Ember Bocor Yang Sedih
Udara dingin pegunungan di sela deraian daun. Kemilau jingga keemasan mentari senja tampak memantul berganti-gantian di permukaan air yang beriak dalam dua ember yang dipikul seorang petani. Sebuah rutinitas yang tampaknya dijalani dengan keriangan hati.
Dalam hempasan nafas lelah yang panjang, tersirat binar kepuasandalam raut wajah sang petani pembawa ember air tesebut. Akan tetapi, suatu kala terjadi sesuatu diantara dua ember yang dipikul petani tersebut. Akan tetapi, sutu kala terjadi sesuatu di antara dua ember yang di pikul petani tersebut. Salah stu ember berujar kepada ember yang lain, “hei, cobalah lihat dirimu, ember bocor, bercerminlah. Sadarkah engkau setiap hari membuang setengah dari air yang terisi penuh?” Ember bocor kaget dan menyadari ada sebuah lubang hakus pada dirinya. Sepanjang perjalanan, air yang dibawahnya perlahan menetes keluar dan tersisa setengahnya ketika sampai di tujuan.
Kesedian mulai mengaduk-aduk perasaan ember bocor. Ia mulai merasa dirinya ember yang tak berguna. Ia tak dapat memberikan yang terbaik terhadap sang petani. Setiap hari ia hanya merasa menjadi beban, merugikan petani setengah dari kapasitas yang mestinya bisa ia bawa. Hari demi hari, batin ember bocor terasa semakin hampa dan tersiksa.
Suatu hari, petani menyadari ember bocor yang sedang menangis. Petani menanyakan alasan mengapa ember bocor merasa sedih. Setelah memahami semuanya, petani tersenyum sambil memandang hamparan langit biru, kemudian berujar, “tahukah engkau, kenapa aku bahagia memilikimu? Meskipun sepanjang perjalanan engkau menetes separuh air yang dibawa....”
Ember bocor terperanjat dan bertanya, “ke-ke-kenapa?” petani melanjutkan, “lihatlah hamparan jalan yang setiap hari kita lalui setiap hari. Salah satu sisi jalan ditumbuhi oleh bunga-bunga yang indah bukan? Tahukah engkau bunga-bunga itu tumbuh karena tetesan air yang jatuh darimu? Karena ‘ketidaksempurnaan’ yang engkau milikilah, bunga-bunga indah tersebut tumbuh berkembang!”
Suatu perasaan ringan spontan menggelora dalam diri ember bocor. Ya, dalam segenap kekurangan dan keburukan, ternyata masih ada keindahan yang dapat tumbuh. Keindahan yang mengalir bersama kuntum-kuntum bunga yang terseyum.
Ibu Gajah yang Buta
Dahulu kala, di sebuah kaki bukit di pegunungan Himalaya, di dekat
sebuah kolam teratai, lahirlah seekor bayi gajah. Bayi gajah ini luar
biasa indah menawan, putih bersih seperti salju dengan wajah yang
sedikit bersemu kemerahan seperti warna batu karang. Belalainya berkilau
indah bagaikan utas tali yang berwarna keperakan, gadingnya yang kuat
dan kokoh membentuk sedikit lengkungan yang manis.
Ia selalu mengikuti ibunya ke manapun. Ibu Gajah memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan kemudian memberikannya. “Kamu dulu, baru Ibu,” Ibu Gajah berkata. Ia kemudian dimandikan oleh ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, Ibu Gajah menghisap air lalu menyemprotkannya ke kepala dan punggung anaknya hingga bersih mengkilap. Kemudian Anak Gajah ini diam-diam mengisi belalainya, dan dengan hati-hati menyemprotkan tepat ke dahi ibunya. Tanpa berkedip, Ibu Gajah balas menyemprotkan air. Balas membalas menyemprot, mereka dengan gembira saling membasahi satu sama lain. Splish! Splash!
Setelah lelah bermain, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai melengkung dan saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Ibu Gajah beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air, sambil melihat putranya bermain dengan penuh keriangan bersama anak-anak gajah lainnya.
Gajah kecil tumbuh dan tumbuh hingga ia menjadi gajah tergagah dan terkuat dalam kawanannya. Pada saat yang bersamaan, Ibu Gajah pun menjadi semakin tua. Gadingnya mulai retak dan menguning, dan tidak lama kemudian Ibu Gajah menjadi buta. Anak Gajah yang telah tumbuh dewasa dan kuat ini kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan memberikannya kepada ibunya yang telah tua dan buta yang amat ia sayangi. “Ibu dulu, baru Aku,” ia berkata.
Ia memandikan ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, ia menyemprotkan air ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. Setelah itu, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Anak Gajah menuntun ibunya untuk beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air. Ia kemudian pergi bersama gajah-gajah yang lain.
Suatu hari seorang raja pergi berburu dan melihat seekor gajah putih yang begitu indah. “Luar biasa indah! Aku harus memilikinya sebagai peliharaan untuk ditunggangi!” Raja lalu menangkap gajah tersebut dan membawanya ke kandang istana. Raja memberikan kain sutra dan permata yang indah serta untaian kalung bunga teratai kepada gajah tersebut. Raja juga memberikannya rumput manis dan buah-buahan yang lezat serta air murni yang segar untuk diminum.
Akan tetapi, gajah tersebut tidak mau makan ataupun minum. Ia terus menerus menangis, dan menjadi semakin kurus dari hari ke hari. “Gajah yang mulia,” Raja berkata, “Aku menyayangimu dan memberimu sutra dan permata. Aku juga memberikan makanan terbaik dan air termurni, namun Engkau tidak juga mau makan dan minum. Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?” Gajah tersebut menjawab, “Sutra dan permata, makanan dan minuman tidak membuatku bahagia. Ibuku yang sudah tua dan buta sedang sendirian di hutan tanpa ada seorangpun yang merawatnya. Walaupun aku akan mati, aku tidak akan makan dan minum sebelum aku memberikannya terlebih dahulu kepada Ibu.”
Raja terharu dan berkata, “Tidak pernah aku menyaksikan kebaikan yang sedemikian rupa, bahkan diantara manusia. Tidaklah benar untuk mengurung gajah ini.” Setelah dilepaskan, gajah tersebut segera berlari diantara bebukitan mencari ibunya. Ia menemukan ibunya di tepi kolam teratai. Ibu Gajah berbaring di atas lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya, Anak Gajah tersebut mengisi belalainya dengan air dan menyemprotkan ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. “Apakah hujan?” Ibu Gajah bertanya-tanya, “atau anakku telah kembali?” “Ini anakmu, Ibu!” ia berseru, “Raja telah membebaskan aku!” Ketika ia membersihkan mata ibunya, terjadi keajaiban. Penglihatan ibunya pulih kembali. “Semoga Raja hari ini berbahagia sebagaimana kebahagiaanku bisa melihat anakku kembali!” Ibu Gajah berkata.
Anak Gajah kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari sebuah pohon dan memberikannya kepada ibunya, “Ibu dulu, baru Aku.”
Ia selalu mengikuti ibunya ke manapun. Ibu Gajah memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan kemudian memberikannya. “Kamu dulu, baru Ibu,” Ibu Gajah berkata. Ia kemudian dimandikan oleh ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, Ibu Gajah menghisap air lalu menyemprotkannya ke kepala dan punggung anaknya hingga bersih mengkilap. Kemudian Anak Gajah ini diam-diam mengisi belalainya, dan dengan hati-hati menyemprotkan tepat ke dahi ibunya. Tanpa berkedip, Ibu Gajah balas menyemprotkan air. Balas membalas menyemprot, mereka dengan gembira saling membasahi satu sama lain. Splish! Splash!
Setelah lelah bermain, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai melengkung dan saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Ibu Gajah beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air, sambil melihat putranya bermain dengan penuh keriangan bersama anak-anak gajah lainnya.
Gajah kecil tumbuh dan tumbuh hingga ia menjadi gajah tergagah dan terkuat dalam kawanannya. Pada saat yang bersamaan, Ibu Gajah pun menjadi semakin tua. Gadingnya mulai retak dan menguning, dan tidak lama kemudian Ibu Gajah menjadi buta. Anak Gajah yang telah tumbuh dewasa dan kuat ini kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari pohon-pohon yang tinggi dan memberikannya kepada ibunya yang telah tua dan buta yang amat ia sayangi. “Ibu dulu, baru Aku,” ia berkata.
Ia memandikan ibunya di kolam teratai yang sejuk diantara semerbak keharuman bunga. Dengan belalainya, ia menyemprotkan air ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. Setelah itu, mereka kemudian beristirahat di atas tanah yang lembut dengan kedua belalai saling membelit satu sama lain. Di bawah bayang-bayang sore hari, Anak Gajah menuntun ibunya untuk beristirahat di balik keteduhan pohon jambu air. Ia kemudian pergi bersama gajah-gajah yang lain.
Suatu hari seorang raja pergi berburu dan melihat seekor gajah putih yang begitu indah. “Luar biasa indah! Aku harus memilikinya sebagai peliharaan untuk ditunggangi!” Raja lalu menangkap gajah tersebut dan membawanya ke kandang istana. Raja memberikan kain sutra dan permata yang indah serta untaian kalung bunga teratai kepada gajah tersebut. Raja juga memberikannya rumput manis dan buah-buahan yang lezat serta air murni yang segar untuk diminum.
Akan tetapi, gajah tersebut tidak mau makan ataupun minum. Ia terus menerus menangis, dan menjadi semakin kurus dari hari ke hari. “Gajah yang mulia,” Raja berkata, “Aku menyayangimu dan memberimu sutra dan permata. Aku juga memberikan makanan terbaik dan air termurni, namun Engkau tidak juga mau makan dan minum. Lalu apa yang bisa membuatmu bahagia?” Gajah tersebut menjawab, “Sutra dan permata, makanan dan minuman tidak membuatku bahagia. Ibuku yang sudah tua dan buta sedang sendirian di hutan tanpa ada seorangpun yang merawatnya. Walaupun aku akan mati, aku tidak akan makan dan minum sebelum aku memberikannya terlebih dahulu kepada Ibu.”
Raja terharu dan berkata, “Tidak pernah aku menyaksikan kebaikan yang sedemikian rupa, bahkan diantara manusia. Tidaklah benar untuk mengurung gajah ini.” Setelah dilepaskan, gajah tersebut segera berlari diantara bebukitan mencari ibunya. Ia menemukan ibunya di tepi kolam teratai. Ibu Gajah berbaring di atas lumpur, terlalu lemah untuk bergerak. Dengan air mata yang membasahi pelupuk matanya, Anak Gajah tersebut mengisi belalainya dengan air dan menyemprotkan ke kepala dan punggung ibunya hingga bersih mengkilap. “Apakah hujan?” Ibu Gajah bertanya-tanya, “atau anakku telah kembali?” “Ini anakmu, Ibu!” ia berseru, “Raja telah membebaskan aku!” Ketika ia membersihkan mata ibunya, terjadi keajaiban. Penglihatan ibunya pulih kembali. “Semoga Raja hari ini berbahagia sebagaimana kebahagiaanku bisa melihat anakku kembali!” Ibu Gajah berkata.
Anak Gajah kemudian memetik daun terlembut dan buah mangga termanis dari sebuah pohon dan memberikannya kepada ibunya, “Ibu dulu, baru Aku.”
Hachiko, Anjing yang Setia
Katak yang Nakal
Seekor anak katak tinggal bersama ibunya yang telah menjanda di sebuah kolam yang besar. Anak katak ini luar biasa nakal dan pembuat onar, ia tidak pernah mau mendengarkan nasehat ibunya dan selalu membuat ibunya sedih dan juga malu.
Kalau Ibu Katak menyuruhnya pergi bermain ke bukit, ia pergi ke tepi pantai. Kalau ibunya minta ia ke desa atas, ia ke desa bawah. Kalau ibunya menyuruhnya ini, ia melakukan itu. Apapun yang ibunya katakan, ia selalu melakukan kebalikannya.
“Apa yang harus aku lakukan terhadap anak ini?” Ibu Katak mengomel. “Kenapa ia tidak bisa bersikap seperti anak-anak katak lainnya? Mereka selalu mendengarkan dan melakukan apa yang disuruh; mereka juga selalu patuh dan baik hati. Aku tidak tahu ia akan jadi apa kalau ia terus bersikap seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk menghentikan kebiasaan buruknya.” Ibu Katak menghela nafas panjang.
“Ha! Ha! Ha!” Anak Katak tertawa. “Hentikan semua omelan itu. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan baik-baik saja sebagaimana adanya.”
“Benarkah itu?” tanya Ibu Katak. “Lalu kenapa kamu bahkan tidak bisa bersuara dengan benar? Kamu bahkan tidak mengeluarkan suara layaknya seekor katak. Sini, Ibu ajari kamu.” Sambil tersenyum, Ibu Katak mengeluarkan suara ‘Kruok! Kruok!’, “Sekarang kamu coba!”
Sambil menyeringai lebar, Anak Katak mengeluarkan suara ‘Kruik! Kruik!’
“Kenapa kamu nakal sekali! Apa kamu ingin membuat Ibu mati penasaran?!” teriak Ibu Katak. “Dengarkanlah Ibu kalau kamu ingin menjadi katak yang baik. Sekarang kamu…”
“Kruik! Kruik!” sahut si Anak Katak, sambil melompat pergi.
Hari demi hari Ibu Katak memarahi anaknya, tapi si Anak Katak tetap saja melakukan apa yang ia inginkan dan selalu melakukan kebalikan dari apa yang dikatakan oleh ibunya. Ibu Katak merasa resah dan sedemikian kuatir mengenai anaknya sampai-sampai Ibu Katak jatuh sakit. Tetap saja, si Anak Katak masih nakal dan bertingkah laku sesukanya.
Suatu hari Ibu Katak, terbaring di ranjang, memanggilnya, “Anakku,” ia berkata, “Ibu merasa tidak akan hidup lama lagi. Ketika Ibu mati, janganlah kubur Ibu di gunung, kuburlah Ibu di samping sungai.” Ibu Katak mengatakan ini karena ia tahu bahwa anaknya akan melakukan kebalikan dari apa yang disuruhnya.
Beberapa hari kemudian, Ibu Katak tiada. Anak Katak menangis dan terus menangis. “Oh, Ibuku yang malang! Aku telah membuat Ibu demikian resah karena tingkah lakuku. Kenapa aku tidak pernah mendengarkan kata-kata Ibu?!” Anak Katak menyalahkan dirinya. “Sekarang Ibu telah pergi. Aku telah membunuh Ibu. Aku membunuh Ibu.”
Anak Katak teringat kembali masa-masa ketika bersama ibunya dan semua masalah serta kenakalan yang telah ia lakukan terhadap ibunya. Lalu ia berkata dalam hati, “Aku selalu melakukan kebalikan dari apa yang Ibu suruh karena aku mengira itu menyenangkan. Akan tetapi kali ini aku akan melakukan sesuai permintaan terakhir Ibu.”
Jadi, Anak Katak mengubur ibunya di samping sungai, walaupun ia merasa hal itu kuranglah bijaksana.
Beberapa minggu kemudian, terjadilah hujan badai. Hujan yang sedemikian deras menyebabkan sungai meluap. Anak Katak tidak bisa tidur karena terus mengkhawatirkan kuburan ibunya akan terhanyut oleh luapan air. Akhirnya ia pergi untuk menjaga kuburan ibunya.
Di tengah guyuran hujan, Anak Katak duduk, dan terus menerus menangis, “Kruok! Kruok! Mohon janganlah menghanyutkan Ibu!” Dan itulah yang dilakukan oleh si Anak Katak setiap kali hujan turun.
Dan sejak saat itulah, katak-katak akan selalu bersuara “Kruok! Kruok!” setiap kali hujan turun.
0 komentar:
Posting Komentar