Supri
mengayuh sepeda tuanya melewati jalur Gaza. Dia sedang dalam perjalanan
untuk menemui cintanya, Ningsih. Peluru, Granat, Tissue bekas, melesat
beterbangan di mana-mana, tapi Supri tak mau menghentikan laju
sepedanya. Supri tak takut terhadap ancaman maut, karena suasana hatinya
sedang kalut.
Sambil mengayuh sepedanya, Supri masih mengingat-ingat kalimat terakhir yang diucapkan Ningsih lewat SMS beberapa jam yang lalu.
"Aku mau, mulai hari ini kita temenan aja ya. Aku merasa, kita itu beda."
Kalimat
itu menusuk hati Supri, hingga susah baginya untuk bernafas lagi.
Seketika, dia meraih sepedanya dan bertekat untuk segera menemui Ningsih
di Indonesia. Supri masih berharap, bila nantinya mereka bertemu dan
berbicara empat mata, Ningsih masih bisa mengubah keputusannya.
Delapan
bulan berlalu, kira-kira pukul 8 malam, Supri pun sampai juga di rumah
Ningsih dengan keadaan kaki bengkak segede tabung elpiji. Pintu rumah
Ningsih tertutup rapat. Sepertinya tidak ada orang di sana. Supri hanya
bisa termenung dan menunggu di depan gerbang rumah bermotif macan tutul
itu. Hingga akhirnya muncul sebuah mobil mewah berwarna biru berhenti di
situ. Seorang pria keluar dari mobil, menutup resleting celana, lalu
berjalan ke sisi lain dari mobil itu untuk kemudian membukakan pintu.
Disusul seorang wanita keluar dari sana sambil merapikan kancing
bajunya. Supri merasa tak asing dengan wajah wanita itu.
"Ningsih?!" Ucap Supri lirih karena masih memendam keraguan di hatinya.
Wanita
itu menolehkan kepala, dan memarkirkan pandangannya ke arah Supri.
Beberapa saat wanita itu memandangi Supri dari ujung kepala hingga ujung
kaki.
"Errr.. Supri?" Ya, ternyata wanita itu memang Ningsih, sang pujaan hati Supri.
"Iya!
Aku Supri.. Aku datang untukmu.. Untuk memperjuangkan cintaku.." Supri
bergegas mendekati Ningsih, memegang kedua pundak Ningsih, lalu mencoba
menarik Ningsih ke pelukannya. Tapi Ningsih menundukan kepalanya, dan
mencoba mendorong dada Supri sebagai isyarat bahwa dia tak mau
memberikan pelukannya juga.
"Maaf
Supri.. Cerita kita sudah berakhir.. Ini cowokku yang baru." Ningsih
menunjuk ke arah pria yang tadi membukakan pintu mobil untuknya. Pria
itu mengacungkan jari tengah ke arah Supri. Bukan, bukan untuk mengejek
Supri. Pria itu ingin melambaikan tangannya, tapi semua jari tangannya
sudah diamputasi karena penyakit diabetes parah, kecuali jari tengahnya.
Supri tertegun, dia merasa wanita di depannya itu bukanlah wanita yang pernah dia cinta. Sifatnya sudah jauh berbeda.
"Oh..
Sekarang aku mengerti.. Bukan kita yang berbeda. Karena kita pernah
bersama dalam jangka waktu lama.. Itu cuma alasan palsu semata. Yang aku
lihat sekarang adalah, yang PERTAMA ADA, sudah tergantikan oleh yang
SELALU ADA. Iya, aku sudah tergantikan oleh dia!" Supri
menunjuk dengan tegas ke arah pacar baru Ningsih. Pacar baru Ningsih
lagi-lagi mengacungkan jari tengahnya dengan senyum ramah.
Amarahnya
hampir meledak di kepalanya, namun seketika api amarah itu padam karena
tersiram oleh kesedihan yang kental. Supri pun segera mengambil
sepedanya, dan melaju kencang ke arah jalan raya. Sungguh malang, saat
itu di jalanan sedang ada tawuran antar anak-anak TK yang melibatkan
senjata-senjata nuklir dan kimia. Supri yang tak tau apa-apa, menjadi
korban kebrutalan mereka. Supri pun tewas seketika. Ningsih? Hidup
bahagia selamanya bersama pacar barunya.
TAMAT
0 komentar:
Posting Komentar