempersiapkan ujian A-level. Orang tua dan guru-guru saya menasihati saya agar berhenti keluyuran pada sore hari dan akhir pekan, kalau dahulu diminta berhenti mengejar-ngejar bola, sekarang diminta berhenti mengejar-ngejar cewek. Di rumah saja, belajar. Mereka berkata bahwa ujian A-level begitu penting dan kalau saya lulus, nanti saya akan bahagia.
Sekali lagi, saya mengikuti nasihat mereka dan berhasil baik. Sekali lagi, itu tidak membuat saya terlalu bahagia. Sebab sekarang saya harus belajar jauh lebih keras dari sebelumnya, selama tiga tahun lagi, untuk gelar di universitas. Ibu dan para guru (saat itu ayah saya sudah meninggal) menasihati saya agar menjauhi bar dan pesta kampus, melainkan belajar saja dengan tekun. Mereka berkata betapa pentingnya gelar sarjana dan jika saya berhasil, nanti, saya akan bahagia.
Sampai di titik ini, saya mulai curiga.
Saya melihat beberapa teman yang lebih senior, yang telah belajar dengan tekun dan meraih gelar sarjana. Sekarang mereka bahkan bekerja lebih keras lagi untuk pekerjaan pertama mereka. Mereka bekerja begitu keras untuk menabung sejumlah uang untuk membeli sesuatu yang lebih penting, katakanlah, sebuah mobil. Mereka berkata, “Saat tabungan saya cukup untuk membeli sebuah mobil, nanti, saya akan bahagia.”
Ketika mereka sudah punya cukup dana dan telah membeli mobil pertamanya, mereka masih saja tidak bahagia. Sekarang mereka bekerja keras untuk membeli sesuatu yang lain, dan setelah itu mereka akan bahagia. Atau mereka berjuang gigih dalam gelora percintaan, mencari teman hidup. Mereka berkata kepada saya, “Saat saya menikan dan sudah mapan, nanti, saya akan bahagia.”
Begitu menikah, mereka masih saja tidak bahagia. Mereka harus bekerja lebih keras lagi, bahkan mencari kerja sampingan, untuk menabung cukup banyak untuk uang muka sebuah apartemen, atau bahkan sebuah rumah kecil. Mereka berkata, “Saat kami sudah punya rumah sendiri, nanti, kami akan bahagia.”
Sayangnya, membayar cicilan bulanan untuk rumah kredit berarti mereka masih tidak bahagia. Lebih-lebih, mereka memulai membangun sebuah keluarga. Mereka akan punya anak-anak yang akan membuat mereka terjaga malam-malam, menyedot uang simpanan mereka, dan melipatgandakan kekhawatiran mereka. Sekarang mungkin perlu dua puluh tahun lagi untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Lalu mereka akan berkata, “Ketika anak-anak sudah besar, keluar dari rumah dan mandiri, nanti, kami akan bahagia.”
Saat anak-anak sudah keluar dari rumah, kebanyakan orang tua sudah menghadapi masa-masa pensiun. Lalu mereka terus menunda kebahagiaan mereka, bekerja keras untuk tabungan hari tua. Mereka berkata, “Ketika saya sudah pensiun, nanti, saya akan bahagia.”
Bahkan sebelum mereka pensiun, dan tentunya juga setelahnya, mereka mulai menjadi religius dan pergi ke gereja. Pernahkah Anda perhatikan berapa banyak orang tua memenuhi bangku-bangku gereja? Saya bertanya kepada mereka, mengapa mereka sekarang pergi ke gereja. Mereka berkata, “Karena, saat saya mati, nanti, saya akan bahagia!”
Bagi mereka yang percaya bahwa, “Saat saya mendapatkan ini, nanti, saya akan bahagia,” kebahagiaan mereka hanyalah menjadi impian masa depan. Seperti halnya kaki pelangi yang terlihat satu atau dua langkah di depan, namun selamanya tidak akan bisa digapai. Di dalam hidup, atau bahkan setelah hidup, mereka tidak akan pernah mewujudkan kebahagiaan.
Nelayan Meksiko
Di sebuah desa nelayan Meksiko yang tenteram, seorang Amerika yang sedang berlibur melihat seorang nelayan setempat baru saja pulang dari melaut pada pagi hari. Si Amerika, seorang professor sukses di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat, tidak tahan untuk tidak memberikan sedikit wejangan gratis kepada si nelayan Meksiko.
"Hai!" sapa si Amerika. "Mengapa pagi-pagi sudah pulang dari melaut?"
"Karena saya sudah mendapat cukup ikan, Segnor," jawab si Meksiko yang ramah itu, "cukup untuk memberi makan keluarga saya dan sedikit kelebihannya untuk dijual. Sekarang saya akan makan siang bersama istri saya dan, setelah tidur siang sejenak, saya akan bermain-main bersama anak-anak saya. Lalu, setelah makan malam, saya akan pergi ke kedai, meneguk sedikit tequila dan bermain gitar bersama teman-teman saya. Itu cukup untuk saya, Segnor."
"Dengarkan saya kawan," ujar si profesor bisnis. "Jika kamu tetap melaut sampai larut sore, dengan mudah kamu akan mendapatkan tangkapan dua kali lipat. Kamu dapat menjual kelebihannya, menabung uangnya, dan dalam waktu enam bulan, atau sembilan bulan, kamu akan mampu membeli perahu yang lebih bagus dan lebih besar dan menggaji beberapa awak. Kemudian kamu akan mampu menangkap ikan empat kali lebih banyak. Pikirkanlah berapa banyak tambahan uang yang kamu dapatkan! Dalam satu atau dua tahun, kamu akan punya modal untuk membeli perahu kedua dan menggaji awak-awak lain. Jika kamu mengikuti perencanaan bisnis ini, dalam waktu enam atau tujuh tahun kamu akan bangga menjadi pemilik sebuah armada penangkap ikan yang besar. Coba bayangkan itu! Lalu kamu sebaiknya memindahkan kantor pusatmu ke Mexico City atau bahkan ke L.A., perusahaanmu bisa go public dan membuatmu sebagai CEO, dengan paket penghasilan dan hak pembagian saham yang istimewa. Dalam beberapa tahun--dengarkan ini!--kamu memulai skema pembelian kembali saham-saham, yang akan menjadikanmu seorang multijutawan! Dijamin! Saya ini profesor terkenal di sebuah sekolah bisnis di Amerika. Saya tahu soal-soal beginian!"
Si nelayan Meksiko itu mendengarkan dengan khusyuk apa yang dikatakan oleh profesor Amerika itu dengan menggebu-gebu. Ketika profesor selesai bicara, si Meksiko bertanya, "Tetapi, Segnor Profesor, apa yang bisa saya lakukan dengan berjuta-juta dollar itu?"
Yang mengejutkan, si profesor Amerika itu belum memikirkan rencana bisnisnya sejauh itu. Jadi, dengan segera dia mereka-reka apa yang bisa dilakukan seseorang dengan jutaan dolarnya.
"Amigo! Dengan semua duit itu, kamu bisa pensiun. Yeah! Pensiun seumur hidup. Kamu bisa membeli sebuah villa kecil di sebuah desa nelayan yang indah seperti ini, dan membeli sebuah perahu kecil untuk memancing pada pagi hari. Setiap hari kamu bisa makan siang bersama istrimu, dan tidur siang sejenak setelahnya, tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Pada sore hari kamu dapat melewatkan saat-saat berkualitas besama anak-anakmu dan setelah makan malam, bermain gitar bersama teman-temanmu, meneguk tequila. Yeah, dengan semua uang itu, kawan, kamu bisa pensiun dan hidup senang!"
"Tetapi Segnor profesor, kan sekarang ini saya sudah bisa begitu?"
Mengapa kita percaya bahwa kita harus bekerja begitu keras dan menjadi kaya raya terlebih dahulu, baru kita bisa merasa berkecukupan?
Ketika Semua Keinginan Saya Terpenuhi
Di dalam tradisi saya, para biksu tidak diperkenankan menerima, memiliki, atau memegang uang, apa pun macamnya. Kami ini begitu miskinnya sampai-sampai mengacaukan statistik pemerintah. Kami hidup sederhana dengan sukarela, hidup dari pemberian bersahaja para penyantun awam. Betapa pun, tak jarang kami mendapat tawaran yang istimewa.
Saya telah membantu seorang pria Thai yang punya masalah pribadi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia ingin memberikan saya 500 baht. Adalah lazim menyebutkan jumlah saat mengajukan penawaran untuk menghindari kesalahpahaman. Karena tidak bisa langsung memutuskan apa yang saya inginkan dan dia terburu-buru, kami sepakat saya akan memberitahu keputusan saya pada kedatangannya di saat lain.
Sebelum kejadian itu, saya seorang biksu kecil yang bahagia. Tetapi, sekarang saya merenungkan apa saja yang saya inginkan. Saya membuat daftar yang terus bertambah panjang, sehingga 500 baht tidak cukup. Begitu sulit mencoret sesuatu dari daftar itu. Daftar kian bertambah, sekarang 5.000 baht pun tak cukup!
Saya lalu membuang daftar keinginan itu jauh-jauh. Pada hari berikutnya, saya bilang kepada dermawan itu agar menyumbangkan 500 baht untuk pembangunan vihara atau tujuan baik lainnya. Saya tidak menginginkannya. Apa yang paling saya inginkan adalah mendapatkan kembali rasa kecukupan hati yang pernah saya miliki pada hari-hari sebelumnya. Ketika saya tidak punya uang ataupun cara-cara untuk mendapatkan sesuatu, itulah saat ketika semua keinginan saya terpenuhi.
Keinginan itu tak ada batasnya. Bahkan satu juta baht pun tidaklah cukup, pun satu miliar dolar. Namun, “bebas dari berkeinginan” itu ada batasnya. Itulah saat ketika Anda tak menginginkan apa-apa. Rasa berkecukupan adalah satu-satunya saat tatkala hati Anda merasa cukup.
Dua Jenis Kebebasan
Ada dua jenis kebebasan yang dapat kita temukan di dalam dunia kita : Kebebasan untuk berkeinginan (freedom of desires) dan kebebasan dari berkeinginan (freedom from desires).
Kebudayaan modern Barat kita hanya mengenal jenis yang pertama saja, kebebasan untuk berkeinginan. Kita memujanya sebagai sebuah kebebasan dengan mengabadikannya di pembukaan undang-undang nasional dan piagam hak-hak asasi manusia. Dapat dikatakan bahwa paham yang mendasari kebanyakan sistem demokrasi Barat adalah untuk melindungi kebebasan rakyat untuk mewujudkan hasratnya, sejauh mungkin. Anehnya, di negeri-negeri seperti itu orang-orangnya tidak merasa benar-benar bebas.
Kebebasan jenis kedua, kebebasan dari keinginan, hanya dikenal dalam beberapa komunitas religius. Mereka menjunjung rasa kebercukupan, kedamaian yang bebas dari berkeinginan. Anehnya, dalam komunitas yang penuh aturan disiplin seperti wihara saya, orang-orangnya justru merasa benar-benar bebas.
Jenis Kebebasan Manakah yang Anda Sukai
Dua bhikku Thai yang dihormati diundang ke rumah seorang umat untuk menerima persembahan dana makanan pagi. Di ruang tamu, tempat mereka menunggu, terdapat berbagai jenis ikan hias. Bhikku yang lebih muda mengadukan bahwa memelihara ikan di akuarium itu bertentangan dengan prinsip Buddhis mengenai belas kasih. Itu bagaikan memenjarakan mereka. Apa sih yang telah diperbuat oleh ikan-ikan itu sehingga mereka harus dikurung didalam tembok kaca? Mereka semestinya bebas berenang di sungai atau di danau, bebas pergi kemana pun mereka suka. Bhikku yang kedua tidak setuju. Memang benar, dia mengakui bahwa ikan-ikan itu tidak bebas menuruti kehendaknya, tetapi hidup di dalam akuarium memBEBASkan mereka dari begitu banyak marabahaya. Lalu dia menguraikan daftar kebebasan mereka.
1. Pernahkah Anda melihat orang memancing ikan di akuarium di rumah seseorang? Tidak! Jadi, keBEBASan pertama bagi ikan-ikan dalam akuarium adalah BEBAS dari ancaman para pemancing. Bayangkan apa jadinya bagi ikan di alam bebas. Ketika melihat seekor cacing lezat atau seekor lalat sedap, mereka tidak pernah yakin apakah itu aman dimakan atau tidak. Mereka, tidak diragukan lagi, telah menyaksikan banyak teman dan kerabat mereka mencaplok seekor cacing yang tampak lezat, dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mereka untuk selamanya. Bagi ikan di alam bebas, makan itu terancam bahaya dan sering berakhir dalam tragedi. Makan malam bisa jadi traumatik. Ikan di alam bebas bisa-bisa menderita gangguan pencernaan kronis karena hilangnya nafsu makan, dan ikan yang paranoid bisa dipastikan akan mati kelaparan. Ikan di alam bebas mungkin saja menderita tekanan batin, tetapi ikan di akuarium terBEBAS dari BAHAYA semacam ini.
2. Ikan di alam bebas juga harus mencemaskan ancaman ikan besar yang akan memangsa mereka. Dewasa ini, di beberapa sungai yang rusuh, para ikan tak lagi merasa aman untuk keluyuran pada malam hari! Bagaimanapun, tak ada pemilik akuarium yang akan mengisi akuariumnya dengan jenis ikan yang akan memangsa ikan lainnya. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA ikan kanibal.
3. Dalam daur alamiahnya, ikan di alam bebas kadang tak memperoleh makanan. Namun bagi ikan di akuarium, hidup itu bagai tinggal di sebelah restoran. Dua kali sehari, makanan bergizi diantarkan ke depan pintu mereka, bahkan lebih nyaman daripada jasa antar pizza, karena mereka tak perlu membayar. Jadi, ikan di dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kelaparan.
4. Selama perubahan musim, sungai dan danau mengalami perubahan suhu yang ekstrim. Sungai dan danau menjadi sangat dingin pada musim dingin, sampai permukaannya tertutupi es. Pada musim panas, air bisa menjadi terlalu hangat untuk ikan, kadang bahkan sampai mengering. Namun, ikan di dalam akuarium memiliki sistem pengaturan udara dan suhu. Suhu air dalam akuarium terjaga ajek dan nyaman sepanjang hari, sepanjang tahun. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kedinginan dan kepanasan.
5. Di alam bebas, bila seekor ikan jatuh sakit, tak ada yang akan merawatnya. Namun, ikan dalam akuarium punya asuransi kesehatan gratis. Pemiliknya akan memanggil dokter ikan untuk datang ke rumah kapan pun ada ikan yang sakit; mereka bahkan tidak harus pergi sendiri ke klinik. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kertiadaan perlindungan kesehatan.
Bhikku kedua, yang lebih senior, menyimpulkan sikapnya. Ada banyak keuntungan menjadi seekor ikan dalam akuarium, katanya. Memang benar, mereka TIDAK BEBAS menuruti kehendaknya dan berenang ke sana ke mari, tetapi mereka terBEBAS dari BEGITU BANYAK BAHAYA dan KETIDAKNYAMANAN. Bhikku yang lebih senior melanjutkan penjelasannya bahwa itu sama seperti orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang bajik. Benar, mereka TIDAK BEBAS mengikuti nafsunya dan seenaknya ke sana ke mari, tetapi mereka terBEBAS dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan. Jadi, jenis keBEBASan mana yang Anda sukai?
Dunia Bebas
Selama beberapa minggu, seorang rekan bhikkhu mengajar meditasi di sebuah penjara baru dengan tingkat pengamanan yang sangat ketat di dekat Perth.Sekelompok kecil narapidana telah mengenal baik dan menghormati sang bhikkhu. Di akhir sebuah sesi, mereka mulai bertanya mengenai rutinitas kesehariannya di vihara.
"Kami harus bangun jam 4 pagi setiap hari," katanya. "Kadang-kadang terasa sangat dingin karena kamar kami yang kecil tidak memiliki penghangat ruangan. K! ami hanya makan satu kali sehari, semuanya dicampur-aduk dalam satu mangkok. Selewat tengah hari dan pada malam hari kami tidak makan apapun. Dan tentu saja, tidak boleh berhubungan seks atau minum minuman beralkohol. Kami juga tidak punya televisi, radio ataupun musik. Kami tidak pernah nonton film, juga tidak berolahraga untuk kesenangan. Kami berbicara sedikit, bekerja keras dan melewatkan waktu luang dengan duduk bersila mengamati napas. Kami tidur di atas lantai."
Para napi tertegun mengetahui kesederhanaan kehidupan membiara kami. Kalau diperbandingkan, itu membuat penjara mereka seperti sebuah hotel berbintang lima. Bahkan, seorang napi begitu tergerak simpatinya atas merananya si bhikkhu sahabatnya ini sampai dia lupa di mana dia berada dan berkata:"Ngeri amat tinggal di viharamu. Kenapa kamu tidak pindah ke sini dan tinggal bersama kami saja?"
Si bhikkhu bercerita kepada saya, semua yang ada di ruangan tertawa terbahak-baha! k. Begitu pula saya ketika dia menceritakan kejadian itu. Lalu saya mulai merenungkannya dengan mendalam.
Memang benar vihara saya jauh lebih sederhana daripada penjara terketat untuk para terpidana, namun banyak yang datang dengan kemauan sendiri dan berbahagia di sini. Sementara begitu banyak yang mencoba kabur dari penjara yang lebih nyaman dan tidak berbahagia di sana. Mengapa?
Itu karena, di vihara saya, penghuninya ingin berada di sana; di penjara,penghuninya tidak ingin berada di sana. Itu bedanya.
Saat anda tidak ingin berada di suatu tempat, di manapun itu, senyaman apapun, itu adalah sebuah penjara bagi Anda. Inilah arti sesungguhnya dari kata "penjara" -situasi apa pun di mana anda tidak ingin berada. Jika Anda ada dalam pekerjaan yang tidak Anda inginkan, berarti Anda berada dalam penjara. Jika Anda ada dalam sebuah hubungan yang tidak Anda inginkan, Anda berada dalam penjara. Jika Anda sedang sakit dan terperangka! p di dalam tubuh menyakitkan yang tidak Anda inginkan, itu pun penjara buat Anda. Penjara adalah situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada di dalamnya.
Lalu bagaimana caranya untuk dapat bebas dari berbagai penjara kehidupan?Gampang. Ubah saja persepsi anda tentang situasi sekarang menjadi "ingin berada di sana". Walaupun berada di San Quentin (Redaksi: sebuah penjara tempat hukuman mati), atau yang sedikit lebih lumayan, vihara saya, kalau anda ingin berada di sana, maka itu tidak lagi menjadi penjara bagi Anda.Dengan mengubah persepsi Anda terhadap pekerjaan, hubungan, tubuh yang sakit, dan dengan menerima situasinya alih-alih menolaknya, maka itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Saat Anda menerima untuk berada di sana,Anda telah bebas.
Kebebasan adalah merasa puas di mana pun Anda berada. Penjara adalah menginginkan berada di tempat lain. Dunia yang bebas adalah sebuah dunia yang dialami orang seseorang! yang puas. Kebebasan sejati adalah kebebasan dari hasrat, bukannya kebebasan untuk berkeinginan.
Makan Malam Bersama Amnesty International
Mempertimbangkan kondisi kehidupan yang keras di wihara saya, saya sangat menjaga hubungan baik dengan perwakilan Amnesty International di Perth. Jadi ketika saya menerima undangan makan malam yang diselenggarakan oleh Amnesty International, untuk memperingati 50 Thun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, saya mengirim balasan kepada mereka sebagai berikut :
Yth. Julia, Bagian Humas,
Terima kasih banyak atas surat undangan anda yag baru-baru ini saya terima mengenai peringatan 50 Tahun Deklarasi universal Hak Asasi Manusia pada hari Sabtu, 30 Mei. Saya merasa sangat tersanjung menerima undangan tersebut.
Akan tetapi, saya adalah seorang biarawan Buddhis dari tradisi Therawada, yang mana tradisi ini sangat menjaga aturan yang ketat. Sayangnya, aturan tersebut melarang saya makan mulai dari tengah hari sampai pai hari berikutnya, dan dengan demikian, aduh , itu berarti tidak boleh makan malam! Alkohol pun tidak boleh, termasuk juga anggur. Seandainya saya memenuhi undangan anda, maka, saya terpaksa duduk dengan piring kosong di samping gelas kosong, sepanjang waktu menonton orang-orang di sekitar saya yang dengan nikmat menyantap jamuan makan yang mewah. Hal ini akan menjadi sebuah siksaan bagi saya, yang mana, sebagai Amnesty International, pasti tak akan pernah anda cuekkan!
Lebih lanjut, sebagai seorang biksu dalam tradisi ini, Saya tidak boleh menerima dan memiliki uang. Sejauh ini saya tetap bahagia berada di bawah garis kemiskinan yang mengacaukan statistik pemerintah! Jadi, saya tidak punya cara untuk membayar makan malam itu, yang toh tidak bisa saya santap juga.
Saya ingin terus bercerita tentang masalah-masalah seorang biksu, seperti hambatan aturan berbusana untuk acara semacam ini, tetapi saya rasa sudah cukup banyak yang saya katakan. Dengan ini saya mohon maaf karena tidak mampu menghadiri acara makan malam tersebut.
Yang bahaia dalam kemelaratan,
Brahm
Aturan Busana Biksu
Para Biksu dalam tradisi saya mengenakan jubah berwarna cokelat, dan hanya itulah pakaian yang kami miliki. Beberapa tahun yang lalu, selama beberapa hari saya harus dirawat di sebuah rumah sakit di Australia. Di bagian penerimaan, syaa ditanya apakah saya membawa piyama sendiri. Saya bilang bahwa biksu tidak memakai piyama; biksu hanya memakai jubah ini belaka! Jadi mereka membiarkan saya memakai jubah saya.
Soalnya, jubah biksu ini mirip seperti gaun.
Pada suatu hari Minggu sore di pinggiran Perth, saya tengah memuat barang-barang untuk pembangunan wihara ke dalam mobil van milik wihara. Seorang gadis Australia berusia tiga belas tahun muncul dari rumah di dekat situ untuk berbicara kepada saya. Sebelumnya dia belum pernah melihat seorang biksu. Berdiri di depan saya sambil berkacak pinggang, dia memandang saya dari atas ke bawah dengan pandangan yang merasa jijik. Lalu dia mulai memarahi saya dengan suara penuh kemuakan, " Kamu pakai rok seperti cewek! Sinting! Wueek!"
Gayanya begitu sok-sokan, sehingga saya tidak tahan untuk tidak tertawa. Saya mengingat guru saya, Ajahn Chah, yang menasihati murid-muridnya bagaimana cara menanggapi bila dilecehkan, " Jika seseorang menyebut anda anjing, jangan marah. Sebaliknya, cukup lihat saja pantat anda. Jika Anda tak melihat ada ekor disana, itu berarti anda bukan anjing. Beres sudah!"
Kadang, saya mendapat pujian karena mengenakan jubah syaa di depan umum. Pada suatu kejadian, bagaimanapun juga, kejadian itu sempat membuat saya merinding juga.
Saat itu saya sedang ada suatu keperluan di kota. Sopir saya ( para biksu tidak diizinkan menyetir mobil) memarkir kendaraan milik wihara kami di tempat parkir bertingkat. Dia bilang bahwa dia kebelet pipis, tetapi karena menurutnya toilet di tempat parkir itu jorok, dia ingin menikmati kenyamanan toilet yang ada di ruang tunggu sebuah bioskop dekat situ. Jadi, selama sopir saya sedang menuaikan hajat alaminya, saya menunggu di luar bioskop tersebut, berdiri di pinggir jalan yang ramai, dalam jubah biksu.
Seorang pemuda menghampiri saya, tersenyum manis dan bertanya apakah saya punya waktu. Biksu-biksu seperti saya ini sangat lugu. Saya telah hidup di wihara hampir sepanjang hidup. Juga karena biksu pun tidak punya jam tangan, maka dengan sopan saya meminta maaf bahwa saya tidak tahu waktu (jam). Pemuda itu mengenyitkan keningnya dan berjalan menjauh.
Ketika dia baru saja beberapa langkah meninggalkan saya, tiba-tiba saya tersadar apa yang dia maksud. " Apakah kamu punya waktu?" rasa-rasanya adalah kutipan terkenal dari sebuah buku. Dan belakangan saya sadari bahwa saya tengah berdiri pada salah satu tempat pertemuan paling populer bagi kaum homoseksual di Perth!
Pemuda itu berbalik meoleh ke arah saya lagi dan berkata dengan suara Marilyn Monroe-nya yang paling merdu " Oooh! Tetapi kamu cantik juga sih pakai gaun itu!"
Saya mengakui bahwa saat itu saya mulai bermandikan peluh. Untunglah, sopir saya muncul dari ruang tunggu bioskop untuk menyelematkan saya. Semenjak itu, kami menggunakan toilet di tempat parkir.
Menertawakan Diri Sendiri
Salah satu nasihat terbaik yang saya terima sebagai seorang guru muda adalah bila anda melakukan suatu kesalahan dan seluruh kelas menertawakan anda, Anda ikut saja tertawa. Dengan cara itu, siswa Anda tidak menertawakan Anda, tetapi tertawa bersama Anda.
Beberapa tahun kemudian, sebagai biksu pengajar di Perth, saya diundang ke sebuah SMA untuk memberikan pelajaran mengenai Agama Buddha. Para siswa remaja sering mengerjai saya dengan mencoba mempermalukan saya. Suatu kali, pada akhir penjelasan saya mengenai kebudayaan Buddhis, saya menanyakan seisi kelas apakah ada yang ingin bertanya. Seorang siswi empat belas tahun mengangkat tangannya dan bertanya " Apakah anda bisa tergoda oleh cewek?"
Untunglah siswi-siswi lainnya menyelamatkan saya dan mengomeli gadis itu karena telah mempermalukan mereka semua. Bagi saya sendiri, saya hanya tertawa dan mencatat kejadian itu sebagai bahan untuk ceramah saya berikutnya.
Pada kejadian lain, saya sedang berjalan di sepanjang jalan utama di kota ketika sekelompok siswi mendekati saya, "Hai" mereka menyapa saya dengan sangat ramah, " Anda ingat kami? Belum lama ini anda datang ke sekolah kami untuk berceramah."
"Saya tersanjung karena kalian masih ingat pada saya," jawab saya.
" Kami tidak akan melupakan anda" kata salah seorang siswi, " Bagaimana kami bisa melupakan seorang biksu yang bernama 'Bra'!"
Si Anjing yang Tertawa Belakangan
Tahun pertama saya sebagai seorang bhikkhu di timur laut Thailand bertepatan dengan tahun terakhir Perang Vietnam. Di dekat vihara Ajahn Chah, tak jauh dari Kecamatan Ubon, terdapat pangkalan udara Amerika. Ajahn Chah senang menceritakan kisah nyata berikut tentang bagaimana menghadapi pelecehan.
Seorang tentara Amerika sedang jalan-jalan dari pangkalan menuju kota dengan naik becak. Di pinggiran kota, mereka melewati sebuah kedai pinggir jalan, di mana terdapat beberapa orang teman si penarik becak di sana, yang sudah agak mabuk.
...
"Hei!" teriak mereka dalam bahasa Thai. "Kau bawa ke mana anjing kotor itu?" Lalu mereka tertawa-tawa sambil menunjuk si serdadu Amerika.
Sejenak, si penarik becak merasa keder. Si tentara berbadan sangat besar. Dan, memanggil seseorang sebagai "anjing kotor" merupakan ajakan perkelahian yang bukan main-main. Namun, si tentara hanya diam sambil melihat kiri-kanan, menikmati pemandangan indah. Jelas, dia tidak mengerti bahasa Thai.
Si penarik becak, memutuskan untuk ikut mengolok-olok si tentara Amerika, berteriak balik, "Aku membawa anjing kotor ini dan melemparnya ke sungai untuk mencuci baunya yang tak sedap!"
Sewaktu si penarik becak dan teman-temannya yang mabuk terbahak-bahak, si tentara tetap diam saja.
Sewaktu mereka sampai ke tujuan dan si penarik becak menadahkan tangannya untuk meminta ongkos perjalanan, si tentara Amerika dengan cueknya berjalan menjauh.
Dengan gerah, si penarik becak meneriakinya dalam bahasa Inggris yang amburadul tapi cukup jelas, "Hey! Sir! You pay me dollars!".
Dengan kalem si tentara bertubuh besar itu membalikkan badan dan berkata dalam bahasa Thai yang sangat fasih, "Anjing kan tidak punya uang..."
Pelecehan & Pencerahan
Guru-guru meditasi yang berpengalaman sering harus berhadapan dengan siswa-siswa yang mengklaim diri mereka telah mencapai pencerahan. Salah satu cara ampuh untuk menguji apakah klaim tersebut benar atau tidak adalah dengan melecehkan si murid sedemikian rupa sehingga mereka akhirnya menjadi marah. Seperti yang telah diketahui oleh semua biarawan dan biarawati Buddhis, Buddha dengan jelas menyatakan bahwa siapa pun yang masih bisa marah, pastilah belum tercerahkan.
Seorang biksu Jepang muda, berkeinginan kuat untuk mencapai Nirwana dalam kehidupan ini juga, mengasingkan diri untuk bermeditasi di sebuah pertapaan, di sebuah pulau di tengah telaga, tak jauh dari sebuah wihara terkenal. Dia ingin tercerahkan sedini mungkin dalam hidupnya, setelah itu dia bisa mengurusi hal-hal lainnya.
Ketika pelayan wihara datang dengan sampan kecilnya untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda menitipkan pesan untuk meminta beberapa helai kertas perkamen yang mahal, sebuah pena bulu ayam, dan sebotol tinta bermutu tinggi. Dia akan segera mengakhiri tiga tahun pertapaan dalam kesunyiannya dan ingin mengabari kepala wihara betapa hebat pencapaiannya.
Perkamen, pena bulu ayam, dan sebotol tinta tiba pada minggu berikutnya. Beberapa hari kemudian, setelah meditasi dan merenung mendalam, si biksu muda menulis sebuah puisi pendek dalam kaligrafi yang sangat elok di atas perkamen bagus itu, isinya seperti ini:
Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam kesendirian
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.
Pastilah, pikirnya, kepala wiharanya yang bijak akan melihat kata-kata ini, dan menyadari betapa cermatnya kata-kata itu ditulis, beliau akan mengetahui bahwa muridnya kini telah tercerahkan. Dengan lembut dia menggulung perkamen itu, mengikatnya dengan seutas pita, dan menunggu kedatangan si pelayan untuk menghantarkan gulungan itu kepada kepala wihara. Sepanjang hari-hari penantian itu, dia membayangkan sang kepala wihara akan gembira sekali membaca puisi cemerlang itu, yang digoreskan dengan sangat cermat. Dia membayangkan puisi itu akan diberi bingkai yang mahal dan digantung di aula utama di wihara. Tak diragukan lagi, mereka pasti akan memaksanya menjadi kepala wihara, mungkin untuk mengepalai sebuah wihara kota yang terkenal. Betapa indah rasanya keberhasilannya ini!
Ketika si pelayan mendayung kembali sampannya ke pulau itu untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda sudah menantinya. Si pelayan segera menyerahkan segulung perkamen yang mirip dengan yang dahulu dia kirimkan, tetapu yang ini diikat dengan pita yang berbeda warna."Dari kepala wihara," kata si pelayan dengan cepat.
Dengan bersemangat si biksu muda merobek pita pengikat perkamen itu dan merentangkan gulungannya. Saat matanya menatap perkamen itu, seolah-olah perkamen itu terus membentang selebar bulan, dan wajahnya pun memucat. Itu adalah perkamennya sendiri, tetapi di sebelah baris pertama kaligrafinya yang elok, dengan sangat sembarangan sang kepala wihara telah menuliskan sebuah kata dengan pena marah:" Kentut!" Di baris ketiga terdapat kekurangajaran lain: "Kentut!" ketika gulungan berakhir, begitu pula di baris keempat sajak tersebut.
Ini keterlaluan! Si tua bangka itu bukan cuma goblok banget sampai tidak mengenali pencerahan yang ada di depan hidung besarnya sendiri, tetapi dia pun telah berlaku kurang ajar dan tak beradab karena menghancurkan sebuah karya seni dengan coretan-coretan tak senonoh. Sang kepala wihara telah bertingkah laku seperti preman, bukan seperti biksu. Ini adalah pelecehan terhadap seni, tradisi, dan kebenaran.
Mata si biksu menyipit dengan sengitnya, mukanya menjadi merah padam, dan sembari mendengus dia berkata dengan tegas kepada si pelayan, "Antarkan aku kepada kepala wihara! Sekarang juga!"
Itu adalah pertama kalinya dalam tiga tahun si biksu muda meninggalkan pulau pertapaanya. Dalam kemarahannya, bagai amukan badai dia menerjang masuk ke kantor kepala wihara, melemparkan perkamen itu ke atas meja, dan menuntut penjelasan.
Dengan lembut, sang kepala wihara yang berpengalaman itu memungut gulungan perkamen tersebut, berdehem, dan membaca puisi yang tertulis di atasnya:
Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam sendiri
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.
Lalu, dia meletakkan kembali perkamen tersebut, menatap si biksu muda, dan melanjutkan,:Hmm! Jadi, Biksu Muda, kamu tak tergoyahkan lagi oleh empat angin duniawi! Tetapi empat kentut kecil saja sudah meniupmu menyeberangi telaga!"
Ketika Saya Mencapai Pencerahan
Pada tahun keempat saya menjadi biksu di Thailand, saya berlatih lama dan berat di sebuah vihara hutan yang terpencil di timur laut. Suatu hari, di tengah malam, saat meditasi jalan, pikiran saya menjadi luar biasa jernih. Pandangan cerah mengalir bagaikan air terjun di pegunungan. Dengan mudah saya memahami misteri-misteri yang selama ini tidak saya pahami. Ini dia! Pencerahan!
Rasa bahagianya tidak seperti apa pun yang saya ketahui sebelumnya. Ada banyak sukacita, di saat bersamaan, semua serba damai. Saya bermeditasi sampai sangat larut, tidur singkat sekali, dan bangun untuk melanjutkan meditasi lagi. Kesadaran mengalir sangat tajam laksana pisau bedah dan konsentrasi dengan mudah terpusat. Namun, sungguh sayang hal itu tak bertahan lama.
Di Thailand timur laut makanannya begitu memualkan. Biasanya, hidangan utama kami setiap hari adalah kari ikan busuk – ikan kecil-kecil yang ditangkap selama musim hujan, disimpan dalam gentong tanah liat, dan digunakan sepanjang tahun. Pada hari pasca-pencerahan saya, saya melihat ada dua panci kari sebagai lauk. Panci yang satu berisi kari ikan busuk seperti biasanya, sedangkan panci lainnya berisi kari daging babi yang layak makan.
Kepala vihara memilih makanannya sebelum saya. Ia mengambil tiga sendok besar kari daging babi yang lezat. Sebelum menyerahkan sendok lauk kepada saya, ia mulai mencampur kari daging babi yang menggiurkan itu ke dalam panci kari ikan busuk. “Kan sama saja!” katanya sambil mengaduk-aduk.
Saya terdiam. Dalam hati saya menggerutu. Jika dia benar-benar berpikir “kan sama saja,” mengapa dia lebih dulu mengambil tiga sendok kari daging babi untuk dirinya sendiri, sebelum mencampuradukkannya? Dasar curang!
Lalu, sebuah penyadaran menghantam saya. Orang yang tercerahkan tak akan memilih-milih makanan, pun tak mungkin marah dan menyumpahi kepala viharanya, meskipun cuma dalam hati. Api kemarahan saya tiba-tiba dipadamkan oleh guyuran hujan kesedihan. Awan-awan gelap kekecewaan menggulung di hati dan menutupi sinar mentari pencerahan saya. Saya mengambil dua sendok kari ikan busuk yang sudah bercampur kari daging babi. Saya tak peduli lagi apa yang saya makan. Saya begitu sedih menyadari kenyataan bahwa saya belum mencapai pencerahan.
Babi Jalanan
Ngomong-ngomong soal babi, seorang dokter spesialis yang kaya baru saja membeli sebuah mobil sport baru yang tangguh dan sangat mahal. Tentu saja, Anda tidak akan mengeluarkan begitu banyak uang untuk membeli mobil tenaga besar hanya untuk dikendarai didalam kota yang lalu lintasnya lambat. Jadi, pada suatu hari yang cerah, dia berkendara keluar kota menuju pedesaan yang sepi. Begitu mencapai zona bebas kamera pengintai kecepatan, dia menekan habis pedal gas dan menikmati sentakan kecepatan mobil sportnya. Dengan mesin yang meraung-raung dan decit kelebat kendaraan di sepanjang jalan desa, si dokter tersenyum, melambung menikmati kecepatan tinggi.
Namun, seorang petani kucel yang sedang bersandar di sebuah gerbang kandang, ternyata tak ikut-ikutan melambung nikmat. Dia berteriak sekeras-kerasnya untuk mengalahkan raungan mesin mobil sport itu, “Baaabiiii!!!”
Si dokter tahu bahwa dia sudah bertingkah ugal-ugalan, benar-benar tak peduli akan ketenangan sekitarnya, tetapi dia berpikir, “Persetan! Gue berhak menikmati kesenangan gue sendiri!”.
Lalu dia menoleh dan berteriak kepada si petani, “Lu yang babi!!!”
Dalam sekejab saja, saat dia tidak mengarahkan pandangan ke jalan, mobilnya menabrak seekor babi di tengah jalan !
Mobil sport barunya ringsek berat. Dan senasib dengan si babi, dia harus mondok beberapa minggu di rumah sakit dan kehilangan banyak uang untuk itu, begitu pula untuk mobilnya.
Hare Krishna
Pada cerita sebelumnya, ego si dokter menyebabkan dia berprasangka buruk terhadap peringatan yang diberikan oleh seorang petani ang baik hati. Pada cerita berikut ini, ego saya telah menyebabkan saya berprasangka buruk kepada orang baik hati lainnya, sesuatu yang membuat saya menyesal.
Saya barusan mengunjungi ibu saya di London. Beliau berjalan bersama saya menuju stasiun kereta api ealing broadway untuk membantu saya mengurus tiket. Di tengah jalan menuju stasiun, di jalan Ealing High yang ramai, saya mendengar seseorang mencemooh," Hare Krishna! Hare Krishna!"
Karena menjadi biksu berkepala gundul dan berjubah cokelat. Saya sering disalahsangkai sebagai pengikut Gerakan kesadaran Krishna. Beberapa kali di Australia, orang-orang kampungan mencoba mengejek saya, biasanya dari jarak yang cukup aman, dengan berteriak " Hare Krishna, Hare Krishna!" dan meniru-nirukan penampilan saya. Saya cepat-cepat mengarahkan pandangan ke orang yang berteriak, "Hare Krishna!" dan memutuskan untuk bertindak tegas dengan menegurnya atas pengunaan di depan umum terhadap seorang biarawan Buddhis yang baik ini.
Dengan Ibu di belakang saya, saya berkata kepada pemuda yang mengenakan jin, jaket, dan kopiah itu, " Lihat, Bung! Saya seorang biksu, bukan pengikut 'Hare Krishna'. Harusnya anda tahu. Jangan asal teriak 'Hare Krishna' kepada saya!"
Pemuda itu tersenyum dan melepaskan kopiahnya, memperlihatkan kucir panjang dibagian belakang kepalanya yang gundul. " Iya, saya tahu!" katanya." Anda seorang Biksu. Saya seorang Hare Krishna.Hare Krishna!Hare Krishna!"
Ternyata dia sama sekali tidak sedang mencemooh saya, dia hanya melaksanakan ritual Hare Krishna-nya saja. Saya benar-benar kehilangan muka. Kenapa sih hal-hal semacam ini hanya terjadi ketika kita sedang bersama ibu kita?
Palu
Suatu hari saat berjalan melintasi halaman vihara, saya menemukan sebuah palu tergeletak di sana. Palu itu jelas sudah cukup lama berada di situ, kelihatan dari karatnya. Saya sangat kecewa dengan kecerobohan rekan-rekan biksu. Segala yang kami gunakan adalah sumbangan. Maka, sungguh tak benar memperlakukan pemberian para penyokong dengan seenaknya.
Saya menghadiahi pecutan lidah kepada rekan-rekan biksu. Mereka perlu diberi pelajaran, agar menjaga barang-barang. Ketika saya selesai mengoceh, semua biksu duduk tegak, diam dengan muka kelabu. Saya menunggu sejenak, berharap si terdakwa mengakui perbuatannya. Tetapi tak seorang pun mengaku.
Saat saya berjalan keluar aula, tiba-tiba saya tersentak sadar mengapa tak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban. Saya segera kembali ke aula. "Para biksu," saya mengumumkan, "Saya telah menemukan siapa yang meninggalkan palu di halaman. Orang itu adalah... saya!"
Saya benar-benar lupa, saya pernah bekerja memakai palu itu, tetapi karena tergesa-gesa, saya meninggalkan palu di halaman. Bahkan selama berkata-kata pedas tadi, ingatan saya masih kabur. Baru setelah selesai bicara, semua kembali kepada saya. Saya telah bertindak ceroboh. Ooooh, betapa memalukan!
Untunglah, di vihara kami ada kebijakan bahwa para biksu dimaklumi jika melakukan kesalahan. Kita semua melakukan kesalahan dari waktu ke waktu. Hidup adalah pembelajaran untuk terus mengurangi kesalahan.
Menikmati Lelucon Tanpa Melecehkan Siapa pun
Ketika anda menyingkirkan ego anda, maka tak ada seorang pun yang bisa melecehkan anda. Jika seseorang menyebut anda ”bodoh”, satu-satunya alasan kenapa anda merasa terusik adalah karena anda percaya bahwa jangan-janga mereka itu benar!
Beberapa tahun silam, takkala saya sedang berkendara di sepanjang jalan raya di Perth, sekelompok anak muda disebuah mobil sport tua memerhatikan saya dan mulai mengejek memulai jendela mobil mereka dibuka, ”Hei, plontos! Oi, kepala botak!” Selama mereka mencoba memanas-manasi, saya saya menurunkan kaca jendela mobil yang saya tumpangi dan berteriak balik, ”Cukur sana! Kamu kaya cewe aja!” Seharusnya saya tak berbuat seperti itu, karena itu malah menambah semangat mereka saja.
Anak-anak muda itu lantas menyetir mobilnya disamping mobil yang saya tumpangi, mengeluarkan sejumlah masalah dan, dengan mulut terbuka lebar, mulai melambai-lambai liar untuk menarik perhatian saya supaya melihat gambar dimajalah itu. Itu adalah sebuah majalah Playboy.
Saya menertawakan selera humor mereka yang kurang ajar itu. Saya pun akan bertingkah seperti mereka dan mereka ketika seumuran mereka dan sedang pergi bersama teman-teman. Setelah melihat saya tertawa, mereka segera berlalu. Tertawa pada saat kita diejek adalah alternatif yang baik ketimbang menolak pelecehan.
Dan apakah saya melihat gambar dimajalah Playboy tersebut? Tentu saja tidak saya kan biksu baik-baik.... Tetapi, bagaimana saya bisa tahu bahwa itu adalah majalah Playboy? Karena sopir sayalah yang bilang. Yah, begitulah ceritanya.
Si Idiot
Seseorang menyebut Anda idiot. Maka Anda mulai berpikir, “Bagaimana mereka bisa menyebutku idiot? Mereka tak berhak menyebutku idiot! Betapa kasarnya menyebutku idiot! Akan kubalas mereka karena telah menyebutku idiot!”
Dan tiba-tiba saja Anda sadar bahwa Anda telah membiarkan mereka begitu saja menyebut Anda sebagai idiot sebanyak empat kali lagi!
Setiap kali Anda ingat apa yang telah mereka katakan, berarti Anda mengizinkan mereka menyebut Anda idiot. Di sinilah letak masalahnya.
Jika seseorang menyebut Anda idiot dan dengan segera Anda membiarkannya berlalu, maka ejekan tersebut tidak akan mengusik Anda. Di sinilah letak solusinya.
Mengapa membiarkan orang lain mengendalikan kebahagiaan dalam diri Anda ?
Yang Terberat Dalam Hidup
Orang2 jaman sekarang terlalu banyak berpikir. Kalau saja mereka sedikit mengurangi proses berpikir mereka, barangkali hidup mereka akan mengalir jauh lebih lancar.
Di Vihara kami di Thailand, satu malam setiap minggu, para biksu begadang tidak tidur untuk bermeditasi sepanjang malam di aula utama. Ini adalah bagian dari tradisi pertapa hutan. Ini tidaklah terlalu berat karena kami selalu bisa tidur pada pagi harinya.
Suatu pagi, sesudah semalaman bermeditasi, ketika kami bersiap kembali ke pondok masing-masing untuk tidur, kepala vihara memanggil seorang biksu junior kelahiran Australia. Betapa kesalnya dia karena kepala vihara memberinya setumpuk besar jubah untuk dicuci, seraya menyuruh untuk mengerjakannya sekarang juga. Sudah menjadi tradisi kami untuk membantu kepala vihara mencuci jubahnya dan melayaninya melakukan hal-hal kecil lainnya.
Ini merupakan tumpukan cucian yang banyak. Lebih-lebih, seluruh cucian harus dikerjakan dengan cara tradisional ala biksu hutan. Air harus ditimba dari sumur, bikin api besar, dan mendidihkan air. Potongan kayu dari pohon nangka dibelah-belah dengan parang. Bilah-bilah kayu tsb dimasukkan kedalam air mendidih untuk mengeluarkan sarinya, yang akan berfungsi sebagai "deterjen". Lalu setiap jubah diletakkan secara terpisah didalam sebuah bak kayu yang panjang, kemudian air mendidih kecoklatan itu disiramkan kedalamnya, dan jubah dipukul-pukul dengan tangan sampai bersih. Biksu kemudian harus mengeringkannya dibawah sinar matahari, membolak-baliknya agar pewarna alaminya tidak luntur. Mencuci satu jubah saja membutuhkan proses yang lama dan merepotkan. Mencuci sebegitu banyak jubah akan memerlukan waktu berjam-jam. Si biksu muda dari Brisbane ini sudah lelah semalaman tidak tidur. Saya merasa kasihan juga kepadanya.
Saya datang ke pelataran tempat mencuci itu untuk membantunya. Sesampai disana, dia sedang memaki-maki dan merutuk, lebih condong ke tradisi Brisbane daripada tradisi Buddhis. Dia mengeluhkan betapa tidak adil dan kejamnya itu. "Tidak bisakah kepala vihara menunggu sampai besok? Tidakkah dia sadar bahwa aku tidak tidur semalaman? Aku tidak menjadi biksu untuk mencuci !" Kata-katanya tidak persis seperti itu, tapi itulah yang masih cukup sopan untuk ditulis disini.
Saat itu terjadi, saya telah menjadi biksu selama beberapa tahun. Saya memahami apa yang dia alami dan tahu jalan keluar dari permasalahannya. Saya berkata kepadanya, "Memikirkannya, jauh lebih berat daripada mengerjakannya".
Dia terdiam dan memandang saya. Setelah hening sejenak, tanpa berkata apa-apa dia kembali bekerja, dan saya pergi tidur. Belakangan pada hari itu, dia menemui saya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan saya mencuci jubah. Memang benar, dia paham, bahwa memikirkannya adalah bagian yang terberat. Ketika dia berhenti mengeluh dan hanya menggarap cuciannya, sama sekali tidak ada masalah.
Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah ..... memikirkannya.
Pengalaman Angkut Mengangkut
Saya merenguk pelajaran tak ternilai tentang " Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah memikirkannya" pada awal-awal masa kebiksuan saya di Thailand Timur laut. Ajahn Chah tengah membangun aula upacara baru untuk wiharanya dan banyak biksu ikut membantu pekerjaan itu. Ajahn Chah suka menguji kami dengan mengatakan bahwa setiap biksu harus bekerja keras sepanjang hari dengan upah satu atau dua botol Pepsi saja, yang mana jauh lebih murah ketimbang menyewa buruh dari kota. Sering saya berpikir untuk membentuk serikat buruh beranggotakan biksu-biksu junior.
Aula upacara itu dibangun di atas bukit buatan para biksu. Karena itu, ada banyak gundukan sisa tanah. Ajahn Chah memanggil kami dan mengatakan bahwa dia ingin sisa tanah itu dipindahkan ke belakang wihara. Selama tiga hari berikutnya, bekerja dari pukul 10 pagi sampai hari benar-benar gelap, kami menyekop dan mengangkut tanah tersebut dengan gerobak sorong ke tempat yang diinginkan oleh Ajahn Chah. Saya senang saat pekerjaan tersebut akhirnya selesai juga.
Pada hari berikutnya, Ajahn Chah pergi untuk mengunjungi wihara lain selama beberapa hari. Setelah dia pergi, wakil kepala wihara memanggil kami dan memberi tahu kami semua bahwa tanah itu berada di tempat yang keliru dan harus segera dipindahkan. Saya jadi jengkel, tetapi saya berhasil mengatasi kejengkelan ketika kami semua bergotong-royong selama tiga hari lagi di terik musim tropis.
Baru saja kami selesai memindahkan timbunan tanah itu untuk kedua kalinya, Ajahn Chah pulang. Dia memanggil semua biksu dan berkata, "Mengapa kalian memindahkan tanah ke situ? Saya kan bilang bahwa tanah itu harus dipindahkan ke sana. Ayo pindahkan kembali!"
Saya marah. Saya naik pitam. Saya ingin berontak. "Tidak bisakah biksu-biksu sepuh itu berunding dahulu di antara mereka? Ajaran Buddha semestinya kan sebuah agama yang teratur, tetapi wihara ini sungguh tak keruan, bakah mengatur pembuangan kotoran saja tak becus! Mereka tak bisa memperlakukan saya seperti ini!"
Tambah tiga hari lagi. Hari-hari yang melelahkan telah terbayang di pelupuk mata saya. Sembari mendorong gerobak sorong yang berat, saya mengutuk dalam bahasa Inggris supaya biksu-biksu Thai tidak paham. Ini sudah keterlaluan. Kapan semua ini selesai?
Saya mulai memperhatikan bahwa makin saya marah, makin berat pula rasanya gerobak yang saya sorong. Seorang rekan biksu melihat saya sedang mengomel, dia menghampiri dan berkata kepada saya, "Masalahmu adalah karena kamu terlalu banyak berpikir!"
Betul juga dia. Begitu saya berhenti meratap dan merengek, gerobak sorong itu terasa jauh lebih ringan. Saya menghikmahi pelajaran yang saya terima itu. Memikirkan soal mengangkut tanah adalah bagian yang terberat; mengangkut tanahnya sendiri mudah.
Sampai hari ini, saya curiga bahwa jangan-jangan Ajahn Chah dan wakilnya memang sedari semula telah merencanakan ini semua.
Malangnya Saya, Untungnya Mereka
Kehidupan sebagai biksu junior di Thailand serasa begitu tidak adil. Biksu senior mendapatkan makanan terbaik, duduk di tempat paling empuk, dan tidak perlu mendorong-dorong gerobak sorong. Sementara, satu-satunya makanan harian saya tidak mengundang selera; saya harus duduk berjam-jam dalam sebuah upacara di lantai semen yang keres (yang juga tidak rata, karena penduduk desa payah dalam menyemen); dan kadang-kadang saya harus bekerja sangat keras. Malangnya saya, untungnya mereka.
Saya menghabiskan waktu yang lama dan tidak menyenangkan untuk memikirkan keluhan saya. Biksu senior mungkin sudah begitu tercerahkan, jadi makanan enak percuma saja bagi mereka, seharusnya saya mendapat makanan terbaik. Biksu senior sudah terbiasa duduk bersila di lantai keras selama bertahun-tahun, karena itu sayalah yang seharusnya duduk di tempat empuk. Lebih lanjut, biksu senior gemuk-gemuk karena makan makanan yang enak-enak, jadi sudah memiliki "bantalan alam" sendiri. Biksu senior cuma bisa omong bahwa biksu junior harus kerja, tetapi mereka sendiri tak pernah kerja., jadi bagaimana mereka bisa mengerti betapa panas dan capainya mendorong kereta sorong itu? Proyek-proyek itu adalah gagasan mereka, jaid seharusnya merekalah yang bekerja! Malangnya saya, untungnya mereka,.
Ketika saya sudah menjadi biksu senior, saya makan-makanan terbaik, duduk di tempat yang empuk, dan hanya sedikit bekerja fisik. Namun, ternyata saya malah iri kepada biksu-biksu junior. Mereka tidak perlu memberikan ceramah, tidak perlu seharian mendengarkan keluhan umat, dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam untuk urusan administrasi. Mereka tidak banyak tanggung jawab dan mereka punya begitu banyak waktu luang. Saya jadi berpikir, "Malangnya saya, untungnya mereka!"
Segera saya tersadar apa yang terjadi. Biksu junior memiliki "derita biksu junior". Biksu senior memiliki "derita biksu senior". Sewaktu saya menjadi biksu senior, saya hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lain.
Ini persis sama untuk para bujangan yang iri kepada mereka yang sudah menikah, dan mereka yang sudah menikah iri kepada mereka yang masih bujang. Dari sini kita seharusnya mengerti sewaktu kita menikah, kita hanyalah mengganti "derita bujangan" dengan "derita orang kimpoi". Sewaktu kita bercerai, kita hanyalah mengganti "derita orang kimpoi", dengan "derita orang yang tidak lagi kimpoi". Malangnya saya, untungnya mereka.
Sewaktu kita miskin, kita iri kepada mereka yang kaya. Namun, banyak orang kaya yang iri kepada persahabatan tulus dan keterbebasan dari beban tanggung jawab yang dipunyai oleh mereka yang miskin. Menjadi kaya hanyalah mengganti "derita orang miskin" dengan "derita orang kaya:. Pensiun dan penurunan penghasilan hanyalah mengganti "derita orang kaya" dengan "derita orang miskin". Begitu seterusnya.... Malangnya saya, untungnya mereka.
Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan menjadi sesuatu yang lain, hanyalah khayalan. Menjadi sesuatu yang lain hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya diri Anda, junior atau senior, kimpoi atau bujang, kaya atau miskin, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya mereka.
Sebuah Nasihat Bila Anda Sakit
Apa Sakit itu Salah?
Kesedihan, Kehilangan, dan Perayaan Hidup
Kesedihan adalah sesuatu yang sering kita tambahkan ke dalam kehilangan. Ini merupakan respon yang kita pelajari, spesifik pada budaya tertentu saja. Hal ini bukannya tidak terhindarkan.
Saya menyadari hal ini melalui pengalaman saya sendiri sewaktu tercemplung selama lebih dari delapan tahun dalam budaya Buddhis-Asia. Dalam tahun-tahun pertama di sebuah wihara hutan di sebuah sudut Thailand yang terpencil, budaya dan pemikiran Barat sama sekali tidak dikenal. Wihara saya sering dipakai sebagai tempat pembakaran mayat oleh penduduk dusun sekitar. Hampir selalu ada kremasi tiap minggunya. Dalam ratusan upacara kematian yang saya saksikan di sana pada akhir tahun 1970-an, tidak pernah satu kali pun saya melihat ada yang menangis. Saya bercakap-cakap dengan anggota keluarga yang ditinggalkan pada hari-hari berikutnya dan tetap saja tidak ada tanda-tanda kesedihan. Bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesedihan di sana. Akhirnya saya mengetahui bahwa di bagian timur laut Thailand pada masa itu, sebuah wilayah yang telah diresapi oleh ajaran Buddha selama berabad-abad, peristiwa kematian diterima secara luas dengan cara yang sangat berbeda dengan teori Barat mengenai kesedihan dan kehilangan.
Tahun-tahun di sana mengajarkan saya bahwa ada alternatif lain dari kesedihan. Bukan berarti bersedih itu salah, hanya saja ada cara lain. Kehilangan orang yang kita sayangi bisa dipandang dengan cara lain, cara yang menghindari kepedihan berkepanjangan.
Ayah saya sendiri meninggal ketika saya masih berusia enam belas tahun. Bagi saya, dia adalah orang yang hebat. Dialah yang telah menolong saya menemukan arti cinta dengan kata-katanya, "Apa pun yang kamu lakukan dalam hidupmu, Nak, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu." Walaupun saya sangat mencintainya, saya tidak pernah menangis pada acara pemakamannya. Juga tidak sesudahnya. Saya tidak pernah merasa ingin menangis atas kematiannya yang dini. Perlu beberapa tahun bagi saya untuk memahami keadaan emosi saya seputar kematiannya. Saya menyadarinya melalui cerita berikut, yang saya bagikan kepada Anda di sini.
Sebagai anak muda, saya menikmati musik, segala macam musik mulai dari rock sampai klasik, jazz sampai musik rakyat. London adalah kota yang asik untuk ditinggali pada tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, terutama kalau Anda gemar musik. Saya ingat saat menyaksikan penampilan pertama yang canggung dari Led Zeppelin di sebuah kelab kecil di Soho. Pada kesempatan lain, hanya segelintir di antara kita yang pernah menonton orang yang kelak dikenal sebagai Rod Stewart menyanyi dalam sebuah grup rock di loteng sebuah pub kecil di London Utara. Saya punya begitu banyak kenangan berharga akan nuansa musik di London pada masa itu.
Pada penghujung kebanyakan konser, saya akan berteriak, "Lagi! Lagi!" bersama dengan penonton lainnya. Biasanya, grup band atau orkestranya akan bermain lagi selama beberapa saat. Namun akhirnya, mereka harus berhenti juga, mengemasi peralatan dan pulang. Demikian pula saya. Dalam kenangan saya, sepertinya setiap kali saya berjalan pulang pada malam hari dari kelab, pub, atau gedung konser, selalu hujan. Ada sebuah kata khusus untuk menggambarkan jenis hujan rintik-rintik yang sering terjadi di London, yaitu "gerimis". Sepertinya selalu gerimis, dingin, dan suram, saat saya meninggalkan gedung konser. Namun, sekalipun saya mengetahui di dalam hati bahwa kemungkinan saya tidak akan mendengar grup band itu lagi, bahwa mereka telah meninggalkan hidup saya selamanya, tidak sekali pun saya merasa sedih ataupun ingin menangis. Sewaktu saya berjalan di tengah malam yang dingin, basah, dan gelap di London, raungan musik mereka masih bergema di kepala saya, "Musik yang hebat! Penampilan yang gemilang! Betapa beruntungnya saya berada di sana pada saat itu!" Saya tidak pernah merasa sedih pada akhir sebuah konser yang bagus.
Tepat seperti itulah perasaan saya sepeninggal ayah saya. Seolah seperti sebuah konser hebat yang akhirnya usai. Sebuah pertunjukan yang indah. Saya, seperti yang sudah-sudah, berteriak nyaring, "Lagi! Lagi!" saat mendekati penampilan pamungkas. Ayah tersayang yang sudah tua berjuang keras untuk bertahan hidup beberapa lama lagi untuk kami. Tetapi saatnya tiba juga, saat dia harus "mengemasi peralatan dan pulang". Ketika saya berjalan keluar dari krematorium di Mortlake seusai upacara menuju gerimis dingin London—saya ingat betul gerimisnya—dalam hati saya tahu bahwa saya tidak akan bisa bersamanya lagi, dia telah meninggalkan hidup saya selamanya, namun saya tidak merasa sedih; tidak juga menangis. Apa yang saya rasakan di hati saya adalah, "Ayah yang sungguh hebat! Hidupnya merupakan inspirasi yang luar biasa. Betapa beruntungnya saya ada di sana pada saat itu. Betapa beruntungnya saya telah menjadi puteranya." Pada waktu saya menggenggam tangan ibu saya menuju perjalanan panjanga masa depan, saya merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang sering saya rasakan seusai sebuah konser hebat yang pernah saya tonton. Saya tak kan pernah melupakannya.
Terima kasih, Ayah.
Kesedihan hanyalah melihat apa yang telah terenggut dari kita. Perayaan hidup adalah menyadari segala berkah yang ada pada kita, dan merasa bersyukur karenanya.
Dedaunan yang Berguguran
Barangkali kematian yang paling sulit kita terima adalah kematian dari seorang anak. Pada beberapa kesempatan saya pernah diberi kehormatan untuk memimpin upacara pemakaman bagi seorang anak laki-laki atau perempuan, seseorang yang belum lama mengecap pahit manisnya kehidupan. Tugas saya adalah membantu menuntun orang tua yang sedang putus asa, dan juga anggota keluarga yang lainnya, mengatasi siksaan rasa bersalah dan tuntutan obsesif atas jawaban dari pertanyaan, “Mengapa?”
Saya sering menceritakan kisah perumpamaan berikut ini, yang dikisahkan kepada saya beberapa tahun silam di Thailand.
Seorang bhikkhu hutan yang sederhana tengah bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut malam, terjadilah badai musim hujan yang garang. Angin menderu-deru bagaikan suara mesin jet dan hujan yang deras menerpa pondoknya. Semakin malam beranjak pekat, badai makin bertambah liar. Mula-mula, dahan-dahan pohon terdengar tercerabut dari batangnya. Lalu seluruh bagian pohon terengut oleh angin ribut dan dihempaskan ke tanah dengan suara sekeras guntur.
Sang bhikkhu segera sadar bahwa pondok jeraminya tak akan sanggup melindunginya. Jika sebuah pohon tumbang menimpa pondoknya, atau meskipun cuma sebuah dahan besar, pondoknya akan rata dengan tanah dan meremukkannya sampai mati. Dia tidak tidur sepanjang malam. Seringkali sepanjang malam itu, dia seolah-olah mendengar para raksasa hutan mendobrak ke permukaan tanah dan hatinya berdegup untuk sesaat.
Beberapa jam sebelum fajar menyingsing, secepat datangnya, begitu pula badai itu berlalu. Di pagi hari, sang bhikkhu keluar dari pondoknya untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. Banyak dahan besar dan dua pohon berukuran lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa beruntung masih hidup. Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan dahan-dahan patah yang berserakan dimana-mana, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar menutupi lantai hutan.
Seperti dugaannya, kebanyakan dedaunan yang berguguran adalah daun-daun yang berwarna coklat tua, yang telah memenuhi umur kehidupannya. Di antara dedaunan yang berwarna coklat terdapat banyak daun yang kuning. Bahkan terdapat pula beberapa daun yang hijau. Dan daun-daun yang berwarna hijau itu masih segar dan cerah sehingga sang bhikkhu tahu bahwa dedaunan itu baru saja jatuh dari pucuknya. Pada saat itulah hati sang bhikkhu memahami sifat kematian sebagaimana adanya.
Dia ingin menguji kebenaran dari pengetahuan yang baru saja dia pahami itu, lalu dia mendongak ke arah dahan-dahan pohon itu. Cukup meyakinkan, hampir sebagian besar dedaunan yang tertinggal di pohonnya adalah dedaunan hijau yang sehat segar, pada kehidupan dininya. Namun, meskipun banyak dedaunan muda yang gugur di atas tanah, ada sebagian daun berwarna coklat tua peot dan keriting yang tetap bertahan didahannya. Sang bhikkhu tersenyum, mulai hari itu, kematian dari seorang anak tak akan pernah lagi membingungkannya.
Ketika badai kematian datang menghempaskan keluarga kita, badai itu biasanya mengambil orang-orang yang sudah tua, “dedaunan yang coklat burik”. Badai itu juga mengambil orang-orang yang berusia paruh baya, seperti daun-daun kuning di pohon. Kadang, anak-anak belia pun meninggal juga, pada usia dini mereka, seperti halnya dedaunan yang berwarna hijau. Dan suatu kali kematian juga merenggut kehidupan dari anak-anak yang kita kasihi, seperti badai merenggut tunas yang masih hijau. Inilah sifat hakiki dari kematian dalam kehidupan kita, sebagaimana hakikat badai di sebuah hutan.
Tak seorang pun yang perlu disalahkan dan tak seorang pun yang harus merasa bersalah atas kematian dari seorang anak. Inilah sifat alami dari segala sesuatu. Siapa yang bisa menyalahkan badai? Hal ini dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa anak-anak meninggal. Jawabannya sama dengan mengapa sebagian daun yang masih hijau berguguran dalam sebuah badai.
Sisi Atas dan Sisi bawah Kematian
SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA
Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin untuk terbebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron televisi untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi didalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “Hidup”, mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Agaknya Mereka tidak ingin bahagia, karenanya mereka mau-maunya begitu melekat pada beban mereka.
Dua orang Bhiksu yang merupakan sahabat dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa disebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok tahi.
Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surga yang ditinggalinya, lalu diapun mencari-cari temannya di alam –alam surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula.
Dengan kekuatan surgawinya, Sang Dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. “Pasti temanku tidak terlahir di alam hewan” begitu pikirnya, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, “Siapa tahu!?”, pikirnya.
Masih saja tidak ada tanda-tanda keberadaan temannya itu. lalu berikutnya Sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik dan ..... kejutan besar baginya...., dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing dalam seonggok tahi yang menjijikkan!
Ikatan rasa persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya kesitu.
Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi tersebut dan memanggil, “Hei cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama menjadi bhiksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir kembali dialam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di tahi sapi yang menjijikkan ini.tetapi Jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah kawan lama !”
“Tunggu dulu !” kata si cacing, “Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu ? Aku sangat bahagia disini, bersama tahi yang harum , nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak !”
“ Kamu tidak mengerti !”, kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.
“Apakah disana ada tahi?” tanya si cacing, to the point.
“Tentu saja tidak ada!' dengus sang Dewa.
“Kalau begitu , aku emoh pergi !” jawab si cacing mantap. “Sudah yah!” Dan si cacingpun membenamkan dirinya ketengah onggokan tahi tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya kedalam tahi itu, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, dia menariknya.
“Hei! Jangan ganggu aku !” , teriak si cacing. “ Tolooooong ! Darurat ! Aku diculiiiik !” . cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk bersembunyi.
Sang Dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kedua kalinya, dan bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri !
Akhirnya sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh didalam onggokan kotoran kesayangannya.
Berakhir sudah, 108 cerita di dalam buku ini.
Ketika kita menyadari bahwa tak ada tempat untuk kabur, kita akan hadapi masalah, alih-alih melarikan diri. Kebanyakan masalah mempunyai solusi yang tak dapat kita lihat ketika lari dari permasalahan.
Pada pertengahan hingga akhir tahun 1970-an, saya mengalami pengalaman pribadi berkenaan dengan bagaimana suatu pemerintahan nasional menemukan suatu solusi bagi sebuah krisis besar, krisis yang sangat mengancam kelangsungan sistem demokrasi mereka.
Vietnam Selatan, Laod, dan Kamboja jatuh ke tangan kaum komunis hanya dalam hitungan hari pada tahun 1975. “Teori Domino” yang dipercaya oleh kekuatan-kekuatan Barat pada saat itu meramalkan bahwa Thailand pun akan segera jatuh ke tangan komunis. Selama periode itu, saya adalah seorang biksu muda di Thailand timur laut. Wihara tempat saya menetap paling lama berjarak dua kali lebih dekat ke Hanoi ketimbang ke Bangkok. Kami diberitahu untuk mencatatkan diri ke kedutaan besar kami dan rencana evakuasi pun telah disiapkan. Kebanyakan negara barat terkejut ketika mengetahui bahwa Thailand ternyata tidak jatuh ke tangan komunis.
Saat iu Ajahn Chah cukup terkenal dan banyak jenderal penting dan pejabat senior Thailand datang ke wiharanya untuk meminta nasihat dan inspirasi. Saat itu saya telah fasih berbahasa Thai, dan sedikit bahasa Laos, jadi bisa cukup memahami keseriusan keadaan saat itu. Tentara dan pemerintah sebenarnya tidak mengkhawatirkan kaum gerilyawan Merah (komunis) yang berada di luar perbatasan, tetapi mereka mengkhawatirkan para aktivis dan simpatisan komunis yang berada di dalam negeri mereka sendiri.
Banyak mahasiswa Thai yang cemerlang telah beranjak ke hutan belantara di Thailand timur laut untuk memberi dukungan kepada tentara gerilyawan komunis internal – Thai. Persenjataan dan pelatihan mereka diberikan oleh kekuatan dari luar perbatasan. Tetapi desa-desa di bagian “merah muda” dari wilayah itu dengan senangnya menyokong makanan dan kebutuhan lainnya untuk mereka. Mereka mendapat dukungan dari penduduk lokal. Mereka menjadi ancaman yang gawat.
Pemerintah dan tentara Thai menemukan solusinya dalam tiga strategi berikut:
Menahan Diri
Tentara tidak menyerang markas komunis, sekalipun setiap prajurit tahu di mana lokasi markas mereka. Ketika saya hidup sebagai biksu pengelana pada tahun 1979-80, saat tengah mencari gunung dan hutan belantara untuk bermeditasi dalam kesunyian, saya akan menghampiri tentara yang sedang berpatroli dan mereka akan memberikan saran kepada saya. Mereka akan menunjukkan sebuah gunung dan memberitahu saya supaya tidak pergi kesana – sebab disanalah kaum komunis tinggal. Lalu mereka akan menunjukkan gunung yang lain dan berkata bahwa gunung itu tempat yang bagus untuk bermeditasi, tak ada orang komunis disana. Saya mengikuti nasihat mereka. Pada saat itu kaum komunis telah menangkap beberapa biksu pengelana yang sedang bermeditasi di hutan, dan membunuh mereka – setelah disiksa terlebih dahulu, begitu kata mereka kepada saya.
Mengampuni
Selama periode maut ini, diadakan suatu pengampunan di tempat dan tanpa syarat. Di mana pun salah satu kaum pemberontak ingin diampuni kasusnya, dia boleh meletakkan senjata begitu saja dan kembali ke desa atau kampusnya. Dia mungkin saja berada dalam pengawasan, tetapi tidak ada hukuman yang dikenakan kepadanya. Saya tiba di sebuah desa di wilayah Kow Wong beberapa hari setelah kaum komunis menyergap sebuah jip besar yang penuh dengan tentara Thai dan membunuh mereka semua di luar desa itu. Anak-anak muda di desa itu sebagian besar bersimpati kepada kaum komunis, tetapi mereka tidak ikut bertempur. Mereka bercerita kepada saya bahwa mereka sempat diancam dan ditahan oleh tentara Thai, tetapi dibebaskan lagi.
Memecahkan Akar Masalah
Selama bertahun-tahun itu, saya melihat jalan-jalan baru dibangun di daerah itu, dan jalan yang lama diaspal kembali. Para penduduk desa sekarang dapat membawa hasil produksinya untuk dijual ke kota. Raja Thailand mengawasi sendiri dan membiayai pembangunan ratusan waduk-waduk kecil yang terkait dengan rancangan sistem irigasi, yang memungkinkan para petani miskin di Thailand timur laut menanam padi dua kali dalam setahun. Listrik masuk desa, menjangkau dusun-dusun terpencil; bersamaan dengan itu dibangun pula sekolah dan klinik. Wilayah termiskin di Thailand diberi perhatian penuh dari pemerintah di Bangkok, dan para penduduk desa pun menjadi relatif lebih makmur.
Suatu ketika, seorang tentara Thailand yang sedang berpatroli di hutan berkata kepada saya, “Kami tidak perlu menembak kaum komunis. Mereka semua saudara-saudara sebangsa kami. Apabila saya bertemu dengan mereka ketika mereka turun atau mengambil perbekalan di desa, kami mengenal siapa mereka, saya hanya akan memperlihatkan arloji baru saya, atau memperdengarkan lagu-lagu Thai dari radio baru saya – lalu mereka berhenti menjadi komunis.
Itulah pengalamannya, dan juga rekan-rekan tentaranya.
Kaum komunis Thai memulai pemberontakan dengan begitu marahnya kepada pemerintah, sampai mereka rela mengorbankan masa mudanya. Tetapi penahanan diri sebagai bagian dari strategi pemerintah telah membantu mencegah kemarahan itu menjadi lebih parah. Pengampunan melalui amnest, memberikan mereka jalan keluar yang aman dan terhormat. Memecahkan permasalahan, melalui pembangunan, membuat penduduk desa yang miskin menjadi makmur. Penduduk desa melihat tak ada perlunya lagi menyokong kaum komunis, karena mereka sudah merasa puas dengan pemerintahan yang telah mereka miliki. Dan kaum komunis sendiri mulai merasa sangsi dengan apa yang mereka perbuat, hidup dengan susah payah di pegunungan dan hutan belantara.
Satu demi satu mereka meletakkan senjatanya dan kembali ke tengah keluarganya, kampung, atau kampusnya. Pada awal tahun 1980-an , nyaris tak ada lagi pemberontak yang tersisa, jadi para jenderal tentara gerilyawan, para pemimpin komunis, juga menyerahkan diri mereka. Saya ingat pernah melihat sebuah artikel di Bangkok Post mengenai seorang pengusaha cerdik yang membawa para wisatawan Thai ke hutan, mengunjungi gua-gua bekas tempat kaum komunis yang sempat mengancam keutuhan bangsa.
Lalu apa yang terjadi pada para pemimpin pemberontakan tersebut? Apakah mereka juga ditawari pengampunan tanpa syarat seperti halnya anggota pemberontak? Tidak sama-sama amat. Mereka tidak dihukum, juga tidak diasingkan. Malahan, mereka ditawari jabatan penting dalam pelayanan pemerintahan Thai, sebagai pengakuan atas kualitas kepemimpinan mereka, kemampuan untuk bekerja keras, dan kepedulian kepada rakyat! Sungguh langkah yang cemerlang. Buat apa menyia-nyiakan sumber daya anak-anak muda yang pemberani dan berdedikasi seperti itu?
Ini adalah kisah nyata sebagaimana yang saya dengar dari para tentara dan penduduk Thailand di timur laut pada masa itu. Inilah yang saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Sayangnya kejadian seperti itu nyaris tidak pernah dilaporkan dimana-mana.
Pada saat buku ini ditulis, dua orang mantan pemimpin komunis itu telah mengabdikan diri mereka sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan nasional Thailand.
Menyejukkan hati dengan Pemberian Maaf
Ketika seseorang menyakiti kita, kita tidak harus menjadi penghukum bagi mereka.
Jika kita umat Kristen, Muslim, atau Yahudi, tentunya kita percaya
bahwa biarlah Tuhan yang akan menghukum mereka.
Jika kita umat Buddha, Hindu atau Sikh, kita tahu bahwa hukum karma akan
menyediakan ganjaran yang setimpal bagi penganiaya kita.
Dan jika Anda adalah pengikut agama modern psikoterapi,
Anda tahu bahwa para penganiaya Anda harus menjalani terapi yang mahal
selama bertahun-tahun karena dihantui oleh rasa bersalahnya!
Jadi mengapa kita harus menjadi orang yang "memberi pelajaran" kepada mereka?
Setelah mempertimbangkan dengan bijaksana,
kita akan menyadari bahwa kita tidak semestinya menjadi algojo.
Kita tetap dapat menunaikan tugas-tugas bagi masyarakat saat kita membiarkan
kemarahan berlalu dan menyejukkan hati dengan pemaafan.
Dua rekan biksu Barat saya terlibat dalam perbantahan.
Salah satu biksu adalah mantan marinir Amerika Serikat yang pernah
menjadi prajurit lini depan selama Perang Vietnam dan pernah terluka parah.
Yang satunya adalah mantan pebisnis sangat sukses
yang telah menghasilkan banyak uang dan pensiun pada usia pertengahan dua puluhan.
Keduanya, cerdas, kuat, dan berperangai keras.
Para biksu tidak semestinya terlibat perbantahan,tetapi mereka malah cekcok.
Para biksu tidak dibenarkan adu jotos, tetapi mereka malah nyaris.
Mereka berhadapan, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
saling menyemburkan amarah.
Di tengah kecamuk adu mulut itu, si mantan marinir tiba-tiba menekuk lututnya
dan bersujud dengan anggunnya kepada biksu mantan pebisnis
yang menjadi sangat kaget karenanya.
Sambil menengadah dia berkata,
"Maaf. Ampuni saya"
Itu adalah salah satu sikap langka yang langsung datang dari hati,
spontan dan lebih inspiratif daripada yang terencana.
Dengan segera mereka berbaikan kembali, dan mereka jadi benar-benar menarik perhatian.
Biksu mantan pebisnis itu sampai terisak.
Beberapa menit kemudian mereka terlihat berjalan bersama-sama sebagai sahabat.Nah, para biksu dibenarkan untuk itu.
Pemaafan Positif
Memaafkan mungkin hanya bisa diterapkan di wihara. Saya tahu Anda berpikir bahwa kalau kita memberikan maaf dalam kehidupan nyata, kita hanya akan dimanfaatkan oleh orang lain. Orang lain akan melangkahi kita, mereka akan berpikir bahwa kita lemah. Saya setuju. Pemberian maaf seperti itu jarang bisa berhasil. Seperti kata orang, "Dia yang memberikan pipi sebelahnya, harus pergi ke dokter gigi dua kali, bukannya sekali!"
Pemerintah Thai, memberikan lebih dari sekedar pemaafan melalui pengampunan tanpa syarat, namun juga mengobati akar permasalahannya, yaitu kemiskinan, dan menanganinya dengan piawai. Itulah sebabnya pemberian pengampunan berhasil.
Saya menyebut pemberian maaf seperti itu sebagai "pemaafan positif". "Positif" berarti memberikan dorongan positif pada hal-hal baik yang kita harapkan. "Pemaafan" berarti melepaskan hal-hal buruk yang menjadi bagian dari masalah--bukan memperdalam, melainkan membiarkannya berlalu. Contohnya, dalam sebuah kebun, hanya menyirami sama sekali adalah seperti sekedar mempraktikkan pemaafan; dan menyirami bunga tetapi tidak menyirami tanaman liar melambangkan "pemaafan positif".
Sekitar sepuluh tahun yang lalu, pada akhir ceramah Jumat malam di Perth, seorang perempuan datang kepada saya. Seingat saya, dia secara rutin hadir pada setiap ceramah mingguan ini, tetapi ini pertama kalinya dia berbicara dengan saya. Dia mengatakan bahwa dia ingin mengucapkan terima kasih, bukan hanya kepada saya, tetapi juga kepada semua biksu yang mengajar di wihara kami. Lalu dia mulai menjelaskan apa sebabnya. Dia mulai datang ke wihara kami 7 tahun silam. Dia mengaku, pada saat itu dia tidak begitu tertarik pada ajaran Buddha ataupun meditasi. Alasan utamanya datang ke wihara adalah sekedar mencari-cari alasan untuk meninggalkan rumah.
Dia punya suami yang kasar. Dia adalah korban kekerasan rumah tangga yang menakutkan. Pada saat itu, dukungan dari lembaga-lembaga untuk menolong korban kekerasan seperti itu belumlah ada. Dalam sebuah luapan emosi, dia tidak bisa berpikir jernih untuk minggat selamanya dari rumah. Jadi dia datang ke wihara dengan gagasan bahwa 2 jam di wihara berarti 2 jam dia bebas dari kekerasan.
Apa yang didengarnya dari wihara kami mengubah hidupnya. Dia mendengar dari biksu-biksu mengenai pemberian maaf yang benar--pemaafan positif. Dia memutuskan untuk mencobanya ke suaminya. Dia bercerita bahwa setiap kali suaminya memukul, dia memaafkannya dan membiarkannya berlalu. Bagaimana dia bisa melakukannya, hanya dia yang tahu. Lalu setiap kali sang suami melakukan atau mengatakan sesuatu yang baik, betapa pun sepelenya, saat itu juga dia akan memeluknya atau mencium, ataupun memberikan tanda-tanda untuk mengisyaratkan kepada sang suami bahwa betapa berarti kebaikan tersebut baginya. Dia sungguh-sungguh bersyukur atas kebaikan itu.
Dia menghela napas dan berkata kepada saya bahwa dia melakukannya selama 7 tahun. Pada saat itu matanya jadi berkaca-kaca, dan demikian pula saya. "Selama 7 tahun," katanya, "dan sekarang Anda tidak akan dapat mengenali pria itu lagi. Dia telah berubah 180 derajat. Sekarang, kami punya hubungan kasih yang luar biasa beserta dua anak yang hebat." Wajahnya memancarkan cahaya laksana orang suci. Rasanya saya hendak berlutut di hadapannya. "Anda lihat tempat duduk itu?" katanya, menunjukkan kepada saya, "Minggu ini, sebagai kejutan dia membuatkan tempat duduk kayu untuk bermeditasi. Andai saja itu terjadi 7 tahun yang lalu, dia hanya akan menggunakannya untuk memukul saya!" Kerongkongan saya yang tersumbat menjadi lega bersamaan dengan gelak kami berdua.
Saya mengagumi perempuan itu. Dia meraih dan memenangkan kebahagiaannya sendiri, menurut saya, dari kecemerlangan kualitas dirinya sendiri. Dan dia telah mengubah seorang monster menjadi seorang pria yang penuh perhatian. Dia menolong diri sendiri sekaligus orang lain, dengan sungguh mengagumkan.
Itu adalah contoh ekstrem dari pemaafan positif, hanya direkomendasikan bagi mereka yang ingin jadi suci. Namun demikian, hal itu telah menunjukkan apa yang bisa dicapai saat pemberian maaf dipadukan dengan pemberian dukungan pada kebajikan yang telah dilakukan.
Menciptakan Kebahagiaan
Sanjungan Membuat kita berhasil
Kita Semua tentunya senang dipuji kan?tetapi sayangnya hampir sepanjang waktu kita hanya mendengar tentang kejelekan kita.Saya kira itu adil,karena hampir sepanjang waktu kita pun hanya membicarakan kejelekan orang lain.kita ini jarang sekali mengucapkan pujian.Coba saja dengar sendiri apa yang anda bicarakan.
Tanpa Pujian,tanpa dorongan positif terhadap kualitas-kualitas yang baik,kualitas-kualitas tersebut akan layu dan mati,tetapi seulas pujian bisa menjadi sebuah tonggak pengobar semangat.kita semua ingin mendengar diri kita di puji,kita hanya ingin memastikan bahwa apa yang telah kita lakukan sudah benar adanya.
Suatu ketika ,saya membaca artikel di sebuah majalah mengenai sebuah kelompok terapi yang menggunakan metode dorongan positif untuk membantu anak-anak yang mengalami suatu kelainan perilaku makan yang langka.kapan pun anak-anak itu menelan makanan padat,mereka akan langsung memuntahkannya.saat seorang anak berhasil untuk tidak memuntahkan secuil makanan selama semenit atau lebih,kelompok itu akan merayakannya.Para orang tua akan memakai topi kertas dan berdiri di kursi bersorak,dan bertepuk tangan,para perawat akan menari-nari dan melemparkan pita warna-warni;seseorang akan memainkan musik favorit anak-anak.Seketika akan ada perayaan besar,Di mana anak yang berhasil menahan makannya menjadi pusat perhatian.Anak-anak itu akan mulai berlatih menahan makanan lebih lama,dan lebih lama lagi.Sukacita mereka akan mengaktifkan kembali sistem saraf mereka.Seperti itulah,anak-anak mendambakan pujian.kita pun demikian.
jadi siapa yang bilang kalau"sanjungan akan membuat kita tak berhasil"?justru sanjungan Kawan akan membuat kita berhasil.
Cara Menjadi VIP
Pada tahun pertama vihara didirikan, dia menanamkan dalam dirinya bahwa dia harus belajar cara bangun-membangun. Struktur utamanya terdiri dari enam toilet dan enam blok pancuran untuk mencuci, jadi dia juga harus belajar segala sesuatu mengenai perpipaan. Dalam upaya belajar, dia membawa rancangannya ke toko pipa, merentangkannya di atas meja toko, dan berkata, “ Tolong!”.
Karena itu adalah pesanan yang lumayan besar, pria di toko, Fred, tak segan memberikan waktunya untuk menjelaskan komponen apa saja yang diperlukannya, mengapa diperlukan dan bagaimana cara memasangnya. Akhirnya dengan segala kesabaran, akal sehat dan masukan dari Fred, pipa system pembuangan limbah di vihara selesai juga. Petugas lembaga pengawas kesehatan setempat datang, memberi ujian berat dan system itu dinyatakan lulus. Pemuda ini senang sekali.
Beberapa hari kemudian, datanglah tagihan untuk semua komponen perpipaan itu. Pemuda itu kemudian meminta cek dari bendahara untuk pembangunan vihara tersebut dan mengirimkan cek itu beserta sepucuk surat ucapan terima kasih, terutama Fred yang telah berbaik hati membantu pembangunan vihara.
Saat itu pemuda ini tidak menyadari bahwa toko besar itu, dengan banyak cabang tersebar di seluruh kota Perth, memiliki departemen-departemen yang terpisah. Surat pemuda ini dibuka dan dibaca oleh seorang juru tulis pada salah satu departemen, yang menjadi tertegun ketika menerima sepucuk surat pujian, lalu segera menyampaikannya kepada manajer keuangan. Biasanya kalau bagian keuangan menerima selembar cek beserta sepucuk surat itu pastilah surat yang berisi pengaduan. Kepala bagian keuangan juga terkejut dan segera membawa surat pemuda itu kepada direktur pengelola perusahaan. Sang direktur membaca surat itu dan merasa senang. Kemudian dia mengangkat telepon di mejanya, menelepon Fred yang berada di bagian meja penjualan di salah satu cabang perusahaannya dan memberitahunya tentang surat pemuda ini yang tergeletak di atas meja kayu mahoni direkturnya.
“Inilah yang kita cari di perusahaan kita, Fred. Hubungan baik dengan pelanggan! Inilah yang membuat kita maju.”
“ Ya, Pak.”
“ Anda telah melakukan pekerjaan yang hebat, Fred.”
“ Ya, Pak.”
“ Saya berharap kita punya lebih banyak karyawan seperti Anda.”
“ Ya, Pak.”
“ Gaji Anda berapa ya? Barangkali kami dapat memberikan lebih banyak.”
“ YA, PAK.”
“ Kerja bagus, Fred.”
“ Terima kasih, Pak.”
Sejam atau dua jam setelah kejadian itu, pemuda ini pergi lagi ke toko tersebut untuk menukar sebuah komponen yang akan digunakan untuk keperluan lainnya. Ada dua orang tukang pipa yang berbadan besar, dengan bahu selebar tanki, sedang menunggu untuk dilayani di depan saya. Namun Fred melihat saya.
“BRAM!” panggilnya dengan senyum lebar. “ Mari ke sini!”
Saya diperlakukan seperti VIP. Saya dibawa ke bagian belakang toko, dimana seharusnya pelanggan dilarang masuk, untuk memilih komponen pengganti yang saya perlukan. Teman Fred di bagian penjualan memberi tahu Bram tentang telepon yang baru saja diterima Fred dari sang direktur.
Bram kemudian menemukan komponen yang dia perlukan, tetapi komponen itu lebih besar dan jauh lebih mahal daripada komponen yang mao dia tukarkan.
“Berapa saya harus membatar?” tanya Bram. “ Berapa selisihnya?”
Dengan senyum yang sangat lebar, Fred menjawab,” Bram, untuk Anda tak ada selisihnya!”
Jadi, pujian bagus juga untuk alasan financial.
Senyum Dua Jari
Pujian dapat menghemat uang kita, mempererat hubungan dan menciptakan kebahagiaan. Kita perlu lebih sering menaburnya ke sekitar kita.
Orang yang paling sulit untuk kita puji adalah diri kita sendiri. Saya dibesarkan utk percaya bahwa memuji diri sendiri akan membuat kita menjadi besar kepala.Sebenarnya bukan begitu. Yang benar adalah menjadi besar hati. Memuji kualitas baik dari diri kita sendiri berarti membesarkan hati dengan cara yang positif.
Saat saya masih seorang mahasiswa, guru meditasi pertama saya memberikan sebuah nasihat untuk dipraktekkan. Awalnya beliau menanyakan apa yang pertama-tama saya lakukan begitu bangun pagi.
"Pergi ke kamar mandi," kata saya.
"Apa ada sebuah cermin di kamar mandimu?" tanya beliau.
"Tentu."
"Bagus," katanya. "Nah setiap pagi, bahkan sebelum
kamu menggosok gigi, saya ingin kamu menatap cermin
dan tersenyum pada dirimu sendiri."
"Pak !" Saya mulai protes. "Saya ini mahasiswa.
Kadang-kadang saya tidur sangat larut dan bangun
pagi-pagi dengan perasaan kurang enak. Pada pagi-pagi
tertentu bahkan saya ngeri melihat wajah saya sendiri,
boro-boro tersenyum."
Beliau terkekeh, menatap mata saya dan berkata,"Jika kamu tidak bisa tersenyum secara alami, kamu dapat memakai dua jarimu, taruh di kedua sudut mulut, dan tekanlah ke atas. Seperti ini," Beliau menunjukkan caranya.
Beliau jadi terlihat menggelikan. Saya terkekeh-kekeh melihatnya. Beliau menyuruh saya untuk mencobanya,dan saya menurutinya.
Pada pagi berikutnya, saya menarik turun diri saya dari tempat tidur, melangkah terhuyung-huyung ke kamar mandi. Saya menatap diri saya di cermin."Urrrgh!" Itu bukan pemandangan yang manis.Sebuah senyum alami tidak bisa muncul. Jadi saya meletakkan dua jari telunjuk di sudut mulut dan menekannya ke atas. Lantas saya melihat seorang mahasiswa muda bodoh menampilkan wajah tololnya di cermin, dan saya tak tahan untuk tidak tersenyum. Begitu muncul sebuah senyum alami,saya melihat mahasiswa di cermin tersenyum kepada saya.Saya pun tersenyum lebih lebar lagi, dan orang yang di cermin pun membalas dengan senyuman yang lebih lebar juga. Dalam beberapa detik, kami mengakhirinya dengan tertawa bersama.
Saya terus mempraktekkan nasihat itu setiap pagi selama 2 tahun. Setiap pagi, tak peduli bagaimana perasaan saya saat bangun, saya segera tertawa begitu melihat diri saya di cermin, biasanya sih dengan bantuan dua jari.Sekarang orang bilang saya banyak senyum.Barangkali itu karena otot-otot di sekitar mulut saya menetap dalam posisi seperti itu.
Kita dapat mencoba trik dua jari kapan saja,terutama bermanfaat ketika kita merasa sakit, bosan atau tertekan. Tertawa telah terbukti bisa melepaskan hormon endorphin ke dalam aliran darah kita, yang dapat memperkuat sistem kekebalan tubuh kita dan membuat kita merasa bahagia.
Hal itu akan membantu kita melihat 998 bata bagus di tembok kita, bukan hanya dua bata jelek. Dan tertawa membuat kita terlihat rupawan. Itulah sebabnya kadang saya menyebut vihara kami di Perth sebagai "salon kecantikan Ajahn Brahm"
Pengajaran yang Tak Ternilai
Saya pernah diberi tahu bahwa depresi telah menelurkan industri bernilai miliaran dolar. Itu benar-benar membuat orang depresi! Menjadi kaya di atas penderitaan orang lain rasanya bukan hal yang patut dibenarkan. Di dalam tradisi kami yang keras, para biksu tak diizinkan memiliki uang, dan kami tak pernah menagih biaya apa pun untuk ceramah yang kami berikan, untuk konsultasi atau untuk pelayanan lainnya.
Seorang perempuan Amerika menelepon seorang rekan biksu, yang terkenal sebagai guru meditasi, untuk bertanya mengenai cara bermeditasi.
"Saya dengar Anda mengajarkan meditasi," tanyanya dari balik telepon.
"Ya, benar, Bu" jawab biksu itu dengan sopan.
"Berapa tarif anda?" si perempuan langsung bertanya ke inti masalahnya.
" Tidak ada tarif, Bu.''
"Kalau begitu, Anda pasti tidak bagus!" dia menukas dan langsung menutup teleponnya.
Beberapa tahun yang lalu, saya pun pernah menerima telepon seperti itu dari seorang perempuan keturunan Polandia-Australia.
" Benarkah ada ceramah di wihara Anda nanti malam? " tanyanya.
"Ya,Bu. Mulai pukul 8 malam," saya memberitahunya.
"Tak ada, Bu, gratis," jelas saya. Setelah itu ada jeda sesaat.
" Anda belum menangkap maksud saya," katanya dengan keras. " Berapa banyak uang yang harus saya berikan kepada Anda untuk mendengarkan ceramah itu?"
"Bu, Anda tak perlu memberikan uang, Ini gratis," kata saya selembut mungkin.
"Dengar!" dia berteriak dari seberang. " Dolar! Sen! Berapa banyak yang harus saya bayar untuk bisa masuk?"
"Bu, Anda tidak perlu membayar apa pun. Anda masuk saja, duduk, dan boleh pergi kapan pun Anda mau. Tak ada yang akan menanyakan nama dan alamat Anda, Anda Tak akan diberi selebaran apa pun, dan Anda tak akan dimintai sumbangan apa pun di pintu. Ini benar-benar gratis."
Sekarang ada jeda cukup lama.
Lalu dia bertanya, dengan sungguh-sungguh ingin tahu, " Baiklah, jika gratis, lalu apa yang kalian dapatkan dari situ?"
"Kebahagiaan, Bu," jawab saya," Kebahagiaan."
Dewasa ini, bila ada yang bertanya berapa harga pengajaran ini, saya tak pernah lagi bilang gratis. Saya menjawab pengajaran itu tak Ternilai.
Ini Pun Akan Berlalu
Salah satu pengajaran tak ternilai yang dapat membantu mengatasi depresi, adalah juga salah satu yang paling sederhana, mudah untuk disalahpahami. Hanya jika kita akhirnya sudah terbebas dari depresi, barulah kita boleh menyatakan diri sudah betul-betul memahami cerita berikut ini.
Seorang narapidana baru merasa ketakutan dan tertekan. Tembok-tembok batu di selnya seperti menyerap habis semua kehangatan; jeruji-jeruji besi bagai mencemooh segala belas kasih; suara gelegar baja yang beradu ketika gerbang ditutup, mengunci harapan jauh-jauh. Hatinya terpuruk sedalam hukumannya yang sedemikian lama. Di tembok, di atas kepala tempat tidur lipatnya, dia melihat sebuah kalimat yang tergores di sana: INI PUN AKAN BERLALU.
Kalimat itu melecut semangatnya, mungkin demikian juga dengan narapidana lain sebelum dia. Tak peduli betapa beratnya, dia akan menatap tulisan itu dan mengingatnya: ini pun akan berlalu. Pada hari dia dibebaskan, dia mengetahui kebenaran dari kata-kata itu. Waktunya telah terpenuhi; penjara pun telah berlalu.
Ketika dia menjalani kembali kehidupan normalnya, dia sering merenungi pesan itu, menulisnya di secarik kertas untuk ditaruh di samping tempat tidurnya, di mobil, dan di tempat kerja. Bahkan saat dia mengalami hal-hal yang buruk, dia tak akan menjadi depresi. Dengan mudah dia akan mengingat "ini pun akan berlalu", dan terus berjuang. Saat-saat yang buruk pun tidak memerlukan waktu lama untuk berlalu. Lalu ketika saat-saat yang menyenangkan tiba, dia menikmatinya, tetapi tanpa terlalu sembrono. Sekali lagi dia akan mengingat, "ini pun akan berlalu", dan terus lanjut bekerja, tanpa menggampangkan hal yang menyenangkan itu. Saat-saat yang indah biasanya juga tak akan bertahan lama-lama.
Bahkan ketika dia menderita kanker, "ini pun akan berlalu" telah memberinya pengharapan. Pengharapan memberinya kekuatan dan sikap positif yang mengalahkan penyakitnya. Suatu hari, dokter spesialis memastikan bahwa "kanker pun telah berlalu".
Pada hari-hari terakhirnya, di atas ranjang kematian, dia membisikkan kepada orang-orang yang dicintainya, "ini pun akan berlalu," dan dengan enteng dia meninggalkan dunia ini. Kata-katanya adalah pemberian cinta terakhir bagi keluarga dan teman-temannya. Mereka belajar darinya bahwa "kesedihan pun akan berlalu".
Depresi adalah sebuah penjara yang sering dialami oleh kita-kita ini. "ini pun akan berlalu" membantu melecut semangat kita; juga menghindarkan salah satu penyebab depresi hebat, yaitu tidak mensyukuri saat-saat bahagia.
Pengorbanan Gagah Berani
saat saya masih seorang guru sekolah, perhatian saya tertarik pada seorang siswa yang mendapat peringkat terbawah pada ujian akhir tahun dalam kelas saya yang terdiri dari 30 siswa. saya melihat dia tertekan karena nilainya yang tidak bagus, lalu saya menghampiri dan mengajaknya berbicara.
saya berkata padanya "harus ada orang yang berada di peringkat 30 dari 30 siswa di kelas ini. tahun ini orang itu adalah kamu, kamu yang telah melakukan pengorbanan gagah berani supaya tak ada seorangpun temanmu menderita malu karena mendapat peringkat terbawah di kelas ini. kamu sungguh baik, begitu penuh belas kasih. kamu pantas mendapatkan medali"
kita berdua tahu bahwa apa yang saya katakan itu konyol, tetapi dia menyeringai lebar. dia tak lagi menganggap peringkat terbawahnya sebagai sebuah kiamat.
dia mendapat peringkat yang jauh lebih baik pada tahun berikutnya, ketika tiba giliran orang lain melakukan pengorbanan gagah berani.
Gundukan Pupuk Kandang
Hal-hal yang tak menyenangkan, seperti duduk di peringkat terbawah di kelas kita, terjadi dalam kehidupan. Hal-hal itu dapat terjadi pada setiap orang. Perbedaan antara orang yang bahagia dan orang yang tertekan hanyalah pada cara mereka bereaksi terhadap kemalangan.
Bayangkan Anda baru saja mengalami suatu sore yang indah di pantai bersama seorang teman. Ketika Anda kembali ke rumah, Anda mendapati gundukan pupuk kandang tepat di depan pintu rumah Anda. Ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan gundukan pupuk kandang ini :
1. Anda tidak memesannya. Ini bukan kesalahan Anda.
2. Anda merasa kehabisan akal. Tidak ada yang melihat siapa yang menimbunnya di situ, jadi Anda tidak dapat menelepon pelakunya untuk menyingkirkan pupuk kandang itu.
3. Pupuk itu kotor dan semerbak memenuhi seluruh rumah Anda. Sungguh tak tertahankan.
Pada perumpamaan ini, gundukan pupuk kandang di depan rumah Anda melambangkan pengalaman-pengalaman traumatik yang menimpa kita dalam kehidupan. Seperti halnya dengan gundukan pupuk kandang itu, ada tiga hal untuk diketahui sehubungan dengan tragedi dalam kehidupan kita:
1. Kita tidak memesannya. Kita berkata, "Kenapa saya?"
2. Kita merasa kehabisan akal. Tak seorang pun, sekalipun teman terbaik kita, dapat menyingkirkannya (meski mereka telah mencoba).
3. Tragedi itu sangat menyakitkan, penghancuran kebahagiaan kita, dan rasa sakit yang ditimbulkannya menghantui sepanjang hidup kita. Sungguh tak tertahankan.
Ada dua cara merespon timpaan gundukan pupuk kandang itu. Cara pertama adalah membawa kotoran itu kemana-mana bersama kita. Kita taruh segenggam di saku kita, sebagian di tas kita, dan sebagian lagi di baju kita. Kita bahkan menaruhnya di celan panjang kita. Kita dapati, ketika kita membawa kotoran itu kemana-mana, kita kehilangan banyak teman! Bahkan teman-teman terbaik pun tampaknya jadi tak begitu sering lagi dekat-dekat dengan kita.
"Membawa kotoran ke mana-mana" adalah perumpamaan untuk keadaan tenggelam dalam depresi, hal-hal negatif, atau amarah, itu adalah sebuah respon terhadap kemalangan yang lumprah dan dapat dimaklumi. Tetapi kita kehilangan banyak teman, karena lumprah dan dapat dimaklumi pula jika teman-teman kita tak suka berada di samping kita yang selalu merasa dipresi. Lagi pula, dengan cara ini, gundukan kotoran itu sendiri tak menjadi berkurang, tetapi baunya malah bertambah busuk karena makin matang.
Untunglah, ada cara kedua. Ketika kita tertimpa gundukan pupuk kandang, kita menghela napas, dan setelah itu mulai bekerja. Ambil gerobak dorong, garu dan sekop. Kita garu kotoran itu ke gerobak dorong, membawanya ke belakang rumah, dan menguburnya di kebun kita. Memang ini sulit dan melelahkan, tetapi kita tahu tak ada pilihan lain. Kadang, kita hanya mampu mengatasi separuh gerobak saja dalam sehari, namun kita melakukan sesuatu yang menyelesaikan masalah, daripada hanya mengeluh saja dan terbenam dalam depresi. Dari hari ke hari, kita menggaru dan mengubur kotoran itu. Dari hari ke hari gundukan itu makin berkurang. Kadang diperlukan waktu beberapa tahun, namun pagi yang cerah tiba jugaketika gundukan kotoran di depan rumah kita tak berbekas lagi. Selanjutnya, sebuah keajaiban terjadi di belakang rumah kita. Bunga-bunga di kebun kita bermekaran dengan warna-warni memenuhi semua sudut. Keharuman menyebar sampai ke jalan, sehingga para tetangga dan bahkan orang lewat pun tersenyum bahagia karenanya. Lalu pohon buah di sudut taman yang hampir rubuh karena tergelayuti oleh buah-buahnya. Dan buahnya sunguh manis; Anda tidak dapat membeli buah seperti itu. Ada begitu banyak buah, sehingga kita dapat membaginya dengan para tetangga, bahkan orang yang lewat pun dapat ikut menikmati sedapnya rasa buah ajaib itu.
"Mengubur kotoran" adalah perumpamaan untuk menyambut datangnya tragedi sebagai penyubur bagi kehidupan kita. Itu pekerjaan yang harus kita lakukan sendiri; tak ada yang dapat membantu kita. Namun dengan menguburnya di taman hati kita, dari hari ke hari, gundukan rasa sakit itu akan makin berkurang. Bisa saja itu membutuhkan beberapa tahun, namun pagi yag cerah akan tiba tatkala kita melihat tak ada lagi rasa sakit di dalam hidup kita dan di dalam hati kita, sebuah keajaiban telah terjadi. Bunga-bunga kebajikan bermekaran memenuhi seluruh tempat, dan harum cinta menyebar sampai jauh, para tetangga kita, teman kita, bahkan samapi juga ke orang-orang yang tak kita kenal. Lalu pohon kebijaksanaan yang tumbuh di sudut taman hati kita menjadi tergelayut karena saratnya buah pencerahan akan hakikat kehidupan. Kita dapat membagi-bagikan buah-buah yang enak itu dengan gratis, bahkan kepada orang-orang yang tak kita kenal, tanpa sengaja merencanakannya.
Ketika kita telah mengenal rasa sakit yang tragis, pelajarilah pelajaran yang diberikannya, dan tumbuhkan taman kita, lalu kita dapat merangkulkan lengan kita ke dalam tragedi yang mendalam dan berkata, dengan lembut, "Aku tahu." Mereka akan tahu bahwa kita telah paham. Belas kasih dimulai. Kita tunjukkan pada mereka gerobak dorong, garu sekop dan dorongan semangat tanpa batas. Jika kita belum dapat menumbuhkembangkan taman kita sendiri, semuai ini tak dapat kita lakukan.
Saya mengenal banyak biksu yang piawai dalm bermeditasi, yang penuh kedamaian, tenang dan tentram dalam menghadapi kemalangan, tetapi hanya sedikit di antaranya yang menjadi guru hebat. Saya sering heran, mengapa begitu.
Sekarang menjadi jelas bagi saya bahwa biksu-biksu yng relatif tidak tertimpa banyak kemalangan, yang memiliki sedikit kotoran untuk dikuburkan, adalah mereka yang tidak menjadi guru-guru hebat. Adalah biksu-biksu yang mengalami kesukaran yang besar, dengan diam menguburkannya, dan datang dengan taman yang subur, adalah mereka yang menjadi guru-guru hebat. Mereka semua memiliki kebijaksanaan, ketenangan dan welas asih; tetapi hanya mereka yang memiliki kotoran lebih banyaklah yang dapat membaginya pada dunia. Guru saya, Ajahn Chan, yang bagi saya pribadi adalah menara dari semua guru, pasti memiliki armada truk yang mengangkut pupuk kandang yang berjejer di depan pintu rumahnya, pada masa-masa awal kehidupannya.
Barangkali pesan moral dari cerita ini adalah, jika Anda ingin melayani dunia, jika Anda ingin mengikuti jalan belas kasih, maka bila suatu ketika terjadi tragedi dalam hidup Anda. Anda dapat berkata, "Cihui! Aku dapat banyak pupuk untuk taman hatiku."
Terlalu Berlebihan Berharap
Terlalu berlebihan berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Adalah salah berharap untuk hidup tanpa rasa sakit,
Karena rasa sakit adalah pertahanan tubuh kita.
Tak peduli seberapa tak sukanya kita,
Dan tak ada yang suka rasa sakit,
Rasa sakit itu penting,
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.
Bagaimana lagi kita bisa tahu,
Untuk menarik tangan kita dari api?
Jari kita dari belati?
Kaki kita dari duri?
Jadi rasa sakit itu penting
Dan kepada rasa sakitlah kita harus berterima kasih.
Namun,
Ada sejenis rasa sakit yang tak ada gunanya,
Itulah rasa sakit kronis,
Itulah pasukan elite rasa sakit yang bukan untuk pertahanan,
Itu adalah kekuatan yang menyerang.
Penyerang dari dalam,
Penghancur kebahagiaan pribadi,
Penyerang ganas bagi kemampuan pribadi,
Penyerbu tak kenal lelah bagi kedamaian pribadi,
Dan, pelecehan berkelanjutan bagi hidup!
Rasa sakit kronis adalah aral rintang terberat bagi pikiran.
Kadang rasa sakit itu nyaris mustahil untuk dilampaui,
Namun, kita harus tetap mencoba,
Dan mencoba,
Dan mencoba,
Sebab jika tidak, ia akan menghancurkan kita.
Dan
Dari pertempuran itu akan muncul hal-hal yang baik,
Kepuasan penaklukan rasa sakit.
Pencapaian kebahagiaan dan kedamaian,
Pada kehidupan sekalipun darinya.
Itu sungguhlah suatu pencapaian,
Pencapaian yang sangat istimewa, sangat pribadi,
Rasa akan kekuatan,
Kekuatan batiniah,
Yang harus dialami untuk bisa dipahami.
Jadi, kita semua harus menerima rasa sakit,
Sekalipun rasas sakit yang merusak.
Karena itu bagian dari segala sesuatu,
Dan pikiran dapat mengatasinya,
Dan pikiran akan menjadi lebih kuat dalam mengalaminya.
~ Jonathan Wilson-Fuller~
Alasan untuk menyertakan puisi diatas, atas perkenan dari penulisnya, adalah karena puisi tersebut ditulis oleh Jonathan pada saat dia baru berumur 9 tahun!
Menjadi Tong Sampah
Bagian dari pekerjaan saya adalah mendengarkan masalah-masalah umat. Para Biksu selalu punya nilai lebih secara ekonomis, karena mereka tak pernah menagih biaya apa pun. Sering kali, ketika saya mendengarkan keluh kesah, kepelikan yang diderita orang, tenggang rasa yang timbul membuat saya ikut-ikutan depresi juga. Untuk menolong seseorang keluar dari sangkarnya, saya kadang-kadang harus masuk ke dalam sangkar juga agar dapat menjangkau tangan mereka- tetapi saya selalu ingat untuk membawa tangga. Setelah suatu sesi konsultsi saya selalu merasa cerah kembali. Konsultasi yang saya berikan tak akan meninggalkan gema apa pun, karena latihan yang saya jalani.
Ajahn Chah, Guru saya di Thailand, mengatakan bahwa para biksu harus menjadi tong sampah. Para Biksu, khususnya biksu-biksu senior, harus duduk di wiharanya, mendengarkan keluh-kesah orang-orang yang datang dan menampung semua sampah mereka. Mulai dari masalah pernikahan, kesulitan mengasuh anak remaja, kericuhan dengan relasi, masalah-masalah keuangan- seperti banyak yang kami dengar. Saya tidak tahu kenapa begini. Tahu apa seorang biksu yang hidup selibat tentang masalah perkawinan? Kami meninggalkan keduniawian untuk menyingkir dari sampah-sampah semacam itu, tetapi karena belas kasih, kami duduk mendengarkan, membagi kedamaian kami, dan menerima segala macam sampah.
Ada tambahan, yang merupakan bagian terpenting dari nasihat yang diberikan oleh Ajahn Chah. Beliau berkata kami harus menjadi tong sampah yang dasarnya bolong! Kami harus menerima semua sampah, tetapi tidak boleh menyimpannya.
Oleh karena itu, seorang teman atau penasihat yang ampuh, adalah seperti tong sampah yang tak punya dasar, dan karenanya tak akan pernah menjadi terlalu penuh untuk mendengarkan masalah-masalah lainnya.
MUNGKIN MEMANG ADIL
Sering kali saat kita mengalami depresi, kita berpikir " ini tidak adil! Mengapa aku?" Akan sedikit melegakan jika hidup ini lebih adil.
Seorang Narapidana paruh baya di kelas Meditasi yang saya ajarkan di penjara minta bertemu dengan saya setelah sesi selesai..
Dia telah mengikuti sesi2 saya selama beberapa bulan & saya telah cukup mengenalnya..
'BRAHM' Katanya..
'Saya ingin memberi tahu Anda bahwa saya tidak melakukan Kejahatan yang membuat saya terkunci di penjara ini..
Saya tidak bersalah..
Saya tahu beberapa penjahat mungkin akan mengatakan hal yang sama & berbohong,
Tetapi saya mengatakan yang sebenarnya kepada Anda..
Saya tidak akan berbohong kepada Anda, BRAHM,
Tidak kepada Anda'
Saya percaya kepadanya..
Keadaan & sikapnya membuat saya yakin bahwa dia tidak berbohong..
Saya mulai berpikir betapa tak adilnya ini &
Bertanya2 bagaimana saya bisa memperbaiki ketidakadilan yang mengerikan ini..
Namun dia menyela pikiran saya..
Dengan tersenyum nakal,
Dia berkata :
'Tetapi BRAHM,
Ada banyak kejahatan lain yang saya perbuat,
Tetapi saya tak tertangkap..
Jadi saya kira apa yang terjadi sekarang ini memang ADIL'
Saya tertawa terbahak2..
Rupanya si Tua Bangka ini memahami Hukum KARMA,
Bahkan lebih Baik daripada beberapa Biksu yang saya kenal..
Berapa seringkah kita melakukan 'Kejahatan' yang begitu melukai,
Tindakan yang penuh kedengkian,
Tetapi kita tidak dibuat menderita olehnya?
Apakah kita pernah berkata
'Ini tidak adil !
Mengapa aku tidak ditangkap?'
Ketika kita dibuat menderita oleh suatu alasan yang tidak jelas,
Belum2 kita sudah mengerang..
Bahkan terkadang mengalami Depresi & kita berpikir :
'Ini tidak adil !
Mengapa aku?'
Barangkali itu sebenarnya ADIL..
Seperti Napi yang saya ceritakan,
Barangkali ada banyak 'Kejahatan' lain yang kita perbuat, tetapi kita tak tertangkap..
Inilah yang menjadikan HIDUP ini sebenarnya ADIL..
Masalah Kritis dan Pemecahannya
Hukum Karma
Kebanyakan orang Barat salah mengerti tentang hukum karma. Mereka beranggapan bahwa hukum karma adalah faham fatalisme, dimana seseorang ditakdirkan menderita atas kejahatan yang tak diketahui pada kehidupan lampau yang telah terlupakan. Itu tidaklah benar, seperti yang akan ditunjukkan oleh cerita berikut ini.
Dua orang perempuan masing-masing sedang membuat kue.
Perempuan yang pertama memiliki bahan-bahan yang memprihatinkan. Terigu tua yang lumutan, sehingga gumpalan-gumpalan hijaunya harus ditampi terlebih dahulu. Mentega yang diperkaya kolesterol yang sudah agak masam. Dia harus menyisihkan bongkahan-bongkahan colat dari gula pasirnya (karena seseorang telah menyendok dengan sendok basah bekas mengaduk kopi), dan satu-satunya buah yang dipunyai adalah kismis purba, sekeras uranium. Dan dapurnya bergaya "Pra- Perang Dunia"--entah Dunia yang mana.
Perempuan kedua memiliki bahan-bahan terbaik. Tepung terigu murni hasil cocok tanam organik, dijamin bukan hasil rekayasa genetik. Dan punya mentega bebas kolesterol, gula pasir dan buah-buahan segar langsung dari kebun sendiri. Dan dapurnya adalah dapur mutakhir, dengan segala peralatan modern.
Perempuan mana yang membuat kue yang lebih enak?
Acapkali, bukan orang yang memiliki bahan-bahan terbaiklah yang dapat membuat kue terbaik—ada yang lebih dari sekedar bahan baku. Kadang-kadang orang dengan bahan-bahan yang mengenaskan mengerahkan segenap daya, perhatian dan cintanya untuk memanggang kuenya sehingga menghaslkan kue yang terlezat. Apa yang kita lakukan dengan bahan-bahanlah yang membuat kue jadi berbeda.
Saya punya beberapa teman yang memiliki bahan-bahan yang menyedihkan dalam hidupnya: mereka lahir dalam kemiskinan, korban kekerasan terhadap anak, tidak pintar di sekolah, mungkin cacat dan tidak mahir olahraga. Namun segelintir kualitas yang mereka miliki mereka racik dengan begitu baik, sehingga menghasilkan kue yang begitu mengagumkan. Saya betul-betul mengagumi mereka. Kenalkah Anda dengan orang-orang seperti ini?
Setengah dari karma adalah bahan-bahan yang kita miliki. Setengah sisanya, bagian yang paling menentukan, adalah apa yang kita lakukan dengan bahan-bahan tersebut, dalam hidup ini.
Minum Teh Ketika Tak Ada Jalan Keluar
Selalu saja ada sesuatu yang dapat kita perbuat dengan bahan-bahan dalam diri kita, bahkan jika sesuatu itu cuma duduk –duduk saja, menikmati cangkir terakhir teh kita. Kisah berikut ini akan menceritakan seseorang yang pernah bertugas sebagi tentara Inggris pada Perang Dunia II.
Saat itu dia sedang berpatroli di tengah hutan belantara Myanmar; masih muda, jauh dari rumah dan sangat ketakutan. Prajurit pengintai dari kestuannyatelah kembali dan melaporkan berita yang mengerikan kepada kapten. Patrol kci mereka telah terjegal oleh sekelompok besar tentara Jepang. Pasukan mereka kalah banyak dan terkepung rapat. Prajurit muda Inggris itu telah mempersiapkan diri untuk mati.
Dia berharap sang kapten memerintah orang-orangnya untuk bertempur supaya mereka dapat keluar dari kepungan musuh; itu adalah hal yang jantan untuk dilakukan. Mudaah-mudahan seseorang akan melakukannya. Jika tidak, yah, mereka akan mengajak mati beberapa musuh; itulah yang dilakukan oleh para prajurit.
Tetapi yang jadi kapten bukan prajurit itu. Sang kapten memerintahkan orang-orangnya untuk tetap diam, duduk dan membuat secangkir the. Ini tentara kerajaan Inggris, Bung!
Si prajurit berpikir bahwa kepala pasukannya sudah pasti sinting. Bagaimana seseorang bisa memikirkan secangkir teh saat terkepung musuh, tanpa jalan keluar dan terancam mati? Dalam ketentaraan, khususnya saat perang, setiap perintah harus dipatuhi. Jadi mereka semua membuat secangkir teh, yang mereka piker akan menjadi secangkir teh masing-masing. Sebelum mereka menghabiskan tehnya, prajurit pengintai kembali lagi dan berbisik kepada kapten. Sang kapten lalu meminta perhatian semua perajuritnya. “Musuh telah pergi!”dia mengumumkan. “Sekarang ada jalan keluar. Kemas semua barang dan perlengkapan kalian dengan cepat, dan jangan berisik—ayo pergi!!!.
Mereka semua pergi dengan selamat, maka dari itu si prajurit bisa bercerita. Dia memberi tahu bahwa dia berhutang budi pada kebijaksanaan kaptennya, bukan hanya ketika perang Myanmar, tetapi sepanjang hidupnya semenjak itu. Beberapa kali dalam hidupnya dia merasa terkepung oleh musuh yang jumlahnya luar biasa, tanpa jalan keluar dan hampir mati. Apa yang dia maksudkan “musuh” adalah penyakit parah, kesulitan yang luar biasa dan tragedy di tengah-tengah keadaan yang seolah tidak ada jalan keluar. Tanpa pengalaman yang dialaminya di Myanmar, dia pasti mencoba bertempur terus melawan masalahnya, dan tidak diragukan lagi, itu malah akan membuat masalahnya semakin buruk. Tetapi sebaliknya, saat kematian atau masalah maut mengepungnya dari segala penjuru, dengan tenang dia duduk dan membuat secangkir teh.
Dunia ini selalu berubah, kehidupan adalah aliran pelabuhan yang terus-menerus. Dia meminum tehnya, menghemat kekuatannya, dan menantikan saatnya, yang pasti datang, saat dia dapat melakukan sesuatu dengan efektif, misalnya melarikan diri.
Bagi mereka yang tak suka teh, ingat-ingat saja pepatah berikut ini, “Ketika tak ada yang perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain!!!” mungkin kedengarannya aneh, tapi hal itu juga bisa menyelamatkan hidup anda .
Mengalir Bersama Arus
Seorang biksu bijak, yang telah bertahun-tahun saya kenal, tengah bergerak jalan bersama seorang kawan lamanya di sebuah padang. Pada penghujung senja yang terik, mereka tiba di bentangan yang sangat indah dari sebuah pantai yang tersembunyi. Sekalipun ada peraturan bahwa biksu dilarang berenang untuk bersenang-senang, tetapi air biru menggodanya dan dia perlu mendinginkan tubuh selepas perjalanan panjang, jadi dia melepas jubahnya dan pergi berenang.
Saat dia masih muda sebagai umat awam, dia adalah perenang yang tangguh. Namun sekarang, setelah begitu lama menjadi biksu, sudah bertahun-tahun dia tidak pernah berenang lagi. Tak berapa lama setelah dia menceburkan diri kedalam ombak yang bergelora, dia terperangkap di tengah ombak pasang yang kuat yang mulai menyeretnya ke tengah laut. Nantinya dia baru diberitahu bahwa pantai itu sangat berbahaya karena arusnya yang ganas.
Mulanya, biksu tsb mencoba berenang melawan arus. Dia segera sadar bahwa arus itu terlalu kuat baginya. Latihan-latihan yang selama ini dia jalani sekarang datang sebagai penolongnya. Dia lalu bersikap santai, melepas, dan mengalir bersama arus.
Sebuah tindakan yang memerlukan keberanian besar untuk dapat bersikap santai dalam situasi seperti itu, tatkala dia melihat garis pantai terus menjauh. Dia berada ratusan meter dari daratan ketika kekuatan arus mulai berkurang. Barulah sesudah itu dia mulai berenang menjauhi ombang pasang menuju garis pantai.
Dia bercerita kepada saya bahwa berenang kembali ke pantai benar-benar menguras habis seluruh tenanganya. Dia mencapai dartan dalam keadaan amat kelelahan. Dia yakin bahwa jika dia terus mencoba melawan arus, arus itu pasti sudah mengalahkannya. Dia akan terseret ke tengah laut, sama halnya kalau dia mengikuti arus, tetapi dengan tenaga yang sudah terkuras habis sehingga tidak memungkinkan baginya untuk berenang kembali ke pantai. Jika saja dia tidak membiarkan dan mengalir bersama arus, dia yakin dia pasti sudah tenggelam.
Cerita tsb menunjukkan bahwa pepatah, "Ketika tak ada yang perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain," bukanlah teori khayalan. Malahan, itu bisa menjadi kebijaksanaan penyelamat kehidupan. Ketika arus terlalu kuat bagi Anda, itulah saatnya untuk mengalir bersama arus. Ketika Anda mampu bertindak dengan efektif, itulah saatnya untuk mengerahkan upaya.
Terjebak di Antara Macan dan Ular
Ada sebuah cerita kuno Buddhis, yang seperti cerita sebelumnya, menggambarkan mengenai bagaimana kira-kira respon kita dalam menghadapi krisis antara hidup dan mati.
Seorang lelaki berlari tunggang langgang dikejar oleh seekor macan di hutan. Macan dapat berlari lebih cepat daripada manusia dan mereka juga makan manusia. Macan itu sedang lapar ; lelaki itu dalam kesulitan.
Ketika macan hampir saja berhasil menerkamnya, orang itu melihat sebuah sumur di pinggir jalan. Dalam keputusasaannya, tanpa pikir panjang dia melompat ke dalam sumur itu. Segera saja dia sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal. Sumur itu kering dan di dasarnya, dia melihat segulung besar ular hitam.
Secara naluriah dia menggapaikan lengannya untuk meraih tepi sumur, dan tangannya menemukan sebuah akar pohon yang mampu menahan laju kejatuhannya. Ketika dia telah merasa cukup tenang, dia melihat si ular hitam menjulurkan tubuhnya setinggi mungkin untuk mencoba menyerang kakinya, tetapi kakinya sejengkal lebih tinggi. Dia lalu mendongakkan kepala dan melihat si macan mencondongkan tubuhnya di bibir sumur untuk mencoba mencakarnya dari atas ; tetapi tangannya sejengkal lebih jauh dari si macan. Selama dia merenungkan keadaannya yang mengenaskan itu, dia melihat dua ekor tikus, yang satu hitam dan lainnya putih, muncul dari sebuah lubang kecil dan mulai mengerat akar pohon yang dipegangnya.
Selama si macan mencoba mencakarnya, kaki belakangnya berpijak pada sebuah pohon kecil di tepi sumur yang menyebabkan pohon itu bergoyang-goyang. Pada salah satu dahan pohon yang menjuntai dari atas sumur, terdapat sebuah sarang lebah, madu pun mulai menetes jatuh ke dalam sumur. Melihat tetesan madu, lelaki itu menjulurkan lidahnya untuk menangkap tetesan madu tersebut.
"Mmmm ! Sedap sekali," dia berkata kepada dirinya sendiri dan tersenyum.
Kisah itu, sebagaimana diceritakan secara tradisi, berakhir sampai di situ saja. Itulah sebabnya kisah itu menjadi kisah sejati bagi kehidupan. Karena kehidupan, sebagaimana sinetron televisi yang bertele-tele, tidak punya akhir yang rapi. Kehidupan ini selamanya dalam proses penuntasan.
Lebih lanjut, sering dalam kehidupan ini kita bagaikan terjebak di antara macan lapar dan ular hitam, di antara kematian dan sesuatu yang lebih buruk, dengan siang dan malam (kedua tikus) mengunyah-ngunyah seutas tali kehidupan tempat kita bergantung. Bahkan dalam situasi yang menakutkan seperti itu selalu ada saja madu yang menetes entah dari mana. Jika kita bijaksana, kita akan menjulurkan lidah untuk menikmati tetes-tetes madu itu. Mengapa tidak ? Ketika tak ada yg perlu dilakukan, ya jangan ngapa-ngapain, nikmati saja tetes-tetes madu kehidupan.
Seperti yang saya katakan, secara tradisional kisah itu berakhir di sini. Namun demikian, dalam rangka membuat sebuah kesimpulan, saya biasanya menceritakan akhir yang sebenarnya dari kisah itu kepada pemirsa saya. Inilah yang terjadi berikutnya.
Tatkala lelaki itu menikmati tetesan madu, tikus-tikus terus mengerat akar pohon sehingga menjadi makin tipis dan makin tipis saja. Si ular hitam pun terus menjulur-julurkan tubuhnya makin dekat dengan kaki si lelaki ; sementara si macan terus mencondongkan tubuhnya lebih dalam lagi hingga cakarnya nyaris menjangkau tangan si lelaki. Lalu si macan dengan penuh semangat mencondongkan kembali tubuhnya lebih dalam lagi, tiba-tiba dia terjatuh ke dalam sumur, meluncur melewati lelaki itu dan menimpa si ular sampai mati ; macan itu pun sekarat di dasar sumur.
Yah, itu bisa saja terjadi ! Dan sesuatu yang tak terduga biasanya terjadi. Begitulah kehidupan kita. Jadi mengapa menyia-nyiakan momen manisnya madu, bahkan bila kita berada dalam masalah yang benar-benar pelik sekalipun. Masa depan itu tak pasti, kita tak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.
Masa Depan itu tak pasti, Kita tak pernah tahu pasti apa yang akan terjadi kemudian.
Dan saat segala Masalah yang pelik telah sirna, hidup tidak selalu harus tidak berbuat apa-apa, Menikmati Madu!
Hidup juga harus diperjuangkan dengan segenap daya, agar Hidup dapat semakin Hidup.
KEHIDUPAN tak akan pernah luput dari Masalah, Percobaan dan Penderitaan.
Setiap orang punya kisah duka nestapa sendiri-sendiri, tergantung bagaimana cara kita menyikapi.
Kebanyakan kita melihat hanya dari segi Derita, Nestapa, Masalah, Cobaan tersebut. Sehingga dalam HIDUP tak ada SUKA CITA sedikit pun yang tersisa.
Hanya ada Kesedihan, Duka, Amarah, Kejengkelan dan Perasaan-perasaan Negatif lainnya.
Tidak heran, sering kita temui orang-orang yang mengalami Depresi, Penyakit Psikosomatis,
Bahkan sampai Bunuh Diri.
Alangkah INDAH Kehidupan di Dunia,
Jika kita senantiasa bisa mencari Sisi POSITIF dari segala yang kita alami dan Mampu menikmatinya.
Belajarlah untuk Senantiasa BERSYUKUR.
Niscaya akan selalu ada SUKA CITA di dada.
NASIHAT HIDUP
Dalam cerita sebelumnya,saat macan dan ularnya mati,itulah saat yang tepat bagi orang tersebut untuk melakukan sesuatu.Dia berhenti menikmati madu,dan dengan segenap daya untuk memanjat ke atas sumur,lalu berjalan keluar dari hutan menuju keselamatan.Hidup tidak selalu harus tidak berbuat apa-apa,menikmati madu.
Seorang pemuda dari Sydney bercerita kepada saya bahwa dia pernah bertemu dengan guru saya,Ajahn Chah,di Thailand,dan menerima nasihat terbaik dalam hidupnya.
Banyak pemuda barat yang tertarik dengan ajaran Buddha,mendengar tentang Ajahn Chah pada awal tahun 80’an.Pemuda ini memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Thailand,khusus untuk menemui sang bikkhu hebat dan mengajukan beberapa pertanyaan.
Sebuah perjalanan panjang.Sesampainya ke Bangkok,delapan jam dari Sydney,dia naik kereta api malam,sepuluh jam menuju Ubon.Di sana dia tawar menawar harga dengan seorang supir taksi untuk membawanya ke Wat Nong Pah Pong,wihara Ajahn Chah.Dalam keadaan lelah namun penuh semangat,akhirnya sampai juga dia di pondok Ajahn Chah.
Sang guru begitu terkenal.Dia sedang duduk di pondoknya,seperti biasa,dikelilingi oleh kerumunan besar orang yang terdiri dari para Bhikkhu dan jenderal,petani miskin dan pedagang kaya,perempuan dusun sederhana dan perempuan penuh riasan dari Bangkok,semua duduk bersisian.Tidak ada diskriminasi di bawah atap pondok Ajahn Chah.
Si pemuda Australia duduk di pojok kerumunan besar itu.dua jam berlalu dan bahkan Ajahn Chah sama sekali tidak memerhatikan kehadirannya.Terlalu banyak orang lain di depannya.Merasa sia-sia,dia pun bangkit dan berjalan keluar.
Dijalan keluar menuju gerbang utama,dia melihat beberapa Bhikkhu sedang menyapu dedaunan di sekitar menara lonceng.Masih ada satu jam sebelum taksi datang menjemput si pemuda di depan gerbang,jadi dia mengambil sebuah sapu,bermaksud untuk berbuat karma baik.
Sekitar tiga puluh menit kemudian,sewaktu sibuk menyapu,dia merasakan ada tangan seseorang di bahunya.Dia menbalikan badan dan dia kaget bercampur gembira,karena itu adalah tangan Ajahn Chah,yang sedang berdiri sambil tersenyum
dihadapannya.Ajahn Chah telah melihat si pemuda barat ini,tetapi tidak berkesempatan untuk menyapanya.Waktu itu,Ajahn Chah dalam perjalanan keluar wihara menuju ke tempat lain,jadi dia hanya berhenti sebentar di depan pemuda dari Sydney ini untuk memberinya sebuah hadiah.Ajahn Chah mengucapkan sesuatu dengan cepat dalam bahasa Thai,lalu berjalan keluar.
Bhikkhu penerjemah berkata kepadanya,” Ajahn Chah bilang bahwa jika kamu mau menyapu,curahkan segala yang ada pada dirimu.” Lalu penerjemah ini pun pergi menyusul Ajahn Chah.
Si pemuda berpikir mengenai ajaran singkat tadi dalam perjalanan panjang kembali ke Australia.Dia menyadari,tentu saja,bahwa Ajahn Chah telah mengajarkannya lebih dari sekedar bagaimana menyapu dedaunan.Artinya menjadi jelas baginya.
“ Apapun yang engkau lakukan,curahkan segala yang ada pada dirimu.”
Dia menceritakannya kembali kepada saya beberapa tahun kemudian di Australia bahwa nasehat hidup ini bernilai seratus kali perjalanan jauh yang telah di tempuhnya.
Nasehat itu sekarang telah menjadi semboyannya dan telah membawa kebahagiaan dan kesuksesan.saat dia sedang bekerja,dia mencurahkan segalanya (pada apa yang dikerjakan).Saat dia sedang istirahat,dia mencurahkan seluruh dirinya (untuk beristirahat total).Saat dia sedang bergaul,dia mencurahkan seluruh dirinya.Itulah rumus untuk sukses.Oh,dan saat dia sedang tidak melakukan apa-apa,dia juga mencurahkan segalanya(dengan tidak melakukan apa-apa).
Apa Ada Masalah?
Filsuf dan matematikawan Prancis, Blaise Pascal (1623-1662) suatu kali berkata, “Segala masalah manusia disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang bagaimana untuk duduk tenang”.
Saya akan menambahkan dengan ini ".. dan tidak tahu kapan saatnya duduk tenang."
Pada tahun 1967, Israel sedang berperang melawan Mesir, Syiria, dan Yordania. Di tengah-tengah peristiwa yang belakangan dikenal sebagai Perang Enam Hari itu, seorang wartawan bertanya kepada mantan Perdana Menteri Inggris, Harold Macmillan, apa pendapatnya tentang masalah di Timur Tengah itu.
Tanpa keragu-raguan, sang negarawan sepuh itu menjawab, “Tak ada masalah di Timur Tengah.” Si wartawan tertegun mendengar jawaban itu
“Apa maksud Anda ‘tak ada masalah di Timur Tengah’?” si wartawan penasaran. “Tak tahukah Anda bahwa sekarang sedang berlangsung perang yang ganas? Tak sadarkah Anda bahwa selama kita sedang berbicara ini, bom-bom jatuh dari langit, tank-tank meledakkan segala sesuatu, dan para prajurit diberondong butiran peluru. Banyak yang tewas atau terluka. Apa yang Anda maksud ‘tak ada masalah di Timur Tengah’?”
Dengan sabar negarawan yang berpengalaman itu menjelaskan. “Pak, sebuah masalah adalah seuatu yang memiliki solusi. Nah, tak ada solusi untuk apa yang sedang terjadi di Timur Tengah, oleh karenanya hal itu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah masalah.”
Berapa banyak waktu dalam hidup yang kita sia-siakan karena mengkhawatirkan sesuatu yang, pada saat itu, tak memiliki solusi, dan karena itu, bukanlah sebuah masalah.
Membuat Keputusan
Sebuah masalah dengan solusi memerlukan sebuah keputusan, namun bagaimanakah cara mengambil keputusan penting dalam hidup kita?
Biasanya kita mencoba mencari orang lain dan memintanya untuk membuat keputusan sulit bagi kita. Dengan begitu, jika kemudian terjadi sesuatu yang salah, kita punya seseorang sebagai kambing hitamnya. Beberapa teman saya pernah mencoba mengakali saya supaya membuat keputusan bagi mereka, tetapi saya menolak. Yang saya lakukan adalah menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka bisa membuat keputusan yang bijaksana oleh diiri mereka sendiri.
Saat kita tiba dipersimpangan jalan dan tak yakin arah mana yang harus diambil, kita sebaiknya menepi, rehat sejenak, dan menanti sebuah bis. Segera, biasanya pada saat kita tak berharap, sebuah bis tiba. Di bagian depan bis umum ada tulisan yang menandakan tujuan dari bis itu. Jika tujuan Anda sama naiklah ke bis itu. Jika tidak, tunggulah, akan selalu ada bis lain yang datang.
Dengan kata lain, saat kita harus mengambil suatu keputusan dan tak yakin apa yang akan terjadi, kita sebaiknya menepi, rehat sejenak, dan menunggu. Segera, biasanya saat kita tak berharap, sebuah solusi akan menghampiri. Setiap solusi mempunyai tujuannya sendiri. Jika tujuannya cocok dengan tujuan kita, ambillah solusi itu. Jika tidak, kita tunggu lagi, akan selalu ada solusi lain yang akan datang.
Begitulah cara saya membuat keputusan. Saya mengumpulkan semua informasi dan menunggu kedatangan solusi. Sesuatu yang bagus akan selalu datang, asalkan saya tetap sabar. Biasanya dia datang dengan tak disangka-sangka, ketika saya tidak memikirkannya.
Menyalahkan Orang Lain
Tatkala Anda tengah berusaha mengambil keputusan penting, anda bisa memilih untuk menggunakan strategi yang disarankan dalam cerita sebelum ini, namun anda tidak harus selalu mengikuti cara itu. Semuanya terserah anda. Jadi kalau ternyata gagal, jangan salahkan saya ya.
Suatu hari seorang mahasiswi datang menemui seorang biksu di wihara kami. Dia akan menempuh ujian penting dalam beberapa hari ke depan dan dia ingin biksu itu membacakan paritta untuknya, supaya dia bernasib baik. Sang biksu dengan baik hati memenuhinya, dengan pikiran hal itu akan memberikan mahasiswi itur rasa percaya diri. Semuanya gratis. Dia tidak memberi dana.
Kami tidak pernah melihat perempuan muda itu lagi, tetapi saya dengar dari teman-temannya, dia menyebarkan berita bahwa biksu-biksu di wihara kami payah, tidak bisa membaca paritta dengan benar. Ujiannya gagal.
Temannya juga menceritakan kepada saya bahwa dia gagal karena dia nyaris tidak belajar sama sekali. Dia adalah seorang cewek pesta. Dia berharap agar para biksu-lah yang mengurusi “hal-hal yang kurang penting”, bagian akademik dari kehidupan kampus.
Memang kelihatannya enak menyalahkan orang lain saat anda tertimpa hal-hal yang buruk, tetapi menyalahkan orang lain itu jarang menyelesaikan masalah.
Seseorang gatal-gatal di pantatnya
Dia menggaruk-garuk kepalanya
Gatalnya tidak akan hilang
Itulah cara Ajahn Chah menggambarkan orang yang menyalahkan orang lain, seperti halnya gatal-gatal di pantat dan menggaruk-garuk di kepala.
Tiga Pertanyaan Kaisar
Saya menerima undangan untuk menjadi pembicara utama pada sebuah seminar pendidikkan di Perth. Saya heran kenapa undangan itu ditujukan kepada saya. Ketika saya tiba di kantor penyelenggara seminar itu, seorang wanita dengan tanda pengenal yg menunjukkan bahwa dia adalah penyelenggara seminar itu, datang menghampiri dan mengucapkan selamat datang kepada saya, "Apakah Anda ingat saya? tanyannya.
Ini adalah salah satu jenis pertanyaan yg paling berbahaya.Saya memilih untuk terlihat bodoh dan menjawab , "Tidak".Dia tersenyum dan mengatakan bahwa tujuh tahun yg lalu saya pernah memberi ceramah pada sebuah sekolah di mana dia adalah kepala sekolahnya. Sebuah kisah yg saya ceritakan disekolahnya telah mengubah arahan kariernya. Dia mengundurkan diri sebagai kepala sekolah. Dia kemudian bekerja dengan dengan tak kenal lelah untuk merancang sebuah program bagi anak2 terlantar-anak2 jalanan, pelacur2 dibawah umur, pecandu2 narkoba-untuk memberikan harapan baru kepada mereka, sesuai dengan situasi mereka. Kisah yg saya tuturkan, katanya telah menjadi falsafah yg mendasari programnya.Kisah ini diadaptasi dari sebuah buku yg disusun oleh Leo Tolstoy, yg saya baca saat masih sebagai mahasisiwa.
Dahulu kala seorang kaisar sedang mencari sebuah falsafah hidup. Dia memerlukan kebijaksanaan sebagai pedoman dan untuk mengembangkan dirinya. Agama dan falsafah yg ada pada saat itu tidak memuaskannya. Jadi dia mencari falsafahnya sendiri melalui pengalaman hidup.
Akhirnya dia menyadari bahwa dia hanya memerlukan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar. Dengan tiga jawaban ini, dia akan mendapatkan semua pedoman kebijaksanaan yg diperlukannya. Tiga pertanyaan itu adalah :
1. Kapankah waktu yg paling penting?
2. Siapakah orang yg paling penting?
3. Apakah hal yg paling penting dilakukan?
Setelah melalui pencarian panjang, yg merupakan bagian terpanjang dalam cerita aslinya, akhirnya dia menemukan jawabannya saat mengunjungi seorang pertapa. Menurut anda, apa jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut? Tolong lihat lagi pertanyaaannya. Heninglah sejenak, sebelum anda melanjutkan membaca.
Kita semua tahu jawaban untuk pertanyaan pertama, tetapi kita terlalu sering melupakannya. Tentu saja , waktu yg paling penting adalah 'saat ini". Itulah satu2-anya waktu yg kita miliki. Jadi jika anda ingin memberitahukan ayah atau ibu anda bahwa betapa anda benar2 menyayangi mereka, betapa anda berterima kasih karena mereka adalah orang tua Anda, lakukanlah sekarang juga. Jangan tunda besok. Bukan lima menit lagi. Sekarang. Lima menit lagi seringkali sudah terlambat.
Jika anda perlu meminta maaf kepada pasangan anda, jangan banyak berpikir segala alasan. Lakukan saja sekarang juga. Kesempatan mungkin tak pernah datang kembali. Raihlah momennya.
Jawaban untuk peretanyaan kedua benar2 bermaknamendalam. Hanya sedikit orang yg mampu menjawab dengan benar. Ketika sebagai mahasiswa saya membacanya, makna yg terkandung di dalam jawaban itu telah memutar-mutarkan saya selam berhari2. Makna jawaban itu tak terbayangkan mendalamnya. Jawabanya, orang yg paling penting adalah orang yg sedang bersama anda.
Saya teringat ketika menanyakan pertanyaan-2 tsb kpd beberapa profesor dikampus dan tak sepenuhnya didengarkan. Tampak luarnya mereka seperti mendengarkan, tetapi dalam hati mungkin mereka ingin saya cepat2 pergi. Mereka memililki urusan yg lebih penting untuk dikerjakan. Itulah yg saya rasakan; kecut rasanya.
Saya juga teringat saat memberanikan diri mendekati seorang dosen terkenal dan mengajukan sebuah pertanyaan pribadi, dan saya menjadi terkejut dan begitu gembira saat dia memberi perhatian penuh kepada saya. Banyak profesor lain menunggu untuk berbicara dengannya, dan saat itu saya hanyalh seorang mahasisiwa gondrong, namun saya merasa dihargai. Sungguh beda.
Komunikasi, dan cinta, hanya dapat dibagi tatkala seseorang yg bersama anda, tak peduli siapapun mereka, adalah orang yg paling penting sedunia bagi anda, pada saat itu.
Mereka merasakannya. Mereka mengetahuinya. Mereka menanggapinya.
Pasangan suami isteri seringkali mengeluhkan bahwa pasangan mereka tak sungguh2 mendengarkan mereka . Apa yg mereka maksudkan adalah pasangan mereka tidak membuat diri mereka dihargai lagi. Para pengacara perceraian harus mencari pekerjaan lain jika setiap pasangan ingat akan jawaban dari pertanyaan kedua kaisar, dan mempraktekkannya. Jadi tak peduli seberapa lelah atau sibuknya kita, saat kita bersama pasangan kita, kita membuat mereka menjadi orang paling penting sedunia.
Dalam dunia bisnis, dimana seseorang yg bersama kita adalah pelanggan potensial, jika pada saat itu kita memperlakukannya sebagai orang yg paling penting sedunia bagi kita, penjualan kita akan meningkat, dan begitu pula penghasilan kita.
Dalam kisah aslinya, sang kaisar selamat dari usaha pembunuhan atas dirinya karena sungguh2 mendengarkan saran dari seorang anak kecil dalam perjalanan menemui sang petapa. Ketika seorang kaisar yg sangat berkuasa sedang bersama dengan seorang anak kecil, anak itu menjadi orang yg paling penting sedunia baginya, dan hal itu telah menyelamatkan hidupnya.
Setelah hari yg melelhkan, ketika seorang teman datang untuk mencurahkan masalhnya kepada saya, saya ingat akan jawaban untuk pertanyaan kedua kaisar, dan memberikan seluruh perhatian saya kepada mereka. Itu adalah tindakan tak mementingkan diri sendiri. Belas kasih memasok energi, dan itu bisa jalan.
Penyelenggara seminar pendidikkan itupun, dalam wawancara pertamanya dengan anak2 yg akan dientaskannya menerpakan prinsip "orang yg paling penting adalah org yg bersama anda" . bagi banyak dr anak2 tsb, itulah pertama kalinya mereka merasa dihargai, khususnya oleh orang dewasa. Lebih2, dengan menghargai mereka, dia benar2 mendengarkan, tak hanya menghakimi. Anak2 itu didengarkan. Program2- pun dirancang sesuai dgn kebutuhan dan situasi mereka. Anak2 itu merasa dihormati, dan programpun berhasil. Saya akhirnya tak lagi menjadi pembicara utama. Salah seorang dari anak2 itu berbicara setelah saya. Dia menuturkan cerita tetntang masalah2 keluarganya, narkoba, kejahatan, dan bagaimana program itu telah mengembalikan harapan kedalam hidupnya, dan bagaimana dia akan segera duduk dibangku kuliah. Mata saya tersa basah pada penghujung cerita. Itulah pembicara utamanya.
Saat terbanyak dalam hidup anda adalh saat Anda bersama diri sendiri. karenanya, orang yg paling penting, orang yg sedang bersama anda, adalah Anda. Ada banyak waktu untuk memebrikan penghargaan bagi diri Anda sendiri. Siapakah orang pertama yg Anda sadari saat bangun tidur pada pagi hari? Diri anda! Pernahkah Anda menyapa " Selamat pagi diriku. Hari yg cerah!'? Saya melakukannya. Siapakah orang yg terakhir yg anda sadari saat berangkat tidur? Diri Anda sendiri lagi! Saya mengucapkan selamat malam kepada diri saya. Saya memberikan penghargaan pada diri saya sendiri pada saat2 pribadi. Itu manjur lho.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga sang kaisar " apakah hal yg paling penting untuk dilakukan?" adalah peduli, " Peduli" berarti "berhati2" dan "mempedulikan". jawaban itu melukiskan bahwa hal yg terpenting adalah mengerti asal muasal diri kita. Sebelum menggambarkan apa yg dimaksud dengan peduli, melalui beberapa cerita, saya merangkum tiga pertanyaan kaisar berikut jawabannya:
1. Kapankah waktu yg paling penting? Saat ini
2. Siapakah orang yg paling penting? Orang yg sedang bersama kita
3. Apakah hal yg paling penting untuk dilakukan? Peduli
Sapi Yang Menangis
Saya tiba lebih awal untuk memimpin kelas meditasi di sebuah penjara dengan pengamanan minim. Seorang narapidana yang tak pernah saya jumpai sebelumnya, telah menunggu untuk berbicara dengan saya. Dia seorang manusia sebesar raksasa dengan rambut seperti semak belukar, berjanggut, dengan lengan-lengan penuh tato; bekas luka di wajahnya memberitahukan saya bahwa dia telah mengalami banyak perkelahian sadis. Dia terlihat begitu menakutkan sampai-sampai saya heran kenapa dia datang untuk belajar meditasi. Dia bukan jenis orang yang belajar meditasi. Tentu saja saya salah.
Dia berkata kepada saya bahwa belum lama ini terjadi sesuatu yang telah menghantui pikirannya. Saat dia mulai berbicara, saya menangkap kesan Ulster-nya yang kental. Untuk memberikan gambaran latar belakang, dia bercerita bahwa dia tumbuh besar di jalanan Belfast yang penuh kekerasan. Kasus penikamannya yang pertama terjadi pada saat dia baru berumur tujuh tahun. Seorang berandal di sekolah meminta uang bekal makan siangnya. Dia bilang tidak. Si anak yang lebih tua itu lalu menghunus sebilah pisau panjang dan untuk kedua kalinya meminta uang. Dia kira itu cuma gertak sambal saja. Sekali lagi dia bilang tidak. Si penggertak tak pernah meminta untuk ketiga kalinya, dia langsung menikamkan pisaunya ke lengan si anak tujuh tahun, mencabutnya dan langsung kabur.
Dia bercerita bahwa dalam keterkejutan dia berlari pulang dari halaman sekolah, dengan darah mengucur dari lengannya, menuju rumah ayahnya yang tak jauh dari situ. Ayahnya yang pengangguran melihat sekilas pada lukanya lalu membawanya ke dapur, tetapi bukan untuk membalut lukanya. Sang ayah membuka laci dapur, mengambil sebuah pisau dapur yang besar, memberikannya kepada putranya, dan menyuruhnya kembali ke sekolah untuk membalas menikam si penggertak. Begitulah dia dibesarkan. Jika dia tidak tumbuh demikian besar dan kuat, pastilah dia sudah lama tewas.
Penjara itu memiliki peternakan di dalamnya, di mana para napi dengan masa hukuman pendek atau napi yang tak lama akan dibebaskan, dapat bersiap menghadapi kehidupan bebas di antaranya dengan belajar mengenai perdagangan dalam industri peternakan. Lebih lanjut, penjara ini memasok produk-produk makanan murah ke seluruh penjara di Perth, sehingga dapat menekan biaya. Peternakan Australia mengembangbiakan sapi, domba, dan babi, tidak hanya gandum dan sayur mayur; begitu pula dengan penjara yang satu ini. Namun tidak seperti peternakan lainnya, penjara ini mempunyai rumah jagalnya sendiri; langsung di tempat.
Setiap napi wajib punya pekerjaan di penjara ini. Saya mendapat informasi dari beberapa penghuni penjara bahwa pekerjaan sampingan yang paling banyak dicari adalah pekerjaan di rumah jagal. Pekerjaan ini terutama populer di kalangan para pelanggar kekerasan. Dan pekerjaan yang paling disukai, bahkan Anda harus bertarung mendapatkannya, adalah pekerjaan sebagai penjagal itu sendiri. Si raksasa Irlandia yang menakutkan itu adalah seorang penjagal.
Dia menggambarkan keadaan rumah penjagalan itu kepada saya. Pintu berjeruji dari baja antikarat yang super-kuat, lebar pada pembukaannya, turun menyempit ke sebuah lorong tunggal di dalam gedung, yang lebarnya hanya pas untuk satu ekor hewan pada satu saat. Di ujung lorong sempit itu, di atas sebuah landasan, dia kanan berdiri sambil memegang sebuah senapan listrik. Sapi, babi, atau domba akan dipaksa masuk ke lorong antikarat tersebut dengan menggunakan anjing-anjing dan cambuk. Dia berkata bahwa hewan-hewan itu akan selalu menjerit-jerit, dengan caranya masing-masing, mencoba untuk melarikan diri. Hewan-hewan itu dapat mencium bau kematian, mendengar suara kematian, merasakan kehadiran maut. Saat seekor hewan telah berada di sepanjang landasan, dia akan menggeliat, meronta, dan mengeluh dengan suara keras. Meskipun senapan listriknya mampu mematikan seekor banteng besar dengan sekali sengatan tegangan tinggi, tetapi hewan-hewan itu tak pernah berdiam cukup lama sampai dia dapat membidik dengan baik. Jadi ada sekali tembakan untuk membuat hewan itu terdiam, dan tembakan berikutnya untuk mematikannya. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk mematikan. Hewan demi hewan. Hari demi hari. Orang Irlandia ini selalu merasa bergairah setiap kali mengalami kejadian itu, sampai beberapa hari belakangan ini, saat sesuatu yang sangat merisaukannya terjadi. Dia mulai menyumpah. Selanjutnya, dia terus mengulang, “Demi Tuhan, ini sungguhan!” Dia khawatir kalau saya tidak mempercayainya.
Pada hari itu mereka membutuhkan daging sapi untuk penjara-penjara di sekitar Perth. Mereka tengah menjagal sapi. Satu tembakan untuk mendiamkan, tembakan berikut untuk membunuh. Dia menjalani hari-hari pembantaian seperti biasanya, sampai seekor sapi datang mendekat, dia belum pernah melihat ini sebelumnya. Sapi yang ini tenang. Bahkan tak terdengar suara lenguhan. Kepalanya menunduk ketika dia berjalan dengan penuh sengaja, dengan sukarela, perlahan-lahan menuju tempat di ujung landasan. Dia tak menggeliat, meronta, atau mencoba kabur. Begitu berada di posisinya, sapi itu mengangkat kepalanya dan memandang penjagalnya, dalam diam mencekam.
Belum pernah si Irlandia ini melihat hal-hal semacam ini sebelumnya. Pikirannya menjadi mati-rasa oleh kebingungan. Dia tak mampu mengangkat senapannya; pun tak mampu melepas tatapan matanya dari mata sapi itu. Sapi tersebut melihat tepat ke dalam dirinya. Dia tergelincir ke dalam ruang tanpa waktu. Dia tak dapat memberitahu saya berapa lama kejadian itu berlangsung, tetapi tatkala sapi itu membekukannya melalui kontak mata, dia memperhatikan sesuatu yang bahkan lebih menohoknya. Sapi memiliki mata yang sangat besar. Dia melihat pada mata kiri sapi itu, di atas kelopak bawahnya, air mulai merambang. Gumpalan air mata itu makin bertambah terus, sampai kelopak matanya tak dapat menampungnya lagi, air itu mulai menetes jatuh menyusuri pipinya, membentuk sungai air mata yang berkilauan tertimpa cahaya. Pintu relung hatinya mulai terbuka perlahan-lahan. Dalam ketidakpercayaan, dia melihat mata kanan sapi itu, di atas kelopak bawahnya, terkumpul lebih banyak air mata, yang terus berkumpul, melampaui daya tampung kelopaknya. Sebuah sungai air mata kedua menyusuri wajah sapi itu. Dan si besar Irlandia itu pun terkulai. Sapi itu menangis.
Dia bercerita kepada saya bahwa dia membuang senapannya, bersumpah bahwa petugas penjara boleh melakukan apa saja atas dirinya sejauh batas kemampuannya, ASALKAN SAPI ITU JANGAN DIBUNUH!
Dia mengakhiri kisahnya dengan memberi tahu saya bahwa dia sekarang menjadi seorang vegetarian (sayuranis).
Ini kisah nyata. Para penghuni lain di penjara itu mengkonfirmasikan kebenarannya kepada saya. Seekor sapi yang menangis telah mengajarkan seorang pria yang paling kejam arti kepedulian.
Gadis Cilik dan Kawannya
Saya menceritakan kisah tentang sapi yang menangis kepada sekelompok warga usia lanjut di sebuah kota kecil di barat daya Australia Barat. Salah satu dari para manula itu menuturkan kisah yang serupa kepada saya, yang terjadi pada masa mudanya, pada awal abad yang lalu.
Putri temannya berusia sekitar 4 atau 5 tahun. Suatu pagi, dia meminta sepiring susu kepada ibunya. Ibunya yang sibuk merasa senang karena putrinya mau minum susu, jadi dia tak banyak pikir lagi kenapa putrinya meminta susunya dituangkan di piring alih-alih ke dalam gelas.
Pada hari berikutnya, pada sekitar waktu yang sama, si gadis cilik meminta sepiring susu lagi. Si ibu dengan senang hati memenuhinya. Anak-anak memang suka bermain-main dengan makanannya, si ibu sudah senang karena putrinya mau meminum sesuatu yang menyehatkan.
Hal yang sama terjadi lagi, pada waktu yang sama, selama beberapa hari berikutnya. Sang ibu tidak pernah benar-benar melihat putrinya meminum sepiring susu yang dia minta, jadi sang ibu mulai heran apa yang sebenarnya yang dilakukan oleh putrinya. Dia memutuskan untuk diam-diam membuntuti si kecil.
Pada masa itu, hampir semua rumah didirkan di atas tunggul-tunggul penopang, seperti rumah panggung. Si gadis cilik pergi ke luar rumah, berlutut di samping rumah, meletakkan piring susu yang dibawanya, dan dengan lembut memanggil-manggil ke arah kolong rumah yang gelap. Dalam sekejap, muncullah seekor ular macan hitam yang besar. Si Ular mulai meminum susunya, sementara si gadis cilik tersenyum menyaksikan dari jarak hanya beberapa inci. Sang ibu tidak dapat berbuat apa-apa, jarak putrinya terlalu dekat dengan si ular. Dalam ketercekaman dia terus mengawasi hingga si ular menghabiskan susunya dan kembali masuk ke kolong rumah. Sore harinya. sang ibu menceritakan peristiwa itu pada suaminya yang baru pulang kerja. Suaminya menyuruh sang ibu untuk tetap memberikan sepiring susu kepada putrinya besok. Sang suami akan membereskan sesuatu.
Pada waktu yang smaa pada hari berikutnya, si gadis cilik meminta sepiring susu kepada ibunya. Dia lalu membawa susu itu keluar rumah seperti biasanya, meletakkannya di sisi rumah, dan memanggil kawannya. Segera setelah si ular besar muncul dari kegelapan, terdengar ledakan senjata api dari dekat situ. Kekuatan lontaran peluru dari senjata itu melempar si ular menubruk slaah satu tunggul rumah, membelah kepalanya di depan mata si gadis cilik. Sambil meletakkan senjatanya, sang ayah muncul dari salah satu semak-semak di dekat situ.
Sejak saat itu, si gadis cilik mogok makan. Dalam kata-kata manula yang bercerita kepada saya, "Dia mulai rewel." Tak ada yang bisa dilakukan oleh orang tuanya untuk membuat si gadis cilik mau makan. Dia lalu dibawa ke rumah sakit setempat, tetapi pihak rumah sakit pun tak dapat menolongnya. Si Gadis cilik akhirnya meninggal dunia.
Ketika sang ayah menembak mati kawan putrinya di depan matanya, dia mungkin sama saja dengan menembak mati putrinya sendiri.
Saya bertanya kepada manula itu, apakah menurutnya si ular macan itu akan pernah membahayakan nyawa si gadis cilik?
"Tidak benar-benar membahayakan" jawab si orang tua.
Saya setuju, tetapi tidak dengan kata-kata yang sama.
Ular, Walikota dan Biksu
Saya melewatkan lebih dari delapan tahun waktu saya sebagai seorang biksu di Thailand. Dalam sebagian besar kurun waktu itu, saya berada di wihara hutan, hidup diantara ular. Saat saya datang pada tahun 1974, Saya diberi tahu bahwa di Thaiand terdapat 100 Jenis ular : 99 diantaranya sangat beracun- patukannya dapat membunuh anda- dan 1 yang lainnya akan membelit anda hingga tewas!
Selama masa itu, hampir setiap hari saya melihat ular. Pernah sekali, saya menginjak seekor ular sepanjang 6 kaki di dalam pondok saya. Kami berdua melompat kaget, untunglah ke arah yang berlawanan. Pada suatu fajar saya bahkan pernah mengencingi seekor ular, mengiranya sebuah batang kayu. Tentu saja saya meminta maaf kepada ular itu ( Barangkali dia berpikir sedang diperciki air suci ). Dan Suatu kali saat saya sedang mendaraskan parrita pada sebuah upacara, seekor ular perlahan merayap di punggung salah seorang biksu. Baru ketika si ular sampai di bahunya, sang biksu sadar dan membalikan tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi ; dan pada saat yang sama si ular pun berbalik untuk menatap sang biksu. Saya menghentikan pembacaan parrita dan selama detik-detik yang menggelikan itu sang biksu dan ular beradu pandang. Sang biksu dengan hati-hati mengibaskan jubahnya, si ular pun mulai pergi, dan kamipun melanjutkan pengucaran parrita.
Sebagai biksu hutan kami dilatih untuk mengembangkan cinta kasih kepada semua makhluk, khususnya ular. Kami peduli terhadap kesejahteraan mereka. Itulah sebabnya, pada waktu itu, tak seorang biksu pun pernah dipatuk ular.
Saya pernah melihat dua ekor ular besar saat masih di Thailand. Yang pertama adalah ular piton sepanjang tujuh meter dengan tubuh setebal paha saya. Saat Anda melihat sesuatu sebesar itu, Anda akan terpaku tak percaya; tetapi yang ini nyata. Saya bertemu lagi dengannya beberapa kemudian, dan banyak biksu lain di wihara juga melihatnya. Saya pernah dikabari bahwa ular itu sekarang sudah mati. Ular besar yang lainnya adalah ular Kobra Raja. Kejadian itu adalah salah satu dari tiga pengalaman hidup di hutan hujan Thailand di mana saya merasakan atmosfer yang mencekam, bulu kuduk saya berdiri, dan Indra saya tiba-tiba menjadi peka tanpa sebab yang jelas. Ketika saya membelok di sebuah sudut jalur hutan, saya melihat seekor ular hitam besar melintangi jalan 1,5 meter. Saya tidak dapat melihat kepala atau ekornya : Keduanya tersembunyi di balik semak. Dia bergerak. Dengan mengikuti gerakannya, saya menghitung panjang ular itu. Perlu tujuh kali lebar jalan hutan sampai saya melihat ekornya. Jadi panjang ular itu lebih dari 10 meter! Saya telah melihatnya. Saya memberi tahu penduduk setempat. Mereka bilang itu adalah Kobra-raja- yang sangat besar!
Seorang biksu Thai murid Ajahn Chah, sekarang telah menjadi guru terkenal di tempatnya, tengah bermeditasi di hutan Thailand bersama sejumlah biksu. Suara makhluk yang bergerak mendekat membuat mereka membuka mata. Mereka melihat seekor kobra-raja mendapat julukan sebagai "ular satu langkah", karena setelah dia menyerang Anda, segala yang masih Anda miliki hanya satu langkah saja, dan setelah itu: kematian! Si kobra-raja menghampiri sang biksu senior, menegakkan kepalanya hingga setinggi kepala sang biksu, mengembangkan tudungnya, dan mulai mendesis, "Hsss! Hsss!"
Apa yang akan Anda lakukan? Percuma saja lari. Ular besar itu bisa bergerak lebih cepat dari Anda.
Apa yang dilakukan oleh biksu Thai itu adalah tersenyum, perlahan-lahan mengangkat tangan kanannya, dan dengan lembut menepuk-nepuk bagian atas kepala si ular, seraya berkata dalam bahasa Thai,"Terima kasih telah mengunjungi saya."Semua biksu menyaksikan peristiwa itu.
Dia adalah seorang biksu luar biasa dengan kebajikan yang istimewa. Si kobra-raja berhenti mendesis, menutup tudungnya, merendahkan kepalanya ke tanah, dan pergi menghampiri salah seorang biksu lainnya. "Hsss! Hsss!"
Belakangan biksu itu bercerita bahwa pada saat itu tidak ada jalan baginya untuk mencoba menepuk kepala si kobra-raja! Dia terpaku. Dia sangat ketakutan. Diam-diam dia berharap supaya si kobra-raja segera pergi dan mengunjungi biksu lainnya.
Biksu Thai penepuk kepala kobra-raja itu suatu kali sempat tinggal beberapa bulan di wihara kami di Australia. Kami tengah membangun aula utama dan punya beberapa rencana proyek pembangunan lain yang masih menanti persetujuan dari kantor kotapraja setempat. Walikota dewan kotapraja setempat datang mengunjungi kami untuk melihat apa yang sedang kami kerjakan.
Sang walikota dapat dipastikan adalah orang yang paling berpengaruh di wilayah itu. Dia tumbuh besar di wilayah itu dan menjadi petani yang sukses. Dia juga tetangga kami. Dia datang mengenakan setelan yang bagus, yang sesuai dengan kedudukannya sebagai walikota. Kancing jasnya tak dipasang, memperlihatkan sebuah perut Australia yang sangat buncit, yang terlihat begitu sesak dibungkus oleh kemeja berkancing dan menonjol keluar dari atap celana panjang terbaiknya. Sang biksu Tha, yang tidak bisa berbahasa Inggris, melihat perut gendut sang walikota. Sebelum saya sempat mencegahnya, dia sudah menghampiri sang walikota dan mulai menepuk-nepuk perutnya. "Oh tidak," kata saya dalam hati."Anda tidak boleh menepuk-nepuk perut Pak Walikota seperti itu. Sekarang rencana pembangunan kita tidak akan pernah disetujui. Habislah kita! Tamatlah riwayat wihara kita."
Makin sang biksu Thai, dengan senyum lebar yang lemah lembut, menepuk-nepuk dan menggosok-gosok perut gendut sang walikota, makin tersenyum dan terkikiklah sang walikota. Sebentar saja, sang walikota berpangkat itu terkekeh-kekeh seperti bayi. Jelas-jelas dia menyukai saat-saat perutnya ditepuk dan digosok oleh biksu Thai yang luar biasa itu.
Semua rencana pembangunan kami disetujui. Dan sang walikota menjadi salah satu teman terbaik dan penolong kami.
Bagian paling hakiki dari kepedulian adalah dari mana kita memulainya. Biksu Thai itu memulai dari hati yang begitu murni yang dapat menepuk-nepuk kepala kobra-raja dan perut buncit walikota, dan mereka berdua menyukainya. Saya tidak akan menyarankan cara ini, kecuali sampai Anda mampu bersikap peduli seperti suciwan.
Sang Ular Jahat
Cerita terakhir mengenai ular dalam buku ini merupakan sebuah cerita Jataka Kuno. Cerita ini menunjukkan, untuk menjadi “baik” dan “peduli sesama”, tidak selalu berarti kita harus menjadi lembek, lemah dan pasif.
Seekor ulat jahat hidup disebuah hutan dipinggir sebuah desa. Dia kejam, licik dan jahat. Dia akan menggigit orang untuk senang-senang--demi kesenangannya belaka. Ketika si ular jahat sudah berusia lanjut (menurut perhitungan tahun ular tentunya), dia mulai merenungkan apa yang akan terjadi pada para ular ketika mereka mati. Selama hidupnya, dia telah sering melecehkan agama-agama, dan ular-ular yang menurutnya naif dan bodoh, percaya saja pada omong kosong seperti itu. Sekarang dia mulai tertarik pada agama.
Tidak jauh dari liangnya, dipuncak bukit, tinggal seekor ular suci. Semua orang suci bertempat tinggal dipuncak bukit atau gunung, demikian juga ular suci. Ini sudah tradisi. Tidak pernah kita dengar orang suci tinggal di rawa-rawa.
Suatu hari, si ular jahat memutuskan untuk mengunjungi sang ular suci. Ia memakai jas hujannya, kacamata hitam, dan topi supaya teman-teman tidak mengenalinya. Kemudian dia mulai merayap keatas bukitmenuju wihara sang ular suci. Ia tiba ketika ceramah sedang berlangsung. Sang ular suci duduk diatas sebuah batu dengan ratusan ular mendengarkan dengan penuh perhatian. Si ular jahat merayap dipinggir kerumunan, dekat dengan jalan keluar, dan mulai ikut mendengarkan ceramah.
Makin didengarkan, makin terasa masuk akal. Dia mulai merasa yakin, lalu terinspirasi, dan akhirnya terubahkan. Seusai ceramah, dia menghadap sang ular suci, dengan air mata bercucuran, dia mengakui kejahatannya selama ini, dan berjanji, mulai sekarang dia akan menjadi ular yang sama sekali berbeda. Dia bersumpah di depan sang ular suci untuk tidak lagi menggigit manusia. Dia akan menjadi baik. Dia akan mulai menunjukkan kepedulian. Dia akan mulai mengajarkan kepada ular-ular lain bagaimana menjadi baik. Dia bahkan memasukkan uang ke kotak dana di dekat jalan keluar (saat semua ular melihatnya, tentu dong).
Walaupun sesama ular dapat bercakap-cakap, itu terdengar seperti desis yang sama bagi telinga manusia. Si ular jahat, eh, mantan ular jahat, tidak bisa mengatakan kepada orang-orang bahwa dia sekarang pecinta damai. Orang-orang desa masih menghindarinya, walaupun mereka mulai bertanya-tanya atas lambang Cinta Damai Internasional yang dikenakannya dengan jelas di dadanya. Suatu hari seorang penghuni desa asyik mendengarkan walkmannya, dia berjingkrak-jingkrak tepat disebelah si ular, dan si ular sama sekali tidak menyerang, dia hanya tersenyum seperti halnya pemuka agama.
Semenjak itu, orang-orang desa menyadari bahwa si ular jahat tidak lagi berbahaya. Mereka berjalan melewati si ular sewaktu dia duduk bersila dalam meditasinya di luar liangnya. Lalu beberapa anak nakal dari desa mulai mengganggunya.
"Hei, tukang rayap!" mereka mengejeknya dari jarak yang aman.
"Tunjukkan taringmu, jika kamu memang punya, hai cacing kegedean. Dasar dodol, tempe, bikin malu spesiesmu saja!"
Dia tidak suka dipanggil rayap, walaupun ada benarnya juga, ataupun cacing kegedean, tetapi bagaimana dia bisa membela diri? Dia sudah bersumpah untuk tidak akan menggigit.
Menyaksikan si ular sekarang begitu pasif, anak-anak itu menjadi makin berani dan mulai melemparinya dengan batu dan gumpalan tanah. Mereka tertawa kalau ada yang kena. Si ular mengetahui bahwa dia bisa saja merayap cukup cepat untuk menggigit semua anak-anak itu, sebelum Anda usai mengucapkan "World Wildlife Fund". Namun sumpahnya mencegah dia melakukan hal itu. Lalu anak-anak itu makin mendekat dan mulai memukulinya dengan tongkat. Si ular menerima pukulan yang menyakitkan itu, tetapi sekarang dia sadar, dalam dunia nyata, kita harus tega menjadi jahat untuk melindungi diri. Ternyata agama hanyalah omong kosong. Jadi dia merayap dengan menahan rasa sakit keatas bukit untuk mengunjungi sang ular palsu dan akan melepaskan sumpahnya.
Sang ular suci melihatnya datang, dengan tampang lusuh dan lecet-lecet, dan bertanya,"Kenapa kamu?"
"Ini semua salahmu!" si ular jahat mengeluh dengan tampang masam.
"Apa maksudmu 'ini semua salahku'?" protes sang ular suci.
"Kamu mengajarkanku untuk tidak menggigit. Sekarang lihat apa yang terjadi pada diriku! Agama mungkin cocok di wihara, tetapi dalam kehidupan nyata...."
"Oh, kamu ular bodoh!" sang ular suci menyela. "Oh, ular dungu! Oh, ular bego! Memang benar aku menyuruhmu berhenti menggigit, tetapi aku tidak pernah menyuruhmu berhenti mendesis kan?"
Terkadang, dalam kehidupan, orang suci sekalipun harus "mendesis" untuk menjadi baik, tetapi tidak ada yang perlu menggigit.
Kebijaksanaan dan Keheningan Batin
Sayap-sayap Belas Kasih
Jika belas kasih dibayangkan sebagai seekor merpati yang anggun, kebijaksanaan adalah bagaikan sayap-sayapnya. Belas kasih tanpa kebijaksanaan tak akan dapat tinggal landas.
Suatu hari, seorang anggota pramuka ingin menunjukkan perbuatan baiknya pada hari itu dengan membantu menyeberangkan seorang nenek di jalanan yang ramai. Masalahnya, si nenek sebenarnya tak ingin menyeberang, tetapi dia merasa sungkan memberitahukan hal itu kepada si anak pramuka.
Cerita tersebut, sayangnya, menggambarkan ada terlalu banyak hal yang terjadi di dunia atas nama belas kasih. Kita kelewat sering mengira bahwa kita tahu apa yang dibutuhkan oleh orang lain.
Seorang pemuda, yang terlahir tuli, tengah mengunjungi dokter untuk pemeriksaan rutin dengan ditemani oleh kedua orang tuanya. Dengan bersemangat sang dokter memberitahu orang tua si pemuda mengenai suatu prosedur pengobatan terbaru yang baru-baru ini dibacanya dari sebuah jurnal kedokteran. Sepuluh persen dari orang-orang yang terlahir tuli dapat dipulihkan kembali pendengarannya melalui sebuah operasi sederhana dan tidak mahal. Sang dokter bertanya kepada orang tua si pemuda apakah mereka ingin mencobanya. Orang tua si pemuda dengan segera mengiyakan.
Pemuda itu adalah salah satu dari sepuluh persen orang-orang tuli yang dapat dipulihkan kembali pendengarannya, namun dia malah menjadi sangat marah dan jengkel kepada kedua orang tua dan dokternya. Dia tidak mengetahui apa yang mereka rembukkan saat pemeriksaan rutinnya. Tak seorang pun yang menanyakan kepadanya apakah dia ingin bisa mendengar. Sekarang dia mengeluh karena dia harus menahan siksaan suara-suara ribut yang terus menerus, yang mana hanya sedikit saja yang dia pahami. Sebenarnya dia memang tidak pernah ingin dipulihkan pendengarannya.
Kedua orang tuanya, dokter, dan saya sendiri, sebelum membaca cerita ini, beranggapan bahwa setiap orang pasti ingin dapat mendengar. Kita pikir kita selalu tahu apa yang terbaik. Belas kasih yang mengandung asumsi seperti itu sungguh tolol dan berbahaya. Itu menyebabkan begitu banyak penderitaan di dunia.
Perhatian untuk Seorang Anak
Masalah yang berkenaan dengan orang tua adalah mereka selalu mengira bahwa mereka tahu apa yang terbaik untuk anaknya. Sering kali mereka salah. Kadang mereka benar juga, seperti yang ditulis oleh penyair Tiongkok Su Tung P'o (1036-1101 M), hampir seribu tahun yang lalu :
Pada Kelahiran Putraku
Para keluarga, ketika seorang anak lahir,
Inginkannya jadi cerdas.
Aku, melalui kecerdasanku,
Telah meruntuhkan seluruh hidupku,
Maka ia kan bermahkotakan hidup sentosa,
Dengan menjadi seorang menteri kabinet.
Apakah Kebijaksanaan Itu?
Ketika masih sebagai mahasiswa, saya akan menghabiskan sebagian besar waktu liburan musim panas dengan berjalan-jalan dan berkemah di daerah dataran tinggi Skotlandia. Saya menyukai keheningan, keindahan, dan kedamaian pegunungan di Skotlandia.
Pada suatu senja yang tak terlupakan, saya berjalan lenggang kangkung di tepi samudra melalui jalan setapak yang melintas sepanjang tanjung menuju teluk kecil jauh ke arah utara. Sinar mentari yang terang dan hangat laksana sebuah lampu sorot yang menerangi keindahan alam nan tiada taranya di sekitar saya. Di tanah lapang tak bertuan terhampar luas rerumputan yang bak beludru hijau dalam segarnya musim semi; jurang-jurang terpahat laksana katedral yang menjulang tinggi di atas lautan yang bergelora; samudra tampak sebiru langit senja, bagai ditaburi oleh cahaya peri yang berkelap-kelip tertimpa sinar mentari, dan pulau karang kecil berwarna cokelat kehijauan tampak di kejauhan di tengah ombak di sepanjang garis tipis kaki langit. Bahkan, saya yakin, para camar dan burun laut pun meluncur dan terbang berputar-putar dalam kesukariaan yang melimpah. Alam mempertontonkan miliknya yang paling indah, di salah satu bagian paling permai dari dunia kita, di suatu keagungan hari yang cerah.
Saya terus melompat-lompat sekalipun terbebani oleh ransel yang berat. Saya merasa gembira, tanpa memikirkan hal-hal lainnya, di puncak inspirasi alam. Di depan saya, saya melihat sebuah mobil kecil diparkir di pinggir jalan di dekat jurang. Tiba-tiba, saya membayangkan sopir mobil itu terliputi oleh keindahan alam di sini hingga dia memutuskan berhenti sejenak untuk mereguk santapan surgawinya. Ketika saya telah berada cukup dekat dengan mobil itu untuk melihat melalui jendela belakangnya, saya menjadi kaget dan kecewa. Penumpang tunggal kenderaan itu, seorang lelaki paruh baya, sedang membaca koran.
Koran itu begitu besar, hingga menghalangi seluruh pandangan ke sekitarnya. Bukannya melihat lautan dan tebing dan pulau dan padang rumput, semua yang dia lihat hanyalah perang dan politik dan skandal dan olahraga. Koran itu lebar, juga sangat tipis. Hanya beberapa milimeter di balik kertas koran yang hitam buram itu terbentang nyanyian pelangi yang mewarnai suka cita alam. Saya berpikir untuk mengambil sebuah gunting dari ransel saya dan membuat sebuah lubang kecil dari sisi luar artikel ekonomi yang sedang dibacanya. Akan tetapi lelaki itu adalah orang Skot bertubuh besar dan berbulu, sedangkan saya hanyalah mahasiswa kurus kering kurang makan. Saya membiarkannya membaca tentang dunia, sementara saya menari di dalamnya.
Pikiran kita banyak terisi oleh tetek-bengek yang memenuhi lembaran-lembaran koran: perang antarhubungan, politik dalam keluarga dan di tempat kerja, skandal-skandal pribadi yang begitu menyebalkan, dan gerak badan sebagai kesenangan jasmaniah kita. Jika kita tidak tahu bagaimana meletakkan "koran dalam pikiran kita" itu dari waktu ke waktu, jika kita terobsesi dengannya, jika hanya itulah yang kita ketahui-maka kita tak akan pernah mengalami sukacita sempurna dan kedamaian alam dalam bentuk terbaiknya. Kita tak kan pernah tau apa itu kearifan.
Makan Dengan Bijak
Beberapa teman saya senang menikmati makan malam di restoran. Pada malam-malam tertentu mereka pergi ke restoran yang sangat mahal, di mana mereka siap mengeluarkan banyak uang untuk menikmati makanan mewah. Akan tetapi, mereka akhirnya menyia-nyiakan pengalaman itu dengan mengabaikan cita rasa makanannya dan lebih berkonsentrasi pada percakapan dengan rekan mereka.
Siapa yang akan mengobrol selama berlangsungnya konser persembahan sebuah orkestra hebat? Mengobrol akan menghalangi Anda menikmati musik yang indah, dan memungkinkan Anda untuk ditendang keluar. Bahkan ketika sedang menonton film yang bagus pun, kita tidak suka diusik. Jadi, mengapa orang-orang malah ngobrol ketika mereka pergi makan malam?
Jika restoran biasa-biasa saja, bisa jadi ide yang bagus untuk memulai percakapan guna mengalihkan pikiran kita dari makanan yang hambar. Namun bila makanannya benar-benar sedap, dan sangat mahal, maka katakanlah kepada rekan Anda untuk diam supaya Anda memperoleh seluruh manfaat dari harga yang Anda bayarkan; itu adalah cara makan yang bijak.
Bahkan ketika kita makan dalam diam pun, kita sering gagal mengecap momennya. Malahan, sementara kita mengunyah sepotong makanan, perhatian kita teralihkan ketika kita melihat piring kita untuk memilih makanan berikut dengan garpu kita. Kadang bahkan ada dua atau tiga garpu penuh-sepotong ada di dalam mulut, sepotong menunggu giliran, dan yang lainnya sudah menunggu di tumpukan di atas piring, sementara pikiran kita membayangkan sepotong makanan sesudah itu semua.
Dalam rangka merangsang cita rasa terhadapa makanan Anda, dan untuk mengetahui hidup sepenuh-penuhnya, seyogianya kita sering-sering mengecap satu momen dalam satu waktu dalam keheningan. Dengan demikian barulah kita bisa memperoleh manfaat penuh dari uang yang telah kita bayarkan pada sebuah restoran bintang lima bernama kehidupan.
Memecahkan Masalah
Sebagai seorang biksu, saya sering diundang untuk berbicara dalam siaran langsung di radio. Semestinya saya harus lebih berhati-hati saat menerima undangan dari sebuah stasiun radio baru-baru ini. Hanya setelah memasuki studio, barulah saya diberitahukan bahwa acara pada malam itu adalah "tema orang dewasa", dan saya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung, bersama dengan seorang pakar seksologi ternama.
Sesudah kami mengatasi masalah penyebutan nama saya di radio (kami sepakat untuk memanggil saya sebagai "Mister Monk"), saya melakukan pekerjaan itu dengan sangat baik. Sebagai biksu selibat, saya tidak banyak tahu tentang seluk-beluk hubungan intim, namun masalah-masalah mendasar yang ditanyakan oleh para penelepon bisa dengan mudah ditangkap. Segera saja semua telepon yang masuk diarahkan kepada saya, dan sayalah yang akhirnya melakukan hampir semua pekerjaan selama 2 jam acara itu. Namun si pakar seksologilah yang menerima cek tebal. Yang saya terima, sebagai biksu yang tak boleh menerima uang, hanyalah sebatang cokelat. Sekali lagi, kebijaksanaan Buddhis memecahkan masalah yang mendasar. Anda tidak dapat menyantap selembar cek, tetapi sebatang cokelat itu enak. Masalah selesai, mmm!
Dalam acara diskusi lain di radio, seorang penelepon mengajukan pertanyaan berikut kepada saya, " Saya sudah menikah, saya berselingkuh dengan perempuan lain, dan istri saya tidak tahu. Apakah ini tidak apa-apa?"
Bagaimana Anda akan menjawabnya?
"Jika itu tidak apa-apa,"jawab saya,"Anda tidak akan menelepon untuk menanyakan hal itu."
Banyak orang yang menanyakan pertanyaan semacam itu, sebenarnya tahu bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah, tetapi dengan harapan beberapa "pakar" akan menyakinkan mereka bahwa perbuatan itu dapat dibenarkan. Jauh dalam lubuk hati, kebanyakan orang tahu apa yang salah dan apa yang benar-hanya saja, sebagian orang tidak mendengarkannya dengan seksama.
Mendengarkan dengan Tidak Bijaksana
Pada suatu sore, telepon berdering di wihara kami.
“Ajahn Brahm ada?” tanya si penelepon dengan tidak sabaran.
“Maaf,” jawab si perempuan Asia yang santun, yang kebetulan menerima telepon itu. “Beliau sedang beristirahat di kamarnya. Silakan telepon lagi setelah tiga puluh menit.”
“Hhhh! Dia akan mati dalam tiga puluh menit,” geram si penelepon lalu dia menutup teleponnya.
Dua puluh menit kemudian, ketika saya keluar dari kamar, si perempuan tua Asia ini duduk terpaku dengan wajah pucat pasi dan gemetaran. Yang lainnya berkerumun di sekitarnya, mencoba mencari tahu masalahnya, tetapi ia terlalu kaget untuk berbicara. Setelah saya membujuknya, dia bergumam, “Seseorang akan datang membunuh Anda!”
Saya tengah memberikan bimbingan kepada seorang pemuda Australia sejak dia dinyatakan positif mengidap HIV. Saya mengajarkan dia meditasi dan kiat-kiat bijaksana lainnya untuk menolongnya menghadapi penyakitnya. Sekarang dia sudah mendekati ajal. Kemarin saya baru saja mengunjunginya dan menunggu telepon dari pasangannya, kapan saja. Segera saja saya bisa mengira apa maksud telepon tersebut. Bukan saya yang akan mati dalam tiga puluh menit, melainkan si pemuda yang kena AIDS itu.
Saya bergegas ke rumahnya dan menemuinya sebelum dia meninggal. Untungnya, saya juga sempat menerangkan kesalahpahaman tersebut kepada si perempuan Asia sebelum dia ikut-ikutan meninggal, karena kaget!
Seberapa sering apa yang dimaksudkan dan apa yang kita dengar tidaklah sama?
APA YANG BUKAN KEBIJAKSANAAN
Beberapa tahun yang lalu sejumlah skandal yang melibatkan biksu-biksu Thai diberitakan oleh media internasional. Biksu terikat oleh peraturannya untuk hidup selibat secara ketat. Dalam tradisi saya, agar tidak dicurigai macam-macam dalam kaitannya dengan hidup selibat, para biksu tidak diperbolehkan melakukan segala kontak fisik dengan perempuan, begitu pula para biarawati tidak diperbolehkan melakukan kontak fisik dengan pria. Dalam skandal-skandal yang diberitakan itu, beberapa biksu tidak menaati peraturan tersebut. Mereka adalah biksu-biksu yang nakal. Media tahu bahwa pembacanya hanya tertarik pada berita tentang biksu-biksu yang nakal, bukan tentang biksu yang membosankan, yang taat pada peraturan.
Di sebuah acara, saya berpikir itulah saat yang tepat bagi saya untuk membuat pengakuan. Pada suatu Jumat petang di wihara kami di Perth, di hadapan sekitar tiga ratus hadirin, beberapa diantaranya adalah pendukung setia, saya mengumpulkan keberanian dan menceritakan sebuah kebenaran kepada mereka.
“Saya akan membuat sebuah pengakuan,” kata saya. “Ini tidak mudah. Beberapa tahun yang lalu…,” saya meragu.
“Beberapa tahun yang lalu,” saya berusaha meneruskan, “saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya….” Saya terhenti lagi.
“Saya menikmati saat-saat terindah dalam hidup saya… di pelukan istri seorang pria lain.” Saya mengatakannya. Saya mengaku.
“Kami berpelukan. Kami bersentuhan. Kami berciuman.” Saya menyelesaikannya. Lalu saya menunduk dan menatap karpet.
Saya bisa mendengar seruan-seruan keterkejutan tiba-tiba terdengar di mana-mana. Tangan-tangan menutupi mulut yang ternganga. Saya mendengar beberapa orang berbisik, “Oh tidak! Ini bukan Ajahn Brahm!” Saya melihat banyak pendukung-pendukung lama berjalan menuju pintu, tak akan kembali lagi. Bahkan umat Buddha awam pun tidak berhubungan dengan istri pria lain; itu perbuatan asusila. Saya mengangkat kepala saya, menatap pengunjung dengan percaya diri, dan tersenyum.
“Perempuan itu,” jelas saya, sebelum ada yang sempat keluar dari pintu. “Perempuan itu adalah ibu saya. Sewaktu saya masih bayi.” Para hadirin meledak dalam tawa dan merasa lega.
“Memang benar kan?!” teriak saya melalui mikrofon di antara suara riuh mereka. “Dia adalah istri pria lain, ayah saya. Kami berpelukan, kami bersentuhan, dan kami berciuman. Itu adalah salah satu saat-saat terindah dalam hidup saya.”
Ketika para pengunjung telah menyapu air mata mereka dan berhenti tergelak, saya menunjukkan bahwa hampir semuanya telah menghakimi saya, dengan keliru. Walaupun mereka telah mendengar dari mulut saya sendiri, dan ARTINYA TAMPAK BEGITU JELAS, mereka bisa sampai pada kesimpulan yang keliru. Untungnya, atau lebih karena disengaja, saya bisa menunjukkan kekeliruan mereka. "Berapa kali,” saya bertanya kepada mereka, “kita tidak begitu beruntung, dan meloncat pada kesimpulan-kesimpulan, pada bukti-bukti yang tampak begitu nyata, namun ternyata keliru, sama sekali keliru?”
Menghakimi mutlak - ini benar, yang lain salah - sama sekali bukanlah kebijaksanaan.
Bahayanya Membuka Mulut
Para politikus kita terkenal akan keterbukaannya, khususnya mengenai wilayah antara hidung dan dagu mereka. Seperti telah menjadi tradisi berabad-abad, sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh pepatah dari cerita Jataka berikut ini
Dahulu kala, seorang raja telah dibuat jengkel oleh salah seorang menterinya . Kapanpun diadakan rapat untuk membahas sesuatu dalam sidang, menteri itu akan menyela dan mulai berpidato yang tampaknya akan berlangsung selamanya. Tak seorang pun, bahkan sang raja sendiri, berkesempatan untuk mengatakan sesuatu. Lebih-lebih, apa yang dikatakan oleh si menteri jauh tidak menarik ketimbang isi swebutir bola pingpong.
Setelah suatu rapat lain yang juga tidak menghasilkan keputusan apa pun, sang raja mencari kedamaian di tamannya, menjauhi kefrustrasian politik. Dibagian taman yang terbuka untuk umum, sang raja menyaksikan sekelompok anak-anak yang riang gembira mengerumuni seorang lelaki paruh baya, seorang lelaki cacat yang duduk di tanah. Anak-anak itu memberikan si lelaki beberapa keping uang logam, menunjuk ke sebuah pohon kecil dan meminta ayam kepadanya. Lelaki itu lalu mengeluarkan sebuah tas penuh kerikil dan sebuah tulupan (sumpitan), lalu mulai menembakkan kerikil ke arah pohon itu.
Dia menembak jatuh daun demi daun pohon kecil itu dengan tembakan beruntun dari tulupannya. Dengan ketepatan yang sempurna, dia memangkas pohon itu menjadi seperti bentuk seekor ayam jantan. Anak-anak itu lalu memberikan uang yang lebih banyak lagi, menunjuk ke arah sebuah semak besar dan meminta seekor gajah. Segera si penembak jitu yang cacat itu dengan tulupannya, memahat semak besar itu menjadi berbentuk seekor gajah. Ketika anak-anak itu bertepuk tangan dengan riuh, sang raja mendapatkan sebuah gagasan.
Lalu sang raja pergi menghampiri si lelaki cacat itu dan menawarkan kekayaan berlimpah ruah kepadanya, jika dia bersedia membantu sang raja membereskan sebuah masalah yang sepele tapi menjengkelkan. Sang raja membisikkan sesuatu ke telinga lelaki itu. Lelaki itu mengangguk-angguk setuju dan sang raja tersenyum untuk pertama kalinya dalam minggu itu.
Pagi berikutnya, sidang berlangsung sebagaimana biasanya. Tak seorang pun memerhatikan kehadiran sebuah tirai baru yang dipasang pada salah satu sisi tembok. Saat itu sidang akan membahas mengenai usulan kenaikan pajak. Tak berapa lama setelah raja mengumumkan agenda sidang, si menteri superbawel memulai celotehannya.
Ketika ia membuka mulutnya, dia merasakan ada sesuatu yang kecil dan lembut mengenai bagian dalam tenggorokannya dan meluncur turun ke dalam perutnya. Dia tetap melanjutkan ocehannya. Benerapa detik kemudian, sesuatu yang kecil dan lembut kembali masuk ke dalam mulutnya. Dia menelannya dan karena itu ocehannya menjadi agak tersendat, tetapi dia terus maju pantang mundur.
Lagi dan lagi dia harus menelan sesuatu itu selama dia berbicara, tetapi sesuatu itu masih saja tak membuatnya berhenti bicara. Setelah setengah jam berpidato dengan penuh semangat dan menelan sesuatu itu setiap beberapa detiknya, dia merasa amat sangat mual. Tetapi, sikap kepala batunya tidak membuat dia menghentikan pidatonya.
Setelah beberapa menit kemudian, wajahnya terlihat bersemu kehijauan, perutnya terasa mual, dan akhirnya dia terpaksa menghentikan ocehannya. Dengan sebuah tangan memegangi perutnya yang sakit dan tangan yang lain menutupi mulutnya untuk mencegah sesuatu yang menjijikkan keluar dari sana, dengan panik ia bergegas mencari kamar mandi terdekat.
Dengan gembira raja menghampiri tirai dan menyibaknya untuk berterima kasih kepada pria cacat itu, yang sebelumnya memang bersembunyi di balik titai tersebut bersama dengan tulupan dan sekantong amunisinya. Sang raja tak dapat lagi menahan tawanya begitu melihat sekantong besar amunisi yang sudah hampir habis, peluru-peluru tahi ayam yang telah ditembakkan ke mulut si menteri dan berhasil menimbulkan kerusakan parah terhadap menteri malang itu.
Si menteri tidak dapat menghadiri sidang selama beberapa minggu. Sungguh mengesankan , betapa banyak urusan dapat diselesaikan selama ketidakhadirannya. Lalu ketika dia kembali menghadiri sidang, dia menjadi pendiam sekali. Dan jika dia terpaksa harus berbicara, dia akan selalu melindungi mulutnya dengan telapak tangannya.
Barangkali di parlemen kita dewasa ini, kehadiran penembak jitu seperti pria itu akan sangat berguna!
Kura-kura yang bawel
Rasanya kita semestinya belajar untuk berdiam diri pada usia yang lebih dini dalam kehidupan kita : karena hal itu mungkin dapat menolong kita menghindari banyak kesulitan pada kemudian hari. Saya menceritakan kisah berikut ini kepada anak-anak yang datang berkunjung mengenai betapa pentingnya untuk berdiam diri.
Zaman dahulu kala di sebuah danau di pegunungan, hiduplah kura-kura yang bawel. Siapapun yang ditemuinya akan diajak bicara banyak, panjang lebar, tanpa jeda, dan sering membuat pendengarnya bosan, terganggu, hingga akhirnya jengkel. Mereka sering merasa heran bagaimana si kura-kura bisa bicara terus-menerus tanpa menarik nafas. binatang-binatang lain mulai menghindari kura-kura karena tahu mereka akan mati kutu jika kura-kura mulai berbicara pada mereka.
Si kura-kura bawel jadi kesepian karenanya.
Setiap musim panas, sepasang angsa putih datang ke danau di pegunungan untuk berlibur. Mereka baik hati karena membiarkan si kura-kura berbicara sepanjang yang dia mau. mereka tidak pernah protes ataupun meninggalkan kura-kura. Si kura-kura jadi merasa senang pada sepasang angsa itu.
Ketika musim panasa mulai berakhir dan hari-hari menjadi dingin, sepasang angsa bersiap-siap pergi dari danau itu. Si kura-kura mulai menangis. Dia benci musim dingin dan kesepian. “Andai saja aku bisa ikut pergi bersama kalian,” desahnya. “Kadang, ketika salju menutupi lereng dan danau, aku membeku, aku merasa begitu kedinginan dan kesepian.”
Sepasang angsa itu merasa kasihan pada si kura-kura, karena itu mereka mengajukan sebuah penawaran untuknya, “Kura-kura sayang, jangan menangis. Kami dapat membawamu asalkan kamu bersedia memegang satu janji saja.”
“Ya! Ya! Saya janji!” kata si kura-kura bawel, bahkan sebelum sepasang angsa mengatakan janji apa yang harus dia penuhi. “Kura-kura selalu menepati janji. Pernah, aku berjanji pada kelinci untuk berdiam diri sebentar saja setelah aku memberi tahu tentang semua perbedaan cangkang kura-kura dan…”
Satu jam kemudian, ketika si kura-kura berhenti bicara, sepasang angsa melanjutkan kata-kata mereka, “Kura-kura, kamu harus berjanji untuk tetap menutup mulutmu.”
“Gampang!” kata si kura-kura bawel. “Sebenarnya bangsa kura-kura terkenal sanggup menutup mulut kami dengan baik. Kami sebenarnya jarang sekali berbicara. Saya pernah menjelaskan hal ini kepada seekor ikan belum lama ini…”
Satu jam kemudian ketika si kura-kura bawel diam sejenak, sepasang angsa itu menyuruh si kura-kura untuk menggigit bagian tengah sebuah tongkat kayu yang panjang dan menyuruhnya untuk tetap menutup mulut. Lalu salah satu angsa memegang salah satu ujung tongkat dan yang lain memegang ujung lainnya. Keduanya lalu mulai mengepakkan sayap dan terbang.
Inilah pertama kali dalam sejarah dunia kita: kura-kura terbang!
Lebih tinggi dan lebih tinggi lagi mereka terbang menjulang. Makin lama danau di pegunungan itu makin mengecil. Bahkan gunung yang besar pun terlihat kecil di kejauhan. Si kura-kura yang merasa takjub berusaha mengingat pemandangan itu baik-baik untuk diceritakan pada teman-temannya nanti ketika dia sudah pulang.
Mereka terus terbang dan semuanya berjalan lancar sampai mereka melewati sebuah sekolah yang anak-anaknya baru pulang sekolah. Beberapa anak melihat sepasang angsa dan kura-kura bawel. Lalu seorang anak berteriak, “Hei, lihat! Ada kura-kura bodoh terbang!”
Mendengar itu, kura-kura bawel tidak dapat menahan dirinya. “Siapa yang kau bilang… ups!.. booo...doo..hhh!!!”
BRAAAK! Terdengar suara keras ketika tubuh kura-kura menghempas tanah. Dan itu adalah suara terakhir yang dapat dia keluarkan.
Si kura-kura bawel tewas karena dia tidak dapat menutup mulutnya pada saat benar-benar diperlukan.
Jadi, jika anda tidak belajar bagaimana berdiam diri pada saat yang tepat, dan bilamana saat itu benar-benar penting, Anda tak akan mampu menutup mulut anda lagi. Bisa jadi anda akan berakhir sebagai hamburger, seperti kura-kura bawel itu.
Bicara Gratis
Saya heran mengetahui bahwa berbicara masih menjadi hal gratis di tengah sistem ekonomi kita yang dikendalikan oleh pasar. Pasti hanya tinggal tunggu waktu saja sampai ahli-ahli keuangan pemerintah menganggap kata-kata sebagai komoditi lain dan mengenakan pajak atas setiap pembicaraan.
Sebagai renungan, mungkin tidak jelek-jelek amat. Diam, lagi-lagi diam adalah emas. Saluran telepon tidak akan lagi disibukkan oleh para remaja. Antrean di bagian luar pasar swalayan akan mengalir lebih lancar. Pernikahan akan lebih langgeng karena pasangan muda tidak akan mampu membayar ongkos bantah-bantahan. Dan tentu melegakan bahwasannya basa-basi anda akan cukup berkontribusi menambah pajak untuk memasok alat bantu dengar gratis kepada mereka yang bertahun-tahun tuli. Hal ini juga akan menggeser beban pajak dari tukang kerja menjadi tukang oceh. Tentu saja, kontributor terbesar untuk skema pajak yang hebat ini adalah para politikus itu sendiri. Makin banyak mereka berdebat di parlemen, makin banyak tersedia dana untuk rumah sakit dan sekolahan. Betapa memuaskannya gagasan ini.
Terakhir, barang siapa mengatakan bahwa gagasan semacam ini mustahil untuk diterapkan, siapa yang mampu membayar ongkos untuk mati-matian memperdebatkan hal ini??
Pikiran dan Realita
Sang Pengusir Setan
Berikut adalah kisah nyata mengenai dunia gaib di Thailand, tentang kebijaksanaan adikodrati Ajahn Chah yang menakjubkan.
Pemuka kampung dari desa terdekat, disertai seorang teman, berjalan dengan tergesa-gesa untuk menemui Ajahn Chah di gubuknya, tempat beliau menerima tamu. Seorang perempuan desa telah kerasukan roh jahat dan beringas pada malam sebelumnya. Mereka tidak mampu menolongnya, maka mereka membawanya ke biksu sepuh ini. Sewaktu mereka berbicara dengan Ajahn Chah, dalam jarak yang tak terlalu jauh, terdengar jeritan perempuan.
Segera Ajahn Chah memerintahkan dua samanera muda untuk menyalakan api dan memasak air; lalu beliau memerintahkan dua samanera lain untuk menggali lubang besar di luar gubuknya. Tak seorang pun dari samanera-samanera itu yang tahu, untuk apa.
Empat lelaki desa yang kuat, petani berotot dari timur laut Thailand, nyaris tidak sanggup menahan rontaan si perempuan. Sewaktu mereka menyeretnya melalui salah satu bagian paling keramat di wihara, dia meneriakkan kata-kata kotor.
Ajahn Chah melihatnya dan menyuruh para samanera itu, "Gali lebih cepat! Didihkan airnya! Kita perlu lubang yang besar dan banyak-banyak air panas!" Tak seorang pun biksu dan penduduk dapat menerka, apa yang akan beliau lakukan.
Saat mereka menarik perempuan yang berteriak-teriak itu ke gubuk Ajahn Chah, mulutnya sudah berbusa-busa. Matanya yang berwarna merah darah terbelalak lebar penuh kegilaan. Wajahnya menggambarkan ekspresi kegilaan ditambah lontaran kata-kata kotor dan ludah ke Ajahn Chah. Makin banyak orang membantu memegangi perempuan ini.
"Sudah belum lubangnya? Cepat! Air panasnya sudah? Ayo cepat!" Ajahn Chah berteriak di tengah riuh teriak si perempuan. "Kita harus melempar dia ke dalam lubang! Siramkan air panas ke tubuhnya! Lalu kubur dia! Itu satu-satunya cara untuk mengusir roh jahat ini! Gali lebih cepat! Tambah lagi air panasnya!"
Kami telah belajar dari pengalaman bahwa tak seorang pun dapat menebak pasti apa yang akan dilakukan Ajahn Chah. Dia adalah "ketidakpastian" dalam wujud seorang biksu. Penduduk desa sudah yakin bahwa beliau akan melempar perempuan kerasukan itu ke dalam lubang, menyiramnya dengan air panas, dan menguburnya. Dan mereka akan membiarkannya saja. Si perempuan tampaknya juga berpikiran sama, karena dia mulai sedikit reda. Sebelum lubangnya selesai digali, dan sebelum airnya mendidih, si perempuan sudah bersimpuh tenang dalam kelelahan di hadapan Ajahn Chah, dengan penuh hormat menerima pemberkahan, sebelum akhirnya mereka menuntunnya pulang. Luar biasa.
Ajahn Chah tahu, kerasukan atau sekadar gila, ada sesuatu yang sangat perkasa di dalam diri kita masing-masing, yang dinamakan pertahanan diri. Dengan piawai dan dramatis, Ajahn Chah menekan tombol pertahanan diri di dalam perempuan itu, dan membuat rasa takut sakit dan rasa takut matinya mengusir roh jahat yang merasukinya.
Itulah kebijaksanaan: muncul begitu saja, tak terencana, tak terulang.
Yang Terbesar di Dunia
Putri dari seorang teman lama saya dari masa kuliah tengah menjalani tahun pertamanya di bangku SD. Gurunya bertanya kepada kelas berisi anak-anak lima tahunan itu, “Apakah yang paling besar di dunia?”
“Ayah saya!” kata seorang gadis kecil.
“Gajah!” kata seorang bocah yang baru-baru ini mengunjungi kebun binatang.
“Gunung!” jawab yang lainnya.
Anak teman saya berkata, “Mata saya adalah hal yang paling besar di dunia!”
Seluruh kelas hening sesaat, mereka mencoba memahami jawaban si gadis kecil. “Apa maksudmu?” tanya sang guru, sama-sama dibuat bingung.
“Ya…,” si filsuf cilik mulai menerangkan, “mata saya bisa melihat ayahnya dan dapat melihat gajah. Mata saya pun dapat melihat gunung serta banyak hal lainnya. Karena semua itu dapat masuk ke dalam mata saya, mata saya pastilah sesuatu yang paling besar di dunia!”
Kebijaksanaan bukanlah pembelajaran, tetapi melihat dengan jernih apa yang tidak dapat diajarkan.
Dengan segala hormat kepada putri teman saya itu, saya akan sedikit menambahkan kebijaksanaan yang telah diketahuinya. Bukanlah mata Anda, tetapi PIKIRAN Andalah yang merupakan hal terbesar di dunia.
Pikiran Anda dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, dan juga dapat melihat melampaui apa yang tampak dengan imajinasi. Pikiran juga dapat mengetahui adanya suara, yang mana mata tidak dapat melhatnya, dan menyadari sentuhan, baik yang nyata maupun yang ciptaan impian. Pikiran Anda pun dapat mengetahui apa yang berada di luar jangkauan pancaindra Anda. Karena segala seusatu yang dapat diketahui dapat masuk ke dalam pikiran Anda, maka pikiran Anda pastilah merupakan hal terbesar di dunia. Pikiran memuat segalanya.
PENCARIAN PIKIRAN
Banyak ilmuwan dan para pendukungnya mengatakan bahwa pikiran hanya sekedar produk sampingan dari otak kita, jadi dalam sesi tanya jawab setelah ceramah, saya sering ditanya:"Apakah pikiran itu ada? Jika ya, dimana? Apakah di dalam tubuh? Atau kah di luar? Atau di mana-mana dan meliputi segalanya? Di manakah pikiran itu?"
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya memandu sebuah demonstrasi sederhana.
Saya bertanya kepada para hadirin: " Jika saat ini Anda sedang bahagiam tolong angkat tangan kanan Anda. Jika Anda sedang sedih, meskipun cuma sedikit, tolong angkat tangan kiri Anda." Hampir semua hadirin mengangkat tangan kanannya, sebagian betulan, sisanya karena gengsi.
"Nah", lanjut saya, "mereka yang sedang bahagia, tolong tunjukkan kebahagiaan itu dengan jari tangan kanan Anda. Bagi yang sedang sedih, tolong tunjukkan kesedihan itu dengan jari tangan kiri Anda.Tunjukkan tempatnya kepada saya."
Para hadirin mulai menari-narikan jari jemarinya ke atas dan ke bawah. Lalu mereka menoleh sekilas ke sekitarnya dan menemukan kebingungan yang sama. Saat mereka menyadari apa pesan yang ingin disampaikan, mereka semua tertawa.
Kebahagiaan itu nyata. Kesedihan itu ada. Tak diragukan lagi bahwa kedua-duanya memang eksis. Namum, Anda tidak dapat menunjukkan lokasi dari realita itu di mana pun di dalam tubuh Anda, di luar tubuh, atau di manapun juga.
Ini karena kebahagiaan dan kesedihan adalah bagian dari teritori eksklusif pikiran. Mereka termasuk bagian dari pikiran, seperti bunga dan ilalang yang merupakan bagian dari sebuah taman. Fakta bahwa bunga dan ilalang itu eksis membuktikan bahwa taman pun eksis. Demikian pula, fakta bahwa kebahagiaan dan kesedihan itu eksis, membuktikan bahwa pikiran pun eksis.
Penyadaran bahwa Anda tidak dapat menunjukkan di mana lokasi kebahagiaan dan kesedihan menunjukkan bahwa Anda tidak dapat menempatkan pikiran di dalam ruangan tiga dimensi. Tentu saja, mengingat bahwa pikiran adalah hal terbesar di dunia, pikiran tidak bisa berada di dalam ruang tiga dimensi, tetapi ruang tiga dimensi lah yang berada di dalam pikiran. Pikiran merupakan hal terbesar di dunia, di dalamnya tergantung alam semesta.
Ilmu Pengetahuan
Sebelum menjadi biksu, saya adalah seorang ilmuwan. Saya menjelajahi dunia fisika teori yang serupa Zen di Universitas Cambridge di Inggris. Saya menemukan, ilmu pengetahuan dan agama, memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah dogma. Sebuah ungkapan mengasyikkan yang saya ingat semasa mahasiswa adalah, "Kebesaran seorang ilmuwan hebat diukur dari seberapa lama dia terhambat maju dalam bidangnya."
Pada sebuah acara debat antara ilmu pengetahuan dengan agama yang diadakan baru-baru ini di Australia, yang mana saya adalah pembicaranya, saya mengutip sebuat pertanyaan memprihatinkan dari seorang hadirin. "Ketika saya melihat indahnya bintang-bintang melalui sebuah teleskop," kata si perempuan Katolik, "saya selalu merasa bahwa agama saya terancam."
"Bu, saat seorang ilmuwan mengintip dari ujung lain teleskop itu, dari ujung yang besar ke ujung yang kecil," jawab saya, "dan menatapi orang yang sedang melihatnya, maka ilmu pengetahuan akan terancam!"
Ilmu Hening
Barangkali, lebih baik kalau kita menghentikan semua perdebatan. Sebuah pepatah terkenal dari Timur mengatakan :
Dia yang tahu, tidak berbicara;
Dia yang berbicara, tidak tahu.
Boleh jadi kedengarannya sangat mendalam, sampai Anda menyadari bahwa siapapun yang mengatakan itu, dia tidak tahu.
Imam buta
Ketika kita bertambah tua, penglihatan kita menjadi kabur, pendengaran mulai berkurang, rambut mulai rontok, gigi palsu mulai menancap, kaki-kami melemah dan tangan sering gemetaran. namun satu bagian dari anatomi kita yg bahkan makin kuat dari tahun ketahun adalah mulut kita yg bawel ini. itulah sebabnya mengapa warga kita yg paling suka bertele-tele mungkin memenuhi syarat sebagai politikus hanya pada usia senja mereka.
Dahulu kala terdapatlah seorang raja yg mengalami kerepotan dengan para menterinya. Mereka terlalu banyak berbantah sehingga nyaris tak satupun keputusan dapat diambil. Para menteri itu, mengikuti tradisi politik kuno, masing-masing menyatakan bahwa hanya dirinyalah yang paling bener dan lainnya salah. Meskipun demikian, ketika sang raja yang penuh kuasa menggelar perayaan festival umum, mereka semua bisa sepakat untuk cuti bersama.
Festival yang luar biasa itu digelar disebuah stadion besar. Ada nyanyian dan tarian, akrobat, badut, musik dan banyak lagi. Dan dipuncak acara, dikerumunan banyak orang, dengan para menteri yg tentunya menempati tempat duduk terbaik, sang raja menuntun sendiri gajah kerajaan ketengah arena. Dibelakangnya gajah itu berjalanlah tujuh orang buta, yang telah diketahui oleh umum sebagi orang-orang yg buta sejak lahir.
Sang raja meraih tangan orang buta pertama, menuntunnya untuk meraba belalai gajah itu dan memberitahukannya bahwa itu adalah gajah. Raja lalu membantu orang kedua untuk merabah gading sang gajah, orang buta ketiga meraba kupingnya, orang buta keempat meraba kepalanya, yang kelima meraba badannya, yang keenam meraba kaki dan yang ketujuh meraba ekornya, lalu menyatakan kepada masing-masing orang buta bahwa itulah yang dinamakan gajah. Lalu raja kembali kepada sibuta pertama dan memintanya untukmenyebutkannya dengan lantang seperti apakah gajah itu.
"Menurut pertimbangan dan pendapat saya yang ahli ini," kata sibuta pertama, yang meraba belalai gajah," saya nyatakan dengan keyakinan penuh bahwa "seekor gajah" adalah sejenis ular, marga Python asiaticus."
"Sungguh omong kosong." seru sibuta kedua, yang meraba gading gajah. "Seekor gajah" terlalu keras untuk dianggap sebagai ular. Fakta sebenarnya, dan saya tak pernah salah, gajah itu seperti bajak petani.
"Jangan melucu," cemooh sibuta ketiga, yang meraba kuping gajah. "Seekor gajah" adalah seperti daun kipas yang besar.
"kalian idiot tak berguna!" tawa sibuta keempat, yang meraba kepala gajah. "Seekor gajah" sudah pasti adalah gentong air yang besar.
"Mustahil! Benar-benar mustahil!," cibir sibuta kelima, yang meraba badan gajah. "Seekor gajah adalah sebuah batu karang besar."
"Parah!" teriak buta keenam, yang merabah kaki gajah. "Seekor gajah adalah sebatang pohon!"
"Dasar orang-orang picik!" seringai sibuta terakhir, yang meraba ekor gajah. "Aku akan memberitahu kalian apa sebenarnya "gajah" itu. Seekor gajah adalah semacam pecut pengusir lalat. Aku tahu, aku dapat merasakannya."
"Sampah! Gajah itu seekor ular." "Tidak bisa! itu adalah gentong air!" "Bukan! gajah itu...." Dan para buta itu mulai berbantah dengan sengitnya, semuanya berbicara berbarengan, menyebabkan kata2 melebur menjadi teriakan2 yang lantang dan panjang. Tatkala kata2 penghinaan mulai mengudara, lantas datanglah jotosan. Para buta itu tidak yakin betul siapa yang mereka jotos, tetapi tampaknya itu tidak terlalu penting dalam tawuran semacam itu. Mereka sedang berjuang demi prinsip, demi integritas, demi kebenaran. Kebenaran masing2 pada kenyataannya.
Saat para prajurit raja melerai tawuran membuta diantara orang2 buta itu, kerumunan hadirin distadion itu terpaku diam, dan wajah para menteri tampak malu. Setiap orang yg hadir menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh raja melalui pelajaran.
Masing-masing dari kita hanya mengetahui sebagian saja dari kebenaran. Bila kita memegang teguh pengetahuan kita yang terbatas itu sebagai kebenaran mutlak, kita tak ubahnya seperti salah satu orang buta yang meraba satu bagian dari seekor gajah dan menyimpulkan bahwa pengalaman parsial mereka itu sebagai sebuah kebenaran dan yang lainnya salah.
Alih-alih beriman buta, kita dapat berdialog. Bayangkanlah seperti apa jadinya ketujuh orang buta itu, alih-alih mempertentangkan data2 mereka, malah menggabungkan penggalaman. Mereka akan menarik suatu kesimpulan bahwa "seekor gajah' adalah sesuatu yang seperti batu karang besar, yang ditopang oleh empat batang pohon. Dibagian belakang batu karang itu ada seutas pecut pengusir lalat, dan didepannya ada gentong air besar. Disetiap sisi gentong itu terdapat dua daun kipas, dengan dua bajak yang mengapit seekor piton panjang! Bukan gambaran yang buruk-buruk amat akan seekor gajah, bagi orang yang tak akan pernah melihatnnya.
Nilai Nilai dan Kehidupan Spiritual
Suara yang Paling Indah
Seorang tua yang tak berpendidikan tengah mengunjungi sebuah kota besar untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dibesarkan di sebuah dusun di pegunungan yang terpencil, bekerja keras membesarkan anak-anaknya, dan kini sedang menikmati kunjungan perdananya ke rumah anak-anaknya yang modern.
Suatu hari, sewaktu dibawa berkeliling kota, orang tua itu mendengar suara yang menyakitkan telinga. Belum pernah dia mendengar suara yang begitu tidak enak didengar semacam itu di dusunnya yang sunyi. Dia bersikeras mencari sumber bunyi itu, dan dia tiba di sebuah ruangan di belakang sebuah rumah, di mana seorang anak kecil sedang belajar bermain biola.
“Ngiiik! Ngoook!” berasal dari nada sumbang biola tersebut.
Saat dia mengetahui dari putranya bahwa itulah yang dinamakan “biola”, dia memutuskan untuk tidak akan pernah mau lagi mendengar suara yang mengerikan tersebut.
Hari berikutnya, di bagian lain kota, orang tua ini mendengar sebuah suara yang seolah membelai-belai telinga tuanya. Belum pernah dia mendengar melodi yang seindah itu di lembah gunungnya, dia pun mencari sumber suara tersebut. Ketika sampai ke sumbernya, dia tiba di ruangan depan sebuah rumah, di mana seorang perempuan tua, seorang maestro, sedang memainkan sonata dengan biolanya.
Seketika, si orang tua ini menyadari kekeliruannya. Suara tidak mengenakkan yang didengarnya kemarin bukanlah kesalahan dari biola, bukan pula salah sang anak. Itu hanyalah prose’s belajar seorang anak yang belum bisa memainkan biolanya dengan baik.
Dengan kebijaksanaan polosnya, orang tua itu berpikir bahwa mungkin demikian pula halnya dengan agama. Sewaktu kita bertemu dengan seseorang yang menggebu-gebu terhadap kepercayaannya, tidaklah benar untuk menyalahkan agamanya. Itu hanyalah prose’s belajar seorang pemula yang belum bisa memainkan agamanya dengan baik. Sewaktu kita bertemu dengan seorang bijak, seorang maestro agamanya, itu merupakan pertemuan indah yang menginspirasi kita selama bertahun-tahun, apapun kepercayaan mereka.
Namun, ini bukanlah akhir dari cerita.
Hari ketiga, di bagian lain kota, si orang tua mendengar suara lain yang bahkan melebihi kemerduan suara dan kejernihan suara sang maestro biola. Menurut Anda, suara apakah itu?
Melebihi indahnya suara aliran air pegunungan pada musim semi, melebihi indahnya saura angin musim gugur di sebuah hutan, melebihi merdunya suara burung-burung pegunungan yang berkicau setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan hening pegunungan sunyi pada suatu malam musim slaju. Suara apakah gerangan yang telah menggerakan hati si orang tua melebihi apa pun itu?
Itu suara sebuah orkestra besar yang memainkan sebuah simfoni.
Bagi si orang tua, alasan mengapa itulah suara terindah di dunia adalah, pertama, setiap anggota orkestra merupakan maestro alat muskinya masing-masing; dan kedua, mereka telah belajar lebih jauh lagi untuk bisa bermain bersama-sama dalam harmoni.
“Mungkin ini sama dengan agama,” pikir si orang tua. “Marilah kita semua mempelajari hakikat kelembutan agama kita melalui pelajaran-pelajaran kehidupan. Marilah kita semua menjadi maestro cinta kasih di dalam agama masing-masing. Lalu setelah mempelajari agama kita dengan baik, lebih jauh lagi, mari kita belajar untuk bermain, seperti halnya para anggota sebuah orkestra, bersama-sama dengan penganut agama lain dalam sebuah harmoni!”
Itulah suara yang paling indah.
Apakah Arti Sebuah Nama?
Ketika seseorang menjadi biksu dlaam tradisi kami, orang itu akan menerima sebuah nama baru. Nama tahbis saya adalah " Brahmavamso" yang karena agak panjang, biasanya saya singkat sebagai "Brahm". Sekarang setiap orang memanggil saya dengan nama itu, kecuali Ibu saya yang tetap memangil saya Peter, dan saya bela haknya untuk melakukan itu.
Suatu ketika, dalam sebuah percakapan telepon yang mengundang saya untuk datang ke sebuah acara lintas agama, saya diminta untuk mengeja nama saya. Saya menjawab :
B - untuk Buddha
R - untuk Roman Catholic ( Katolik Roma)
A - untuk Anglican ( Sebuah aliran Kristen)
H - untuk Hindu
M - untuk Muslim
Saya menerima tanggapan yang begitu positif, sehingga saya terbiasa mengejanya dengan cara demikian, dan juga seperti itulah artinya.
Kekuatan Piramida
Pada musim panas tahun 1969, tak lama setelah ulang tahun saya yang ke-18, saya berkesempatan menimati pengalaman pertama di hutan tropis. Saya melakukan perjalanan ke Semenanjung Yucatan di Guatemala, menuju sebuah piramida yang baru ditemukan, peninggalan peradaban Maya yang telah punah.
Pada masa itu, sanga sulit untuk melakukan perjalanan. Perlu waktu tiga atau empat hari bagi saya untuk mencapai jarak beberapa ratus kilometer dari Kota Guatemala menuju kompleks reruntuhan kuil yang bernama Tical. Saya melakukan perjalan menelusuri sungai sempit di tengah hutan dengan menumpang perahu nelayan yang berlepotan minyak, truk bermuatan penuh, dan meniti jalan setapak hutan dengan gerobak usang yang berderak-derik Daerah itu terpencil, miskin, dan primitif.
Ketika saya akhirnya tiba di kompleks kuil dan piramida kuno yang ditinggalkan itu, saya tak punya pemandu atau buku panduan yang dapat menjelaskan makna dari monumen batu nan menjulang tinggi menunjuk langit di situ. Tak ada orang di sekitar sana. Jadi saya mulai memanjat salah satu piramida yang tinggi itu.
Di tengah perjalanan menuju puncak, makna dan maksud spiritual dari piramida itu sekonyong-konyong menjadi jelas bagi saya.
Selama tiga hari sebelumnya, saya telah melakukan perjalanan luar biasa menembus hutan. Jalan-jalan, titian-titian dan sungai-bagaikan terowongan menembus pekat kehijauan. Rimba belantara dengan cepat telah membuat langit-langit bagi setiap langkah saya. Selama beberapa hari saya tidak melihat cakrawala. Dan tentu saja, saya pun tak dapat melihat apa-apa yang di kejauhan. Saya di hutan belantara.
Di puncak piramida itu, saya berada di atas simpul belantara rimba. Tidak saja saya dapat melihat di mana posisi saya dalam panorama mirip peta yang terbentang di hadapan saya, tetapi sekarang saya pun dapat melihat ke seluruh penjuru, tanpa sesuatu pun di antara saya dan kemahaluasan.
Berdiri di sana, bagaikan berada di atap dunia, saya membayangkan hal yang sama mungkin dirasakan pula oleh seorang pemuda Indian Maya yang lahir di hutan, besar di hutan, dan tinggal sepanjang hayatnya di tengah hutan. Saya membayangkan mereka ada dalam sebuah upacara keagamaan yang merupakan bagian dari kitab suci mereka yang dibawa lembut oleh seorang tua nan bijaksana, menuju puncak piramida untuk pertama kalinya. Saat mereka telah berada dia atas garis pepohonan dan melihat dunia rimbanya terkuak dan terbentang di hadapan mereka, saat mereka memandang melampaui ambang tanah kelahirannya menuju kaki langit dan bentangannya, mereka akan melihat cakupan kekosongan agung diatas dan di sekeliling. Berdiri di puncak piramida, di jalan masuk antara surga dan bumi, tak akan ada seorang pun, sesuatun pun, sepatah kata pun di antara mereka dan kemahaluasan di segenap penjuru. Hati mereka akan tergetar oleh sengatan pelambangan wawasan itu. Kebenaran akan bermekaran dan menebarkan harum pengetahuan. Mereka akan memahami tempat mereka di rumah dunia, dan mereka akan melihat yang tak terbatas, kekosongan yang membebaskan, yang mencakup segalanya. Hidup mereka akan menemukan maknanya.
Kita semua perlu menghibahkan waktu dan kedamaian bagi diri kita untuk mendaki piramida spritual yang ada di dalam diri kita, untuk menuju puncak dan melampaui keruwetan belantara kehidupan kita, meskipun hanya untuk sekejap saja. Lalu, kita mungkin akan melihat sendiri tempat kita di tengah segala sesuatu, pengamatan menyeluruh atas perjalanan hidup kita, dan menatap dengan jelas ketakterbatasan dalam setiap penjuru.
Batu-Batu Berharga
Beberapa tahun lalu di sebuah sekolah bisnis terkemuka di Amerika Serikat, seorang profesor menyampaikan sebuah kuliah yang luar biasa tentang ekonomi sosial di depan kelas S2 nya. Tanpa menjelaskan apa yang sedang dilakukannya, dengan hati-hati sang profesor meletakkan sebuah toples kaca di atas mejanya. Lalu, dengan diikuti tatapan mata para mahasiswanya, dia mengeluarkan sekantung penuh batu dan memasukkannya satu per satu ke dalam toples, sampai tak ada lagi batu yang bisa di masukkan. Dia bertanya kepada para mahasiswanya “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Ya.” Jawab mereka.
Sang profesor tersenyum. Dari bawah mejanya, ia meraih tas kedua, yang satu ini penuh kerikil. Dia lalu menuangkan sambil menggoyang-goyangkan kerikil-kerikil itu untuk mengisi celah-celah di antara batu-batu yang lebih besar di dalam toples. Untuk kedua kalinya, dia bertanya kepada para mahasiswanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Belum,” jawab mereka. Sekarang mereka sudah mulai dapat menebaknya.
Tentu saja mereka benar, karena sang profesor mengambil lagi sekantong penuh pasir halus. Dia berusaha menuangkan pasir itu ke dalam toples, mengisi celah-celah di antara batu-batu besar dan kerikil-kerikil yang telah di masukkan sebelumnya. Lagi-lagi dia bertanya, “Apakah toples ini sudah penuh?”
“Mungkin, tidak, Pak, yang tahu cuma Anda,” jawab mahasiswanya.
Tersenyum mendengarkan jawaban itu, sang profesor mengeluarkan seteko air, yang dituangkan ke dalam toples yang penuh dengan batu, kerikil, dan pasir halus itu, dia meletakkan teko itu dan memandang ke seluruh kelas.
“Lantas, apa pelajaran yang dapat kalian petik?” tanyanya kepada mahasiswa.
“Tak peduli seberapa padatnya jadwal Anda,” sambut salah seorang mahasiswa, “Anda akan selalu bisa menambahkan sesuatu ke dalamnya!” Jangan lupa, ini kan sekolah bisnis terkenal.
“Bukan!” gelegar sang profesor dengan penuh empati. “Apa yang ditunjukkan adalah jika kalian ingin memasukkan batu-batu yang besar, kalian harus memasukkannya pertama kali.”
Itu adalah pelajaran tentang Prioritas.
Jadi apakah “batu besar” yang ada di dalam “toples” Anda? Apakah hal yang paling penting yang harus dimasukkan ke dalam kehidupan Anda? Pastikanlah untuk pertama-tama menjadwalkan “batu-batu berharga” ke dalam hidup Anda, atau Anda tak akan pernah mendapatkannya, untuk mengisi hidup Anda.
Nanti, Saya Akan Bahagia
Barangkali batu paling berharga di dalam “toples” pada cerita terdahulu, adalah kebahagiaan kita. Saat kita tidak memiliki kebahagiaan di dalam diri kita, kita tidak memiliki kebahagiaan untuk diberikan kepada orang lain. Jadi mengapa begitu banyak orang tidak memberika prioritas kepada kebahagiaanm terus menundanya hingga saat-saat akhir? (Atau bahkan setelah saat-saat akhir, seperti yang ditunjukkan oleh kisah berikut ini).
Ketika saya masiih berumur empat belas tahun, saya belajar untuk menghadapi ujian O-level di sebuah sekolah tinggi di London. Orang tua dan guru-guru saya menasihati saya agar berhenti bermain sepak bola pada sore hari dan akhir pekan, mengerjakan PR saja di rumah. Mereka menerangkan betapa pentingnya ujuan O-level tersebut dan jika saya lulus, nanti, saya akan bahagia.
Saya mengikuti nasihat mereka dan lulus dengan baik sekali. Tetapi itu tidak membuat saya terlalu bahagia, karena keberhasilan saya berarti bahwa saya harus belajar lebih keras lagi, selama dua tahun berikutnya, untuk mempersiapkan ujian A-level. Orang tua dan guru-guru saya menasihati saya agar berhenti keluyuran pada sore hari dan akhir pekan, kalau dahulu diminta berhenti mengejar-ngejar bola, sekarang diminta berhenti mengejar-ngejar cewek. Di rumah saja, belajar. Mereka berkata bahwa ujian A-level begitu penting dan kalau saya lulus, nanti saya akan bahagia.
Sekali lagi, saya mengikuti nasihat mereka dan berhasil baik. Sekali lagi, itu tidak membuat saya terlalu bahagia. Sebab sekarang saya harus belajar jauh lebih keras dari sebelumnya, selama tiga tahun lagi, untuk gelar di universitas. Ibu dan para guru (saat itu ayah saya sudah meninggal) menasihati saya agar menjauhi bar dan pesta kampus, melainkan belajar saja dengan tekun. Mereka berkata betapa pentingnya gelar sarjana dan jika saya berhasil, nanti, saya akan bahagia.
Sampai di titik ini, saya mulai curiga.
Saya melihat beberapa teman yang lebih senior, yang telah belajar dengan tekun dan meraih gelar sarjana. Sekarang mereka bahkan bekerja lebih keras lagi untuk pekerjaan pertama mereka. Mereka bekerja begitu keras untuk menabung sejumlah uang untuk membeli sesuatu yang lebih penting, katakanlah, sebuah mobil. Mereka berkata, “Saat tabungan saya cukup untuk membeli sebuah mobil, nanti, saya akan bahagia.”
Ketika mereka sudah punya cukup dana dan telah membeli mobil pertamanya, mereka masih saja tidak bahagia. Sekarang mereka bekerja keras untuk membeli sesuatu yang lain, dan setelah itu mereka akan bahagia. Atau mereka berjuang gigih dalam gelora percintaan, mencari teman hidup. Mereka berkata kepada saya, “Saat saya menikan dan sudah mapan, nanti, saya akan bahagia.”
Begitu menikah, mereka masih saja tidak bahagia. Mereka harus bekerja lebih keras lagi, bahkan mencari kerja sampingan, untuk menabung cukup banyak untuk uang muka sebuah apartemen, atau bahkan sebuah rumah kecil. Mereka berkata, “Saat kami sudah punya rumah sendiri, nanti, kami akan bahagia.”
Sayangnya, membayar cicilan bulanan untuk rumah kredit berarti mereka masih tidak bahagia. Lebih-lebih, mereka memulai membangun sebuah keluarga. Mereka akan punya anak-anak yang akan membuat mereka terjaga malam-malam, menyedot uang simpanan mereka, dan melipatgandakan kekhawatiran mereka. Sekarang mungkin perlu dua puluh tahun lagi untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Lalu mereka akan berkata, “Ketika anak-anak sudah besar, keluar dari rumah dan mandiri, nanti, kami akan bahagia.”
Saat anak-anak sudah keluar dari rumah, kebanyakan orang tua sudah menghadapi masa-masa pensiun. Lalu mereka terus menunda kebahagiaan mereka, bekerja keras untuk tabungan hari tua. Mereka berkata, “Ketika saya sudah pensiun, nanti, saya akan bahagia.”
Bahkan sebelum mereka pensiun, dan tentunya juga setelahnya, mereka mulai menjadi religius dan pergi ke gereja. Pernahkah Anda perhatikan berapa banyak orang tua memenuhi bangku-bangku gereja? Saya bertanya kepada mereka, mengapa mereka sekarang pergi ke gereja. Mereka berkata, “Karena, saat saya mati, nanti, saya akan bahagia!”
Bagi mereka yang percaya bahwa, “Saat saya mendapatkan ini, nanti, saya akan bahagia,” kebahagiaan mereka hanyalah menjadi impian masa depan. Seperti halnya kaki pelangi yang terlihat satu atau dua langkah di depan, namun selamanya tidak akan bisa digapai. Di dalam hidup, atau bahkan setelah hidup, mereka tidak akan pernah mewujudkan kebahagiaan.
Nelayan Meksiko
Di sebuah desa nelayan Meksiko yang tenteram, seorang Amerika yang sedang berlibur melihat seorang nelayan setempat baru saja pulang dari melaut pada pagi hari. Si Amerika, seorang professor sukses di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat, tidak tahan untuk tidak memberikan sedikit wejangan gratis kepada si nelayan Meksiko.
"Hai!" sapa si Amerika. "Mengapa pagi-pagi sudah pulang dari melaut?"
"Karena saya sudah mendapat cukup ikan, Segnor," jawab si Meksiko yang ramah itu, "cukup untuk memberi makan keluarga saya dan sedikit kelebihannya untuk dijual. Sekarang saya akan makan siang bersama istri saya dan, setelah tidur siang sejenak, saya akan bermain-main bersama anak-anak saya. Lalu, setelah makan malam, saya akan pergi ke kedai, meneguk sedikit tequila dan bermain gitar bersama teman-teman saya. Itu cukup untuk saya, Segnor."
"Dengarkan saya kawan," ujar si profesor bisnis. "Jika kamu tetap melaut sampai larut sore, dengan mudah kamu akan mendapatkan tangkapan dua kali lipat. Kamu dapat menjual kelebihannya, menabung uangnya, dan dalam waktu enam bulan, atau sembilan bulan, kamu akan mampu membeli perahu yang lebih bagus dan lebih besar dan menggaji beberapa awak. Kemudian kamu akan mampu menangkap ikan empat kali lebih banyak. Pikirkanlah berapa banyak tambahan uang yang kamu dapatkan! Dalam satu atau dua tahun, kamu akan punya modal untuk membeli perahu kedua dan menggaji awak-awak lain. Jika kamu mengikuti perencanaan bisnis ini, dalam waktu enam atau tujuh tahun kamu akan bangga menjadi pemilik sebuah armada penangkap ikan yang besar. Coba bayangkan itu! Lalu kamu sebaiknya memindahkan kantor pusatmu ke Mexico City atau bahkan ke L.A., perusahaanmu bisa go public dan membuatmu sebagai CEO, dengan paket penghasilan dan hak pembagian saham yang istimewa. Dalam beberapa tahun--dengarkan ini!--kamu memulai skema pembelian kembali saham-saham, yang akan menjadikanmu seorang multijutawan! Dijamin! Saya ini profesor terkenal di sebuah sekolah bisnis di Amerika. Saya tahu soal-soal beginian!"
Si nelayan Meksiko itu mendengarkan dengan khusyuk apa yang dikatakan oleh profesor Amerika itu dengan menggebu-gebu. Ketika profesor selesai bicara, si Meksiko bertanya, "Tetapi, Segnor Profesor, apa yang bisa saya lakukan dengan berjuta-juta dollar itu?"
Yang mengejutkan, si profesor Amerika itu belum memikirkan rencana bisnisnya sejauh itu. Jadi, dengan segera dia mereka-reka apa yang bisa dilakukan seseorang dengan jutaan dolarnya.
"Amigo! Dengan semua duit itu, kamu bisa pensiun. Yeah! Pensiun seumur hidup. Kamu bisa membeli sebuah villa kecil di sebuah desa nelayan yang indah seperti ini, dan membeli sebuah perahu kecil untuk memancing pada pagi hari. Setiap hari kamu bisa makan siang bersama istrimu, dan tidur siang sejenak setelahnya, tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun. Pada sore hari kamu dapat melewatkan saat-saat berkualitas besama anak-anakmu dan setelah makan malam, bermain gitar bersama teman-temanmu, meneguk tequila. Yeah, dengan semua uang itu, kawan, kamu bisa pensiun dan hidup senang!"
"Tetapi Segnor profesor, kan sekarang ini saya sudah bisa begitu?"
Mengapa kita percaya bahwa kita harus bekerja begitu keras dan menjadi kaya raya terlebih dahulu, baru kita bisa merasa berkecukupan?
Ketika Semua Keinginan Saya Terpenuhi
Di dalam tradisi saya, para biksu tidak diperkenankan menerima, memiliki, atau memegang uang, apa pun macamnya. Kami ini begitu miskinnya sampai-sampai mengacaukan statistik pemerintah. Kami hidup sederhana dengan sukarela, hidup dari pemberian bersahaja para penyantun awam. Betapa pun, tak jarang kami mendapat tawaran yang istimewa.
Saya telah membantu seorang pria Thai yang punya masalah pribadi. Sebagai ungkapan terima kasih, ia ingin memberikan saya 500 baht. Adalah lazim menyebutkan jumlah saat mengajukan penawaran untuk menghindari kesalahpahaman. Karena tidak bisa langsung memutuskan apa yang saya inginkan dan dia terburu-buru, kami sepakat saya akan memberitahu keputusan saya pada kedatangannya di saat lain.
Sebelum kejadian itu, saya seorang biksu kecil yang bahagia. Tetapi, sekarang saya merenungkan apa saja yang saya inginkan. Saya membuat daftar yang terus bertambah panjang, sehingga 500 baht tidak cukup. Begitu sulit mencoret sesuatu dari daftar itu. Daftar kian bertambah, sekarang 5.000 baht pun tak cukup!
Saya lalu membuang daftar keinginan itu jauh-jauh. Pada hari berikutnya, saya bilang kepada dermawan itu agar menyumbangkan 500 baht untuk pembangunan vihara atau tujuan baik lainnya. Saya tidak menginginkannya. Apa yang paling saya inginkan adalah mendapatkan kembali rasa kecukupan hati yang pernah saya miliki pada hari-hari sebelumnya. Ketika saya tidak punya uang ataupun cara-cara untuk mendapatkan sesuatu, itulah saat ketika semua keinginan saya terpenuhi.
Keinginan itu tak ada batasnya. Bahkan satu juta baht pun tidaklah cukup, pun satu miliar dolar. Namun, “bebas dari berkeinginan” itu ada batasnya. Itulah saat ketika Anda tak menginginkan apa-apa. Rasa berkecukupan adalah satu-satunya saat tatkala hati Anda merasa cukup.
Kebebasan dan Kerendahan Hati
Dua Jenis Kebebasan
Ada dua jenis kebebasan yang dapat kita temukan di dalam dunia kita : Kebebasan untuk berkeinginan (freedom of desires) dan kebebasan dari berkeinginan (freedom from desires).
Kebudayaan modern Barat kita hanya mengenal jenis yang pertama saja, kebebasan untuk berkeinginan. Kita memujanya sebagai sebuah kebebasan dengan mengabadikannya di pembukaan undang-undang nasional dan piagam hak-hak asasi manusia. Dapat dikatakan bahwa paham yang mendasari kebanyakan sistem demokrasi Barat adalah untuk melindungi kebebasan rakyat untuk mewujudkan hasratnya, sejauh mungkin. Anehnya, di negeri-negeri seperti itu orang-orangnya tidak merasa benar-benar bebas.
Kebebasan jenis kedua, kebebasan dari keinginan, hanya dikenal dalam beberapa komunitas religius. Mereka menjunjung rasa kebercukupan, kedamaian yang bebas dari berkeinginan. Anehnya, dalam komunitas yang penuh aturan disiplin seperti wihara saya, orang-orangnya justru merasa benar-benar bebas.
Jenis Kebebasan Manakah yang Anda Sukai
Dua bhikku Thai yang dihormati diundang ke rumah seorang umat untuk menerima persembahan dana makanan pagi. Di ruang tamu, tempat mereka menunggu, terdapat berbagai jenis ikan hias. Bhikku yang lebih muda mengadukan bahwa memelihara ikan di akuarium itu bertentangan dengan prinsip Buddhis mengenai belas kasih. Itu bagaikan memenjarakan mereka. Apa sih yang telah diperbuat oleh ikan-ikan itu sehingga mereka harus dikurung didalam tembok kaca? Mereka semestinya bebas berenang di sungai atau di danau, bebas pergi kemana pun mereka suka. Bhikku yang kedua tidak setuju. Memang benar, dia mengakui bahwa ikan-ikan itu tidak bebas menuruti kehendaknya, tetapi hidup di dalam akuarium memBEBASkan mereka dari begitu banyak marabahaya. Lalu dia menguraikan daftar kebebasan mereka.
1. Pernahkah Anda melihat orang memancing ikan di akuarium di rumah seseorang? Tidak! Jadi, keBEBASan pertama bagi ikan-ikan dalam akuarium adalah BEBAS dari ancaman para pemancing. Bayangkan apa jadinya bagi ikan di alam bebas. Ketika melihat seekor cacing lezat atau seekor lalat sedap, mereka tidak pernah yakin apakah itu aman dimakan atau tidak. Mereka, tidak diragukan lagi, telah menyaksikan banyak teman dan kerabat mereka mencaplok seekor cacing yang tampak lezat, dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mereka untuk selamanya. Bagi ikan di alam bebas, makan itu terancam bahaya dan sering berakhir dalam tragedi. Makan malam bisa jadi traumatik. Ikan di alam bebas bisa-bisa menderita gangguan pencernaan kronis karena hilangnya nafsu makan, dan ikan yang paranoid bisa dipastikan akan mati kelaparan. Ikan di alam bebas mungkin saja menderita tekanan batin, tetapi ikan di akuarium terBEBAS dari BAHAYA semacam ini.
2. Ikan di alam bebas juga harus mencemaskan ancaman ikan besar yang akan memangsa mereka. Dewasa ini, di beberapa sungai yang rusuh, para ikan tak lagi merasa aman untuk keluyuran pada malam hari! Bagaimanapun, tak ada pemilik akuarium yang akan mengisi akuariumnya dengan jenis ikan yang akan memangsa ikan lainnya. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA ikan kanibal.
3. Dalam daur alamiahnya, ikan di alam bebas kadang tak memperoleh makanan. Namun bagi ikan di akuarium, hidup itu bagai tinggal di sebelah restoran. Dua kali sehari, makanan bergizi diantarkan ke depan pintu mereka, bahkan lebih nyaman daripada jasa antar pizza, karena mereka tak perlu membayar. Jadi, ikan di dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kelaparan.
4. Selama perubahan musim, sungai dan danau mengalami perubahan suhu yang ekstrim. Sungai dan danau menjadi sangat dingin pada musim dingin, sampai permukaannya tertutupi es. Pada musim panas, air bisa menjadi terlalu hangat untuk ikan, kadang bahkan sampai mengering. Namun, ikan di dalam akuarium memiliki sistem pengaturan udara dan suhu. Suhu air dalam akuarium terjaga ajek dan nyaman sepanjang hari, sepanjang tahun. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kedinginan dan kepanasan.
5. Di alam bebas, bila seekor ikan jatuh sakit, tak ada yang akan merawatnya. Namun, ikan dalam akuarium punya asuransi kesehatan gratis. Pemiliknya akan memanggil dokter ikan untuk datang ke rumah kapan pun ada ikan yang sakit; mereka bahkan tidak harus pergi sendiri ke klinik. Jadi, ikan dalam akuarium terBEBAS dari BAHAYA kertiadaan perlindungan kesehatan.
Bhikku kedua, yang lebih senior, menyimpulkan sikapnya. Ada banyak keuntungan menjadi seekor ikan dalam akuarium, katanya. Memang benar, mereka TIDAK BEBAS menuruti kehendaknya dan berenang ke sana ke mari, tetapi mereka terBEBAS dari BEGITU BANYAK BAHAYA dan KETIDAKNYAMANAN. Bhikku yang lebih senior melanjutkan penjelasannya bahwa itu sama seperti orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang bajik. Benar, mereka TIDAK BEBAS mengikuti nafsunya dan seenaknya ke sana ke mari, tetapi mereka terBEBAS dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan. Jadi, jenis keBEBASan mana yang Anda sukai?
Dunia Bebas
Selama beberapa minggu, seorang rekan bhikkhu mengajar meditasi di sebuah penjara baru dengan tingkat pengamanan yang sangat ketat di dekat Perth.Sekelompok kecil narapidana telah mengenal baik dan menghormati sang bhikkhu. Di akhir sebuah sesi, mereka mulai bertanya mengenai rutinitas kesehariannya di vihara.
"Kami harus bangun jam 4 pagi setiap hari," katanya. "Kadang-kadang terasa sangat dingin karena kamar kami yang kecil tidak memiliki penghangat ruangan. K! ami hanya makan satu kali sehari, semuanya dicampur-aduk dalam satu mangkok. Selewat tengah hari dan pada malam hari kami tidak makan apapun. Dan tentu saja, tidak boleh berhubungan seks atau minum minuman beralkohol. Kami juga tidak punya televisi, radio ataupun musik. Kami tidak pernah nonton film, juga tidak berolahraga untuk kesenangan. Kami berbicara sedikit, bekerja keras dan melewatkan waktu luang dengan duduk bersila mengamati napas. Kami tidur di atas lantai."
Para napi tertegun mengetahui kesederhanaan kehidupan membiara kami. Kalau diperbandingkan, itu membuat penjara mereka seperti sebuah hotel berbintang lima. Bahkan, seorang napi begitu tergerak simpatinya atas merananya si bhikkhu sahabatnya ini sampai dia lupa di mana dia berada dan berkata:"Ngeri amat tinggal di viharamu. Kenapa kamu tidak pindah ke sini dan tinggal bersama kami saja?"
Si bhikkhu bercerita kepada saya, semua yang ada di ruangan tertawa terbahak-baha! k. Begitu pula saya ketika dia menceritakan kejadian itu. Lalu saya mulai merenungkannya dengan mendalam.
Memang benar vihara saya jauh lebih sederhana daripada penjara terketat untuk para terpidana, namun banyak yang datang dengan kemauan sendiri dan berbahagia di sini. Sementara begitu banyak yang mencoba kabur dari penjara yang lebih nyaman dan tidak berbahagia di sana. Mengapa?
Itu karena, di vihara saya, penghuninya ingin berada di sana; di penjara,penghuninya tidak ingin berada di sana. Itu bedanya.
Saat anda tidak ingin berada di suatu tempat, di manapun itu, senyaman apapun, itu adalah sebuah penjara bagi Anda. Inilah arti sesungguhnya dari kata "penjara" -situasi apa pun di mana anda tidak ingin berada. Jika Anda ada dalam pekerjaan yang tidak Anda inginkan, berarti Anda berada dalam penjara. Jika Anda ada dalam sebuah hubungan yang tidak Anda inginkan, Anda berada dalam penjara. Jika Anda sedang sakit dan terperangka! p di dalam tubuh menyakitkan yang tidak Anda inginkan, itu pun penjara buat Anda. Penjara adalah situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada di dalamnya.
Lalu bagaimana caranya untuk dapat bebas dari berbagai penjara kehidupan?Gampang. Ubah saja persepsi anda tentang situasi sekarang menjadi "ingin berada di sana". Walaupun berada di San Quentin (Redaksi: sebuah penjara tempat hukuman mati), atau yang sedikit lebih lumayan, vihara saya, kalau anda ingin berada di sana, maka itu tidak lagi menjadi penjara bagi Anda.Dengan mengubah persepsi Anda terhadap pekerjaan, hubungan, tubuh yang sakit, dan dengan menerima situasinya alih-alih menolaknya, maka itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Saat Anda menerima untuk berada di sana,Anda telah bebas.
Kebebasan adalah merasa puas di mana pun Anda berada. Penjara adalah menginginkan berada di tempat lain. Dunia yang bebas adalah sebuah dunia yang dialami orang seseorang! yang puas. Kebebasan sejati adalah kebebasan dari hasrat, bukannya kebebasan untuk berkeinginan.
Makan Malam Bersama Amnesty International
Mempertimbangkan kondisi kehidupan yang keras di wihara saya, saya sangat menjaga hubungan baik dengan perwakilan Amnesty International di Perth. Jadi ketika saya menerima undangan makan malam yang diselenggarakan oleh Amnesty International, untuk memperingati 50 Thun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, saya mengirim balasan kepada mereka sebagai berikut :
Yth. Julia, Bagian Humas,
Terima kasih banyak atas surat undangan anda yag baru-baru ini saya terima mengenai peringatan 50 Tahun Deklarasi universal Hak Asasi Manusia pada hari Sabtu, 30 Mei. Saya merasa sangat tersanjung menerima undangan tersebut.
Akan tetapi, saya adalah seorang biarawan Buddhis dari tradisi Therawada, yang mana tradisi ini sangat menjaga aturan yang ketat. Sayangnya, aturan tersebut melarang saya makan mulai dari tengah hari sampai pai hari berikutnya, dan dengan demikian, aduh , itu berarti tidak boleh makan malam! Alkohol pun tidak boleh, termasuk juga anggur. Seandainya saya memenuhi undangan anda, maka, saya terpaksa duduk dengan piring kosong di samping gelas kosong, sepanjang waktu menonton orang-orang di sekitar saya yang dengan nikmat menyantap jamuan makan yang mewah. Hal ini akan menjadi sebuah siksaan bagi saya, yang mana, sebagai Amnesty International, pasti tak akan pernah anda cuekkan!
Lebih lanjut, sebagai seorang biksu dalam tradisi ini, Saya tidak boleh menerima dan memiliki uang. Sejauh ini saya tetap bahagia berada di bawah garis kemiskinan yang mengacaukan statistik pemerintah! Jadi, saya tidak punya cara untuk membayar makan malam itu, yang toh tidak bisa saya santap juga.
Saya ingin terus bercerita tentang masalah-masalah seorang biksu, seperti hambatan aturan berbusana untuk acara semacam ini, tetapi saya rasa sudah cukup banyak yang saya katakan. Dengan ini saya mohon maaf karena tidak mampu menghadiri acara makan malam tersebut.
Yang bahaia dalam kemelaratan,
Brahm
Aturan Busana Biksu
Para Biksu dalam tradisi saya mengenakan jubah berwarna cokelat, dan hanya itulah pakaian yang kami miliki. Beberapa tahun yang lalu, selama beberapa hari saya harus dirawat di sebuah rumah sakit di Australia. Di bagian penerimaan, syaa ditanya apakah saya membawa piyama sendiri. Saya bilang bahwa biksu tidak memakai piyama; biksu hanya memakai jubah ini belaka! Jadi mereka membiarkan saya memakai jubah saya.
Soalnya, jubah biksu ini mirip seperti gaun.
Pada suatu hari Minggu sore di pinggiran Perth, saya tengah memuat barang-barang untuk pembangunan wihara ke dalam mobil van milik wihara. Seorang gadis Australia berusia tiga belas tahun muncul dari rumah di dekat situ untuk berbicara kepada saya. Sebelumnya dia belum pernah melihat seorang biksu. Berdiri di depan saya sambil berkacak pinggang, dia memandang saya dari atas ke bawah dengan pandangan yang merasa jijik. Lalu dia mulai memarahi saya dengan suara penuh kemuakan, " Kamu pakai rok seperti cewek! Sinting! Wueek!"
Gayanya begitu sok-sokan, sehingga saya tidak tahan untuk tidak tertawa. Saya mengingat guru saya, Ajahn Chah, yang menasihati murid-muridnya bagaimana cara menanggapi bila dilecehkan, " Jika seseorang menyebut anda anjing, jangan marah. Sebaliknya, cukup lihat saja pantat anda. Jika Anda tak melihat ada ekor disana, itu berarti anda bukan anjing. Beres sudah!"
Kadang, saya mendapat pujian karena mengenakan jubah syaa di depan umum. Pada suatu kejadian, bagaimanapun juga, kejadian itu sempat membuat saya merinding juga.
Saat itu saya sedang ada suatu keperluan di kota. Sopir saya ( para biksu tidak diizinkan menyetir mobil) memarkir kendaraan milik wihara kami di tempat parkir bertingkat. Dia bilang bahwa dia kebelet pipis, tetapi karena menurutnya toilet di tempat parkir itu jorok, dia ingin menikmati kenyamanan toilet yang ada di ruang tunggu sebuah bioskop dekat situ. Jadi, selama sopir saya sedang menuaikan hajat alaminya, saya menunggu di luar bioskop tersebut, berdiri di pinggir jalan yang ramai, dalam jubah biksu.
Seorang pemuda menghampiri saya, tersenyum manis dan bertanya apakah saya punya waktu. Biksu-biksu seperti saya ini sangat lugu. Saya telah hidup di wihara hampir sepanjang hidup. Juga karena biksu pun tidak punya jam tangan, maka dengan sopan saya meminta maaf bahwa saya tidak tahu waktu (jam). Pemuda itu mengenyitkan keningnya dan berjalan menjauh.
Ketika dia baru saja beberapa langkah meninggalkan saya, tiba-tiba saya tersadar apa yang dia maksud. " Apakah kamu punya waktu?" rasa-rasanya adalah kutipan terkenal dari sebuah buku. Dan belakangan saya sadari bahwa saya tengah berdiri pada salah satu tempat pertemuan paling populer bagi kaum homoseksual di Perth!
Pemuda itu berbalik meoleh ke arah saya lagi dan berkata dengan suara Marilyn Monroe-nya yang paling merdu " Oooh! Tetapi kamu cantik juga sih pakai gaun itu!"
Saya mengakui bahwa saat itu saya mulai bermandikan peluh. Untunglah, sopir saya muncul dari ruang tunggu bioskop untuk menyelematkan saya. Semenjak itu, kami menggunakan toilet di tempat parkir.
Menertawakan Diri Sendiri
Salah satu nasihat terbaik yang saya terima sebagai seorang guru muda adalah bila anda melakukan suatu kesalahan dan seluruh kelas menertawakan anda, Anda ikut saja tertawa. Dengan cara itu, siswa Anda tidak menertawakan Anda, tetapi tertawa bersama Anda.
Beberapa tahun kemudian, sebagai biksu pengajar di Perth, saya diundang ke sebuah SMA untuk memberikan pelajaran mengenai Agama Buddha. Para siswa remaja sering mengerjai saya dengan mencoba mempermalukan saya. Suatu kali, pada akhir penjelasan saya mengenai kebudayaan Buddhis, saya menanyakan seisi kelas apakah ada yang ingin bertanya. Seorang siswi empat belas tahun mengangkat tangannya dan bertanya " Apakah anda bisa tergoda oleh cewek?"
Untunglah siswi-siswi lainnya menyelamatkan saya dan mengomeli gadis itu karena telah mempermalukan mereka semua. Bagi saya sendiri, saya hanya tertawa dan mencatat kejadian itu sebagai bahan untuk ceramah saya berikutnya.
Pada kejadian lain, saya sedang berjalan di sepanjang jalan utama di kota ketika sekelompok siswi mendekati saya, "Hai" mereka menyapa saya dengan sangat ramah, " Anda ingat kami? Belum lama ini anda datang ke sekolah kami untuk berceramah."
"Saya tersanjung karena kalian masih ingat pada saya," jawab saya.
" Kami tidak akan melupakan anda" kata salah seorang siswi, " Bagaimana kami bisa melupakan seorang biksu yang bernama 'Bra'!"
Si Anjing yang Tertawa Belakangan
Tahun pertama saya sebagai seorang bhikkhu di timur laut Thailand bertepatan dengan tahun terakhir Perang Vietnam. Di dekat vihara Ajahn Chah, tak jauh dari Kecamatan Ubon, terdapat pangkalan udara Amerika. Ajahn Chah senang menceritakan kisah nyata berikut tentang bagaimana menghadapi pelecehan.
Seorang tentara Amerika sedang jalan-jalan dari pangkalan menuju kota dengan naik becak. Di pinggiran kota, mereka melewati sebuah kedai pinggir jalan, di mana terdapat beberapa orang teman si penarik becak di sana, yang sudah agak mabuk.
...
"Hei!" teriak mereka dalam bahasa Thai. "Kau bawa ke mana anjing kotor itu?" Lalu mereka tertawa-tawa sambil menunjuk si serdadu Amerika.
Sejenak, si penarik becak merasa keder. Si tentara berbadan sangat besar. Dan, memanggil seseorang sebagai "anjing kotor" merupakan ajakan perkelahian yang bukan main-main. Namun, si tentara hanya diam sambil melihat kiri-kanan, menikmati pemandangan indah. Jelas, dia tidak mengerti bahasa Thai.
Si penarik becak, memutuskan untuk ikut mengolok-olok si tentara Amerika, berteriak balik, "Aku membawa anjing kotor ini dan melemparnya ke sungai untuk mencuci baunya yang tak sedap!"
Sewaktu si penarik becak dan teman-temannya yang mabuk terbahak-bahak, si tentara tetap diam saja.
Sewaktu mereka sampai ke tujuan dan si penarik becak menadahkan tangannya untuk meminta ongkos perjalanan, si tentara Amerika dengan cueknya berjalan menjauh.
Dengan gerah, si penarik becak meneriakinya dalam bahasa Inggris yang amburadul tapi cukup jelas, "Hey! Sir! You pay me dollars!".
Dengan kalem si tentara bertubuh besar itu membalikkan badan dan berkata dalam bahasa Thai yang sangat fasih, "Anjing kan tidak punya uang..."
Pelecehan & Pencerahan
Guru-guru meditasi yang berpengalaman sering harus berhadapan dengan siswa-siswa yang mengklaim diri mereka telah mencapai pencerahan. Salah satu cara ampuh untuk menguji apakah klaim tersebut benar atau tidak adalah dengan melecehkan si murid sedemikian rupa sehingga mereka akhirnya menjadi marah. Seperti yang telah diketahui oleh semua biarawan dan biarawati Buddhis, Buddha dengan jelas menyatakan bahwa siapa pun yang masih bisa marah, pastilah belum tercerahkan.
Seorang biksu Jepang muda, berkeinginan kuat untuk mencapai Nirwana dalam kehidupan ini juga, mengasingkan diri untuk bermeditasi di sebuah pertapaan, di sebuah pulau di tengah telaga, tak jauh dari sebuah wihara terkenal. Dia ingin tercerahkan sedini mungkin dalam hidupnya, setelah itu dia bisa mengurusi hal-hal lainnya.
Ketika pelayan wihara datang dengan sampan kecilnya untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda menitipkan pesan untuk meminta beberapa helai kertas perkamen yang mahal, sebuah pena bulu ayam, dan sebotol tinta bermutu tinggi. Dia akan segera mengakhiri tiga tahun pertapaan dalam kesunyiannya dan ingin mengabari kepala wihara betapa hebat pencapaiannya.
Perkamen, pena bulu ayam, dan sebotol tinta tiba pada minggu berikutnya. Beberapa hari kemudian, setelah meditasi dan merenung mendalam, si biksu muda menulis sebuah puisi pendek dalam kaligrafi yang sangat elok di atas perkamen bagus itu, isinya seperti ini:
Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam kesendirian
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.
Pastilah, pikirnya, kepala wiharanya yang bijak akan melihat kata-kata ini, dan menyadari betapa cermatnya kata-kata itu ditulis, beliau akan mengetahui bahwa muridnya kini telah tercerahkan. Dengan lembut dia menggulung perkamen itu, mengikatnya dengan seutas pita, dan menunggu kedatangan si pelayan untuk menghantarkan gulungan itu kepada kepala wihara. Sepanjang hari-hari penantian itu, dia membayangkan sang kepala wihara akan gembira sekali membaca puisi cemerlang itu, yang digoreskan dengan sangat cermat. Dia membayangkan puisi itu akan diberi bingkai yang mahal dan digantung di aula utama di wihara. Tak diragukan lagi, mereka pasti akan memaksanya menjadi kepala wihara, mungkin untuk mengepalai sebuah wihara kota yang terkenal. Betapa indah rasanya keberhasilannya ini!
Ketika si pelayan mendayung kembali sampannya ke pulau itu untuk mengantarkan pasokan mingguan, si biksu muda sudah menantinya. Si pelayan segera menyerahkan segulung perkamen yang mirip dengan yang dahulu dia kirimkan, tetapu yang ini diikat dengan pita yang berbeda warna."Dari kepala wihara," kata si pelayan dengan cepat.
Dengan bersemangat si biksu muda merobek pita pengikat perkamen itu dan merentangkan gulungannya. Saat matanya menatap perkamen itu, seolah-olah perkamen itu terus membentang selebar bulan, dan wajahnya pun memucat. Itu adalah perkamennya sendiri, tetapi di sebelah baris pertama kaligrafinya yang elok, dengan sangat sembarangan sang kepala wihara telah menuliskan sebuah kata dengan pena marah:" Kentut!" Di baris ketiga terdapat kekurangajaran lain: "Kentut!" ketika gulungan berakhir, begitu pula di baris keempat sajak tersebut.
Ini keterlaluan! Si tua bangka itu bukan cuma goblok banget sampai tidak mengenali pencerahan yang ada di depan hidung besarnya sendiri, tetapi dia pun telah berlaku kurang ajar dan tak beradab karena menghancurkan sebuah karya seni dengan coretan-coretan tak senonoh. Sang kepala wihara telah bertingkah laku seperti preman, bukan seperti biksu. Ini adalah pelecehan terhadap seni, tradisi, dan kebenaran.
Mata si biksu menyipit dengan sengitnya, mukanya menjadi merah padam, dan sembari mendengus dia berkata dengan tegas kepada si pelayan, "Antarkan aku kepada kepala wihara! Sekarang juga!"
Itu adalah pertama kalinya dalam tiga tahun si biksu muda meninggalkan pulau pertapaanya. Dalam kemarahannya, bagai amukan badai dia menerjang masuk ke kantor kepala wihara, melemparkan perkamen itu ke atas meja, dan menuntut penjelasan.
Dengan lembut, sang kepala wihara yang berpengalaman itu memungut gulungan perkamen tersebut, berdehem, dan membaca puisi yang tertulis di atasnya:
Biksu muda yang tekun
Tiga tahun bermeditasi dalam sendiri
Tak kan tergoyahkan lagi
Oleh empat angin duniawi.
Lalu, dia meletakkan kembali perkamen tersebut, menatap si biksu muda, dan melanjutkan,:Hmm! Jadi, Biksu Muda, kamu tak tergoyahkan lagi oleh empat angin duniawi! Tetapi empat kentut kecil saja sudah meniupmu menyeberangi telaga!"
Ketika Saya Mencapai Pencerahan
Pada tahun keempat saya menjadi biksu di Thailand, saya berlatih lama dan berat di sebuah vihara hutan yang terpencil di timur laut. Suatu hari, di tengah malam, saat meditasi jalan, pikiran saya menjadi luar biasa jernih. Pandangan cerah mengalir bagaikan air terjun di pegunungan. Dengan mudah saya memahami misteri-misteri yang selama ini tidak saya pahami. Ini dia! Pencerahan!
Rasa bahagianya tidak seperti apa pun yang saya ketahui sebelumnya. Ada banyak sukacita, di saat bersamaan, semua serba damai. Saya bermeditasi sampai sangat larut, tidur singkat sekali, dan bangun untuk melanjutkan meditasi lagi. Kesadaran mengalir sangat tajam laksana pisau bedah dan konsentrasi dengan mudah terpusat. Namun, sungguh sayang hal itu tak bertahan lama.
Di Thailand timur laut makanannya begitu memualkan. Biasanya, hidangan utama kami setiap hari adalah kari ikan busuk – ikan kecil-kecil yang ditangkap selama musim hujan, disimpan dalam gentong tanah liat, dan digunakan sepanjang tahun. Pada hari pasca-pencerahan saya, saya melihat ada dua panci kari sebagai lauk. Panci yang satu berisi kari ikan busuk seperti biasanya, sedangkan panci lainnya berisi kari daging babi yang layak makan.
Kepala vihara memilih makanannya sebelum saya. Ia mengambil tiga sendok besar kari daging babi yang lezat. Sebelum menyerahkan sendok lauk kepada saya, ia mulai mencampur kari daging babi yang menggiurkan itu ke dalam panci kari ikan busuk. “Kan sama saja!” katanya sambil mengaduk-aduk.
Saya terdiam. Dalam hati saya menggerutu. Jika dia benar-benar berpikir “kan sama saja,” mengapa dia lebih dulu mengambil tiga sendok kari daging babi untuk dirinya sendiri, sebelum mencampuradukkannya? Dasar curang!
Lalu, sebuah penyadaran menghantam saya. Orang yang tercerahkan tak akan memilih-milih makanan, pun tak mungkin marah dan menyumpahi kepala viharanya, meskipun cuma dalam hati. Api kemarahan saya tiba-tiba dipadamkan oleh guyuran hujan kesedihan. Awan-awan gelap kekecewaan menggulung di hati dan menutupi sinar mentari pencerahan saya. Saya mengambil dua sendok kari ikan busuk yang sudah bercampur kari daging babi. Saya tak peduli lagi apa yang saya makan. Saya begitu sedih menyadari kenyataan bahwa saya belum mencapai pencerahan.
Babi Jalanan
Ngomong-ngomong soal babi, seorang dokter spesialis yang kaya baru saja membeli sebuah mobil sport baru yang tangguh dan sangat mahal. Tentu saja, Anda tidak akan mengeluarkan begitu banyak uang untuk membeli mobil tenaga besar hanya untuk dikendarai didalam kota yang lalu lintasnya lambat. Jadi, pada suatu hari yang cerah, dia berkendara keluar kota menuju pedesaan yang sepi. Begitu mencapai zona bebas kamera pengintai kecepatan, dia menekan habis pedal gas dan menikmati sentakan kecepatan mobil sportnya. Dengan mesin yang meraung-raung dan decit kelebat kendaraan di sepanjang jalan desa, si dokter tersenyum, melambung menikmati kecepatan tinggi.
Namun, seorang petani kucel yang sedang bersandar di sebuah gerbang kandang, ternyata tak ikut-ikutan melambung nikmat. Dia berteriak sekeras-kerasnya untuk mengalahkan raungan mesin mobil sport itu, “Baaabiiii!!!”
Si dokter tahu bahwa dia sudah bertingkah ugal-ugalan, benar-benar tak peduli akan ketenangan sekitarnya, tetapi dia berpikir, “Persetan! Gue berhak menikmati kesenangan gue sendiri!”.
Lalu dia menoleh dan berteriak kepada si petani, “Lu yang babi!!!”
Dalam sekejab saja, saat dia tidak mengarahkan pandangan ke jalan, mobilnya menabrak seekor babi di tengah jalan !
Mobil sport barunya ringsek berat. Dan senasib dengan si babi, dia harus mondok beberapa minggu di rumah sakit dan kehilangan banyak uang untuk itu, begitu pula untuk mobilnya.
Hare Krishna
Pada cerita sebelumnya, ego si dokter menyebabkan dia berprasangka buruk terhadap peringatan yang diberikan oleh seorang petani ang baik hati. Pada cerita berikut ini, ego saya telah menyebabkan saya berprasangka buruk kepada orang baik hati lainnya, sesuatu yang membuat saya menyesal.
Saya barusan mengunjungi ibu saya di London. Beliau berjalan bersama saya menuju stasiun kereta api ealing broadway untuk membantu saya mengurus tiket. Di tengah jalan menuju stasiun, di jalan Ealing High yang ramai, saya mendengar seseorang mencemooh," Hare Krishna! Hare Krishna!"
Karena menjadi biksu berkepala gundul dan berjubah cokelat. Saya sering disalahsangkai sebagai pengikut Gerakan kesadaran Krishna. Beberapa kali di Australia, orang-orang kampungan mencoba mengejek saya, biasanya dari jarak yang cukup aman, dengan berteriak " Hare Krishna, Hare Krishna!" dan meniru-nirukan penampilan saya. Saya cepat-cepat mengarahkan pandangan ke orang yang berteriak, "Hare Krishna!" dan memutuskan untuk bertindak tegas dengan menegurnya atas pengunaan di depan umum terhadap seorang biarawan Buddhis yang baik ini.
Dengan Ibu di belakang saya, saya berkata kepada pemuda yang mengenakan jin, jaket, dan kopiah itu, " Lihat, Bung! Saya seorang biksu, bukan pengikut 'Hare Krishna'. Harusnya anda tahu. Jangan asal teriak 'Hare Krishna' kepada saya!"
Pemuda itu tersenyum dan melepaskan kopiahnya, memperlihatkan kucir panjang dibagian belakang kepalanya yang gundul. " Iya, saya tahu!" katanya." Anda seorang Biksu. Saya seorang Hare Krishna.Hare Krishna!Hare Krishna!"
Ternyata dia sama sekali tidak sedang mencemooh saya, dia hanya melaksanakan ritual Hare Krishna-nya saja. Saya benar-benar kehilangan muka. Kenapa sih hal-hal semacam ini hanya terjadi ketika kita sedang bersama ibu kita?
Palu
Suatu hari saat berjalan melintasi halaman vihara, saya menemukan sebuah palu tergeletak di sana. Palu itu jelas sudah cukup lama berada di situ, kelihatan dari karatnya. Saya sangat kecewa dengan kecerobohan rekan-rekan biksu. Segala yang kami gunakan adalah sumbangan. Maka, sungguh tak benar memperlakukan pemberian para penyokong dengan seenaknya.
Saya menghadiahi pecutan lidah kepada rekan-rekan biksu. Mereka perlu diberi pelajaran, agar menjaga barang-barang. Ketika saya selesai mengoceh, semua biksu duduk tegak, diam dengan muka kelabu. Saya menunggu sejenak, berharap si terdakwa mengakui perbuatannya. Tetapi tak seorang pun mengaku.
Saat saya berjalan keluar aula, tiba-tiba saya tersentak sadar mengapa tak seorang pun dapat dimintai pertanggungjawaban. Saya segera kembali ke aula. "Para biksu," saya mengumumkan, "Saya telah menemukan siapa yang meninggalkan palu di halaman. Orang itu adalah... saya!"
Saya benar-benar lupa, saya pernah bekerja memakai palu itu, tetapi karena tergesa-gesa, saya meninggalkan palu di halaman. Bahkan selama berkata-kata pedas tadi, ingatan saya masih kabur. Baru setelah selesai bicara, semua kembali kepada saya. Saya telah bertindak ceroboh. Ooooh, betapa memalukan!
Untunglah, di vihara kami ada kebijakan bahwa para biksu dimaklumi jika melakukan kesalahan. Kita semua melakukan kesalahan dari waktu ke waktu. Hidup adalah pembelajaran untuk terus mengurangi kesalahan.
Menikmati Lelucon Tanpa Melecehkan Siapa pun
Ketika anda menyingkirkan ego anda, maka tak ada seorang pun yang bisa melecehkan anda. Jika seseorang menyebut anda ”bodoh”, satu-satunya alasan kenapa anda merasa terusik adalah karena anda percaya bahwa jangan-janga mereka itu benar!
Beberapa tahun silam, takkala saya sedang berkendara di sepanjang jalan raya di Perth, sekelompok anak muda disebuah mobil sport tua memerhatikan saya dan mulai mengejek memulai jendela mobil mereka dibuka, ”Hei, plontos! Oi, kepala botak!” Selama mereka mencoba memanas-manasi, saya saya menurunkan kaca jendela mobil yang saya tumpangi dan berteriak balik, ”Cukur sana! Kamu kaya cewe aja!” Seharusnya saya tak berbuat seperti itu, karena itu malah menambah semangat mereka saja.
Anak-anak muda itu lantas menyetir mobilnya disamping mobil yang saya tumpangi, mengeluarkan sejumlah masalah dan, dengan mulut terbuka lebar, mulai melambai-lambai liar untuk menarik perhatian saya supaya melihat gambar dimajalah itu. Itu adalah sebuah majalah Playboy.
Saya menertawakan selera humor mereka yang kurang ajar itu. Saya pun akan bertingkah seperti mereka dan mereka ketika seumuran mereka dan sedang pergi bersama teman-teman. Setelah melihat saya tertawa, mereka segera berlalu. Tertawa pada saat kita diejek adalah alternatif yang baik ketimbang menolak pelecehan.
Dan apakah saya melihat gambar dimajalah Playboy tersebut? Tentu saja tidak saya kan biksu baik-baik.... Tetapi, bagaimana saya bisa tahu bahwa itu adalah majalah Playboy? Karena sopir sayalah yang bilang. Yah, begitulah ceritanya.
Si Idiot
Seseorang menyebut Anda idiot. Maka Anda mulai berpikir, “Bagaimana mereka bisa menyebutku idiot? Mereka tak berhak menyebutku idiot! Betapa kasarnya menyebutku idiot! Akan kubalas mereka karena telah menyebutku idiot!”
Dan tiba-tiba saja Anda sadar bahwa Anda telah membiarkan mereka begitu saja menyebut Anda sebagai idiot sebanyak empat kali lagi!
Setiap kali Anda ingat apa yang telah mereka katakan, berarti Anda mengizinkan mereka menyebut Anda idiot. Di sinilah letak masalahnya.
Jika seseorang menyebut Anda idiot dan dengan segera Anda membiarkannya berlalu, maka ejekan tersebut tidak akan mengusik Anda. Di sinilah letak solusinya.
Mengapa membiarkan orang lain mengendalikan kebahagiaan dalam diri Anda ?
Penderitaan dan Pelepasan
Yang Terberat Dalam Hidup
Orang2 jaman sekarang terlalu banyak berpikir. Kalau saja mereka sedikit mengurangi proses berpikir mereka, barangkali hidup mereka akan mengalir jauh lebih lancar.
Di Vihara kami di Thailand, satu malam setiap minggu, para biksu begadang tidak tidur untuk bermeditasi sepanjang malam di aula utama. Ini adalah bagian dari tradisi pertapa hutan. Ini tidaklah terlalu berat karena kami selalu bisa tidur pada pagi harinya.
Suatu pagi, sesudah semalaman bermeditasi, ketika kami bersiap kembali ke pondok masing-masing untuk tidur, kepala vihara memanggil seorang biksu junior kelahiran Australia. Betapa kesalnya dia karena kepala vihara memberinya setumpuk besar jubah untuk dicuci, seraya menyuruh untuk mengerjakannya sekarang juga. Sudah menjadi tradisi kami untuk membantu kepala vihara mencuci jubahnya dan melayaninya melakukan hal-hal kecil lainnya.
Ini merupakan tumpukan cucian yang banyak. Lebih-lebih, seluruh cucian harus dikerjakan dengan cara tradisional ala biksu hutan. Air harus ditimba dari sumur, bikin api besar, dan mendidihkan air. Potongan kayu dari pohon nangka dibelah-belah dengan parang. Bilah-bilah kayu tsb dimasukkan kedalam air mendidih untuk mengeluarkan sarinya, yang akan berfungsi sebagai "deterjen". Lalu setiap jubah diletakkan secara terpisah didalam sebuah bak kayu yang panjang, kemudian air mendidih kecoklatan itu disiramkan kedalamnya, dan jubah dipukul-pukul dengan tangan sampai bersih. Biksu kemudian harus mengeringkannya dibawah sinar matahari, membolak-baliknya agar pewarna alaminya tidak luntur. Mencuci satu jubah saja membutuhkan proses yang lama dan merepotkan. Mencuci sebegitu banyak jubah akan memerlukan waktu berjam-jam. Si biksu muda dari Brisbane ini sudah lelah semalaman tidak tidur. Saya merasa kasihan juga kepadanya.
Saya datang ke pelataran tempat mencuci itu untuk membantunya. Sesampai disana, dia sedang memaki-maki dan merutuk, lebih condong ke tradisi Brisbane daripada tradisi Buddhis. Dia mengeluhkan betapa tidak adil dan kejamnya itu. "Tidak bisakah kepala vihara menunggu sampai besok? Tidakkah dia sadar bahwa aku tidak tidur semalaman? Aku tidak menjadi biksu untuk mencuci !" Kata-katanya tidak persis seperti itu, tapi itulah yang masih cukup sopan untuk ditulis disini.
Saat itu terjadi, saya telah menjadi biksu selama beberapa tahun. Saya memahami apa yang dia alami dan tahu jalan keluar dari permasalahannya. Saya berkata kepadanya, "Memikirkannya, jauh lebih berat daripada mengerjakannya".
Dia terdiam dan memandang saya. Setelah hening sejenak, tanpa berkata apa-apa dia kembali bekerja, dan saya pergi tidur. Belakangan pada hari itu, dia menemui saya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan saya mencuci jubah. Memang benar, dia paham, bahwa memikirkannya adalah bagian yang terberat. Ketika dia berhenti mengeluh dan hanya menggarap cuciannya, sama sekali tidak ada masalah.
Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah ..... memikirkannya.
Pengalaman Angkut Mengangkut
Saya merenguk pelajaran tak ternilai tentang " Bagian terberat dari segala sesuatu dalam hidup adalah memikirkannya" pada awal-awal masa kebiksuan saya di Thailand Timur laut. Ajahn Chah tengah membangun aula upacara baru untuk wiharanya dan banyak biksu ikut membantu pekerjaan itu. Ajahn Chah suka menguji kami dengan mengatakan bahwa setiap biksu harus bekerja keras sepanjang hari dengan upah satu atau dua botol Pepsi saja, yang mana jauh lebih murah ketimbang menyewa buruh dari kota. Sering saya berpikir untuk membentuk serikat buruh beranggotakan biksu-biksu junior.
Aula upacara itu dibangun di atas bukit buatan para biksu. Karena itu, ada banyak gundukan sisa tanah. Ajahn Chah memanggil kami dan mengatakan bahwa dia ingin sisa tanah itu dipindahkan ke belakang wihara. Selama tiga hari berikutnya, bekerja dari pukul 10 pagi sampai hari benar-benar gelap, kami menyekop dan mengangkut tanah tersebut dengan gerobak sorong ke tempat yang diinginkan oleh Ajahn Chah. Saya senang saat pekerjaan tersebut akhirnya selesai juga.
Pada hari berikutnya, Ajahn Chah pergi untuk mengunjungi wihara lain selama beberapa hari. Setelah dia pergi, wakil kepala wihara memanggil kami dan memberi tahu kami semua bahwa tanah itu berada di tempat yang keliru dan harus segera dipindahkan. Saya jadi jengkel, tetapi saya berhasil mengatasi kejengkelan ketika kami semua bergotong-royong selama tiga hari lagi di terik musim tropis.
Baru saja kami selesai memindahkan timbunan tanah itu untuk kedua kalinya, Ajahn Chah pulang. Dia memanggil semua biksu dan berkata, "Mengapa kalian memindahkan tanah ke situ? Saya kan bilang bahwa tanah itu harus dipindahkan ke sana. Ayo pindahkan kembali!"
Saya marah. Saya naik pitam. Saya ingin berontak. "Tidak bisakah biksu-biksu sepuh itu berunding dahulu di antara mereka? Ajaran Buddha semestinya kan sebuah agama yang teratur, tetapi wihara ini sungguh tak keruan, bakah mengatur pembuangan kotoran saja tak becus! Mereka tak bisa memperlakukan saya seperti ini!"
Tambah tiga hari lagi. Hari-hari yang melelahkan telah terbayang di pelupuk mata saya. Sembari mendorong gerobak sorong yang berat, saya mengutuk dalam bahasa Inggris supaya biksu-biksu Thai tidak paham. Ini sudah keterlaluan. Kapan semua ini selesai?
Saya mulai memperhatikan bahwa makin saya marah, makin berat pula rasanya gerobak yang saya sorong. Seorang rekan biksu melihat saya sedang mengomel, dia menghampiri dan berkata kepada saya, "Masalahmu adalah karena kamu terlalu banyak berpikir!"
Betul juga dia. Begitu saya berhenti meratap dan merengek, gerobak sorong itu terasa jauh lebih ringan. Saya menghikmahi pelajaran yang saya terima itu. Memikirkan soal mengangkut tanah adalah bagian yang terberat; mengangkut tanahnya sendiri mudah.
Sampai hari ini, saya curiga bahwa jangan-jangan Ajahn Chah dan wakilnya memang sedari semula telah merencanakan ini semua.
Malangnya Saya, Untungnya Mereka
Kehidupan sebagai biksu junior di Thailand serasa begitu tidak adil. Biksu senior mendapatkan makanan terbaik, duduk di tempat paling empuk, dan tidak perlu mendorong-dorong gerobak sorong. Sementara, satu-satunya makanan harian saya tidak mengundang selera; saya harus duduk berjam-jam dalam sebuah upacara di lantai semen yang keres (yang juga tidak rata, karena penduduk desa payah dalam menyemen); dan kadang-kadang saya harus bekerja sangat keras. Malangnya saya, untungnya mereka.
Saya menghabiskan waktu yang lama dan tidak menyenangkan untuk memikirkan keluhan saya. Biksu senior mungkin sudah begitu tercerahkan, jadi makanan enak percuma saja bagi mereka, seharusnya saya mendapat makanan terbaik. Biksu senior sudah terbiasa duduk bersila di lantai keras selama bertahun-tahun, karena itu sayalah yang seharusnya duduk di tempat empuk. Lebih lanjut, biksu senior gemuk-gemuk karena makan makanan yang enak-enak, jadi sudah memiliki "bantalan alam" sendiri. Biksu senior cuma bisa omong bahwa biksu junior harus kerja, tetapi mereka sendiri tak pernah kerja., jadi bagaimana mereka bisa mengerti betapa panas dan capainya mendorong kereta sorong itu? Proyek-proyek itu adalah gagasan mereka, jaid seharusnya merekalah yang bekerja! Malangnya saya, untungnya mereka,.
Ketika saya sudah menjadi biksu senior, saya makan-makanan terbaik, duduk di tempat yang empuk, dan hanya sedikit bekerja fisik. Namun, ternyata saya malah iri kepada biksu-biksu junior. Mereka tidak perlu memberikan ceramah, tidak perlu seharian mendengarkan keluhan umat, dan tidak perlu menghabiskan waktu berjam-jam untuk urusan administrasi. Mereka tidak banyak tanggung jawab dan mereka punya begitu banyak waktu luang. Saya jadi berpikir, "Malangnya saya, untungnya mereka!"
Segera saya tersadar apa yang terjadi. Biksu junior memiliki "derita biksu junior". Biksu senior memiliki "derita biksu senior". Sewaktu saya menjadi biksu senior, saya hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lain.
Ini persis sama untuk para bujangan yang iri kepada mereka yang sudah menikah, dan mereka yang sudah menikah iri kepada mereka yang masih bujang. Dari sini kita seharusnya mengerti sewaktu kita menikah, kita hanyalah mengganti "derita bujangan" dengan "derita orang kimpoi". Sewaktu kita bercerai, kita hanyalah mengganti "derita orang kimpoi", dengan "derita orang yang tidak lagi kimpoi". Malangnya saya, untungnya mereka.
Sewaktu kita miskin, kita iri kepada mereka yang kaya. Namun, banyak orang kaya yang iri kepada persahabatan tulus dan keterbebasan dari beban tanggung jawab yang dipunyai oleh mereka yang miskin. Menjadi kaya hanyalah mengganti "derita orang miskin" dengan "derita orang kaya:. Pensiun dan penurunan penghasilan hanyalah mengganti "derita orang kaya" dengan "derita orang miskin". Begitu seterusnya.... Malangnya saya, untungnya mereka.
Berpikir bahwa Anda akan bahagia dengan menjadi sesuatu yang lain, hanyalah khayalan. Menjadi sesuatu yang lain hanyalah mengganti satu bentuk derita ke bentuk derita lainnya. Namun, saat Anda merasa berkecukupan dengan apa adanya diri Anda, junior atau senior, kimpoi atau bujang, kaya atau miskin, maka Anda terbebas dari derita. Untungnya saya, Malangnya mereka.
Sebuah Nasihat Bila Anda Sakit
Pada tahun kedua menjadi biksu di
Thailand timur laut, saya jatuh sakit terkena tifus. Demamnya begitu
tinggi, sehingga saya harus mondok di bangsal biksu di sebuah rumah
sakit di Ubon. Pada waktu itu, pertengahan tahun 1970-an, Ubon adalah
wilayah terpencil dan tertinggal dari sebuah desa yang sangat miskin.
Merasa lemah dan muram, dengan jarum infus di lengan, saya memerhatikan
perawat pria meninggalkan posnya pada pukul enam sore. Setengah jam
kemudian, penggantinya tak kunjung tiba, jadi saya bertanya pada biksu
di ranjang sebelah apakah kita perlu memanggil petugas bahwa perawat
jaga malam belum datang. Saya segera diberi tahu bahwa di bangsal biksu
tidak pernah ada perawat jaga malam. Jika anda mengalami hal-hal buruk
pada malam hari, itu cuma dianggap karma buruk saja. Jatuh sakit saja
sudah cukup buruk, tambah parah lagi, saya sekarang jadi ketakutan!
Selama empat minggu berikutnya, setiap
pagi dan sore seorang perawat yang badannya sebesar kerbau air akan
menyuntikkan antibiotik di pantat saya. Ini adalah rumah sakit umum
miskin di daerah terbelakang negara dunia ketiga, jadi jarum suntik akan
digunakan berulang kali lebih sering daripada yang diperbolehkan di
bangkok. Perawat berlengan kekar itu akan mencobloskan jarum suntuk
kedalam daging dengan kekuatan penuh. Para biksu diharapkan tabah,
tetapi pantat saya tidak tabah, pantat saya terasa sangat nyeri. Saat
itu saya jadi benci kepada si perawat itu.
Saya kesakitan, saya lemah, dan merasa
tak pernah sesengsara itu dalam hidup saya. Lantas, pada suatu hari,
Ajahn Chah datang ke bangsal biksu untuk menjenguk saya. Untuk menjenguk
saya! Saya merasa sangat tersanjung dan terkesan. Saya merasa bangga.
Saya merasa hebat – sampai Ajahn Chah membuka mulutnya. Apa yang dia
katakan, yang belakangan saya ketahui, adalah apa yang juga dia katakan
tiap kali menjenguk biksu-biksu yang sedang berbaring di rumah sakit.
Dia berkata kepada saya,” Kalau kamu tak sembuh, kamu akan mati.”
Lalu, dia pun berlalu.
Pupus sudah kegembiraan saya. Buyar
sudah sukacita saya dibesuk. Parahnya, Anda tidak bisa menyalahkan Ajahn
Chah. Apa yang dikatakannya adalah kebenaran mutlak. Kalau saya tak
sembuh, saya akan mati. Pada setiap pilihan itu, ketidaknyamanan karena
penyakit tak akan berlanjut lagi. Sungguh mengejutkan, hal itu begitu
menenteramkan. Sebagaimana yang terjadi, saya sembuh alih-alih sekarang.
Sungguh guru yang hebat, Ajahn Chah itu.
Apa Sakit itu Salah?
Dalam beberapa ceramah, saya sering
meminta hadirin mengangkat tangan jika mereka pernah jatuh sakit. Hampir
semua orang mengangkat tangannya ( mereka yang tidak mengangkat
tangannya bisa jadi sedang tertidur atau sedang tersesat dalam fantasi
seksualnya!). Menurut saya, ini membuktikan bahwa jatuh sakit itu adalah
lumrah. Pada kenyataannya, adalah aneh jika anda tidak pernah jatuh
sakit dalam hidup anda. Jadi mengapa, tanya saya, saat ke dokter, Anda
bilang,” Ada sesuatu yang tidak beres dengan saya, dok?”? Padahal, akan
ada yang tidak beres jika anda tidak pernah sakit sama sekali. Jadi
orang yang waras seharusnya bilang,” Saya beres-beres saja, Dok, saya
sakit lagi nih!”
Kapan pun Anda menganggap penyakit
sebagai sesuatu yang salah, Anda menambahkan ketegangan yang tak perlu,
bahkan juga rasa bersalah, ke puncak kesengsaraan. Dalam novel abad
ke-19 yang berjudul Erehwon, Samuel Butler membayangkan suatu masyarakat
di mana penyakit dianggap sebagai suatu kejahatan dan orang yang sakit
akan dipenjarakan. Pada sebuah bagian yang tak terlupakan dari buku
tersebut, si terdakwa, yang tengah tersedu-sedu dan bersin-bersin di
atas mimbar, dicaci-maki sebagai pembunuh berantai oleh sang hakim. Ini
bukan kali pertama dia terpergok menderita flu oleh sang hakim. Lebih
lanjut, itu semua adalah salahnya sendiri karena memakan makanan yang
tidak sehat, kurang berolahraga, dan mengikuti gaya hidup yang tidak
sehat. Dia dihukum penjara selama beberapa tahun.
Berapa banyak dari kita yang menjadi merasa bersalah manakala kita sakit?
Seorang rekan biksu telah menderita
suatu penyakit tak dikenal selama beberapa tahun. Dia menghabiskan hari
demi hari, minggu demi minggu, berbaring di ranjang sepanjang hari,
terlalu lemah bahkan hanya untuk berjalan keluar kamar. Pihak wihara itu
telah membiayai berbagai jenis pengobatan, baik medis maupun
alternatif, dalam upaya menyembuhkannya, tetapi tampaknya tak ada yang
berhasil. Ketika dia merasa sedikit baikan, dia berjalan
terhuyung-huyung beberapa langkah, lalu tumbang lagi berminggu-minggu.
Para anggota wihara sering berpikir bahwa dia akan segera meninggal.
Suatu hari, kepala wihara yang bijaksana
mendapatkan ilham mengenai masalah ini. Jadi, dia pergi ke kamar biksu
yang sakit itu. Biksu yang terbaring itu menatap kepala wihara dengan
tatapan nanar pasrah.
“Saya datang ke sini,” kata kepalah
wihara, “atas nama seluruh biarawan dan biarawati di wihara ini, juga
seluruh umat penyantun kita. Atas nama seluruh orang yang peduli dan
mengasihimu, saya datang untuk memberimu izin untuk mati. Kamu tidak
harus sembuh.”
Mendengar kata-kata itu, si biksu sakit
terisak. Dia telah berupaya keras untuk sembuh. Teman-temannya telah
banyak membantu demi kesembuhannya, sehingga dia tidak mau mengecewakan
mereka. Dia merasa begitu gagal, begitu bersalah, karena tak kunjung
sembuh. Saat mendengar kata-kata sang kepala wihara, seketika dia merasa
bebas untuk menjadi orang sakit, bahkan bebas untuk mati. Dia tidak
perlu lagi berjuang demikian keras untuk menyenangkan teman-temannya,
Kegelapan itu membuatnya menangis.
Menurut Anda, apa yang terjadi kemudian? Semenjak hari itu, kesehatannya mulai membaik.
Menjenguk Orang Sakit
Sewaktu menjenguk seseorang di rumah sakit, banyak sekali yang mengatakan,"Bagaimana rasanya hari ini?"
Betapa konyolnya ucapan itu! Tentu saja keadaan mereka buruk, kalau tidak pastilah mereka tidak berada di rumah sakit kan? Lagi pula, kata-kata klise tersebut membuat pasien menjadi tertekan mentalnya. Mereka tentu merasa kurang sopan kalau mereka membuat penjenguk menjadi sedih dengan berkata yang sebenarnya mengenai keadaan mereka yang payah. Bagaimana mereka bisa mengecewakan seseorang yang telah susah payah datang mengunjungi mereka di rumah sakit dengan menjawab bahwa mereka kesakitan, payah, seperti seonggok karung bekas? Oleh karena itu, mereka terpaksa berbohong, berkata, "Saya sudah baikan hari ini", dengan perasaan bersalah bahwa mereka tidak berbuat apa-apa untuk cepat sembuh. Begitulah, begitu banyak pengunjung rumah sakit yang justru membuat pasien merasa lebih sakit!
Seorang bhikkhuni Australia tradisi Tibetan dalam keadaan sekarat akibat menderita kanker parah di sebuah rumah sakit di Perth. Saya mengenalnya sudah beberapa tahun dan cukup sering menjenguknya. Suatu hari dia menelpon saya di vihara, meminta agar saya mengunjunginya hari itu juga, karena dia merasa waktunya sudah dekat. Saya menghentikan segala aktifitas saya dan segera meminta seseorang mengantarkan saya ke rumah sakit di Perth yang berjarak tujuh puluh kilometer. Sewaktu lapor di resepsi rumah sakit tersebut, suster jaga mengatakan bahwa si bhikkhuni Tibetan tersebut memberi intruksi agar tidak seorangpun diijinkan menjenguknya.
"Tapi saya sudah datang begitu jauh khusus untuk menjenguknya," saya berkata kalem.
"Maaf", kata sang suster, "Dia tidak ingin menerima segala pengunjung dan kita harus menghormatinya."
"Tidak mungkin," protes saya, "Dia telah menelpon saya sekitar satu setengah jam yang lalu dan meminta saya datang."
Suster tua itu memandang saya dan meminta saya untuk mengikutinya. Kami berhenti di depan kamar sang bhikkhuni dan si suster menunjuk sebuah kertas yang diplester di pintunya: "TIDAK MENERIMA PENGUNJUNG!"
"Lihat!" kata si suster.
Begitu saya memeriksa kertas tersebut, saya membaca kata-kata lain, ditulis dengan huruf-huruf yang lebih kecil di bawahnya: "... kecuali Ajahn Brahm."
Akhirnya saya boleh masuk.
Saat saya bertanya kepada si bhikkhuni, mengapa dia menaruh kertas pengumuman tersebut dengan perkecualian, dia menjelaskan bahwa setiap kali teman dan kerabat datang mengunjunginya, mereka sangat sedih dan tertekan menyaksikan keadaan dan kondisinya yang parah. dan itu membuat perasaannya menjadi lebih buruk. "Kena kanker sudah cukup jelek dan saya tidak ingin menambahnya dengan berhadapan dengan segala problem mental penjenguknya lagi"
Kemudian dia berkata bahwa cuma saya satu-satunya teman yang memperlakukannya sebagai seorang pribadi, bukan sebagai seseorang yang sekarat; teman yang tidak sedih melihatnya semakin hari semakin kurus dan loyo, malahan menceritakan lelucon-lelucon dan membuatnya tertawa. Saat itu saya menghiburnya dengan lelucon-lelucon, sementara dia mengajarkan saya bagaimana menolong seorang teman yang sedang menghadapi kematian. Saya belajar darinya bahwa saat menjenguk seseorang di rumah sakit,berbicaralah kepada pribadinya dan biarkan penyakitnya menjadi urusan dan pembicaraan dokter serta suster saja.
Dia wafat kurang dari dua hari setelah kunjungan saya.
Sewaktu menjenguk seseorang di rumah sakit, banyak sekali yang mengatakan,"Bagaimana rasanya hari ini?"
Betapa konyolnya ucapan itu! Tentu saja keadaan mereka buruk, kalau tidak pastilah mereka tidak berada di rumah sakit kan? Lagi pula, kata-kata klise tersebut membuat pasien menjadi tertekan mentalnya. Mereka tentu merasa kurang sopan kalau mereka membuat penjenguk menjadi sedih dengan berkata yang sebenarnya mengenai keadaan mereka yang payah. Bagaimana mereka bisa mengecewakan seseorang yang telah susah payah datang mengunjungi mereka di rumah sakit dengan menjawab bahwa mereka kesakitan, payah, seperti seonggok karung bekas? Oleh karena itu, mereka terpaksa berbohong, berkata, "Saya sudah baikan hari ini", dengan perasaan bersalah bahwa mereka tidak berbuat apa-apa untuk cepat sembuh. Begitulah, begitu banyak pengunjung rumah sakit yang justru membuat pasien merasa lebih sakit!
Seorang bhikkhuni Australia tradisi Tibetan dalam keadaan sekarat akibat menderita kanker parah di sebuah rumah sakit di Perth. Saya mengenalnya sudah beberapa tahun dan cukup sering menjenguknya. Suatu hari dia menelpon saya di vihara, meminta agar saya mengunjunginya hari itu juga, karena dia merasa waktunya sudah dekat. Saya menghentikan segala aktifitas saya dan segera meminta seseorang mengantarkan saya ke rumah sakit di Perth yang berjarak tujuh puluh kilometer. Sewaktu lapor di resepsi rumah sakit tersebut, suster jaga mengatakan bahwa si bhikkhuni Tibetan tersebut memberi intruksi agar tidak seorangpun diijinkan menjenguknya.
"Tapi saya sudah datang begitu jauh khusus untuk menjenguknya," saya berkata kalem.
"Maaf", kata sang suster, "Dia tidak ingin menerima segala pengunjung dan kita harus menghormatinya."
"Tidak mungkin," protes saya, "Dia telah menelpon saya sekitar satu setengah jam yang lalu dan meminta saya datang."
Suster tua itu memandang saya dan meminta saya untuk mengikutinya. Kami berhenti di depan kamar sang bhikkhuni dan si suster menunjuk sebuah kertas yang diplester di pintunya: "TIDAK MENERIMA PENGUNJUNG!"
"Lihat!" kata si suster.
Begitu saya memeriksa kertas tersebut, saya membaca kata-kata lain, ditulis dengan huruf-huruf yang lebih kecil di bawahnya: "... kecuali Ajahn Brahm."
Akhirnya saya boleh masuk.
Saat saya bertanya kepada si bhikkhuni, mengapa dia menaruh kertas pengumuman tersebut dengan perkecualian, dia menjelaskan bahwa setiap kali teman dan kerabat datang mengunjunginya, mereka sangat sedih dan tertekan menyaksikan keadaan dan kondisinya yang parah. dan itu membuat perasaannya menjadi lebih buruk. "Kena kanker sudah cukup jelek dan saya tidak ingin menambahnya dengan berhadapan dengan segala problem mental penjenguknya lagi"
Kemudian dia berkata bahwa cuma saya satu-satunya teman yang memperlakukannya sebagai seorang pribadi, bukan sebagai seseorang yang sekarat; teman yang tidak sedih melihatnya semakin hari semakin kurus dan loyo, malahan menceritakan lelucon-lelucon dan membuatnya tertawa. Saat itu saya menghiburnya dengan lelucon-lelucon, sementara dia mengajarkan saya bagaimana menolong seorang teman yang sedang menghadapi kematian. Saya belajar darinya bahwa saat menjenguk seseorang di rumah sakit,berbicaralah kepada pribadinya dan biarkan penyakitnya menjadi urusan dan pembicaraan dokter serta suster saja.
Dia wafat kurang dari dua hari setelah kunjungan saya.
Yang Ringan-ringan dari Kematian
Sebagai biksu, saya sering berurusan
dengan kematian. Memang sudah bagian dari tugas saya untuk memimpin
upacara pemakaman secara Buddhis. Akibatnya, saya jadi kenal secara
pribadi dengan banyak pengurus pemakaman di Perth. Barangkali karena
tuntutan pekerjaannya, mereka harus tampil dengan serius, padahal secara
pribadi mereka punya selera humor yang baik.
Sebagai contoh, seorang pengurus
pemakaman menceritakan kepada saya tentang sebuah pekuburan di Australia
Selatan yang terletak di sebuah rongga tanah liat. Katanya kepada saya,
beberapa kali mereka telah menyaksikan peristiwa yang sama, ketika
mereka baru menurunkan peti mati ke dalam lubang kubur, semburan keras
muncul dan air pun menggenangi lubang itu. Selama pendeta memanjatkan
doa, peti mati itu pun perlahan-lahan mengapung hingga muncul ke
permukaan!
Lalu ada cerita tentang seorang padri di
Perth yang,dalam tugas pelayanan perdananya, secara kurang hati-hati
telah menyentuh semua tombol yang ada di mimbar. Seketika di
tengah-tengah pidatonya, peti mati mulai bergerak melewati tirai,
melindas kabel mikropon dan terompet panggilan terakhir menggema di
seluruh kapel! Tak disangkal lagi bahwa almarhum pastilah seorang
pecinta damai.
Seorang petugas pemakaman punya
kebiasaan untuk menceritakan lelucon kepada saya sambil berjalan
bersama-sama di depan mobil jenazah, saat memimpin iring-iringan, hingga
sampai di sisi liang kubur. Pada setiap bagian pokok dari leluconnya,
yang mana semuanya memang sangat lucu, dia akan menyikut rusuk saya dan
berusaha membuat saya tertawa. Saya mengerahkan segenap daya untuk
menahan diri supaya tidak tertawa terlalu keras. Jadi, saat kami
mendekati tempat upacara, saya harus tegas-tegas mengatakan kepadanya
supaya berhenti melucu agar saya dapat menampilkan paras yang lebih pas
dengan suasana upacara pemakaman. Tetapi teguran itu malah merangsangnya
untuk mulai melontarkan lelucon lain, dasar sinting!
Selama bertahun-tahun, saya belajar
bagaimana cara menghidupkan suasana pemakaman Buddhis yang saya pimpin.
Beberapa tahun yang lalu saya memberanikan diri untuk menceritakan
lelucon untuk pertama kalinya di sebuah upacara pemakaman. Ketika saya
baru saja memulai lelucon itu, pengurus pemakaman yang berdiri di
belakang orang-orang yang sedang berdukaita, dapat menduga apa yang akan
saya lakukan dan melotot kepada saya, mencoba menghentikan saya. Tidak
pantas menceritakan lelucon di upacara pemakaman, tetapi saya berkukuh.
Muka si pengurus pemakaman berubah lebih pucat ketimbang wajah si mayat.
Pada akhir lelucon itu, pecahlah tawa yang menggema di antara orang
orang yang sedang berkabung, dan seringai si pengurus pemakaman
menampakan kelegaan. Keluarga dan teman teman almarhum mengucapkan
selamat kepada saya sesudahnya. Mereka berkata bahwa almarhum pastilah
ikut menikmati lelucon itu dan betapa senangnya almarhum karena semua
orang yang dikasihinya mengiringi kepergiannya dengan senyuman. Sekarang
saya sering melontarkan lelucon itu di upacara pemakaman. Mengapa
tidak? Apakah anda mau keluarga dan teman anda mendengarkan lelucon pada
saat upacara pemkaman anda? Setiap kali menanyakan hal itu, jawabannya
selalu “Ya!”
Jadi apa sih leluconnya?
Sepasang suami istri yang sudah tua telah hidup bersama dalam jangka waktu yang lama,
sampai2 ketika salah satu dari mereka meninggal, yang satu menyusul beberapa hari kemudian
Sepasang suami istri yang sudah tua telah hidup bersama dalam jangka waktu yang lama,
sampai2 ketika salah satu dari mereka meninggal, yang satu menyusul beberapa hari kemudian
Jadi mereka pun muncul bersama-sama di surga.
Sesosok malaikat cantik membawa mereka
berdua ke sebuah wisma megah di puncak sebuah jurang yang langsung
berhadapan dengan samudra lepas.
Dalam kehidupan di dunia, hanya para miliarder yang mampu memiliki real estate luar biasa seperti itu
Sang malaikat menyatakan bahwa wisma megah itu adalah milik mereka sebagai pahala surgawi.
Sang malaikat menyatakan bahwa wisma megah itu adalah milik mereka sebagai pahala surgawi.
Si suami adalah seorang yang praktis, dan tiba-tiba berkata, :
” Wah, ini bagus sekali, tetapi saya rasa kami tidak mampu membayar pajak bumi dan bangunan
untuk properti sebesar ini.”
” Wah, ini bagus sekali, tetapi saya rasa kami tidak mampu membayar pajak bumi dan bangunan
untuk properti sebesar ini.”
Sang malaikat tersenyum manis dan memberi tahu mereka bahwa di surga tak ada pajak.
Kemudian dia membawa pasangan itu melihat-lihat ke bagian dalam rumah megah itu.
Setiap ruangan dilengkapi dengan cita rasa mewah. sebagian dengan perabot antik,
sebagian dengan perabot modern.
Kemudian dia membawa pasangan itu melihat-lihat ke bagian dalam rumah megah itu.
Setiap ruangan dilengkapi dengan cita rasa mewah. sebagian dengan perabot antik,
sebagian dengan perabot modern.
Lampu kristal yang tak ternilai harganya menghiasi langit-langit rumah.
Keran dari emas padat berkilauan di setiap kamar mandi.
Ada pula sistem DVD berikut televisi layar lebarnya.
Keran dari emas padat berkilauan di setiap kamar mandi.
Ada pula sistem DVD berikut televisi layar lebarnya.
Pada penghujung tur itu, sang malaikat berkata bahwa jika ada apapun yang mereka tak sukai,
silahkan memberitahu dia dan akan langsung menggantinya.
silahkan memberitahu dia dan akan langsung menggantinya.
Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.
Si suami mulai menghitung-hitung nilai semua perlengkapan rumah itu dan berkata,
“Semuanya sangat mahal, saya rasa kami tak akan sanggup membayar premi asuransi untuk
semua properti ini” Sang malaikat menaikkan bola matanya dan dengan lembut memberitahu mereka
bahwa para pencuri tidak diperkenankan masuk ke surga. Jadi asuransi properti tidak diperlukan lagi.
“Semuanya sangat mahal, saya rasa kami tak akan sanggup membayar premi asuransi untuk
semua properti ini” Sang malaikat menaikkan bola matanya dan dengan lembut memberitahu mereka
bahwa para pencuri tidak diperkenankan masuk ke surga. Jadi asuransi properti tidak diperlukan lagi.
Lalu dia menuntun mereka menuruni tangga menuju sebuah garasi besar rumah itu.
Didalamnya terdapat sebuah mobil SUV 4 – wheel drive model terbaru, yang berada disamping sebuah
limusin Rolls-Royce Touring yang mengkilat, dan mobil ketiga adalah Ferrari sport merah limited edition
yang atapnya bisa dibuka.
Dalam kehidupannya didunia, si suami selalu mendambakan punya mobil sport hebat seperti itu,
tetapi itu hanya sebatas impiannya.
Sang malaikat bilang jika mereka ingin mengganti modelnya,atau warnanya, jangan sungkan-sungkan
memberitahu dia.
limusin Rolls-Royce Touring yang mengkilat, dan mobil ketiga adalah Ferrari sport merah limited edition
yang atapnya bisa dibuka.
Dalam kehidupannya didunia, si suami selalu mendambakan punya mobil sport hebat seperti itu,
tetapi itu hanya sebatas impiannya.
Sang malaikat bilang jika mereka ingin mengganti modelnya,atau warnanya, jangan sungkan-sungkan
memberitahu dia.
Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.
Si Suami bergumam, ” Sekalipun kami sanggup membayar biaya STNK untuk mobil-mobil itu,
padahal sesungguhnya kami tak mampu, buat apa sih mobil sport supercepat zaman sekarang?
Saya akan hanya kena denda ngebut.”
Sang malaikat menggeleng-gelengkan kepala dan dengan sabar memberitahu mereka bahwa di
surga tidak ada biaya registrasi kendaraan, dan juga tak ada kamera pengintai kecepatan.
Si suami boleh mengebut semaunya dengan Ferrari-nya.
padahal sesungguhnya kami tak mampu, buat apa sih mobil sport supercepat zaman sekarang?
Saya akan hanya kena denda ngebut.”
Sang malaikat menggeleng-gelengkan kepala dan dengan sabar memberitahu mereka bahwa di
surga tidak ada biaya registrasi kendaraan, dan juga tak ada kamera pengintai kecepatan.
Si suami boleh mengebut semaunya dengan Ferrari-nya.
Kemudian sang malaikat membuka pintu garasi.
Diseberang jalan terbentang lapangan golf 18-lubang yang menakjubkan.
Sang malaikat berkata bahwa di surga mereka tahu kalau si suami sangat menggemari golf, oleh
karena itu mereka sengaja menambahkan lapangan golf indah yang dirancang sendiri oleg Tiger Wood!
Diseberang jalan terbentang lapangan golf 18-lubang yang menakjubkan.
Sang malaikat berkata bahwa di surga mereka tahu kalau si suami sangat menggemari golf, oleh
karena itu mereka sengaja menambahkan lapangan golf indah yang dirancang sendiri oleg Tiger Wood!
Tetap saja si suami terlihat murung ketika dia berkata,
“Ditaksir dari gedungnya saja kelihatannya itu adalah klub golf yang sangat mahal,
saya rasa saya tak sanggup membayar biaya keanggotaannya.”
“Ditaksir dari gedungnya saja kelihatannya itu adalah klub golf yang sangat mahal,
saya rasa saya tak sanggup membayar biaya keanggotaannya.”
Sang Malaikat mengerang, tetapi segera memulihkan kesabaran ilahinya, lalu meyakinkansi suami bahwa :
“tak ada biaya apapun di surga” Lagipula dilapangan golf surga, Anda tidak perlu antri untuk memukul bola,
bola tak akan pernah masuk ke bunker, dan rerumputannya dirancang supaya dengan cara apapun Anda
memukul, bola akan selalu bergulir ke lubang.
“tak ada biaya apapun di surga” Lagipula dilapangan golf surga, Anda tidak perlu antri untuk memukul bola,
bola tak akan pernah masuk ke bunker, dan rerumputannya dirancang supaya dengan cara apapun Anda
memukul, bola akan selalu bergulir ke lubang.
Semua itu adalah pahala surgawi untuk mereka.
Setelah sang malaikat meninggalkan mereka berdua, si suami mulai memarahi istrinya.
Begitu marahnya dia kepada istrinya, sampai dia meneriakinya dan mengomelinya dengan galak.
Si istri tak mengerti mengapa suaminya begitu marah.
Begitu marahnya dia kepada istrinya, sampai dia meneriakinya dan mengomelinya dengan galak.
Si istri tak mengerti mengapa suaminya begitu marah.
“Mengapa kamu begitu marah kepadaku?” katanya memelas.
“Kita memiliki rumah megah yang indah ini berikut perlengkapan mewahnya. Kamu mendapatkan Ferrari
idamanmu yang dapat kamu kebut sesukamu, dan sebuah lapangan golf persis disebrang jalan,
Mengapa kamu begitu marah kepadaku?’
“Kita memiliki rumah megah yang indah ini berikut perlengkapan mewahnya. Kamu mendapatkan Ferrari
idamanmu yang dapat kamu kebut sesukamu, dan sebuah lapangan golf persis disebrang jalan,
Mengapa kamu begitu marah kepadaku?’
“Karena, istriku,”si suami berkata dengan getir.
” Andai saja kamu tidak memasakkan makanan-makanan yang sehat untukku,
maka aku sudah akan berada disini sejak bertahun-tahun lalu!”
” Andai saja kamu tidak memasakkan makanan-makanan yang sehat untukku,
maka aku sudah akan berada disini sejak bertahun-tahun lalu!”
Kesedihan adalah sesuatu yang sering kita tambahkan ke dalam kehilangan. Ini merupakan respon yang kita pelajari, spesifik pada budaya tertentu saja. Hal ini bukannya tidak terhindarkan.
Saya menyadari hal ini melalui pengalaman saya sendiri sewaktu tercemplung selama lebih dari delapan tahun dalam budaya Buddhis-Asia. Dalam tahun-tahun pertama di sebuah wihara hutan di sebuah sudut Thailand yang terpencil, budaya dan pemikiran Barat sama sekali tidak dikenal. Wihara saya sering dipakai sebagai tempat pembakaran mayat oleh penduduk dusun sekitar. Hampir selalu ada kremasi tiap minggunya. Dalam ratusan upacara kematian yang saya saksikan di sana pada akhir tahun 1970-an, tidak pernah satu kali pun saya melihat ada yang menangis. Saya bercakap-cakap dengan anggota keluarga yang ditinggalkan pada hari-hari berikutnya dan tetap saja tidak ada tanda-tanda kesedihan. Bisa disimpulkan bahwa tidak ada kesedihan di sana. Akhirnya saya mengetahui bahwa di bagian timur laut Thailand pada masa itu, sebuah wilayah yang telah diresapi oleh ajaran Buddha selama berabad-abad, peristiwa kematian diterima secara luas dengan cara yang sangat berbeda dengan teori Barat mengenai kesedihan dan kehilangan.
Tahun-tahun di sana mengajarkan saya bahwa ada alternatif lain dari kesedihan. Bukan berarti bersedih itu salah, hanya saja ada cara lain. Kehilangan orang yang kita sayangi bisa dipandang dengan cara lain, cara yang menghindari kepedihan berkepanjangan.
Ayah saya sendiri meninggal ketika saya masih berusia enam belas tahun. Bagi saya, dia adalah orang yang hebat. Dialah yang telah menolong saya menemukan arti cinta dengan kata-katanya, "Apa pun yang kamu lakukan dalam hidupmu, Nak, pintu hatiku akan selalu terbuka untukmu." Walaupun saya sangat mencintainya, saya tidak pernah menangis pada acara pemakamannya. Juga tidak sesudahnya. Saya tidak pernah merasa ingin menangis atas kematiannya yang dini. Perlu beberapa tahun bagi saya untuk memahami keadaan emosi saya seputar kematiannya. Saya menyadarinya melalui cerita berikut, yang saya bagikan kepada Anda di sini.
Sebagai anak muda, saya menikmati musik, segala macam musik mulai dari rock sampai klasik, jazz sampai musik rakyat. London adalah kota yang asik untuk ditinggali pada tahun 1960-an sampai awal tahun 1970-an, terutama kalau Anda gemar musik. Saya ingat saat menyaksikan penampilan pertama yang canggung dari Led Zeppelin di sebuah kelab kecil di Soho. Pada kesempatan lain, hanya segelintir di antara kita yang pernah menonton orang yang kelak dikenal sebagai Rod Stewart menyanyi dalam sebuah grup rock di loteng sebuah pub kecil di London Utara. Saya punya begitu banyak kenangan berharga akan nuansa musik di London pada masa itu.
Pada penghujung kebanyakan konser, saya akan berteriak, "Lagi! Lagi!" bersama dengan penonton lainnya. Biasanya, grup band atau orkestranya akan bermain lagi selama beberapa saat. Namun akhirnya, mereka harus berhenti juga, mengemasi peralatan dan pulang. Demikian pula saya. Dalam kenangan saya, sepertinya setiap kali saya berjalan pulang pada malam hari dari kelab, pub, atau gedung konser, selalu hujan. Ada sebuah kata khusus untuk menggambarkan jenis hujan rintik-rintik yang sering terjadi di London, yaitu "gerimis". Sepertinya selalu gerimis, dingin, dan suram, saat saya meninggalkan gedung konser. Namun, sekalipun saya mengetahui di dalam hati bahwa kemungkinan saya tidak akan mendengar grup band itu lagi, bahwa mereka telah meninggalkan hidup saya selamanya, tidak sekali pun saya merasa sedih ataupun ingin menangis. Sewaktu saya berjalan di tengah malam yang dingin, basah, dan gelap di London, raungan musik mereka masih bergema di kepala saya, "Musik yang hebat! Penampilan yang gemilang! Betapa beruntungnya saya berada di sana pada saat itu!" Saya tidak pernah merasa sedih pada akhir sebuah konser yang bagus.
Tepat seperti itulah perasaan saya sepeninggal ayah saya. Seolah seperti sebuah konser hebat yang akhirnya usai. Sebuah pertunjukan yang indah. Saya, seperti yang sudah-sudah, berteriak nyaring, "Lagi! Lagi!" saat mendekati penampilan pamungkas. Ayah tersayang yang sudah tua berjuang keras untuk bertahan hidup beberapa lama lagi untuk kami. Tetapi saatnya tiba juga, saat dia harus "mengemasi peralatan dan pulang". Ketika saya berjalan keluar dari krematorium di Mortlake seusai upacara menuju gerimis dingin London—saya ingat betul gerimisnya—dalam hati saya tahu bahwa saya tidak akan bisa bersamanya lagi, dia telah meninggalkan hidup saya selamanya, namun saya tidak merasa sedih; tidak juga menangis. Apa yang saya rasakan di hati saya adalah, "Ayah yang sungguh hebat! Hidupnya merupakan inspirasi yang luar biasa. Betapa beruntungnya saya ada di sana pada saat itu. Betapa beruntungnya saya telah menjadi puteranya." Pada waktu saya menggenggam tangan ibu saya menuju perjalanan panjanga masa depan, saya merasakan kebahagiaan yang sama dengan yang sering saya rasakan seusai sebuah konser hebat yang pernah saya tonton. Saya tak kan pernah melupakannya.
Terima kasih, Ayah.
Kesedihan hanyalah melihat apa yang telah terenggut dari kita. Perayaan hidup adalah menyadari segala berkah yang ada pada kita, dan merasa bersyukur karenanya.
Dedaunan yang Berguguran
Barangkali kematian yang paling sulit kita terima adalah kematian dari seorang anak. Pada beberapa kesempatan saya pernah diberi kehormatan untuk memimpin upacara pemakaman bagi seorang anak laki-laki atau perempuan, seseorang yang belum lama mengecap pahit manisnya kehidupan. Tugas saya adalah membantu menuntun orang tua yang sedang putus asa, dan juga anggota keluarga yang lainnya, mengatasi siksaan rasa bersalah dan tuntutan obsesif atas jawaban dari pertanyaan, “Mengapa?”
Saya sering menceritakan kisah perumpamaan berikut ini, yang dikisahkan kepada saya beberapa tahun silam di Thailand.
Seorang bhikkhu hutan yang sederhana tengah bermeditasi sendirian di sebuah pondok jerami di tengah hutan. Pada suatu larut malam, terjadilah badai musim hujan yang garang. Angin menderu-deru bagaikan suara mesin jet dan hujan yang deras menerpa pondoknya. Semakin malam beranjak pekat, badai makin bertambah liar. Mula-mula, dahan-dahan pohon terdengar tercerabut dari batangnya. Lalu seluruh bagian pohon terengut oleh angin ribut dan dihempaskan ke tanah dengan suara sekeras guntur.
Sang bhikkhu segera sadar bahwa pondok jeraminya tak akan sanggup melindunginya. Jika sebuah pohon tumbang menimpa pondoknya, atau meskipun cuma sebuah dahan besar, pondoknya akan rata dengan tanah dan meremukkannya sampai mati. Dia tidak tidur sepanjang malam. Seringkali sepanjang malam itu, dia seolah-olah mendengar para raksasa hutan mendobrak ke permukaan tanah dan hatinya berdegup untuk sesaat.
Beberapa jam sebelum fajar menyingsing, secepat datangnya, begitu pula badai itu berlalu. Di pagi hari, sang bhikkhu keluar dari pondoknya untuk memeriksa kerusakan yang terjadi. Banyak dahan besar dan dua pohon berukuran lumayan yang luput mengenai pondoknya. Dia merasa beruntung masih hidup. Apa yang tiba-tiba menarik perhatiannya bukanlah pohon-pohon yang tumbang dan dahan-dahan patah yang berserakan dimana-mana, tetapi dedaunan yang sekarang menyebar menutupi lantai hutan.
Seperti dugaannya, kebanyakan dedaunan yang berguguran adalah daun-daun yang berwarna coklat tua, yang telah memenuhi umur kehidupannya. Di antara dedaunan yang berwarna coklat terdapat banyak daun yang kuning. Bahkan terdapat pula beberapa daun yang hijau. Dan daun-daun yang berwarna hijau itu masih segar dan cerah sehingga sang bhikkhu tahu bahwa dedaunan itu baru saja jatuh dari pucuknya. Pada saat itulah hati sang bhikkhu memahami sifat kematian sebagaimana adanya.
Dia ingin menguji kebenaran dari pengetahuan yang baru saja dia pahami itu, lalu dia mendongak ke arah dahan-dahan pohon itu. Cukup meyakinkan, hampir sebagian besar dedaunan yang tertinggal di pohonnya adalah dedaunan hijau yang sehat segar, pada kehidupan dininya. Namun, meskipun banyak dedaunan muda yang gugur di atas tanah, ada sebagian daun berwarna coklat tua peot dan keriting yang tetap bertahan didahannya. Sang bhikkhu tersenyum, mulai hari itu, kematian dari seorang anak tak akan pernah lagi membingungkannya.
Ketika badai kematian datang menghempaskan keluarga kita, badai itu biasanya mengambil orang-orang yang sudah tua, “dedaunan yang coklat burik”. Badai itu juga mengambil orang-orang yang berusia paruh baya, seperti daun-daun kuning di pohon. Kadang, anak-anak belia pun meninggal juga, pada usia dini mereka, seperti halnya dedaunan yang berwarna hijau. Dan suatu kali kematian juga merenggut kehidupan dari anak-anak yang kita kasihi, seperti badai merenggut tunas yang masih hijau. Inilah sifat hakiki dari kematian dalam kehidupan kita, sebagaimana hakikat badai di sebuah hutan.
Tak seorang pun yang perlu disalahkan dan tak seorang pun yang harus merasa bersalah atas kematian dari seorang anak. Inilah sifat alami dari segala sesuatu. Siapa yang bisa menyalahkan badai? Hal ini dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan mengapa anak-anak meninggal. Jawabannya sama dengan mengapa sebagian daun yang masih hijau berguguran dalam sebuah badai.
Sisi Atas dan Sisi bawah Kematian
Barangkali momen yang paling mengharukan
dalam upacara pemakaman adalah ketika peti jenazah diturunkan ke dalam
lubang kubur atau, pada proses kremasi, saat tombol ditekan untuk
menggerakan peti mati menuju bejana pembakaran. Saat saat itu seolah
kenangan fisik terakhir atas orang yang dikasihi berlalu untuk
selama-lamanya. Sering kali pada momen itu air mata tak terbendung lagi
jatuh berderai.
Momen semacam itu, terutama menjadi
sulit di sebuah krematorium di Perth. Di sana, ketika tombol ditekan,
peti jenazah turun ke bagian bawah tanah tempat oven berada. Ini
dimaksudkan agar bermakna sama dengan pemakaman. Bagaimanapun juga,
orang mati yang pergi ke bawah menyiratkan lambang pergi ke neraka!
Kehilangan orang-orang yang dikasihi saja sudah cukup berat rasanya;
ditambah berat lagi, dengan isyarat kepergian ke dunia bawah.
Oleh karena itu, suatu kali saya pernah
mengusulkan untuk membangun kapel krematorium, yang mana ketika pendeta
menekan tombol untuk melepaskan kepergian almarhum, peti jenazah akan
terangkat dengan anggunnya. Sebuah lift hidrolik sederhana sudah memadai
untuk keperluan itu. Saat peti mati mendekati langit-langit, peti itu
akan lenyap di tengah gumpalan awan buatan dari es kering, melewati
pintu atap menuju rongga di atasnya, diiringi oleh musik-musik surgawi
yang manis. Betapa akan menakjubkan sekali dampak psikologis yang
ditimbulkannya terhadap orang-orang yang sedang berkabung!
Akan tetapi, seseorang yang mempelajari
usulah saya itu menyarankan bahwa usulan ini bisa memupuskan intergritas
suatu upacara, terutama pada kasus dimana setiap orang tahu bahwa orang
yang berada di dalam peti mati adalah jenis orang yang “sulit pergi ke
atas”.
Lalu saya menyumparnakan usulan saya,
dengan menyarankan untuk menyediakan tiga buah tombol untuk mencakup
semua kasus: sebuah tombol “naik” hanya untuk orang-orang yang baik,
sebuah tombol “turun” untuk para bajingan, dan sebuah tombol “datar”
untuk mayoritas orang yang biasa-biasa saja. Lantas, dalam rangka
menerapkan prinsip-prinsip demokrasi Barat yang kita anut, serta untuk
menambahkan gereget terhadap upacara pemakaman yang suram, saya daoat
meminta orang-orang yang sedang berkabung untuk mengangkat tangan dan
memilih tombol manakah yang akan ditekan! Ini akan membuat upacara
pemakaman menjadi peristiwa yang paling dikenang, dan sayang dillewatkan
begitu saja.
Pria Dengan Empat Istri
Seorang pria yang sukses hidupnya, memiliki empat orang istri. Ketika ajalnya menjelang tiba, dia memanggil istri keempatnya ke sisi ranjangnya, istrinya yang paling baru dan paling muda.
“Jelitaku” kata si pria, terpikat oleh sosoknya yang legendaries,”dalam satu-dua hari lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Tidak mau!” jawab si gadis termasyhur itu. “Aku akan tetap di sini. Aku akan berdoa saat pemakamanmu, tetapi tidak lebih dari itu.” Dan dia bergegas keluar dari kamar suaminya.
Penolakan istrinya itu laksana tikaman di hati si pria. Dia telah mencurahkan begitu banyak perhatian kepada istri termudanya. Dia begitu bangga terhadapnya sehingga dia selalu memilihnya sebagai pendamping dalam setiap acara penting. Istri keempatnya telah memberi martabat bagi si pria pada usia tuanya. Mengejutkan sekali menemukan kenyataan bahwa si istri ternyata tak mencintainya sebesar cinta yang dia berikan kepadanya.
Tetap saja, dia masih punya tiga istri lagi, jadi dia memanggil istri ketiganya yang dinikahinya saat dia separuh baya. Dia telah berjuang begitu keras untuk menggaet istri ketiganya. Dia sangat mencintai istri ketiga yang telah memberinya banyak kebahagiaan. Dia adalah seorang perempuan menarik yang didambakan oleh semua pria; dia pun adalah seorang perempuan yang sangat setia. Dia telah memberikan si pria rasa aman.
“Manisku,” kata si pria, “tak lama lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Sama sekali tidak!” tukas si perempuan muda yang menggairahkan itu, dengan gaya bisnisnya. “Mana bias seperti itu? Aku akan mengadakan upacara pemakaman yang mewah buatmu, tetapi setelah upacara selesai aku akan pergi bersama putramu.”
Rencana ketidaksetiaan istri ketiga membuat si pria terguncang sampai ke sumsum tulang. Dia mengusir istri ketiga lalu memanggil istri keduanya.
Dia telah hidup lama bersama istri keduanya. Dia tidak begitu nmenarik, tetapi dia selalu ada di sisi suaminya, untuk membantunya memecahkan masalah dan memberikan nasihat yang tak ternilai. Dia adalah sahabatnya yang paling terpercaya.
“Kasihku,” kata si pria sambil menatap ke sorot mata istrinya, “sebentar lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Maafkan aku,” kata si istri kedua dengan penuh penyesalan,” aku tak dapat pergi bersamamu. Aku akan menemanimu sampai di sisi liang kubur, tetapi tidak lebih dari itu.”
Hati si orang tua remuk redam oleh penolakan yang bertubi-tubi. Dia memanggil istri pertamanya, yang agaknya selalu dia kenal selamanya. Dia telah mengabaikannya selama tahun-tahun terakhir ini, terutama setelah dia bertemu dengan istri ketiganya yang memikat dan istri keempatnya yang termasyhur itu. Tetapi istri pertamnya inilah yang benar-benar penting baginya, yang bekerja dengan diam dari balik layar. Dia merasa tidak enak hati saat melihatnya berpakaian lusuh dan begitu kurus.
“Sayangku,” katanya dengan nada memohon, “sebentar lagi aku akan meniggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Tentu saja aku akan pergi bersamamu,” jawab si istri pertama dengan mantap. “Aku akan selalu bersamamu dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.”
Istri pertama adalah karma. Istri kedua adalah keluarga. Istri ketiga adalah kekayaan. Istri keempat adalah kemasyhuran.
Bacalah sekali lagi cerita tersebut, sekarang Anda tahu tentang empat istri. Istri manakah yang paling berharga untuk dipelihara? Mana yang akan pergi bersama Anda meninggal?
Seorang pria yang sukses hidupnya, memiliki empat orang istri. Ketika ajalnya menjelang tiba, dia memanggil istri keempatnya ke sisi ranjangnya, istrinya yang paling baru dan paling muda.
“Jelitaku” kata si pria, terpikat oleh sosoknya yang legendaries,”dalam satu-dua hari lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Tidak mau!” jawab si gadis termasyhur itu. “Aku akan tetap di sini. Aku akan berdoa saat pemakamanmu, tetapi tidak lebih dari itu.” Dan dia bergegas keluar dari kamar suaminya.
Penolakan istrinya itu laksana tikaman di hati si pria. Dia telah mencurahkan begitu banyak perhatian kepada istri termudanya. Dia begitu bangga terhadapnya sehingga dia selalu memilihnya sebagai pendamping dalam setiap acara penting. Istri keempatnya telah memberi martabat bagi si pria pada usia tuanya. Mengejutkan sekali menemukan kenyataan bahwa si istri ternyata tak mencintainya sebesar cinta yang dia berikan kepadanya.
Tetap saja, dia masih punya tiga istri lagi, jadi dia memanggil istri ketiganya yang dinikahinya saat dia separuh baya. Dia telah berjuang begitu keras untuk menggaet istri ketiganya. Dia sangat mencintai istri ketiga yang telah memberinya banyak kebahagiaan. Dia adalah seorang perempuan menarik yang didambakan oleh semua pria; dia pun adalah seorang perempuan yang sangat setia. Dia telah memberikan si pria rasa aman.
“Manisku,” kata si pria, “tak lama lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Sama sekali tidak!” tukas si perempuan muda yang menggairahkan itu, dengan gaya bisnisnya. “Mana bias seperti itu? Aku akan mengadakan upacara pemakaman yang mewah buatmu, tetapi setelah upacara selesai aku akan pergi bersama putramu.”
Rencana ketidaksetiaan istri ketiga membuat si pria terguncang sampai ke sumsum tulang. Dia mengusir istri ketiga lalu memanggil istri keduanya.
Dia telah hidup lama bersama istri keduanya. Dia tidak begitu nmenarik, tetapi dia selalu ada di sisi suaminya, untuk membantunya memecahkan masalah dan memberikan nasihat yang tak ternilai. Dia adalah sahabatnya yang paling terpercaya.
“Kasihku,” kata si pria sambil menatap ke sorot mata istrinya, “sebentar lagi aku akan meninggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Maafkan aku,” kata si istri kedua dengan penuh penyesalan,” aku tak dapat pergi bersamamu. Aku akan menemanimu sampai di sisi liang kubur, tetapi tidak lebih dari itu.”
Hati si orang tua remuk redam oleh penolakan yang bertubi-tubi. Dia memanggil istri pertamanya, yang agaknya selalu dia kenal selamanya. Dia telah mengabaikannya selama tahun-tahun terakhir ini, terutama setelah dia bertemu dengan istri ketiganya yang memikat dan istri keempatnya yang termasyhur itu. Tetapi istri pertamnya inilah yang benar-benar penting baginya, yang bekerja dengan diam dari balik layar. Dia merasa tidak enak hati saat melihatnya berpakaian lusuh dan begitu kurus.
“Sayangku,” katanya dengan nada memohon, “sebentar lagi aku akan meniggal dunia. Setelah kematian, aku akan kesepian tanpa dirimu. Maukah engkau ikut bersamaku?”
“Tentu saja aku akan pergi bersamamu,” jawab si istri pertama dengan mantap. “Aku akan selalu bersamamu dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya.”
Istri pertama adalah karma. Istri kedua adalah keluarga. Istri ketiga adalah kekayaan. Istri keempat adalah kemasyhuran.
Bacalah sekali lagi cerita tersebut, sekarang Anda tahu tentang empat istri. Istri manakah yang paling berharga untuk dipelihara? Mana yang akan pergi bersama Anda meninggal?
Terbentur
Dalam tahun pertama saya di Thailand, kami sering pergi dari vihara yang satu ke vihara yang lainnya naik truk, duduk di bak belakangnya. Bhikkhu senior duduk di tempat yang paling nyaman, tentu saja, di depan. Kami bhikkhu-bhikkhu junior duduk berjejal di bangku kayu yang keras di belakang. Di atas bak belakang tersebut terdapat kerangka besi yang rendah, yang di atasnya dilapisi terpal untuk melindungi kami dari hujan dan debu.
Jalanannya masih tanah (bukan aspal), tidak terpelihara.Ketika rodanya melintasi sebuah lubang, truk jatuh ke bawah dan bhikkhu-bhikkhu terlompat ke atas. Jeduk! Sudah beberapa kali kepala saya terbentur kerangka besi itu. Tambahan lagi, sebagai bhikkhu yang gundul, saya tidak memiliki "pelindung" yang mengurangi efek benturannya.
Saya memaki setiap kali kepala saya terbentur ?dalam bahasa Inggris tentunya, supaya bhikkhu-bhikkhu Thai itu tidak mengerti. Tapi ketika bhikkhu-bhikkhu Thai yang terbentur kepalanya, mereka hanya tertawa! Saya tidak mengerti.Bagaimana mungkin anda bisa tertawa di saat kepala anda sakit terbentur sebegitu keras? Mungkin, pikir saya,bhikkhu-bhikkhu Thai itu sudah terlalu sering terbentur kepalanya sehingga ada kerusakan otak.
Sebagai bekas seorang ilmuan, saya memutuskan untuk melakukan percobaan. Saya mencoba untuk tertawa, seperti halnya bhikkhu-bhikkhu Thai, sewaktu kepala saya terbentur lain kali, untuk mengetahui bagaimana rasanya. Tahukan apa yang saya temukan? Saya menemukan bahwa jika anda tertawa ketika kepala anda terbentur, sakitnya berkurang banyak.
Tawa membuat hormon endorphin dilepaskan ke aliran darah anda, yang merupakan pereda sakit alami. Hormon itu juga memperkuat sistem kekebalan tubuh anda untuk melawan infeksi. Jadi tertawa sewaktu anda kesakitan itu memang menolong. Kalau anda masih tidak percaya, coba sendiri di lain kali saat kepala anda terbentur.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa di saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau anda melihat sisi lucunya dan mencoba tertawa.
Dalam tahun pertama saya di Thailand, kami sering pergi dari vihara yang satu ke vihara yang lainnya naik truk, duduk di bak belakangnya. Bhikkhu senior duduk di tempat yang paling nyaman, tentu saja, di depan. Kami bhikkhu-bhikkhu junior duduk berjejal di bangku kayu yang keras di belakang. Di atas bak belakang tersebut terdapat kerangka besi yang rendah, yang di atasnya dilapisi terpal untuk melindungi kami dari hujan dan debu.
Jalanannya masih tanah (bukan aspal), tidak terpelihara.Ketika rodanya melintasi sebuah lubang, truk jatuh ke bawah dan bhikkhu-bhikkhu terlompat ke atas. Jeduk! Sudah beberapa kali kepala saya terbentur kerangka besi itu. Tambahan lagi, sebagai bhikkhu yang gundul, saya tidak memiliki "pelindung" yang mengurangi efek benturannya.
Saya memaki setiap kali kepala saya terbentur ?dalam bahasa Inggris tentunya, supaya bhikkhu-bhikkhu Thai itu tidak mengerti. Tapi ketika bhikkhu-bhikkhu Thai yang terbentur kepalanya, mereka hanya tertawa! Saya tidak mengerti.Bagaimana mungkin anda bisa tertawa di saat kepala anda sakit terbentur sebegitu keras? Mungkin, pikir saya,bhikkhu-bhikkhu Thai itu sudah terlalu sering terbentur kepalanya sehingga ada kerusakan otak.
Sebagai bekas seorang ilmuan, saya memutuskan untuk melakukan percobaan. Saya mencoba untuk tertawa, seperti halnya bhikkhu-bhikkhu Thai, sewaktu kepala saya terbentur lain kali, untuk mengetahui bagaimana rasanya. Tahukan apa yang saya temukan? Saya menemukan bahwa jika anda tertawa ketika kepala anda terbentur, sakitnya berkurang banyak.
Tawa membuat hormon endorphin dilepaskan ke aliran darah anda, yang merupakan pereda sakit alami. Hormon itu juga memperkuat sistem kekebalan tubuh anda untuk melawan infeksi. Jadi tertawa sewaktu anda kesakitan itu memang menolong. Kalau anda masih tidak percaya, coba sendiri di lain kali saat kepala anda terbentur.
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa di saat hidup ini menyakitkan, sakitnya berkurang kalau anda melihat sisi lucunya dan mencoba tertawa.
SI CACING DAN KOTORAN KESAYANGANNYA
Sebagian orang memang kelihatannya tidak ingin untuk terbebas dari masalah. Jika mereka sedang tidak punya cukup masalah yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron televisi untuk mengkhawatirkan persoalan tokoh-tokoh fiksi didalamnya. Banyak juga yang merasa bahwa ketegangan membuat mereka lebih “Hidup”, mereka menganggap penderitaan sebagai hal yang mengasyikkan. Agaknya Mereka tidak ingin bahagia, karenanya mereka mau-maunya begitu melekat pada beban mereka.
Dua orang Bhiksu yang merupakan sahabat dekat sepanjang hidup mereka. Setelah mereka meninggal, satu terlahir sebagai dewa disebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di seonggok tahi.
Sang dewa segera merasa kehilangan kawan lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surga yang ditinggalinya, lalu diapun mencari-cari temannya di alam –alam surga yang lain. Temannya tidak ada disana pula.
Dengan kekuatan surgawinya, Sang Dewa mencari temannya di dunia manusia, namun tidak ketemu juga. “Pasti temanku tidak terlahir di alam hewan” begitu pikirnya, tetapi dia memeriksa alam hewan juga, “Siapa tahu!?”, pikirnya.
Masih saja tidak ada tanda-tanda keberadaan temannya itu. lalu berikutnya Sang dewa mencari ke dunia serangga dan jasad renik dan ..... kejutan besar baginya...., dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing dalam seonggok tahi yang menjijikkan!
Ikatan rasa persahabatan mereka begitu kuat, sampai-sampai merasa dia harus membebaskan kawan lamanya ini dari kelahirannya yang mengenaskan tersebut, entah karma apa yang membawanya kesitu.
Sang dewa lalu muncul di depan onggokan tahi tersebut dan memanggil, “Hei cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dahulu sama-sama menjadi bhiksu pada kehidupan sebelumnya dan kamu adalah teman terbaikku. Aku terlahir kembali dialam surga yang menyenangkan, sementara kamu terlahir di tahi sapi yang menjijikkan ini.tetapi Jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Ayolah kawan lama !”
“Tunggu dulu !” kata si cacing, “Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu ? Aku sangat bahagia disini, bersama tahi yang harum , nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak !”
“ Kamu tidak mengerti !”, kata sang dewa, lalu dia melukiskan betapa menyenangkan dan bahagianya berada di alam surga.
“Apakah disana ada tahi?” tanya si cacing, to the point.
“Tentu saja tidak ada!' dengus sang Dewa.
“Kalau begitu , aku emoh pergi !” jawab si cacing mantap. “Sudah yah!” Dan si cacingpun membenamkan dirinya ketengah onggokan tahi tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, barulah dia akan mengerti. Lalu sang dewa menutup hidungnya dan menjulurkan tangannya kedalam tahi itu, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, dia menariknya.
“Hei! Jangan ganggu aku !” , teriak si cacing. “ Tolooooong ! Darurat ! Aku diculiiiik !” . cacing kecil yang licin itu menggeliat dan meronta sampai terlepas, lalu kembali menyelam ke onggokan tahi untuk bersembunyi.
Sang Dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam tahi, dapat, dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Nyaris bisa keluar, tetapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi untuk kedua kalinya, dan bersembunyi makin dalam lagi di dalam tahi. Seratus delapan kali sang dewa mencoba mengeluarkan cacing malang itu dari onggokan tahinya, namun si cacing begitu melekat dengan tahi kesayangannya, sehingga dia terus meloloskan diri !
Akhirnya sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh didalam onggokan kotoran kesayangannya.
Berakhir sudah, 108 cerita di dalam buku ini.
0 komentar:
Posting Komentar